McDonald’s & Holocaust-NAZI
Sebentuk Kajian Modernitas & Posmodernitas ala Zygmunt Bauman
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Sekilas tentang Bauman dan Pemikirannya
Zygmunt Bauman (1925-Sekarang) adalah sosiolog asal Polandia berdarah Yahudi. Dalam Perang Dunia II, ketika Nazi berhasil menguasai Polandia, politik anti-Semit yang dibawanya memaksa Bauman mengasingkan diri ke tanah Soviet. Di sana, Bauman bekerja sebagai agen rahasia pemerintahan Stalin, ia juga tak memiliki pilihan untuk menerima keanggotaan dalam Partai Komunis Soviet. Belakangan, ia menyesali tindakan tersebut dan menganggapnya sebagai sebuah kesalahan.
Latar belakang intelektual Bauman didapatnya melalui studi sosiologi pada Akademi Ilmu Sosial Warsawa serta filsafat pada Universitas Warsawa. Tercatat, pasca menamatkan studi master hingga kini, ia telah mengajar di beberapa universitas; Warsaw University, Tel Aviv University dan The University of Leeds. Dalam ranah keilmuan sosial-humaniora, Bauman dikenal dengan kajiannya yang ajeg mengelaborasi/menegasikan antara dimensi modernitas-posmodernitas serta dimensi rasionalitas-irasionalitas. Baginya, kedua hal tersebut ibarat mata uang yang tak terpisahkan. Ia memisalkannya secara apik melalui kisah “Yahudi-Nazi” sebagai berikut.
Yahudi-Nazi: antara Dimensi Rasional & Irasional
Ketika pemerintahan Nazi menguasai Polandia, terdapat beberapa orang Yahudi yang bekerja bagi pemerintahan tersebut, mereka kerap dijuluki sebagai “anjing-anjing Nazi”. Julukan tersebut disebabkan oleh pekerjaan mereka yang bertugas memberitahu tempat persembunyian orang-orang Yahudi kepada Nazi. Dalam kacamata Bauman, apa yang mereka lakukan memenuhi bentuknya sebagai pola pikir berikut tindakan rasional maupun irasional. Dimensi rasional yang terdapat di dalamnya adalah, apa yang dilakukan para Yahudi-Nazi tersebut semata-mata ditujukan guna menyelamatkan dirinya. Dengan kata lain, hal tersebut menjadi rasional karena individu berupaya menyelamatkan dirinya. Namun demikian, pada gilirannya, tindakan tersebut dapat pula menjadi “irasional” mengingat ia mengorbankan teman-teman berikut sanak-familinya sendiri kepada Nazi—menjadi pengkhianat bangsanya. Diakui atau tidak, semisal terkait menjadi permasalahan kemanusiaan yang pelik mengingat dipertaruhkannya nyawa baik dalam kedua ragam dimensi rasional maupun irasional di atas. Dalam konteks yang berlainan, hal di atas dapat pula dimisalkan dengan baik Amerika Serikat maupun Al-Qaeda yang sama-sama menganggap perang mereka sebagai the holy-war ‘perang suci’.
Holocaust & Modernitas
Satu hal yang menjadikan pemikiran Bauman begitu unik dan membuatnya mulai dikenal publik akademik luas adalah perspektifnya yang berlainan mengenai holocaust yang dilakukan Nazi. Sebagaimana kita ketahui, holocaust berasal dari kata “holokausten” dalam bahasa Ibrani yang berarti “pengorbanan di atas bara api”. Terminus tersebut menunjuk pada genosida (pembantaian massal) yang dilakukan pemerintahan Nazi-Hitler terhadap ratusan ribu bahkan jutaan orang Yahudi di saentaro Eropa—jumlah tersebut masih simpang-siur hingga kini. Tegas dan jelasnya, ketika banyak pihak menganggap tragedi holocaust sebagai perihal yang irasional (di luar akal sehat) dan sebentuk tindakan barbar yang primitif, Bauman justru menganggapnya sebagai sesuatu yang rasional, malahan “sangat rasional”. Baginya, holocaust memenuhi segala aspek dari modernitas (kehidupan manusia modern) dewasa ini.
Menurut Bauman, penggunaan gerbong-gerbong kereta berikut racun gas Zyklon B dalam berbagai kamp konsentrasi Nazi guna mengeliminasi orang-orang Yahudi adalah tindakan yang begitu efisien dan efektif, oleh karenanya, ia memenuhi bentuknya sebagai modernitas—efisiensi dan efektifitas tingkat tinggi. Secara spesifik, Bauman berkomentar, “…karena direncanakan secara kompleks dan dilaksanakan dengan maksud tertentu, maka holocaust itu dapat dipandang sebagai paradigma modern rasionalitas birokrasi”.
Kajian Bauman mengenai dimensi rasionalitas maupun irasionalitas dalam peristiwa holocaust mampu membuka mata kaum cerdik-cendekia mengenai modernitas yang sesungguhnya. Menurutnya, holocaust bukanlah kerusakan modernitas sebagaimana dikatakan banyak pihak, melainkan produk dari modernitas itu sendiri. Hal tersebut merupakan implikasi dari optimalisasi penggunaan rasio (akal) oleh manusia. “…kehidupan modern akan siap mengalami bahaya yang jauh lebih besar dan lebih ‘dibenci’ ketimbang holocaust”, Pungkasnya.
McDonald’s, Holocaust & Modernitas/Posmodernitas
Pada ranah yang berlainan, kajian Bauman mengenai dimensi modernitas-posmodernitas dan keterkaitannya dengan fenomena konsumerisme masyarakat dewasa ini syarat untuk tak dilewatkan. Ia mengambil misal salah satu restoran cepat saji yang telah mendunia, yakni “McDonald’s” guna menunjukkan betapa modernitas berimplikasi pula pada “degradasi cara makan”. Menurut Zygmunt Bauman, McDonald’s memiliki seluruh karakteristik dari holocaust. Tegas dan jelasnya, hal tersebut akan dipaparkan lebih jauh dalam tabel berikut ini.
NAZI | McDonald’s | ||
1. | Rasionalitas Formal. Birokrasi sebagai alat. Birokrasi adalah organisasi yang dibentuk negara untuk melancarkan fungsi negara, salah satu karakternya adalah “rasionalitas dengan spesialisasi”, yakni agar tugas yang dijalankan individu sesuai dengan keahliannya. | 1. | Rasionalitas Formal. Memberikan pesanan melalui jendela pada konsumen adalah cara paling cepat mencapai tujuan kedua belah pihak. Pelayan mendapatkan uang dengan cepat, konsumen mendapatkan pesanan dengan cepat. |
2. | Efisiensi. Penggunaan gas lebih efisien untuk membunuh manusia sekaligus ketimbang peluru. Dengan kalkulasi, seberapa banyak yang bisa dibunuh, dan seberapa pendek waktu yang dibutuhkan untuk melakukannya. | 2. | Efisiensi. Seberapa banyak pesanan yang dapat keluar, dan seberapa pendek waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan pesanan tersebut. |
3. | Prediktabilitas. Kamp konsentrasi di berbagai negara didesain serupa. | 3. | Prediktabilitas. McDonald’s Amerika Serikat didesain serupa dengan McDonald’s Arab, India, dll. |
4. | Teknologi Nonmanusia. Kekuasaan, peraturan-peraturan kamp konsentrasi, berdampak pada dehumanisasi. | 4. | Teknologi Nonmanusia. Menggunakan koki yang tidak terampil, sekedar mengikuti petunjuk rinci dan metode garis perakitan yang ditetapkan dalam memasak serta menyajikan, berdampak pada dehumanisasi cara makan/makanan. |
5. | Hanya berurusan pada dampak finansial dari tindakan mereka. Penggunaan gerbong oleh NAZI dengan menganggap manusia-manusia sekedar sebagai “kuantitas”, yakni membiarkan mereka berdesak-desakan, dehidrasi dan menderita—perihal terpenting adalah mampu membawa muatan sebanyak-banyaknya dengan biaya termurah, cepat dan aman. | 5. | Hanya berurusan pada dampak finansial dari tindakan mereka. Penggunaan stereoform ‘gabus’ dalam penyajian makanan agar murah faktual mengakibatkan “kanker”. McDonald’s menuai protes konsumen vegetarian karena lebih dari sepuluh tahun berbohong tak menggunakan lemak nabati untuk menggoreng kentang iris, melainkan lemak sapi. |
6. | Pekerja yang Tak Digaji. Yahudi bekerja dalam pabrik-pabrik tanpa menerima upah. Dalam sistem, Yahudi dipaksa melepaskan pakaiannya sendiri, masuk ke kamp gas sendiri, Yahudi-Yahudi yang masih tersisa diperintahkan untuk membersihkan mayat saudaranya sendiri (membawanya ke tungku pembakaran). Tubuh mereka juga digunakan sebagai bahan membuat sabun, kain, dll. (tidak ada yang tersisa). | 6. | Pelanggan menjadi Pekerja yang Tak Digaji. Membumbui makanannya sendiri, membersihkan kotorannya sendiri (terutama bila pesanan tak dimakan di tempat). |
*****
Referensi:
§ Baudrillard, Jean P. 2009. Masyarakat Konsumtif. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
§ Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-teori Sosial. Jakarta: YOI.
§ Ritzer, George-Goodman, Douglas J. 2006. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
mantabbbb... ulasan yg bagus... lanjutkan
BalasHapushttp://jheren.wordpress.com/2011/07/07/pom-bensin-galeri-atau-galeri-pom-bensin-ya/
terima kasih bung, mari bersama kita warnai dunia dengan permainan kata-kata ;)
BalasHapus