"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Rabu, 28 Mei 2014

Menuju Era “Posthuman”

Menuju Era “Posthuman”
Telaah Singkat Pemikiran Robert Pepperell
tentang Kompleksitas Kesadaran, Manusia dan Teknologi


Wahyu Budi Nugroho

“Para ‘posthuman’ telah mengatasi batasan-batasan biologis, neurologis,
dan psikologis yang ada pada diri manusia (‘human’)”
[Pepperell, 2009: 300]

Posthuman ‘pascamanusia’. Inilah era yang tengah kita hadapi bersama menurut Robert Pepperell. Argumen Pepperell cukup sederhana, kini teknologi tak lagi dapat ditempatkan di bawah manusia; teknologi sejajar dengan manusia, bahkan melampauinya. Secara ringkas, Pepperell hendak mengatakan bahwa kini, tanpa teknologi manusia bukanlah apa-apa. Ia mengambil misal para pengidap lemah jantung yang menanamkan alat pacu di tubuhnya. Baginya, mereka tak lagi menjadi manusia murni, melainkan melampauinya; manusia setengah robot, bahkan cyborg!. Pepperell menggunakan istilah “prostetik” bagi fenomena-fenomena semacam ini. Beberapa misal lainnya seperti temuan Dr. William Dobelle yang menawarkan penglihatan parsial bagi para penderita tunanetra lewat rangkaian elektroda yang ditanam ke otak dan terhubung pada kamera video mini. Begitu pula Prof. Kevin Warwick dengan chip cerdasnya yang mampu mengartikulasikan aktivitas otak untuk menggerakkan bagian-bagian tubuh manusia. Kesemua hal tersebut agaknya menegaskan kian tipisnya batasan antara yang organik dengan yang mekanik.

Memang, tampak jika Pepperell berpijak di atas konsep kemanusiaan Hobbes yang sekedar mengandaikan manusia sebagai mesin, sedang perasaan yang bergolak di dalamnya tak ubahnya reaksi kimia semata. Pandangan manusia-mekanik Pepperell kian terkukuhkan manakala dirinya mengutip berbagai pernyataan Dawkins guna menjelaskan eksistensi manusia sebagai “mesin organik”. Berangkat dari penyamaan ini, Pepperell beranjak lebih jauh pada kelebihan mesin anorganik ketimbang mesin organik. Dalam pengamatannya, tak menutup kemungkinan jika kelak manusia-manusia cyborg bakal menggantikan keberadaan manusia-manusia organik, dan ini sarat dilihat dari sudut kemajuan evolusi manusia—bahwa dunia cyborg itulah yang saat ini tengah kita tuju. Dengan demikian, “pascamanusia” pun dapat didaulat sebagai proses penggerusan mesin-mesin organik yang dinilai rentan dan sulit di-regenerasi untuk kemudian beralih pada mesin-mesin anorganik yang kuat, mudah diciptakan, dan selalu berada dalam pengawasan (kontrol) tanpa meninggalkan dimensi organiknya. Tegas dan jelasnya, manusia-manusia posthuman didaulat sebagai pribadi-pribadi dengan kemampuan fisik, intelektual, dan psikologis yang belum pernah ada sebelumnya.
           
Satu kajian menarik Pepperell yang tak patut dilewatkan adalah ulasannya mengenai “kreativitas yang diotomatiskan”. Istilah tersebut dicetuskan guna mengkaji ekspansi instrumen-instrumen teknologi (pos)modern dalam ranah seni. Secara konkret, ini dimisalkan dengan penggunaan beragam aplikasi komputer seperti adobe photoshop, picasa, paint, office manager, dan lain sejenisnya guna mencipta karya seni. Hadirnya aplikasi tersebut tanpa disadari menggeser pengertian awal “kreativitas”. Kreativitas, yang mulanya berasal dari kreasi langsung manusia—tangan manusia—kini menjadi ihwal yang tak langsung dan penuh dengan simulasi (rekayasa) nonmanusia. Pepperell mengakui hal ini sebagai kemunduran estetika dan spontanitas artistik, meski ia menggunakan bahasa yang “berat” dan berkelit dengan pembelaan bahwa teknologi semacam ini mampu memanifestasikan imajinasi manusia sebagaimana mestinya.
       
Pada akhirnya, posthuman mendaulat kematian humanisme. Dengan kata lain, ia adalah akhir dari humanisme; akhir dari kepercayaan bahwa segala sesuatunya berpusat pada manusia (antroposentrisme). Posthuman mengkebiri aroganisme dan kesombongan manusia yang percaya akan kemampuannya menaklukkan jagat semesta; keyakinan yang lambat-laun bakal terkikis seiring keinsyafan bahwa mesin-mesin anorganik telah melampauinya.


Mann, oh Mann…!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Trima kasih atas ulasannya Pak, sangat membantu. Kebetulan sedang cari topik ini.

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger