ROH UNIVERSAL KEBANGKITAN PEMUDA INDONESIA
MERETAS JALAN DI ANTARA APOLLONIAN DAN DIONSYIAN
By Wahyu Budi Nugroho
Progresif, revolusioner dan pantang menyerah, itulah beberapa kata yang dilayangkan pandangan kita ketika berbicara mengenai pemuda. Tak hanya itu saja, kita memang telah melihat bagaimana peran pemuda sebagai penentu jalannya sejarah dunia, bagaimana Machiavelli, Bruno dan Bacon dijuluki sebagai “pendobrak di ambang modernitas”, Descartes dengan cogito ergo sum-nya disebut-sebut sebagai “Bapak Filasafat Modern”,[1] atau tak jauh dari era ini kita melihat bagaimana Gerakan Turki Muda asuhan Mustapha Kemal Pasha mengadakan pembaharuan-pembaharuan di Turki, begitu juga dengan Lenin, Castro, Nasser, Shariati berikut tokoh-tokoh muda lain yang menginspirasi pembaharuan masyarakatnya.[2] Di Indonesia, setidaknya peran pemuda tampak menonjol pada beberapa peristiwa antara lain dalam berdirinya Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, kemerdekaan RI, peristiwa Malari dan terutama-dalam waktu dekat ini-Gerakan Reformasi 1998 sebagai upaya menumbangkan rezim otoriter Orde Baru. Harus diakui memang, tidak setiap gerakan pemuda mencapai keberhasilannya, ambilah misal Malari dan Gerakan Kiri-Baru[3] yang harus menelan pil pahit dalam usahanya mendobrak tradisi-tradisi hipokrit, namun tetap saja dalam ranah yang lebih universal eksistensi mereka telah diakui dan tak diragukan lagi.
Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa problem “ontologis” akan ditemui ketika upaya mendefinisikan apa dan siapa pemuda kita lakukan, dalam upaya ini, seperti apa yang dikatakan Taufik Abdullah, terminologi pemuda dapat diartikan sebagai konsep dengan segenap nilai-nilai atau penekanannya pada pembagian umur, pengertiannya sebagai nilai menghantarkan kita pada bentuk-bentuk interpretasi seperti apa yang telah dilakukan di atas, sedangkan dari sudut pembagian umur, pemuda kerap dikategorikan sebagai mereka yang berumur antara 15 hingga 25 tahun.[4] Perlu dicatat, pengklasifikasian pemuda ke dalam golongan umur faktual belumlah dapat disebut sebagai pencapaiannya yang final, terdapat pula pakar psikologi lain yang mengemukakan pemuda adalah mereka yang berumur di antara 13 hingga 40 tahun. Agaknya upaya kita dalam mendefinisikan apa dan siapa pemuda bakal kian rumit ketika ditemui seorang lanjut usia dengan semangatnya yang membara layaknya pemuda.[5] Diakui atau tidak, tampaklah jelas bagi kita bila upaya pendefinisian pemuda pada akhirnya terbentur pada dualitas “nilai” dan usia, kiranya cukuplah bijak bagi kita menyadari bahwa pemuda merupakan sosok yang dinamis, yang dengan demikian upaya-upaya guna mendefinisikannya justru berdampak pada “kemandegan” pemuda itu sendiri.[6] Namun demikian, pandangan kita terhadap pemuda tidak harus sesempit ini, guna menghindari samarnya pengkajian lebih jauh pada aspek-aspek kepemudaan kiranya pandangan Taufik Abdullah dan beberapa pakar psikologi lain seperti apa yang telah dikemukakan sebelumnya patut dijadikan acuan.
Meninjau Kembali Keindonesiaan
Berbagai “nilai” yang melekat pada pemuda tak pelak menyimpan sejuta potensi bagi bentuk dan arah transformasi tertentu masyarakat pada taraf lokal, nasional maupun internasional. Dalam hal ini terutama, kita berbicara pada ranah nasional, agaknya peninjauan kembali atas nilai-nilai keindonesiaan syarat dilakukan, hal ini bukannya tanpa alasan sama sekali melainkan guna menghindari apa yang disebut sebagai “alienasi nilai guna”[7] pada potensi-potensi besar yang dimiliki pemuda, menilik sekali lagi, apakah perjuangan, kerja keras dan pengorbanan yang dilakukannya tidak sia-sia, apakah memang ada suatu entitas kebangsaan yang dinamakan “Indonesia”, apakah benar “nasionalisme” merupakan suatu kodrat sui generic yang dengan demikian harus diterima begitu saja, agaknya deretan pertanyaan tersebut mutlak dijawab sebagai penentu arah kemudian berbagai potensi dan energi strategis pemuda.
Konsep kebangsaan ataupun nasionalisme yang secara umum kita terima adalah apa yang sejak awal diadopsi “Pemimpin Besar Revolusi” Soekarno yakni nasionalisme dalam perspektif Otto Bauer dan Ernest Renan terutama. Dalam pengertiannya bangsa diterjemahkan melalui proses terbentuknya yakni adanya kesamaan riwayat atau sejarah dan terdapatnya keinginan untuk bersatu, jadi bangsa dalam hal ini tidak diidentikkan dengan ras, tradisi, budaya, bahasa serta batasan geografis.[8] Penekanan Renan pada bangsa sebagai produk ide tidak lantas diartikan secara “pasrah” layaknya Hegel bahwa “ide yang berkembang dalam waktu adalah sejarah”,[9] atau jauh sebelum itu seperti apa yang telah diungkapkan Plato dan Aristoteles mengenai terbentuknya masyarakat secara kodrati yang berseberangan dengan konsepsi kaum sofis.[10]
Namun demikian pertanyaan yang cukup mengusik batin menghampiri kita kemudian, lantas apa yang dapat menjamin suatu sejarah atau periwayatan benar-benar bebas dari manipulasi (baca: shahih), payahnya Renan menanggapi hal tersebut dengan apatis, bahwa entitas kebangsaan terbentuk baik dengan atau tanpa penyelewangan sejarah sekalipun, sehingga sekalipun suatu keyakinan tersebut palsu, bangsa tetaplah terbentuk.[11] Di sisi lain, argumen Renan berikut para sejarawan yang mengamininya justru mengaburkan perbedaan berbagai ras serta bangsa yang ada, lantas di mana perbedaan antara bangsa Melayu dengan Aborigin, atau bangsa Negro dengan Anglo-Saxon.[12]
Tak hanya Renan atau Bauer saja, tetapi juga Ben Anderson-pakar kebangsaan kontemporer-yang kian mengaburkan pencarian jati diri kita sebagai sebuah bangsa. Ben mengingatkan kita kembali akan perasaan sebagai satu bangsa dan satu tanah air, hanya saja dengan gagasan yang lebih “kontemporer” ketimbang Renan atau Bauer. Beberapa ide yang ditawarkannya antara lain entitas bangsa sebagai imagined community, hal ini baginya, terjadi karena bentuk-bentuk kapitalisme cetak yang menerbitkan berbagai/banyak buku, majalah, koran atau jurnal dengan satu bahasa tertentu yang dengan demikian masing-masing pembaca mendapati perasaan sebagai bangsa yang satu dan bertanah air tunggal dikarenakan kesamaan bahasa tersebut. Perasaan ini tertuang dalam buah kesadaran bahwa seseorang tidak mungkin mengenal keseluruhan anggota keluarga dari bangsa sehingga pada akhirnya bangsa adalah sesuatu yang dibayangkan (imagined).[13]
Dengan demikian, kita patut mempertanyakan kembali, apakah yang dimaksud dengan “bangsa Indonesia”, bagaimana bentuk dan karakter bangsa Indonesia, faktual kita menemui perbedaan fisik maupun karakter antara orang Jawa, Batak, Toraja begitu juga Papua satu sama lain, pertanyaan yang akan muncul pun tak hanya sampai di situ, apakah satu di antara mereka dapat mewakili apa yang disebut dengan bangsa Indonesia. Pengkajian lebih mendalam akan menghantarkan kita pada fakta-fakta penyatuan bangsa melalui proses politik.[14] Bentuk-bentuk kesepakatan politik inilah yang kemudian patut menjadi perhatian kita lebih penting lagi. Kesepakatan tersebut, bagaimanapun juga, bukan menjadi masalah bila benar-benar memerdekakan manusia dari bentuk-bentuk penindasan tertentu, tetapi apa yang kita hadapi setelahnya ialah rentannya nation pada konflik-konflik atas nation lain, hal ini tak mengherankan mengingat samarnya garis damarkasi antara nasionalisme dengan chauvinisme. Nation yang lahir melalui paham nasionalisme menempatkan negara-bangsa sebagai moralitas tertinggi, artinya kepentingan negara harus didahulukan ketimbang berbagai kepentingan lainnya.[15] Dalam hal ini kita dapat melihat bagaimana manusia lepas dari penindasan yang satu kemudian terjerumus pada bentuk penindasan lain.[16]
Tinjauan kritis kita atas keindonesiaan faktual menemui bentuknya yang “picik”, negara dalam hal ini merupakan “anak” yang lahir dari rekayasa politik dan pada akhirnya justru melakukan penindasan terhadap warganya-roh yang absolut. Dalam tataran ini kita kembali melakukan evaluasi dan refleksi diri terkait relevansi berbagai potensi dan energi strategis yang dicurahkan pemuda bagi negaranya. Apakah berbagai potensi dan energi tersebut akan menemui kesia-sian yang pada konteks ini kita tempatkan sebagai “kepentingan umum” yang belum tentu sesuai dengan kepentingan pemuda. Tidaklah mudah menjawab pertanyaan ini, disadari atau tidak, kita membutuhkan suatu “mekanisme besar” guna mempertemukan tujuan-tujuan negara dengan pemuda, atau dalam hal ini dapatlah kita sebut sebagai “struktur dan agensi”.
“Ke-tahu-an” kita yang tak pernah total, seperti apa yang diungkapkan Lono Lastoro memang memungkinkan kita “memaafkan” kepalsuan-kepalsuan nasionalisme yang nota bene pada periode lampau “berjasa” menghantarkan kita pada kemerdekaan politik.[17] Hal ini begitu urgen sebagai penghindar dari layaknya prilaku filsuf-filsuf alam yang sekedar melakukan tafsir atas dunia tanpa usaha guna mengubahnya, seperti halnya kritik Marx atas mereka dalam Theses On Feurebach.[18] Namun demikian, apakah benar kita hendak membangun epistimologi kebangsaan berdasar “ketahuan yang tak total” atau dengan kata lain dapat pula dikatakan sebagai “ketidaktahuan” layaknya Descartes dengan keraguannya,[19] hal ini agaknya terkesan “naif” didengar, alasan-alasan yang sama (ketidaktahuan) sangat potensial menjerumuskan manusia pada berbagai bentuk fatalisme lanjutan pada tahapan yang lebih akut. Di sisi lain, seperti apa yang dikatakan Bourdieu hal ini justru menghantarkan kita pada “tak terbebaskan dari kekuatan yang menentukannya”.[20] Namun demikian apabila kita meninjau, menimbang dan melakukan evaluasi diri sekali lagi dengan melihat berbagai realitas yang ada, pencapaian tertinggi yang dapat kita sepakati bersama guna menjembatani struktur dan agensi yang dalam pengertian ini antara kepentingan negara dengan pemuda memanglah “ketahuan” kita sendiri yang tak pernah total terhadap nasionalisme.[21]
Pemuda dan Secercah Harapan bagi Indonesia
Apabila sebelumnya kita telah menyepakati “ketahuan kita yang tak pernah total” atas nasionalisme sebagai habitus[22] yang mengatasi kesenjangan antara struktur negara dengan agensi pemuda maka dari sini timbul secercah harapan dan perhatian bagi bangsa dan negara sebagai konsekuensi kesadaran “ketidaktahuan” tersebut. Tetapi kesadaran dan perhatian pada bangsa dan negara di sini janganlah kita artikan sebagai sesuatu yang picik yakni sesuatu yang berkedok partikular semata. Disadari atau tidak, tugas berat guna merumuskan bentuk-bentuk kebangkitan pemuda Indonesia menanti kita kemudian.
Saat ini kita telah melihat entitas bangsa, kebangsaan atau keindonesiaan dalam kaca mata penuh prasangka (suspicious), bentuk-bentuk ketidaktahuan, keraguan, ketiadaan atau nihilisme memayungi pemaknaan kita atas keindonesiaan. Pencapaian kita pada tahapan ini pada hakekatnya merupakan trigger sebagai pemudah dan penyederhana penentu arah berbagai potensi dan energi strategis pemuda. Dalam perumusan bentuk kebangkitan ini kita tidak akan serta-merta mengalihkan pandangan pada sesuatu yang berwujud “Indonesia-Sentris”, kita tidak perlu mengatakan dengan lantang “Indonesia Uber Alles”, atau kembali pada klenik Jawa sekitar bangkitnya “Ratu Adil”, arah potensi dan energi strategis pemuda yang kita sepakati malahan lebih luas dari sekedar apa yang dinamakan Indonesia itu sendiri. Kita tidak menghendaki berbagai potensi dan energi pemuda yang ada terbuang sia-sia dalam kepicikan isme-isme tertentu melainkan across the universe-suatu bentuk pengabdian lintas umat manusia dan semesta.
Dalam hal ini perlu ditegaskan kembali kiranya, bukan romantisme ala Rosseau yang menjadi proyek kebangkitan kita, namun ia lebih merupakan suatu bentuk kemampuan menalar kembali, berpikir ulang, melakukan refleksi, pemberdayaan pikiran kritis, bahwa segala sesuatu di dunia tidaklah sui generic, tidaklah datang atau muncul secara “asidental”, melainkan melalui sebuah proses dan tahapannya tersendiri. Proses dan tahapan itulah yang nantinya menjadi proyek “dekonstruksi” atau “rekonstruksi” kebangkitan pemuda. Proyek ini tidak boleh kita salah artikan sebagai media “penyokong” mahzab eksistensialisme yang dengan demikian bakal melahirkan figu-figur nihilis semisal Kierkgraad, Heidegger, Sartre atau Camus,[23] dan sebaliknya tidak cukup beralasan pula bila kita menganggapnya sebagai media pencetak tokoh-tokoh boombastic semisal Rafael Trujillo, Francois Duvalier atau Antonio de Salazar.[24] Namun demikian ini lebih pada upaya kita “meretas jalan di antara apollonian dan dionsyian”.
Antara Apollonian dan Dionsyian
Istilah apollonian dan dionsyian seperti kita ketahui, dipopulerkan Nietzsche dalam karyanya, The Birth of Tragedy ‘Lahirnya Tragedi’.[25] Karya tersebut merupakan bentuk pemaparan atas dua mentalitas estetika Yunani kuno di atas yang saling berlawanan. Dalam bukunya, tercuplik beberapa bait yang mengisyaratkan karakter apollonian dan dionsyian, baginya apollonian “berkuasa atas ilusi indah dunia fantasi batiniah”, “musik Apollo adalah arsitektur Dorik yang diubah menjadi bunyi-bunyian, tetapi hanya menjadi bunyi-bunyian sugestif seperti bunyi-bunyian cithara”, “mencari moral yang tinggi, bahkan kesucian, kerohanian surgawi, kemurahan hati dan belas kasih…” dan “yang terburuk dari semuanya adalah mati segera, hal terburuk kedua adalah mati sama sekali”. Sebaliknya. Dionsyian dicirikan dengan “…kehidupan bersemangat gerombolan dionysus yang bersuka ria”, “kekuatan bunyi yang sangat besar, arus melodi yang dipersatukan dan dunia harmoni yang benar-benar tak ada bandingannya” dan “tidak dilahirkan, tidak mengada, menjadi tiada. Tetapi hal kedua yang terbaik bagimu—adalah mati segera”.[26]
Dionysus dalam literatur Yunani kuno merupakan dewa anggur dan kemabukan, pada dirinya terdapat filosofi “Ketunggalan Primordial” di mana segala jenis perbedaan semisal pria dan wanita menjadi kabur, dengan demikian mentalitas ini, mentalitas dionsyian cenderung melampaui segala batas norma dan aturan, mentalitas ini bebas mengikuti kehendak dan dorongannya. Di sisi lain, Apollo-putra Jupiter-adalah dewa matahari dan ilmu kedokteran, ia merupakan lambang pencerahan dan pengendalian diri atas dionsyian, mentalitas apollonian dengan begitu condong pada keseimbangan, tertib, cinta pada suatu bentuk serta pengendalian diri.[27] Secara sederhana, kita dapat mengklasifikasikan prinsip apollonian dengan karakter berpikiran harafiah, rasional, intelek dan teratur, sedangkan prinsip dionsyian berkaitan dengan keliaran, kehewanan dan instabilitas.[28]
Terkait dengan bentuk kebangkitan pemuda Indonesia yang kita rumuskan, pembahasan terhadap mentalitas apollonian dan dionsyian bukannya ujug-ujug menghantarkan kita pada ubermensch[29] ‘manusia unggul’ atau ‘manusia atas’ sebagai bentuk kebangkitan pemuda Indonesia. Hal ini jelas telah kita sepakati sebelumnya bahwa “ketahuan yang tak total” atas segala sesuatu menjadi habitus guna mengatasi berbagai kesenjangan proyek kebangkitan ini, sementara itu berbeda dengan kita, Nietzsche menjadikan budaya sebagai instrumen pencipta ‘manusia atas’ sedangkan kita menjadikannya sebagai tujuan ‘kemanusiaan’,[30] hal ini terpresentasikan secara ekplisit melalui penolakan kita atas isme-isme tertentu yang rentan pada berbagai konflik. Begitu juga, bila ubermensch ala Nietzsche menciptakan segelintir moralitas tuan di antara mayoritas moralitas budak,[31] proyek kebangkitan kita berupaya menciptakan setiap individu yang ada terpayungi oleh moralitas tuan, dan dalam hal ini seperti apa yang tadi telah dikatakan, “ketahuan yang tak total” menjadi ambang batas etika masing-masing pihak (baca: toleransi).
Mengambil jalan tengah (meretas) di antara kedua mentalitas ini berikut “ketahuan yang tak total” sebagai epistimologi kiranya menjadi ‘kesepakatan’ kita dalam merumuskan proyek atau bentuk kebangkitan pemuda Indonesia. Sifat intelektual serta keberanian menembus batas-batas dunia yang masing-masing mewakili mentalitas apollonian maupun dionsyian agaknya menjadi alternatif tepat bagi pemuda guna menghadapi berbagai konstruksi kepentingan multidimensi pihak-pihak tertentu yang telah mengglobal di era kontemporer.
Melihat Sekilas “Lahirnya Tragedi” Pemuda
Abad 15 menandai bergesernya “produksi untuk kegunaan” menjadi “produksi untuk pertukaran (jual-beli)” dalam ranah pertumbuhan sejarah dan proses pengambilalihan,[32] bagi Marx, era ini menandai kelahiran kapitalisme. Berbagai instrumennya seperti alienasi nilai guna, nilai lebih dan sirkuit modal yang kemudian menjadi senjata “ampuh” guna mengakumulasi modal hingga tahapan tak terbatas. Namun, overproduksi sebagai salah satu gejala akut kehancuran kapitalisme tak luput dari “ramalan besar” Marx yang terbukti kemudian melalui peristiwa Great Depression tahun 1930-an.[33]
Namun demikian, keambrukkan serta-merta sistem kapitalisme Eropa, Amerika Serikat dan dunia pada umumnya faktual tak sekonyong-konyong menghantarkannya pada tempat peristirahatan terakhir. Dalam hal ini, John Maynard Keynes patut disebut-sebut sebagai orang yang berjasa “menyembuhkan” kapitalisme yang tengah sekarat tersebut.[34] Namun, hal ini bukannya sebagai pertanda akhir dari “petaka” kapitalisme, hampir 40 tahun sesudahya, krisis ekonomi yang menggila kembali merundung sistem ini. Peristiwa tersebut menghantarkan Thatcer dan Reagan meraih tampuk kekuasaan pada akhir 1970-an sekaligus menandai kemunculan neoliberalisme ke permukaan, sistem ekonomi ini dapat pula dikatakan sebagai revitalisasi liberalisme ekonomi klasik setelah keterpurukannya dalam Great Depression tahun 1930-an.[35]
Dalam neoliberalisme, manusia ditempatkan sebagai homo economicus, artinya setiap aktivitas yang dilakukannya selalu dalam kerangka finansial.[36] Sistem ini membawa taraf kehidupan manusia pada tingkat alienasi yang ekstrem. Ajaran kasih sayang, gotong-royong dan saling membantu kian menemukan kenaifannya dalam sistem ini, apa yang didewakan dan menjadi tuhan adalah ‘uang’ sebagai “nilai tukar”. Tak hanya itu saja, konstelasi yang dibangun sistem ini juga menawarkan kebebasan yang seluas-luasnya bagi pengakumulasian modal kapitalis, kebebasan tersebut, disadari atau tidak, memiliki implikasi linear dengan meningkatnya konsumsi massa-tertutama pemuda-sebagai konsekuensi pula dari perkembangan teknologi transportasi dan informasi (baca: globalisasi) yang memudahkan bentuk-bentuk penawaran barang dan jasa tersampaikan pada masyarakat luas.[37]
Denzin telah melihat bagaimana TV memiliki andil besar dalam penyebaran alkoholisme, begitu juga dengan Ryan dan Kellner yang melihat muatan penyebaran budaya subversif konsumerisme serta perlawanan politik di dalamnya.[38] Bagi Marcuse, budaya massa layaknya diungkap Denzin maupun Keller menjadi biang kerok alienasi manusia. Budaya pop tersebut disadari atau tidak, menciptakan manusia dengan pola pikir to have ketimbang to be, seseorang dianggap sukses ketika telah memiliki semisal mobil dan rumah mewah, inilah yang bagi Marcuse disebut dengan “masyarakat dalam kelumpuhan daya kritis” karena tidak melihat benar-salah dari berbagai penawaran barang melainkan sekedar menilik ukuran kenikmatan yang ditawarkan barang tersebut.[39] Apa yang menjadi fokus kritik kita lebih lanjut adalah berbagai “konstruksi” dan “simbol” bangunan media promosi dan iklan tersebut yang mana memiliki andil besar dalam penciptaan one dimensional society-yang pada hakekatnya merupakan suatu bentuk penindasan laten.
∞
[1] Lihat F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004, h. 14-42.
[2] Lihat H. Sihombing & K. Dwiyana, Buku Pintar Politikus Dunia, Pustaka Delapratasa, Jakarta, 2002 & Jules Archer, Kisah Para Diktator, Narasi, Yogyakarta, 2004.
[3] Baca M. Achmad Icksan, Mahasiswa dan Kebebasan Akdemik, Hanindita, Yogyakarta, 1985, h. 35. Gerakan Kiri-Baru adalah suatu gerakan politik yang menggabungkan berbagai jenis pandangan politik yang berbeda-beda, termasuk marxisme dan anarkisme, gerakan ini berupaya menghancurkan status quo yang dibangun kaum tua atas kaum muda di berbagai universitas yang terjadi pada tahun 1960-an, berawal dari gejolak mahasiswa Berkeley dalam bentuk demonstrasi.
[4] Taufik Abdullah (Ed.), Pemuda dan Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1974, h. 1.
[5] Akses M. Abdul Kholiq Hasan, Esensi dan Problematika Pemuda, http://elshohwah.tripod.com/makalah/abhats%201.htm
[6] Apabila upaya pendefinisian ‘pemuda’ mengalami kebuntuan dalam aspek nilai dan usia maka di satu sisi kita melihat terminologi ‘remaja’ yang sering disejajarkan/disetarakan dengan terminologi ‘pemuda’. Dalam hal ini ‘remaja’ lebih condong diklasifikasikan pada golongan usia yakni bagi mereka yang berusia antara 12 hingga 22 tahun. Selengkapnya baca Panut Panuju & Ida Umami, Psikologi Remaja, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1999, h. 7.
[7] Secara populer kita mengenal konsep alienasi nilai guna sebagai salah satu bentuk teori ekonomi yang ditelurkan Marx dalam Capital, yakni sebagai penanda bergesernya produksi kegunaan menjadi produksi untuk pertukaran (jual-beli) pada abad 15. Dalam hal ini, saya berupaya mengadaptasikannya pada hal yang lebih abstrak yakni terkait dengan ‘potensi dan energi strategis’. Sebagai pertimbangan pembanding baca David Smith-Phil Evans, Das Kapital Untuk Pemula, Resist Book, Yogyakarta, 2004, h. 37-46.
[8] Lihat Ir. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Djilid I, Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1965, h. 3. Sebagai pelengkap baca Hans Kohn, Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya, PT Pembangunan, Jakarta, 1966. Penyatuan antarbangsa tersebut pada akhirnya membentuk nation-state ‘negara-bangsa’.
[9] Baca Hegel, Nalar Dalam Sejarah, Teraju, Jakarta, 2005, h. xix-xlvi. Menurut Hegel, ide yang ada pada diri manusia tidaklah otonom, di satu sisi ia adalah pengejawantahan takdir tuhan, sehingga jalannya sejarah telah ditentukan tuhan sedang tokoh-tokoh sejarah hanyalah aktor yang menjalankan, tidak ada kuasa bagi suatu kelompok atau perseorangan bertindak sebagai aktor tanpa pilihan adikodrati.
[10] Lihat Richard Harker (et al.), (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, Jalasutra, Yogyakarta, h. xv.
[11] Lihat Sardo, Meruntuhkan Paham Sesat Kebangsaan, Resist Book, Yogyakarta, 2005, h. 8.
[12] Hans Kohn, op. cit., h. 11-12. Bangsa pada dasarnya memiliki berbagai faktor obyektif yang membedakannya dengan bangsa lain semisal persamaan keturunan, bahasa, daerah dan adat-istiadat.
[13] Sardo, op. cit., h. 10-16.
[14] Hans Kohn, op. cit., h. 26.
[15] Hegel, op. cit., h. 90-91, F. Budi Hardiman, op. cit., h. 192. Roh yang absolut (yang ada) membangun objektivitas atau kesadaran atas dirinya sendiri, dalam hal ini ia adalah negara-tingkatan tertinggi di atas keluarga dan masyarakat sipil. Penekanan kita terhadap masalah ini bukan saja pada negara sebagai pengejawantahan ide Illahi tetapi juga negara sebagai pengejawantahan ide (kesadaran) manusia.
[16] Melalui “kesepakatan politik” manusia bebas dari penindasan “rajanya” (baca: pemimpin), namun kemudian kembali tertindas pada berbagai kebijakan yang ditelurkan nation-state (semisal perang)-yang notabene sebagai “kehendak umum”. Wrong or right my country. Sebagai pelengkap baca Sidi Gazalba, Masyarakat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, h. 68.
[17] Berkait dengan “ketahuan” manusia yang tidak pernah total, akses Lono Lastoro Simatupang, Menulis Dalam Tradisi Cultural Studies, …
[18] Lihat Linda Smith & William Raeper, Ide-Ide, Kanisius, Yogyakarta, 2000, h. 116.
[19] F. Budi Hardiman, op. cit., h. 38.
[20] Baca George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2006, h. A-7 hingga A-9. “Kekuatan yang menentukan” yang dimaksudkan di sini adalah “ketidaktahuan” itu sendiri.
[21] Penekanan kita berkait “ketahuan” yang tak pernah total tersebut dalam arti masing-masing pihak memiliki pandangannya yang beraneka ragam atas nasionalisme. Bisa jadi seorang agamis dan marxis memiliki sikap berlawanan atas nasionalis, namun tidak demikian halnya dengan seorang fasis atau nasionalis itu sendiri.
[22] Richard Harker (et al.), op. cit., h. 15. Habitus dapat diartikan sebagai konstruksi pengantara.
[23] Linda Smith & William Raeper, op. cit., h. 76 & Lihat Albert Camus, Mite Sisifus, Gramedia, Jakarta, 1999.
[24] Jules Archer, op. cit., h. 93-102, 121-129, 130-140.
[25] Lihat Nietzsche, Lahirnya Tragedi, Bentang, Yogyakarta, 2002.
[26] Ibid., h. 24-37.
[27] F. Budi Hardiman, op. cit., h. 263-264.
[28] Lihat Dave Robinson, Nietzsche dan Posmodernisme, Jendela, Yogyakarta, 2002, h. 65.
[29] Ibid., h. 30-32 & F. Budi Hardiman, op. cit., h. 274-277.
[30] F. Budi Hardiman, op. cit., h. 275.
[31] Ibid., h. 276 & Dave Robinson, op. cit., h. 31.
[32] Lihat Marx, Kapital (Buku I), Hasta Mitra, Jakarta, 2004, h. 800-821 & Anthony Brewer, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Teplok, Jakarta, 1999, h. 121-123 & David Smith-Phil Evans, op. cit., h. 34, 89-112.
[33] Analisis lebih lanjut pada Great Depression dapat dilihat dalam Soetatwo Hadiwigeno-Faried Wijaya, Lembaga-Lembaga Keuangan dan Bank, Liberty, Yogyakarta, 1984, h. 172.
[34] Lihat Paul Ormerod, Matinya Ilmu Ekonomi Jilid 1: Dari Krisis ke Krisis, Kepustakaan Gramedia Populer, 1998, h. 69-71.
[35] Ibid., h. 130-171.
[36] Baca Ramdhan Adi, Globalisasi Skenario Mutakhir Kapitalisme, Al-Azhar, Bogor, 2005, h. 33. Sebagai contoh, seorang guru yang mengajar muridnya dapat dikatakan sedang mengakumulasi modal, begitu juga dengan seorang pemuka agama yang berceramah di depan umatnya dapat pula dikatakan sedang mengakumulasi modal, dll.
[37] Baca Khudzaifah Dimyati, Problema Globalisasi, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2001, h. viii. Globalisasi, seperti apa yang dikatakan Wallerstein, suatu proses pembentukan sistem kapitalis dunia.
[38] Baca Ben Agger, Teori Sosial Kritis, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2006. h. 351.
[39] Lihat Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2006, h. 194.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar