Sabtu, 26 Maret 2011

“Menelanjangi” Latar Belakang Pemikiran Tokoh melalui Sosiologi Pengetahuan

“Menelanjangi” Latar Belakang Pemikiran Tokoh 
melalui Sosiologi Pengetahuan

By: Wahyu Budi Nugroho



Mengapa pemikiran Marx Tua berbeda dengan Marx Muda?
Mengapa Sartre menciptakan eksistensialisme?
Mengapa Foucault berbicara tentang normalitas dan abnormalitas?
Sosiologi-Pengetahuan memiliki kualifikasi guna menjawabnya.

Sekilas Sosiologi Pengetahuan


      Sosiologi-Pengetahuan untuk pertama kali diperkenalkan Karl Mannheim dalam Ideology and Utopia (1931/1936). Secara ringkas, sosiologi pengetahuan berupaya menelisik latar belakang pemikiran, pemahaman berikut teori yang dicetuskan oleh tokoh-tokoh dalam ranah keilmuan sosial-humaniora. Asumsi yang dibangun sosiologi pengetahuan adalah, berbagai produk keilmuan layaknya pemikiran atau teori yang dicetuskan oleh tokoh-tokoh ilmu sosial-humaniora seyogyanya dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi objektif yang ada atau realitas an-Sich itu sendiri mengingat “kultur baconian”[1] yang telah disepakati bersama dalam tataran perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, sebuah teori atau pemikiran yang muncul ke permukaan (diterima publik) haruslah perihal yang bebas dari kepentingan diri, selubung-selubung pretensi terutama katarsis[2] diri pencetusnya, karena apabila tak demikian, maka dengan sendirinya teori atau pemikiran tersebut dapat digugurkan sebagai ilmu pengetahuan mengingat tak terpenuhinya klaim objektivitas di dalamnya.
                Oleh karenanya, Mannheim, pemikir berdarah Hongaria-Jerman tersebut menelurkan sebentuk metode dalam sosiologi pengetahuan yang dikenal dengan sebutan “sosioanalisa”. Secara singkat, operasional sosioanalisa merupakan sebentuk studi dokumenter biografi maupun autobiografi tokoh dengan memperhatikan keterkaitannya dengan berbagai teori atau pemikiran yang dicetuskannya kemudian. Dalam sosioanalisa, variabel-variabel seperti konteks sosial, ekonomi, politik serta budaya “dimana” dan di “masa” seorang tokoh hidup berikut berbagai pengalaman pribadi yang berpengaruh besar dalam kehidupannya menjadi esensi dari sosioanalisa itu sendiri. Lebih jauh, sosiologi pengetahuan dan sosioanalisa yang terdapat di dalamnya berupaya menghindarkan publik—publik akademik awam terutama—dari “pemujaan buta” atas seorang tokoh berikut pemikiran atau mahzab yang dicetuskannya. Hal tersebut bukannya tanpa alasan urgen sama sekali, melainkan guna menjaga konsistensi perkembangan berikut kontnyuitas ilmu pengetahuan yang bebas dari berbagai bentuk pretensi.

Sosioanalisa Tokoh dan Pemikirannya

Karl Marx: Dua Jiwa Kontradiktif dalam Satu Raga


                Telah menjadi rahasia umum kiranya, ditemui perbedaan antara pemikiran Marx Tua dengan Marx Muda. Adam Schaff, seorang filsuf marxis Polandia yang untuk pertama kalinya mengangkat perbedaan pemikiran antara Marx Tua dengan Marx Muda mengklasifikasikan secara jelas perbedaan pemikiran antarkeduanya. Menurut Schaff, pemikiran Marx Muda kental dengan nuansa filosofis, humanis dan kritis, sedangkan Marx Tua kental akan nuansa konfrontatif, sosialis dan positivis. Satu hal yang menjadi pemisah tegas antarkeduanya adalah titik tolak kajian Marx Muda atas dimensi kemanusiaan (entitas individu/manusia), sedangkan Marx Tua akan sosial-kemasyarakatan—pergeseran sedari pemahaman nominalisme pada fakta sosial.
                Apabila sosioanalisa dalam sosiologi pengetahuan digunakan dalam upaya menelisik latar belakang perubahan pemikiran Marx di atas, maka ditemui bahwa semakin tua faktual kehidupan Marx dan keluarganya semakin “sulit” (baca: miskin). Ia sepenuhnya bergantung pada bantuan Engels, sahabatnya dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Tak jarang, Jenny, istri Marx kerap dikejar-kejar tukang daging karena meninggalkan hutang beberapa penny yang tak kunjung terbayarkan. Marx pun kerap kesal ketika mendapati buku-bukunya hilang “diloakkan” Jenny guna membayar hutang, dan apa yang lebih menyedihkan lagi adalah salah satu anak Marx yang sempat jatuh sakit dan meninggal akibat ketidakmampuan Marx membawanya ke dokter dan membeli obat. Terhadap kondisinya tersebut, mertua Marx pernah menyindirnya secara sarkas dengan berkata, “Sebaiknya kau tak hanya sekedar berbicara mengenai uang, tapi mencarinya!”.     
                Kiranya, tak mengherankan jika serangkaian catatan kehidupan Marx di atas kian membuatnya bersikap antipati terhadap kapitalisme berikut borjuasi, dan sebagaimana dapat diprediksi kemudian, berbagai karya berikut pemikiran Marx yang lahir kemudian pun tak lepas dari sentimen tersebut. Kontradiksi tersebut setidaknya dapat kita temui apabila membandingkan eksemplar Paris Manuscripts (Marx Muda) dengan The Communist Manifesto (Marx Tua).

Sartre: Kekecewaan terhadap Dunia


                Pasca-Perang Dunia II, tercatat tiga dekade lamanya filsafat eksistensialisme merajai dunia. Filsafat tersebut didaulat sebagai puncak pemikiran Barat akan semangat kebebasan, individualisme dan anti-Tuhan. Jean Paul Satre, tokoh sentral dalam salah satu arus besar filsafat Eropa tersebut diundang berbagai universitas terkemuka dunia untuk memberikan kuliah. Tak pelak, eksistensialisme pun segera mempengaruhi kaum cerdik-cendekia, aktivis, seniman, bahkan politisi. Meskipun ia (eksistensialisme) kerap dicap sebagai filsafat kaum borjuis, faktual keberadaan kaum kumuh perkotaan yang mengklaim diri sebagai “eksistensialis” membuktikan betapa luasnya pengaruh filsafat ini—mencakup baik kaum borjuis maupun proletar.        
                Namun, pernahkah terbersit dalam pikiran kita bagaimana sesungguhnya latar belakang pemikiran filsafat yang mendaulat orang lain sebagai “neraka” berikut sebab “kejatuhan” diri ini  dapat tercetus? Apabila pisau bedah sosioanalisa-sosiologi pengetahuan kita gunakan, maka ditemui bahwa lahirnya pemikiran-pemikiran antisosial dalam eksistensialime tak lepas dari pengalaman hidup pribadi pencetusnya. Dalam Les Mots ‘Kata-kata’, Sartre mengungkapkan pengalaman getir masa kecilnya di mana penyakit strabismus (mata juling) yang dideritanya menyebabkannya terkucil dari pergaulan dengan teman-temannya, “Mereka pergi menyisih tanpa memperhatikanku…” pungkas Sartre dalam suatu pengalaman di sebuah taman bermain. Di sisi lain, pernikahan ibu Sartre dengan ayah tirinya dirasakannya sebagai sebentuk “pengkhianatan” yang segera ia lampiaskan dengan menafikkan keberadaan Tuhan—Sartre Kecil memohon pada Tuhan untuk menghidupkan kembali ayahnya yang telah meninggal, dan tak kunjung menuai permohonanya. Dalam filsafatnya di kemudian hari, ia menegaskan bahwa “ada-tidaknya Tuhan ‘tak’ berpengaruh pada kehidupan manusia”.  

Foucault: Justifikasi yang Tak Dapat Diterima


                Michel Foucault tecatat sebagai salah satu tokoh yang berdiri dibalik pemahaman postmodernisme—meskipun ia kerap menolak anggapan tersebut. Pada ranah berlainan, meskipun karakter pemikirannya mencirikan ide-ide poststrukturalisme, namun sebagian pihak tetap menganggapnya sebagai seorang strukturalis tulen. Dalam mahakarya Kegilaan dan Peradaban, Foucault mencetuskan pemahaman penting mengenai relasi “kuasa” dengan pengetahuan di mana konklusi yang didapatnya kemudian ialah, “pengetahuan adalah kekuasaan”. Secara singkat, diktum tersebut menyiratkan bahwa siapa yang berkuasa memiliki kuasa penuh guna menjustifikasi, melabelkan atau mencap pihak lain sebagaimana yang dikehendakinya. Hal tersebut berimplikasi pada pengklasifikasian antara siapa yang baik dan buruk, benar dan salah, serta normal dan tak normal.
                Lebih jauh, dalam eksemplar terkait Foucault menegaskan bahwa ketiga hal di atas (baik-buruk, benar-salah, normal-abnormal) tidaklah dapat didefinisikan. Ia mengambil ilustrasi mengenai seseorang yang dipasung saat ini dapatlah dikatakan “gila”, namun faktual dahulu Yesus dipasung justru disembah-sembah. Ia mengambil pula semisal keberadaan Marquis de Sade dan Mirebau yang dicap sebagai orang gila cabul—maniak seks—yang di sisi lain merupakan para pahlawan Revolusi Perancis—di mata bangsawan, mereka adalah orang gila, namun di mata rakyat mereka adalah pahlawan. Beberapa semisal tersebut kiranya menunjukkan bahwa sesungguhnya normal dan abnormal berikut “gila” dan “tak gila” tidaklah dapat didefinisikan.
                Lagi-lagi, apabila kita menggunakan sosioanalisa dalam sosiologi pengetahuan guna menelisik latar belakang pemikiran Foucault di atas, faktual kesemua hal tersebut tak lepas dari pengalaman hidup Foucault selaku pencetusnya. Pada masa menempuh kuliah di Ecole Normale Supreriure, Foucault tertarik dengan salah seorang teman sesama jenisnya. Namun, ia tak kuasa mengungkap perasaannya, Foucault menjadi begitu tertekan akan hal itu. Kemudian, sang ayah memintanya mendatangi seorang psikiater, Foucault pun melakukannya. Pada sesi akhir konsultasi, sang psikiater mendakwanya sebagai “tabu” dan orang “tak normal”, Foucault pun menolak mentah-mentah dakwaan psikiater tersebut.[3] Ia mengatakan bahwa homoseksual adalah perihal yang lazim dalam kebudayaan Yunani dan Romawi Kuno, dan sebagai seseorang yang “kebetulan” lahir di dunia ini, ia berhak memilih nilai, norma berikut jalan hidup yang dikehendakinya. Dapatlah ditilik kemudian bahwa pengalaman Foucault akan justifikasi seorang psikiater yang diperolehnya memiliki andil dalam tercetusnya pemikiran Foucault mengenai relasi antara pengetahuan dengan kekuasaan serta kemusykilan pendefinisian normal dan tak normal.

~ Mereka yang menderita, kita turut diminta menanggung akibatnya—katarsis! ~

Tabel Sosioanalisa Tokoh dan Pemikirannya

Tokoh
Pemikiran
Sosioanalisa
Thales (filsuf klasik Yunani)
Dunia diciptakan oleh air
Hidup di pinggir danau (laut?)
Heraclitus (filsuf klasik Yunani)
Dunia diciptakan oleh api
Hidup di dekat gunung vulkanik
Karl Marx
Legitimasi atas revolusi berdarah (konfrontasi fisik)
Semakin tua hidupnya semakin miskin (kian membenci kapitalisme)
Max Weber
Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme
Ibunya seorang penganut protestan yang taat
Victor Frankl
Logo terapi
Keluarganya dibantai Nazi, nyaris hendak bunuh diri
Talcot Parsons
Bagan struktural fungsionalisme
Teori “canggih” yang sulit dibaca (untuk mengangkat pamornya yang redup akibat kedatangan Pitirim Sorokin di Harvard)
C. Wright Mills
Teori konflik
Selalu berkonflik dengan siapa pun yang ditemuinya (terkucil, tak memiliki teman)
Soren Kierkegaard
Dosa asali dan keterasingan manusia
Ayahnya seseorang yang menghabiskan hidup dengan perasaan bersalah terhadap Tuhan
Jean Paul Sartre
Orang lain adalah neraka, orang lain adalah sebab kejatuhan diri
Tak memiliki teman semasa kecil, kekurangan fisiknya kerap menjadi bahan olok-olok
Michel Foucault
Pengetahuan adalah kekuasaan
Seorang gay yang menolak dicap “tak normal”


Referensi:
§  Fillingham, Lydia Alix. 2001. Foucault Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
§  Fromm, Erich. 2001. Konsep Manusia Menurut Marx. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
§  Hadiwijono, Harun. 2001. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius.
§  Mannheim, Karl. 1991. Ideologi dan Utopia. Jakarta: Kanisius.
§  Marshall, Gordon. 1998. A Dictionary of Sociology. New York: Oxford University Press.
§  Palmer, Donald D.  2003. Sartre Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
§  Partanto, Pius A. & Al Barry, M. Dahlan. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola.
§  Ritzer, George-Goodman, Douglas J. 2006. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
§  Sartre, Jean Paul. 2000. Kata-Kata. Jakarta: Gramedia.




[1] Baik Roger Bacon maupun Francis Bacon menekankan keharusan ilmu pengetahuan bagi kebaikan seluruh umat manusia.
[2] Pengimpasan kekalutan/ketegangan pada orang lain.
[3] Psikiater adalah seseorang yang dianggap menguasai perihal seluk-beluk kejiwaan, ia memiliki kuasa guna mengklasifikasikan pasiennya sebagai “A” atau “B” dalam tabel psikologi.

2 komentar: