Jumat, 29 April 2011

MAX WEBER: BIOGRAFI SINGKAT, KARYA UTAMA & PENGANTAR PEMIKIRAN

MAX WEBER: BIOGRAFI SINGKAT, KARYA UTAMA & PENGANTAR PEMIKIRAN
Oleh: Koko Wijayanto
Universitas Gadjah Mada
Editor: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos


Ketika saya belajar di sebuah Universitas di Jerman ada mata kuliah Karl Marx I dan II, Max Weber I dan II, dan lain-lain . . . Oleh karena itu, untuk mempelajari pikiran salah satu tokoh besar dalam perkembangan sosiologi, seperti Max Weber, dibutuhkan waktu yang longgar dan nafas yang panjang bagi para peminatnya.”[1]
- Prof. Dr. Heru Nugroho -

Biografi Singkat
Max Weber Lahir di Erfurt, Jerman pada 21 April 1864, dan meninggal di Munich Jerman pada 14 Juni 1920. Ayahnya adalah seorang birokrat yang menempati posisi setrategis dalam pemerintahan, sedang ibunya adalah seorang penganut calvinisme yang taat. Kedua pribadi orang tuanya tersebut secara tak langsungditengaraimemberi pengaruh yang besar dalam kehidupan Weber berikut karya-karya intelektualnya.

Pada usia 18 tahun, Weber meninggalkan rumah untuk sementara waktu dan melanjutkan studinya di Universitas Heidelberg. Di sana, secara sosial ia berkembang layaknya karir sang ayah dalam organisasi. Dengan cara seperti ini, ia telah mengikuti jejak ayahnya dalam bidang hukum. Setelah 3 Tahun belajar, Weber meninggalkan universitas tersebut, dan pada tahun 1884, ia kembali ke rumah orang tuanya untuk melanjutkan studi di Universitas Berlin.

            Weber mendapatkan gelar doktor dari Universitas Berlin, menjadi ahli hukum dan salah satu dosen di universitas tersebut. Selain itu, ia juga mendalami bidang ekonomi, sejarah dan sosiologi. Pada tahun 1896, ketekunannya dalam bekerja menghantarkan dirinya pada posisi profesor ekonomi Universitas Heidelberg. Mengikuti jejak ibunya, Weber menjadi seorang yang asketis dan rajin (baca: pekerja keras).


Weber juga menjadi salah satu pendiri German Sociological Society (1910). Rumahnya menjadi salah satu tempat diskusi bagi para intelektual seperti George Simmel, Robert Michels dan George Lucas. Selain itu, Weber juga aktif secara politik dan menulis banyak esai tentang sejumlah isu pada masanya. Adapun beberapa tema yang menjadi kajian utama Weber dalam karya-karyanya antara lain; tindakan sosial, konsep mengenai wewenang (otoritas), birokrasi, protestanisme (calvinisme) serta kapitalisme.

Karya-karya Utama:
Methodological Essays (1902)
The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1902-4)
Economi and Society (1910-14)
Sociology of Religion (1916)

Pengantar Pemikiran
Mengenal Max Weber bagi mereka yang menyelami ranah keilmuan sosial-humaniora merupakan suatu keharusan. Sebagaimana kita ketahui, fungsionalisme Weber telah memberikan pandangan yang begitu berbeda terhadap nomena dan fenomena sosial. Kehidupan sosial masyarakat modern sebagaimana dipaparkan Weber memiliki karakteristik struktur” di dalamnya. Baginya, dunia sebagaimana adanya kita saksikan melalui karakteristik struktur sosial: perubahan terjadi karena dinamika dari sistem dan teori-teori mengenai sistem ini menjelaskan bagaimana sistem ini bekerja, dan bagaimana perubahan itu terjadi.[2] Bagi penganut fungsionalisme, keadaan mental manusia sangatlah menentukan lingkungan di sekitarnya. Dengan kata lain, dunia sebagaimana yang kita saksikan sekarang adalah perwujudan dari social action tindakan sosial. Semua hal yang dilakukan oleh manusia didasari pada keinginan yang dikehendakinya.

Terkait pemahaman Weber akan tindakan sosial, ia lebih cenderung menjadikan individu sebagai fokus kajiannya. Weber sempat berkata, “Saya menjadi sosiolog yang akan mengakhiri konsep-konsep kolektivistik. Dengan kata lain, sosiologi pun hanya dapat dipraktekkan dengan memulai dari satu atau beberapa tindakan dari sedikit atau banyak individu, ini berarti dengan menggunakan metode ‘Individualis’ secara ketat.” (Roth, 1976:306).

Sedikit mengutip tentang objektivasi individu dan masyarakat melalui dialektika Peter L. Berger sebagai berikut,[3]

Sebelum individu ada, masyarakat telah ada,
Ketika Individu ada, masyarakat ada,
Apabila individu tiada, masyarakat tidak serta-merta tiada,
Jadi, antara individu dengan masyarakat dapat dipisahkan,
dan begitu pula sebaliknya.

Melalui sekilas cuplikan dialektika Peter L. Berger di atas, tampak jelas bahwa hubungan antara seseorang (individu) dapat dipisahkan dengan masyarakat (sosial), begitu pula fokus kajian Weber yang  berupaya menyelami suatu tindakan individu melalui social action tindakan sosial.

            Weber mengakui bahwa signifikansi konsep kolektivis, sekedar pola-pola atau regularitas tindakan individu: “Bagi penafsiran subjektif atas tindakan dalam karya sosiologi, kolektivitas-kolektivitas ini harus diperlakukan semata-mata sebagai resultan dan mode organisasi dari tindakan individu tertentu, karena semua itu dapat diperlakukan sebagai agen dalam tindakan yang dapat dipahami secara subjektif.” (1921/1968:13). Lars Udehn (1981) menjelaskan masalah penafsiran karya Weber dengan memisahkan antara metodologi Weber dengan perhatian dan pengakuan subtantifnya tentang adanya konflik atau ketegangan antara keduanya. Menurut Udehn, Weber menggunakan “metodologi individualis dan subjektif” (1981:131).

            Dengan mengetahui latar belakang Weber dalam mengkaji masyarakat, kini kita akan memahami definisi sosiologi yang dikemukakannya: “Sosiologi . . . adalah ilmu yang memusatkan perhatiannya pada pemahaman interpretatif atas tindakan sosial dan pada penjelasan kausal atas proses dan konsekuensi tindakan tersebut. (1921/1968:4). Dapat disimpulkan bahwa, dalam definisi ini Weber menganggap,[4]

            Pertama, Sosiologi haruslah berupa sebuah ilmu.
Kedua, Sosiologi harus memusatkan perhatian pada kausalitas (hubungan sebab akibat), dan
Ketiga, Sosiologi harus menggunakan pemahaman interpretif (vertehen).

Setelah mengetahui peta dari objek kajian Weber, kini kita beralih pada apa yang dimaksudkan Weber mengenai tindakan sosial (social action).

 Tindakan Sosial (Social Action) dan Rasionalitas
            Dalam pandangan Weber mengenai individu, sesungguhnya Ia tak menempatkan diri dalam posisi yang sedemikian ekstrem, melainkan cenderung menempatkannya dalam kerangka “tindakan atau sekedar pada pola interaksi individu, oleh karena analisis sosial pada akhirnya selalu berhubungan dengan tindakan individu. Satu hal penting dalam pemahaman Weber adalah arti subjektif, yakni berhubungan dengan kategori interaksi manusia, guna membedakan dengan pengertian struktur sosial. Upaya verstehen (pemahaman subjektif) adalah sebuah metode atau cara guna memperoleh pemahaman yang sah mengenai arti subjektif tindakan sosial.


Salah satu sumbangan penting dalam karya Weber adalah penjelasan bahwa kenyataan sosial lahir dengan tak terlepas dari pemahamannya mengenai motivasi individu dan tindakan sosial. Sebentuk metode yang dinamakannya vertehen berupaya mendapatkan pemahaman yang valid mengenai arti subyektif tindakan sosial. Dalam metode ini, yang dibutuhkan adalah empati atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang yang melakukan tindakan (aktor/subyek).[5] Bagi Weber, dunia sebagaimana kita saksikan terwujud karena tindakan sosial. Manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukan sesuatu tersebut guna mencapai apa yang dikehendakinya, barulah kemudian mereka memilih tindakan.[6] Secara tak sadar, masyarakat adalah hasil akhir dari interaksi manusia. Interaksi tersebut berasal dari tataran interaksi individu (micro).

Hasil dari kajian Weber mengenai tindakan sosial dapat dikatakan berupa data empiris. Tindakan Sosial menurut Weber terbagi menjadi dua. Pertama, reactive behavior yakni reaksi perilaku spontan yang memiliki subjective meaning atau dengan kata lain, tindakan yang dilakukan sekedar spontanitas belaka berikut tak berkelanjutan. Tindakan semacam ini adalah tindakan yang tak bertujuan atau tak disadari sebelumnya oleh seseorang. Tindakan yang dilakukan seseorang hanya begitu saja (involuntary), semisal rasa sakit, batuk, bersin, mengejapkan mata, menguap dan lain sebagainya.  Kita tidak memilih untuk merasa takut, senang, sakit ataupun memilih reaksi tersebut. Hal ini tentu saja tidak bisa dinalar dengan latar belakang orang melakukan suatu tindakan. Konsep tindakan yang dimaksudkan adalah perilaku otomatis seseorang yang tidak melibatkan proses pemikiran dalam melakukan tindakan. Akan tetapi Weber tidak memfokuskan perhatiannya pada reactive behavior.

Poin selanjutnya yang menjadi fokus kajian Weber adalah social action, muncul dari stimulus atau respon atas suatu perilaku manusia yang menjalankan fungsinya sebagai anggota dalam masyarakat. Secara tak langsung, tindakan ini lebih bersifat subyektif pada tindakan yang dilakukan aktor dalam lingkungan masyarakat. Mereka reaktif dan dikondisikan, bukan produk pengambilan keputusan kreatif yang sukarela (voluntary).[7] Bagi Weber, tugas analisis sosiologi terdiri dari “penafsiran tindakan menurut makna subyektifnya” (1921/1968:8).[8] Beberapa contoh yang tampak terlihat jelas dalam masyarakat adalah tindakan ekonomis. Weber menyebutnya sebagai, Orientasi-orientasi sadar dan primer ke arah pertimbangan ekonomis . . . karena yang dipersoalkan bukanlah keharusan subjektif untuk melakukan pertimbangan ekonomis, namun keyakinan bahwa hal ini diperlukan” (1921/1968:64). Contoh sederhana tindakan ekonomis sehari-hari semisal tukang pos yang menghantarkan surat pada beberapa rumah sesuai dengan alamat yang tertera.

Melalui kedua tipe metodologi yang dikenalkan Weber, fokus kajian tersebut kemudian berkembang ke dalam empat tipe tindakan dasar yang ia sebut dengan; traditional action, affectual action, instrumental rational, dan value rational action. Perihal tersebut terkait erat dengan kajiannya mengenai dimensi rasionalitas. Menurut Weber, tindakan rasional merupakan suatu tindakan atau pertimbangan yang dilakukan secara sadar dan terpilih.[9] Beberapa tindakan rasional yang dimaksud adalah:

Pertama, traditional action tindakan tradisional, adalah tindakan yang diulang secara teratur, menjadi kebiasaan, tidak menjadi persoalan kebenaran dan keberadaannya. Tindakan semacam ini adalah tindakan warisan yang diturunkan dari generasi yang lalu atau berlaku secara turun-temurun. Tindakan tradisional tidak menghasilkan suatu masalah besar bagi pelakunya. Sebuah gambaran dari tindakan orang Jawa, “Saya melakukan ini, karena Nenek saya mengajarkan demikian”. Hal ini bisa dimisalkan dengan kebiasaan orang Jawa yang selalu mendahulukan mereka yang tua ketimbang yang mudapenghormatan. Selain itu, dalam tradisi berkomunikasi ala Jawa, seseorang yang lebih muda diharuskan menggunakan bahasa yang sopan sebagai simbol penghormatan dan penghargaan atas mereka yang lebih tua.

Kedua, affectual action tindakan afeksi’, tindakan ini didasarkan pada sentiment atau emosi yang dimiliki seseorang. Tergambar dari beberapa tindakan seperti gembira, marah atau takut. Hal ini akan mempengaruhi tindakan atau respon orang dalam melakukan suatu tindakan. Contoh dalam kehidupan sehari-hari dapat dimisalkan dengan orang yang tengah jatuh cinta akan merasa nyaman jika sang kekasih disampingnya. Tetapi, hal ini akan berubah berbeda bilamana sedang terjadi gejolak diantara mereka atau bertengkar dengan pasangannya.

Ketiga, instrumentally rational action, tindakan yang pada dasarnya dilakukan mengingat eksisnya kepentingan maupun tujuan tertentu. Dengan kata lain, tindakan yang dilakukan oleh seseorang didasarkan pada pertimbangan dan pilihan yang secara sadar dipilih untuk mencapai sebuah tujuan. “Jalan pintas dianggap pantas”, mungkin sudah cukup mencerminkan kebiasaan orang Indonesia dalam bertindak. Mereka beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan adalah tindakan efisien dan efektif  untuk mencapai tujuan. “Inilah cara terbaik untuk mencapainya, dan inilah jalur paling aman untuk mencapainya. Begitu pula dengan kebiasaan orang-orang untuk mencapai tujuan dalam bekerja maupun aktivitas lainnya.

Keempat, value rational action tindakan rasionalitas nilai’. Tindakan semacam ini terkait dengan komitmen yang dilakukan dengan penuh kesadaran berikut tak lepas dari nilai-nilai agama, hukum, juga berbagai bentuk niai lainnya. Misal, Pembelaan Marx terhadap kaum buruh yang ditindas oleh kaum pemilik modal (baca: kapitalis/borjuis). Secara tidak langsung, tindakan yang dilakukan Marx adalah demi mewujudkan nilai-nilai keadilan sosial. Contoh lain, hal yang biasa dilakukan orang muslim dalam menjalankan ibadahnya. Seorang muslim menganggap bahwa sholat adalah hal yang harus dilakukan, jika dengan sengaja meninggalkannya, maka akan memperoleh dosa.
Perhatikan tabel sebagai berikut,

Tipe - tipe Tindakan
Contoh
Traditional Action (Tindakan Tradisional)
“Saya melakukan ini, karena pendahulu saya selalu melakukannya.”
Affectual Action (Tindakan Afeksi)
“Yang saya tahu hanya melakukan hal ini.”
Instrumentally Rational Action (Tindakan Instrumental)
“Tindakan ini adalah cara paling efektif dan efisien guna mencapai tujuan.
Value Rational Action (Tindakan Rasionalitas Nilai)
“Tindakan ini adalah tindakan yang paling tepat saya lakukan.”

Dari keempat bentuk tindakan di atas, pada dasarnya Weber mengetahui bahwa faktual tindakan terdiri dari percampuran atau kombinasi antara tindakan yang dilakukan oleh actor. Berpijak melalui hal ini, Weber telah mewariskan pemahamannya mengenai tindakan sosial. Ada penekanan khusus yang ia lakukan dalam menanggapi fenomena sosial, yakni lebih mengutamakan rational dari pada suatu tindakan yang dilakukan atas dasar tradisi atau perasaan belaka.

Di era kontemporer, muncul kesadaran bahwa rasionalisasi merupakan jantung substantif sosiologi-Weber (Brubaker, 1984; R. Collins, 1980; Eisen, 1978; Kalberg, 1980, 1990; Levine, 1981a; Ritzer, 2000a, 2002; Scaff 1989, Schlucter, 1981; Sica, 1988). Seperti yang baru-baru ini dikemukakan Kalberg, …adalah minat Weber yang begitu luas terhadap kekhasan, asal-mula, asal-usul dan perkembangan rasionalisme kebudayaan Barat yang menjadi jantung sosiologinya” (1994:18). Namun, sulit memperoleh definisi yang jelas tentang rasionalisasi dari karya Weber.[10] Namun demikian, begitu rumitnya memahami maksud Weber akan rasionalitas tetap tak menciutkan nyali para intelektual kontemporer guna mengkaji dan mengembangkannya.      



[1] Schroeder, Max Weber; Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2002, Pengantar Untuk Max Weber oleh Heru Nugroho. h. VI.
[2] Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, h. 113.
[3] Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai realitas sosial, LP3ES, Jakarta, 1994, h.4.
[4] George Ritzer and Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, KREASI WACANA, Bantul, 2010, h. 136.
[5] Sunyoto Usman, Sosiologi Sejarah, Teori dan Metodologi, CIRED, Yogyakarta, 2004, h. 40-41.
[6] Pip Jones, op. cit., h. 114.
[7] Ibid, h. 25
[8] George Ritzer and Douglas J. Goodman, op. cit., h. 136.
[9] Drs. Purwanto, S.U., M.Phil, Sosiologi Untuk Pemula, Media Wacana, Yogyakarta, 2007, h. 134.
[10] Dapat saja dinyatakan bahwa tidak ada definisi tunggal tentang rasionalisasi karena berbagai bentuk rasionalitas berbeda satu sama lain dan bentuk tersebut tidak termasuk dalam definisi semacam itu. Saya ingin berterimakasih kepada Jere Cohen atas poin ini.

6 komentar:

  1. WAH...Bagus betul kolom ini Prof. saya sebagai staf pengajar sgt terbantu dlm mengikuti kolom prof ini. Smoga Prof. tetap kuat dalam berkarya. Salam

    BalasHapus
  2. Sebagai seorang enginer saya sangat terbantu dan terkesan dengan pembahasan yang lugas atas Pengantar pemikiran Max Weber.
    Terimakasih Pak Wahyu BN.

    BalasHapus
  3. Infonya bermanfaat banget bro..... mampir ke CATATAN KULIAH KU ya.... salam kenal.... :)

    BalasHapus