Minggu, 08 Mei 2011

KETIKA ERICH FROMM BICARA “CINTA”

KETIKA ERICH FROMM BICARA “CINTA”

Oleh: Wahyu Budi Nugroho


Erich Fromm: “Cinta bukan memiliki, tetapi menjadi…”
Erich Fromm dikenal sebagai salah seorang pemikir Mahzab Frankfurt generasi pertama di samping Marcuse, Adorno dan Horkheimer. Buah pemikirannya yang terkenal adalah peng-klasifikasian-nya akan dua ragam modus (baca: motivasi/pemikiran) yang dimiliki setiap individu yakni, to have/having ‘memiliki’ dan to be/being ‘menjadi’. Konsep tersebut digunakan pula oleh Marcuse dalam menjelaskan fenomena one dimensional society ‘masyarakat dengan kesadaran tunggal’ di era modern. 

Sebagaimana pemikirannya di atas, menurut Fromm terdapat dua modus bagi seseorang dalam mencintai orang lain, “memiliki” ataukah “menjadi”. Cinta atas dasar modus memiliki bagi Fromm, adalah cinta yang buruk lagi menindas. Mengapa? Menurutnya, seseorang yang mencintai atas dasar “ingin memiliki” pada mulanya akan mati-matian menutupi segala keburukan dan kekurangan dalam diri. Namun, setelah sang pujaan hati dimiliki, lambat-laun, sedikit demi sedikit, tabir kegelapan dalam dirinya akan terungkap. Di sisi lain, cinta dengan modus memiliki hanya akan memunculkan tindak kesewenang-wenangan, pemaksaan dan “kediktatoran”—kau milikku, kau berada penuh dalam kuasaku. Perilaku “posesif” yang dimiliki pasangan adalah salah satu ekses dari cinta dengan modus memiliki. Bagi Fromm, cinta yang demikian ini tidaklah langgeng.

Berbeda halnya dengan cinta atas dasar modus memiliki, cinta dengan modus “menjadi” adalah cinta yang baik menurut Fromm. Cinta yang demikian adalah cinta yang “membebaskan”, penuh toleransi dan memenuhi sendi-sendi kemanusiaan. Sebagai misal, saya adalah seorang yang kaku lagi pendiam, jauh di lubuk hati sesungguhnya saya ingin menjadi pribadi yang supel dan komunikatif. Suatu hari, saya menemui sesosok wanita yang demikian—supel dan komunikatif—kemudian jatuh cinta padanya. Melalui cinta dengan modus menjadi, hal tersebut akan menghantarkan pada perasaan berikut kognitif bahwa “saya telah menjadi dia, dan sebaliknya: dia menjadi saya”. Dan, ketika suatu hari nanti gadis yang saya cintai tersebut berkata akan lebih bahagia bila bersama pria lain, maka dengan ikhlas dan rela hati pun saya akan melepas kepergiannya. Mengapa? Hal tersebut dikarenakan diri saya yang telah menjadi dia, sehingga saya pun akan turut bersuka cita apabila dia merasa lebih bahagia dengan pria lain—“saya adalah dia”. Bagi Fromm, cinta yang demikian—modus “menjadi”—adalah cinta yang langgeng dan abadi.

Bagaimana dengan modus cinta Anda ataukah pasangan Anda? J


Referensi:
  §  Fromm, Erich. 1987. Memiliki & Menjadi. Jakarta: LP3ES.
  §  Jay, Martin. 2009. Sejarah Mazhab Frankfurt. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

15 komentar:

  1. tuliasn yang menarik..hehe.lagi ngerti teori tentang iki...

    BalasHapus
  2. Ya, memang banyak tulisan para pemikir tentang cinta yg menarik hati, Derrida juga demikian. Katanya, "Orang yang jatuh cinta adalah narsis",karena seseorang yg jatuh cinta sebetulnya membutuhkan kasih sayang, cinta, perhatian bahkan "pemujaan" dari orang yang dicintainya ;)

    BalasHapus
  3. "Orang yang jatuh cinta adalah narsis",karena seseorang yg jatuh cinta sebetulnya membutuhkan kasih sayang, cinta, perhatian bahkan "pemujaan" dari orang yang dicintainya ;)"

    bener banget nieh hehe

    BalasHapus
  4. Modus 'to have' or 'to be' sejatinya tak hanya menyangkut soalan cinta..

    BalasHapus
  5. yap! betul sekali bung. sebagaimana saya singgung pula, hal itu digunakan Marcuse untuk menjelaskan kontelasi sosial-budaya manusia modern. thanks for the comment ;)

    BalasHapus
  6. Minta ijin bisa dibagi ama yang lain gak bung? Tulisan nya memberi pencerahan yang sangat luar biasa.

    BalasHapus
  7. silakan bung pancasilais, dengan senang hati ;)

    BalasHapus
  8. posting menarik mas bro. ada akun twitter, izin follow.

    BalasHapus
  9. ada akun twitter, tp saya lupa nama dan password yg saya gunakan, hehe

    BalasHapus
  10. Modus menjadi tadi memang masuk akal, hanya saja cinta menjadi tadi tetap merupakan cinta dengan pamrih. seseorang cinta karena ada sesuatu dari diri orang yang dicintai yang menguntungkan. Walaupun memang segala bentuk cinta didasari oleh cinta diri, tapi menurut saya baik cinta memiliki maupun cinta menjadi tadi membutuhkan suatu pemenuhan dari objek yang dicintai. (saya suka dia krn saya pendiam dia, supel) dan jika seseorang yang dicintai pergi bukanlah tidak lagi penuh, meskipun berbicara penuh bagi saya itu sebuah kepura-puraan. Cinta semacam itu akan jatuh pada suatu keputusasaan (mengapa? oh...perlu penjelasan lebih lanjutt). Lebih lanjut mencintai dengan berharap sesuatu dari orang lain, justru menciptakan ruang kosong dalam diri, sehingga terus menerus butuh pemenuhan. Singkatnya saya hendak mengatakan bahwa mencintai yang paling luhur adalah mencintai yang dimulai dengan kesadaran dicintai dari yang tak terbatas, sehingga tidak perlu lagi pemenuhan. Mencintai bukan untuk memenuhi, melainkan konsekuensi dari kelimpahan cinta yang telah diberikan dari yang tak terbatas. mungkin sih.... ha3

    BalasHapus
  11. wow, kalimat2 awal yang diatas psikoanalisis Lacan banget, sedang kalimat2 bawah sosiologi manusia Syariati banget, perpaduan yang aduhai. thanks buat comment-nya bung surya :)

    BalasHapus
  12. menarik banget postingannya,,,
    tapi saya belum terlalu bisa memaknai tentang teori cinta itu bukan memberi tapi menjadi,,, mohon penjelasannya sedikit aja, soalnya penasaran sama teori itu,, terima Kasih,,

    BalasHapus