AIR SEBAGAI “LIYAN”
EKSPLOITASI SUMBER DAYA AIR DALAM PERSPEKTIF
HISTORIS-FILOSOFIS:
AKAR PERMASALAHAN DAN PEMECAHANNYA
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
(World & Water [Pic: mi9.com]) |
Prolog:
Terpercik secuil harap dari tulisan yang sekedarnya
ini untuk mengajak setiap dari kita berpikir secara fundamental (mendasar)
mengenai sumber daya air yang keberadaannya demikian vital bagi ragam-warna
kehidupan di muka bumi, baik bagi manusia, hewan, pun tumbuhan.
“If the rain comes they
run and hide their heads.
They might as well be
dead.”
(The Beatles, Rain)
Pendahuluan
Air
sebagai other atau “liyan”. Itulah
pola pikir yang kiranya tengah luas-menjangkiti masyarakat kontemporer, baik tanah
air maupun berbagai belahan dunia. “Air sebagai liyan” menunjuk pada keberadaan air sebagai ihwal di luar diri manusia,
ia tak menjadi bagian dari manusia itu sendiri: other ‘liyan’—bak orang
lain di luar diri kita. Implikasi yang ditimbulkan kemudian pun jelas, seolah
air tersedia dan sekedar diperuntukkan bagi manusia, tidak untuk hewan, juga
tumbuhan. Tak hanya itu saja, manusia pun seolah bebas menggunakannya (baca:
mengeksploitasinya) guna kepentingan sendiri—karena serasa air diperuntukkan
bagi dirinya semata.
Sebagaimana
dilansir Earth Policy Institute dan Worldwatch Institute (2004) [dalam Info
Vegetarian, 2008: 9], tercatat, 46,6% air bersih dunia digunakan untuk
membesarkan peternakan. Setiap 1 kg daging sapi tak ubahnya menguras air mandi
seseorang selama satu tahun, atau dengan kata lain, 1 kg daging sapi
menghabiskan 1 juta liter air, sedang 1 kg daging ayam menghempas 3.000 liter
air. Kesemuanya, tak lain guna mengabdi pada kepentingan manusia: peternakan
yang bernilai ekonomis tinggi. Semisal lain adalah, telah mengkhawatirkan-nya
tingkat pencemaran air global. Menurut data yang dipublikasikan Pacific Institute pada perhelatan Hari
Air Sedunia, 22 Maret 2010, setiap harinya 2 juta ton limbah industri dan pertanian
mencemari seluruh air dunia. Bahkan, United
Nations (PBB) memperkirakan besaran keluaran 1.500 km³ air limbah setiap
tahunnya, enam kali lebih banyak ketimbang seluruh air yang terdapat di
sungai-sungai bumi [Pacific Institute, 2010].
Serangkaian
misal di atas kiranya menunjukkan secara eksplisit pola pikir masyarakat yang
menempatkan air sebagai liyan. Pertanyaan
ter-urgen kemudian ialah, apa sajakah upaya yang dapat ditempuh guna “mengeliminasi”
ragam pola pikir terkait?. Sebelum melangkah lebih jauh pada berbagai tawaran
solusi guna menjawab persoalan ini, kiranya ada baiknya untuk terlebih dahulu mengkaji
secara sekilas lagi seksama akar-sejarah pemikiran yang menempatkan alam—termasuk
di dalamnya air—sebagai liyan atau
perihal di luar diri manusia. Pengkajian ini bukannya tanpa alasan sama sekali,
melainkan sebagai sebentuk ikhtiar guna membangun pemahaman yang komprehensif mengenai
awal-mula penafikkan manusia terhadap alam. Dengan demikian, arah-paparan
pencarian solusi atasnya pun tak bersifat ujug-ujug,
alih-alih taken for granted ‘apa
adanya’.
Air sebagai Liyan: Lahirnya
Katasrofa[1] Mendunia
Penemuan
keberadaan diri manusia melalui diktum cogito
ergo sum ‘aku berpikir, maka aku ada’ cetusan Rene Descartes pada paruh
awal abad ke-17 menandai pengutamaan rasio atau akal-budi oleh manusia ketimbang
beragam bentuk penalaran lainnya.[2] Inilah
peristiwa agung renaissance
‘pencerahan’ dalam sejarah umat manusia [Hardiman, 2004: 37, 94]. Segera
setelahnya, pengutamaan rasio menghantarkan manusia pada perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang tak pernah terduga sebelumnya. Dimulai dengan penemuan
mesin uap James Watt pada abad 18—seabad pasca Descartes mencetuskan diktumnya—yang
sekaligus mempelopori lahirnya era Revolusi Industri, dan juga menandai kian
intens-nya hubungan antara manusia dengan sumber kehidupan: air.[3]
Faktual,
lambat-laun air tak lagi menjadi bagian dari kehidupan manusia yang syarat dijaga
keasrian serta kelestariannya—sebagaimana manusia menjaga dirinya, melainkan
sekedar menjadi “pelengkap” kehidupan manusia. Intensitas hubungan antara
manusia dengan air di era Revolusi Industri pun ber-ekses pada ketimpangan,
manusia menjadi demikian dominan di dalamnya. Segera, berbagai saluran air
berikut sumber daya air permukaan (sungai) menjadi wadah pembuangan limbah
industri rumahan maupun banyak pabrik skala besar yang tengah menjamur kala itu,
bahkan ajeg berlanjut hingga kini. Berbekal
jargon pengutamaan rasio, manusia menggenjot
potensinya dalam memanipulasi berikut menaklukkan alam, sedang beragam residu yang
ditimbulkannya, cukuplah Tuhan yang menanganinya: buah “tafsir serampangan” konsep
the invisible hand ‘tangan tak
terlihat/tangan Tuhan’-Adam Smith.
(Water Pollution [Pic: thewaterq.com]) |
Patut
disayangkan, fenomena di atas uzur
menjadi pengkajian para begawan ilmu di masanya. Barulah di paruh awal abad ke-20,
Martin Heidegger (1889-1976), seorang filsuf kenamaan Jerman, menelaah secara
seksama lagi sistematis melalui filsafatnya. Bagi Heidegger [dalam Lemay &
Pitts, 2005: 34, 71], serangkaian fenomena di atas terjadi akibat manusia,
dengan rasio yang dimilikinya, serasa menjadi satu-satunya makhluk yang ada di
dunia ini, sementara berbagai entitas di luar dirinya sekedar dianggap sebagai
pelengkap keberadaannya. Heidegger menggunakan istilah “ada” bagi eksistensi
manusia, sedang “pengada” bagi berbagai entitas di luar diri manusia: ada-pengada.
(Martin Heidegger [Pic: philosophypages.com]) |
Dikotomi
antara ada dan pengada inilah yang kemudian menurut Heidegger [dalam Lemay &
Pitts, 2005: 72, 76-77, 82] melahirkan “pola pikir teknik”, yakni sebentuk pola
pikir manusia yang menganggap berbagai entitas di luar dirinya hanyalah tersaji
bagi dirinya semata, dengan demikian ia—manusia—merasa memiliki kebebasan penuh
untuk memanfaatkan, memanipulasi, menaklukkan, bahkan lebih jauh:
mengeksploitasinya. Ilustrasi Heidegger mengenai “singa-bukan-singa” agaknya
menjadi contoh menarik akan perihal terkait. Baginya, singa-singa yang terdapat
di kebun binatang faktual bukanlah sejatinya singa—bukan singa yang sebenarnya.
Ini mengingat, singa yang sesungguhnya tidaklah berada di balik jeruji besi,
melainkan berkeliaran bebas di padang Afrika sana. Akibat intervensi ada bernama manusia, singa-singa
tersebut dipisahkan dari kehidupan sejatinya, dari keberadaannya secara utuh.
Begitu pula dengan binatang-binatang lain yang terdapat di kebun binatang:
menemui bentuknya sebagai “binatang-bukan-binatang”.
Paparan
singkat pemikiran Heidegger barusan kiranya menjelaskan bagaimana pola pikir other ‘liyan’ terbentuk. Pengada merupakan liyan bagi ada yang serasa
menjadi satu-satunya makhluk di muka bumi ini. Melaluinya pula, tampaklah jelas
landas-dasar pemikiran manusia terhadap alam, tumbuhan, juga hewan. Dengan
demikian, pencarian solusi atas pola pikir yang telah mengendap-akut tersebut
berkelindan pula dengan penyelamatan sumber daya air sebagai bagian dari alam,
berikut diposisikan sebagai pengada oleh
ada.
Men-dekonstruksi “Ada” sebagai Solusi Jitu
“Dekonstruksi”
merupakan istilah yang kerap digunakan filsuf Perancis, Jacques Derrida (1930-2004)
guna merepresentasikan teori sekaligus metode cetusannya. Secara ringkas, metode
terkait berupaya mengajak kita untuk “mengalihkan pemikiran sedari pusat ke
pinggiran”. Sebagai penjelas, Derrida memisalkannya dengan tragedi September
Kelabu (9/11). Bagi masyarakat AS, peristiwa tersebut merupakan sebentuk kerugian
berikut kejahatan kemanusiaan yang luar biasa (extra-ordinary crime). Namun ungkap Derrida, masyarakat AS luput
melihat serangkaian hal positif yang menyertainya, seperti; pemutakhiran sistem
pertahanan dan keamanan AS, serta penyegaran (baca: pembaharuan) kembali ikatan
sosial antarwarga AS. Dapatlah ditilik, pusat pemikiran dari semisal di atas
adalah tragedi September Kelabu yang didaulat sebagai suatu kerugian serta
kejahatan kemanusiaan yang luar biasa, sedang “pemikiran pinggiran” darinya
adalah serangkaian hal positif yang turut menyertainya; pemutakhiran sistem
pertahanan dan keamanan AS, serta pembaharuan-kembali ikatan sosial antarwarga
AS [Basis, 2005: 3; Borradori, 2005: 130].
(Jacques Derrida [Pic: philosophypages.com]) |
Menilik
aplikasi metode dekonstruksi-Derrida di atas, kiranya konsep terkait sesuai bila
diuji-terapkan guna mengeliminasi, atau setidaknya mereduksi ada yang selama ini terlampau kuat bercokol
di pusat pemikiran, berikut menjadi sentral (pusat) atas segala sesuatu, untuk
kemudian mengalihkannya pada pinggiran—pengada.
Lebih jauh, berikut ini adalah beberapa langkah yang dapat ditempuh guna “menggoyah”
kedudukan ada yang selama ini
cenderung menimbulkan katasrofa mendunia.
Rasio versus
Rasio
Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, rasio-lah yang menjadi biang-keladi kemunculan dikotomi ada-pengada, entitas di luar diri manusia sebagai liyan, serta “pola pikir teknik”. Berkenaan
dengannya, kita tak hanya dapat sekedar pasrah dan berserah diri menyaksikan
laju luluh-lantah rasio memanipulasi berikut menaklukkan sumber daya air di
hadapannya, melainkan dapat pula menggunakannya sebagai senjata guna melakukan
serangan balik. Rasio, dengan kekuatan utama berupa logika sebab-akibatnya, mampu
memaparkan dengan meyakinkan lagi tak terbantahkan ihwal serangkaian dampak
destruktif pencemaran air terhadap kualitas hidup manusia.
Meskipun
memang, perihal di atas urung menjadi
senjata preventif yang ampuh, namun tampaknya, berbagai koar-reaksi masyarakat
terhadap pencemaran air di lingkungannya oleh aktivitas industri sebagaimana
kerap terjadi dewasa ini, menunjukkan telah tingginya kesadaran masyarakat akan
pentingnya air bersih-tak tercemar bagi keseharian hidup mereka. Begitu pula, serangkaian
fakta tersebut dapat menjadi bahan pe-narasi-an kuat bagi masyarakat lain yang
belum merasakan dampak langsung dari pencemaran air dalam kehidupan mereka.
Refleksi Diri
Apabila
logika ditandai dengan kentalnya dalil kausalitas atau sebab-akibat yang
bersifat liniear (satu arah), maka refleksi lebih pada pemikiran yang bersifat
multi-arah (banyak arah). Oleh karenanya, ia—refleksi—lebih sesuai bilamana ditempatkan
sebagai sebentuk aktivitas “penghayatan”, dan bukannya aktivitas berpikir
[Zeitlin, 1995: 219]. Agaknya, kita dapat melakukan refleksi terhadap diri
sendiri ihwal kenyataan bahwa 60% hingga 70% dari tubuh kita adalah air [NPSA,
2007]. Apabila penghayatan mendalam dilakukan atasnya, maka dapatlah ditemui sebuah
simpulan mencengangkan: Kita sendiri
adalah air!.
(Prosentase Air dalam Tubuh [Pic: forum.detik.com]) |
Melalui
keinsyafan di atas, pola pikir manusia terhadap sumber daya air pun tak lagi
bersifat memanipulasi, menaklukkan, alih-alih mengeksploitasi dengan sekena
hati, melainkan bergeser pada pola pikir (modus) “menjadi”: Aku adalah air. Air
adalah aku. Dengan demikian, partisipasi individu maupun kolektif dalam menjaga
keasrian berikut kelestarian air dapat terjamin. Bagaimana tidak, dengan
menjaga keasrian serta kelestariannya, sama halnya dengan menjaga keasrian
berikut kelestarian dirinya sendiri.
Pada
ranah berlainan, kiranya slogan “sungai sebagai beranda rumah”—bukannya sebagai
kebun-belakang rumah—sebagaimana akrab didengungkan akhir-akhir ini merupakan langkah
progresif guna merengkuh sumber daya air dalam keseharian hidup masyarakat. Dengan
menempatkannya sebagai beranda rumah, masyarakat pun bakal serasa memilikinya,
berikut serasa menjadi bagian darinya. Di sisi lain, serantai kalimat mutiara di
atas juga mengarah pada bentuk-bentuk pola pikir “menjadi”. Dapatlah
dipastikan, slogan “sungai sebagai beranda rumah” turut tercetus melalui refleksi
yang mendalam dan tak sebentar.
Penetrasi Budaya Pop
“Budaya
pop” sebagaimana dimaksudkan di sini adalah novel berikut film layar lebar yang
dalam beberapa tahun terakhir ini mampu menyita perhatian luas publik tanah
air. Tingginya animo publik akan kedua hal tersebut, terutama pada karya sastra
serta film layar lebar besutan anak negeri memang patut diberikan apresiasi
tersendiri. Di sisi lain, fenomena ini kiranya sekaligus dapat menjadi peluang penyadaran
publik tanah air ihwal pentingnya sumber daya air-nonpolutan bagi keseharian
hidup mereka. Karya sastra maupun film layar lebar di atas dapat dikemas dengan
latar maupun figur sentral yang berbeda, layaknya film Avatar (2009) karya
James Cameron dengan kemampuannya menyajikan sudut pandang berbeda mengenai
kemanusiaan—manusia yang ditempatkan sebagai alien. Begitu pula, kita dapat
menerapkannya pada sumber daya air, menjadikannya sebagai figur sentral, sedang
manusia sebagai figur pinggiran, atau dengan kata lain, membalikkan posisi
antara ada dengan pengada.
Berkenaan
dengan kuatnya pengaruh literatur (karya sastra) terhadap sidang pembaca,
Oatley [dalam Wirth & Schramm, 2005: 16-17] menjelaskan bahwa hal tersebut
tak lepas dari keberadaan emosi internal dan eksternal yang terdapat di
dalamnya. Emosi internal terbentuk kala pembaca masuk dan membenamkan diri
dalam teks, esensi utama dari proses terkait adalah aspek “penerimaan” dari pembaca
terhadap teks yang dibacanya. Melalui penerimaan tersebut, pembaca mampu
mengembangkan perasaan dan bersimpati pada figur-figur yang terdapat dalam
teks. Di sisi lain, emosi eksternal bagi Oatley, terbagi dalam dua bentuk:
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan upaya mandiri yang dilakukan
pembaca untuk mengisi berbagai kekosongan yang terdapat dalam alur cerita. Di
sini, pembaca selalu berkeinginan untuk mengetahui kelanjutan alur cerita,
namun dalam rangkaiannya sering kali ditemui ketidaklengkapan atau kekosongan
peran, pada celah-celah tersebutlah pembaca mengambilalih peran yang belum
terisi. Sedang, akomodasi menunjuk pada kesenjangan harapan antara narasi yang
terdapat dalam teks dengan narasi yang diharapkan oleh pembaca. Dalam hal ini, ketegangan
(emosi) membaca muncul akibat adanya berbagai ketidaksesuaian tersebut.
Lebih
jauh, besarnya potensi pengaruh media visual—film—terhadap audiens dijelaskan
Bente dan Fromm [dalam Wirth & Schramm, 2005: 18] melalui empat faktor
sebagai berikut. Pertama,
personalisasi, yakni presentasi atau penyajian yang berfokus pada alur cerita
entitas individu (figur), di sini manusia kebanyakan atau “umum” tak begitu
penting keberadaannya. Kedua,
otentitas atau keaslian, cerita mengenai orang-orang atau figur yang tak
terkenal dituturkan secara langsung oleh dirinya sendiri. Ketiga, intimasi, topik-topik pribadi atau personal berikut aspek
hubungan interpersonal yang terdapat di dalamnya dirubah sehingga menjadi topik
publik. Keempat, emosi, setiap tutur
dan perilaku yang ada memang sengaja ditujukan guna memancing emosi serta
komentar audiens. Tak pelak, uraian singkat mengenai ampuhnya media guna mempengaruhi afeksi berikut perilaku individu
di atas kiranya memang dapat dimanfaatkan sedemikian rupa bagi penyadaran
publik akan pentingnya keasrian serta kelestarian sumber daya air.
Kesimpulan dan Penutup
Berpijak
melalui serangkaian pemaparan di atas, kiranya akar permasalahan penyebab
timbulnya terminus other atau “liyan”
terhadap alam, utamanya sumber daya air, telah ter-uraikan secara jelas. Hal
tersebut tak lain disebabkan oleh penemuan manusia akan rasio atau akal-budi
yang dimilikinya sehingga serasa menjadi satu-satunya makhluk yang ada di muka
bumi ini, sedang makhluk (entitas) lain sekedar ditempatkan sebagai “pelengkap”
keberadaannya. Tak pelak, cara berpikir yang demikian memicu lahirnya dikotomi
antara ada dan pengada dalam terminologi Heidegger, berikut melahirkan “pola pikir
teknik” yang selalu hendak memanipulasi, menaklukkan, serta mengeksploitasi
entitas lain di luar diri manusia.
Adapun
upaya yang dapat ditempuh guna mengeliminasi, atau setidaknya mereduksi “pola
pikir teknik” yang kadung kuat-bercokol
adalah dengan mendekonstruksi ada—manusia
sebagai sentral—melalui beberapa langkah sebagai berikut. Pertama, membenturkan rasio ada
dengan rasio lain yang bernegasi dengannya (rasio pro-Pengada). Kedua, melakukan
refleksi diri yang mendalam sehingga modus “menjadi” pun ditemui: Aku adalah
air, dan air adalah aku. Ketiga, kedua
langkah tersebut agaknya bakal kian mantap apabila dibarengi dengan penetrasi
budaya pop berupa karya sastra berikut film layar lebar yang menarasikan air
sebagai figur sentral, sedang manusia sebagai figur pinggiran, mengingat besar
dan kuatnya pengaruh yang dibawa kedua media tersebut.
Kiranya,
demikian tulisan ini disusun. Syarat diakui, kapasitas intelektual yang tak
memadai berikut keterbatasan wawasan yang dimiliki penulis menyebabkan
serangkaian analisis, penjelasan, berikut pemaparan yang terdapat dalam
pengkajian ini masih jauh dari sempurna, pun
jauh dari anggapan berkualitas. Namun demikian, sebagaimana terbersit pada
prolog di muka, terpercik secuil harap dari tulisan yang sekedarnya ini untuk
mengajak setiap dari kita berpikir secara fundamental (mendasar) mengenai
sumber daya air yang keberadaannya demikian vital bagi ragam-warna kehidupan di
muka bumi ini, baik bagi manusia, hewan, pun
tumbuhan.
Epilog:
Bagaimana jadinya, jika nalar yang diyakini oleh umat
manusia sekarang sebagaimana diyakini filsuf klasik Yunani dahulu kala, Thales
(+ 625-545 SM): “Segala sesuatu berasal dari air”—? [Hadiwijono, 2001:
16].
(Live in Harmony [Pic: mi9.com]) |
Referensi:
Buku;
Borradori, Giovanna, 2005, Filsafat dalam Masa Teror, Kompas.
Hadiwijono, Harun, 2001, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Kanisius.
Hardiman, F. Budi, 2004, Filsafat Modern, Gramedia.
Lemay, Eric & Jennifer A. Pitts, 2005, Heidegger untuk Pemula, Kanisius.
Zeitlin, Irving M., 1995, Memahami Kembali Sosiologi, Gadjah Mada University Press.
Jurnal;
Wirth,
Werner & Holger Schramm, 2005, Media and Emotions, Communication Research Trends, Vol. 24 (2005) No. 3, pp. 15-18.
Publikasi Institusi;
National Patient Safety Agency (NPSA), Water for Health, UK, August 2007.
Pacific Institute, Water
Quality: Facts and Statistics, California-USA, 22nd March 2010.
Majalah;
Basis,
No. 11-12, Tahun ke-54, November-Desember 2005, Terorisme Bawah Sadar, Basis.
Info
Vegetarian (IVS/Indonesia Vegetarian Society), Edisi 1 (2008), Bumi Butuh Langkah Cepat, Go Veg Please!,
Info Vegetarian.
[1] Dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan dengan; bencana/malapetaka yang
terjadi secara mendadak.
[2] Semisal nalar agamis, nalar
primitif yang menempatkan alam sebagai Tuhan (panteisme), dsb.
[3] Pada era Revolusi Industri, tenaga
air (uap) berikut udara (angin) lebih diandalkan ketimbang tenaga manusia.
0 komentar:
Posting Komentar