Jumat, 25 Januari 2013

AIR SEBAGAI “LIYAN”

AIR SEBAGAI “LIYAN”
EKSPLOITASI SUMBER DAYA AIR DALAM PERSPEKTIF HISTORIS-FILOSOFIS:
AKAR PERMASALAHAN DAN PEMECAHANNYA

Oleh: Wahyu Budi Nugroho

(World & Water [Pic: mi9.com])
Prolog:
Terpercik secuil harap dari tulisan yang sekedarnya ini untuk mengajak setiap dari kita berpikir secara fundamental (mendasar) mengenai sumber daya air yang keberadaannya demikian vital bagi ragam-warna kehidupan di muka bumi, baik bagi manusia, hewan, pun tumbuhan.

“If the rain comes they run and hide their heads.
They might as well be dead.”
(The Beatles, Rain)

Pendahuluan
            Air sebagai other atau “liyan”. Itulah pola pikir yang kiranya tengah luas-menjangkiti masyarakat kontemporer, baik tanah air maupun berbagai belahan dunia. “Air sebagai liyan” menunjuk pada keberadaan air sebagai ihwal di luar diri manusia, ia tak menjadi bagian dari manusia itu sendiri: other ‘liyan’—bak orang lain di luar diri kita. Implikasi yang ditimbulkan kemudian pun jelas, seolah air tersedia dan sekedar diperuntukkan bagi manusia, tidak untuk hewan, juga tumbuhan. Tak hanya itu saja, manusia pun seolah bebas menggunakannya (baca: mengeksploitasinya) guna kepentingan sendiri—karena serasa air diperuntukkan bagi dirinya semata.

            Sebagaimana dilansir Earth Policy Institute dan Worldwatch Institute (2004) [dalam Info Vegetarian, 2008: 9], tercatat, 46,6% air bersih dunia digunakan untuk membesarkan peternakan. Setiap 1 kg daging sapi tak ubahnya menguras air mandi seseorang selama satu tahun, atau dengan kata lain, 1 kg daging sapi menghabiskan 1 juta liter air, sedang 1 kg daging ayam menghempas 3.000 liter air. Kesemuanya, tak lain guna mengabdi pada kepentingan manusia: peternakan yang bernilai ekonomis tinggi. Semisal lain adalah, telah mengkhawatirkan-nya tingkat pencemaran air global. Menurut data yang dipublikasikan Pacific Institute pada perhelatan Hari Air Sedunia, 22 Maret 2010, setiap harinya 2 juta ton limbah industri dan pertanian mencemari seluruh air dunia. Bahkan, United Nations (PBB) memperkirakan besaran keluaran 1.500 km³ air limbah setiap tahunnya, enam kali lebih banyak ketimbang seluruh air yang terdapat di sungai-sungai bumi [Pacific Institute, 2010].

            Serangkaian misal di atas kiranya menunjukkan secara eksplisit pola pikir masyarakat yang menempatkan air sebagai liyan. Pertanyaan ter-urgen kemudian ialah, apa sajakah upaya yang dapat ditempuh guna “mengeliminasi” ragam pola pikir terkait?. Sebelum melangkah lebih jauh pada berbagai tawaran solusi guna menjawab persoalan ini, kiranya ada baiknya untuk terlebih dahulu mengkaji secara sekilas lagi seksama akar-sejarah pemikiran yang menempatkan alam—termasuk di dalamnya air—sebagai liyan atau perihal di luar diri manusia. Pengkajian ini bukannya tanpa alasan sama sekali, melainkan sebagai sebentuk ikhtiar guna membangun pemahaman yang komprehensif mengenai awal-mula penafikkan manusia terhadap alam. Dengan demikian, arah-paparan pencarian solusi atasnya pun tak bersifat ujug-ujug, alih-alih taken for granted ‘apa adanya’.

Air sebagai Liyan: Lahirnya Katasrofa[1] Mendunia
            Penemuan keberadaan diri manusia melalui diktum cogito ergo sum ‘aku berpikir, maka aku ada’ cetusan Rene Descartes pada paruh awal abad ke-17 menandai pengutamaan rasio atau akal-budi oleh manusia ketimbang beragam bentuk penalaran lainnya.[2] Inilah peristiwa agung renaissance ‘pencerahan’ dalam sejarah umat manusia [Hardiman, 2004: 37, 94]. Segera setelahnya, pengutamaan rasio menghantarkan manusia pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tak pernah terduga sebelumnya. Dimulai dengan penemuan mesin uap James Watt pada abad 18—seabad pasca Descartes mencetuskan diktumnya—yang sekaligus mempelopori lahirnya era Revolusi Industri, dan juga menandai kian intens-nya hubungan antara manusia dengan sumber kehidupan: air.[3]

Faktual, lambat-laun air tak lagi menjadi bagian dari kehidupan manusia yang syarat dijaga keasrian serta kelestariannya—sebagaimana manusia menjaga dirinya, melainkan sekedar menjadi “pelengkap” kehidupan manusia. Intensitas hubungan antara manusia dengan air di era Revolusi Industri pun ber-ekses pada ketimpangan, manusia menjadi demikian dominan di dalamnya. Segera, berbagai saluran air berikut sumber daya air permukaan (sungai) menjadi wadah pembuangan limbah industri rumahan maupun banyak pabrik skala besar yang tengah menjamur kala itu, bahkan ajeg berlanjut hingga kini. Berbekal jargon pengutamaan rasio, manusia menggenjot potensinya dalam memanipulasi berikut menaklukkan alam, sedang beragam residu yang ditimbulkannya, cukuplah Tuhan yang menanganinya: buah “tafsir serampangan” konsep the invisible hand ‘tangan tak terlihat/tangan Tuhan’-Adam Smith.

(Water Pollution [Pic: thewaterq.com])
Patut disayangkan, fenomena di atas uzur menjadi pengkajian para begawan ilmu di masanya. Barulah di paruh awal abad ke-20, Martin Heidegger (1889-1976), seorang filsuf kenamaan Jerman, menelaah secara seksama lagi sistematis melalui filsafatnya. Bagi Heidegger [dalam Lemay & Pitts, 2005: 34, 71], serangkaian fenomena di atas terjadi akibat manusia, dengan rasio yang dimilikinya, serasa menjadi satu-satunya makhluk yang ada di dunia ini, sementara berbagai entitas di luar dirinya sekedar dianggap sebagai pelengkap keberadaannya. Heidegger menggunakan istilah “ada” bagi eksistensi manusia, sedang “pengada” bagi berbagai entitas di luar diri manusia: ada-pengada.

(Martin Heidegger [Pic: philosophypages.com])
Dikotomi antara ada dan pengada inilah yang kemudian menurut Heidegger [dalam Lemay & Pitts, 2005: 72, 76-77, 82] melahirkan “pola pikir teknik”, yakni sebentuk pola pikir manusia yang menganggap berbagai entitas di luar dirinya hanyalah tersaji bagi dirinya semata, dengan demikian ia—manusia—merasa memiliki kebebasan penuh untuk memanfaatkan, memanipulasi, menaklukkan, bahkan lebih jauh: mengeksploitasinya. Ilustrasi Heidegger mengenai “singa-bukan-singa” agaknya menjadi contoh menarik akan perihal terkait. Baginya, singa-singa yang terdapat di kebun binatang faktual bukanlah sejatinya singa—bukan singa yang sebenarnya. Ini mengingat, singa yang sesungguhnya tidaklah berada di balik jeruji besi, melainkan berkeliaran bebas di padang Afrika sana. Akibat intervensi ada bernama manusia, singa-singa tersebut dipisahkan dari kehidupan sejatinya, dari keberadaannya secara utuh. Begitu pula dengan binatang-binatang lain yang terdapat di kebun binatang: menemui bentuknya sebagai “binatang-bukan-binatang”.

Paparan singkat pemikiran Heidegger barusan kiranya menjelaskan bagaimana pola pikir other ‘liyan’ terbentuk. Pengada merupakan liyan bagi ada yang serasa menjadi satu-satunya makhluk di muka bumi ini. Melaluinya pula, tampaklah jelas landas-dasar pemikiran manusia terhadap alam, tumbuhan, juga hewan. Dengan demikian, pencarian solusi atas pola pikir yang telah mengendap-akut tersebut berkelindan pula dengan penyelamatan sumber daya air sebagai bagian dari alam, berikut diposisikan sebagai pengada oleh ada.

Men-dekonstruksi “Ada” sebagai Solusi Jitu
            “Dekonstruksi” merupakan istilah yang kerap digunakan filsuf Perancis, Jacques Derrida (1930-2004) guna merepresentasikan teori sekaligus metode cetusannya. Secara ringkas, metode terkait berupaya mengajak kita untuk “mengalihkan pemikiran sedari pusat ke pinggiran”. Sebagai penjelas, Derrida memisalkannya dengan tragedi September Kelabu (9/11). Bagi masyarakat AS, peristiwa tersebut merupakan sebentuk kerugian berikut kejahatan kemanusiaan yang luar biasa (extra-ordinary crime). Namun ungkap Derrida, masyarakat AS luput melihat serangkaian hal positif yang menyertainya, seperti; pemutakhiran sistem pertahanan dan keamanan AS, serta penyegaran (baca: pembaharuan) kembali ikatan sosial antarwarga AS. Dapatlah ditilik, pusat pemikiran dari semisal di atas adalah tragedi September Kelabu yang didaulat sebagai suatu kerugian serta kejahatan kemanusiaan yang luar biasa, sedang “pemikiran pinggiran” darinya adalah serangkaian hal positif yang turut menyertainya; pemutakhiran sistem pertahanan dan keamanan AS, serta pembaharuan-kembali ikatan sosial antarwarga AS [Basis, 2005: 3; Borradori, 2005: 130].

(Jacques Derrida [Pic: philosophypages.com])
            Menilik aplikasi metode dekonstruksi-Derrida di atas, kiranya konsep terkait sesuai bila diuji-terapkan guna mengeliminasi, atau setidaknya mereduksi ada yang selama ini terlampau kuat bercokol di pusat pemikiran, berikut menjadi sentral (pusat) atas segala sesuatu, untuk kemudian mengalihkannya pada pinggiran—pengada. Lebih jauh, berikut ini adalah beberapa langkah yang dapat ditempuh guna “menggoyah” kedudukan ada yang selama ini cenderung menimbulkan katasrofa mendunia.

Rasio versus Rasio
            Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, rasio-lah yang menjadi biang-keladi kemunculan dikotomi ada-pengada, entitas di luar diri manusia sebagai liyan, serta “pola pikir teknik”. Berkenaan dengannya, kita tak hanya dapat sekedar pasrah dan berserah diri menyaksikan laju luluh-lantah rasio memanipulasi berikut menaklukkan sumber daya air di hadapannya, melainkan dapat pula menggunakannya sebagai senjata guna melakukan serangan balik. Rasio, dengan kekuatan utama berupa logika sebab-akibatnya, mampu memaparkan dengan meyakinkan lagi tak terbantahkan ihwal serangkaian dampak destruktif pencemaran air terhadap kualitas hidup manusia.

            Meskipun memang, perihal di atas urung menjadi senjata preventif yang ampuh, namun tampaknya, berbagai koar-reaksi masyarakat terhadap pencemaran air di lingkungannya oleh aktivitas industri sebagaimana kerap terjadi dewasa ini, menunjukkan telah tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya air bersih-tak tercemar bagi keseharian hidup mereka. Begitu pula, serangkaian fakta tersebut dapat menjadi bahan pe-narasi-an kuat bagi masyarakat lain yang belum merasakan dampak langsung dari pencemaran air dalam kehidupan mereka.

Refleksi Diri
            Apabila logika ditandai dengan kentalnya dalil kausalitas atau sebab-akibat yang bersifat liniear (satu arah), maka refleksi lebih pada pemikiran yang bersifat multi-arah (banyak arah). Oleh karenanya, ia—refleksi—lebih sesuai bilamana ditempatkan sebagai sebentuk aktivitas “penghayatan”, dan bukannya aktivitas berpikir [Zeitlin, 1995: 219]. Agaknya, kita dapat melakukan refleksi terhadap diri sendiri ihwal kenyataan bahwa 60% hingga 70% dari tubuh kita adalah air [NPSA, 2007]. Apabila penghayatan mendalam dilakukan atasnya, maka dapatlah ditemui sebuah simpulan mencengangkan: Kita sendiri adalah air!.

(Prosentase Air dalam Tubuh [Pic: forum.detik.com])
            Melalui keinsyafan di atas, pola pikir manusia terhadap sumber daya air pun tak lagi bersifat memanipulasi, menaklukkan, alih-alih mengeksploitasi dengan sekena hati, melainkan bergeser pada pola pikir (modus) “menjadi”: Aku adalah air. Air adalah aku. Dengan demikian, partisipasi individu maupun kolektif dalam menjaga keasrian berikut kelestarian air dapat terjamin. Bagaimana tidak, dengan menjaga keasrian serta kelestariannya, sama halnya dengan menjaga keasrian berikut kelestarian dirinya sendiri.

            Pada ranah berlainan, kiranya slogan “sungai sebagai beranda rumah”—bukannya sebagai kebun-belakang rumah—sebagaimana akrab didengungkan akhir-akhir ini merupakan langkah progresif guna merengkuh sumber daya air dalam keseharian hidup masyarakat. Dengan menempatkannya sebagai beranda rumah, masyarakat pun bakal serasa memilikinya, berikut serasa menjadi bagian darinya. Di sisi lain, serantai kalimat mutiara di atas juga mengarah pada bentuk-bentuk pola pikir “menjadi”. Dapatlah dipastikan, slogan “sungai sebagai beranda rumah” turut tercetus melalui refleksi yang mendalam dan tak sebentar.

Penetrasi Budaya Pop
            “Budaya pop” sebagaimana dimaksudkan di sini adalah novel berikut film layar lebar yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu menyita perhatian luas publik tanah air. Tingginya animo publik akan kedua hal tersebut, terutama pada karya sastra serta film layar lebar besutan anak negeri memang patut diberikan apresiasi tersendiri. Di sisi lain, fenomena ini kiranya sekaligus dapat menjadi peluang penyadaran publik tanah air ihwal pentingnya sumber daya air-nonpolutan bagi keseharian hidup mereka. Karya sastra maupun film layar lebar di atas dapat dikemas dengan latar maupun figur sentral yang berbeda, layaknya film Avatar (2009) karya James Cameron dengan kemampuannya menyajikan sudut pandang berbeda mengenai kemanusiaan—manusia yang ditempatkan sebagai alien. Begitu pula, kita dapat menerapkannya pada sumber daya air, menjadikannya sebagai figur sentral, sedang manusia sebagai figur pinggiran, atau dengan kata lain, membalikkan posisi antara ada dengan pengada.

Berkenaan dengan kuatnya pengaruh literatur (karya sastra) terhadap sidang pembaca, Oatley [dalam Wirth & Schramm, 2005: 16-17] menjelaskan bahwa hal tersebut tak lepas dari keberadaan emosi internal dan eksternal yang terdapat di dalamnya. Emosi internal terbentuk kala pembaca masuk dan membenamkan diri dalam teks, esensi utama dari proses terkait adalah aspek “penerimaan” dari pembaca terhadap teks yang dibacanya. Melalui penerimaan tersebut, pembaca mampu mengembangkan perasaan dan bersimpati pada figur-figur yang terdapat dalam teks. Di sisi lain, emosi eksternal bagi Oatley, terbagi dalam dua bentuk: asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan upaya mandiri yang dilakukan pembaca untuk mengisi berbagai kekosongan yang terdapat dalam alur cerita. Di sini, pembaca selalu berkeinginan untuk mengetahui kelanjutan alur cerita, namun dalam rangkaiannya sering kali ditemui ketidaklengkapan atau kekosongan peran, pada celah-celah tersebutlah pembaca mengambilalih peran yang belum terisi. Sedang, akomodasi menunjuk pada kesenjangan harapan antara narasi yang terdapat dalam teks dengan narasi yang diharapkan oleh pembaca. Dalam hal ini, ketegangan (emosi) membaca muncul akibat adanya berbagai ketidaksesuaian tersebut.

           Lebih jauh, besarnya potensi pengaruh media visual—film—terhadap audiens dijelaskan Bente dan Fromm [dalam Wirth & Schramm, 2005: 18] melalui empat faktor sebagai berikut. Pertama, personalisasi, yakni presentasi atau penyajian yang berfokus pada alur cerita entitas individu (figur), di sini manusia kebanyakan atau “umum” tak begitu penting keberadaannya. Kedua, otentitas atau keaslian, cerita mengenai orang-orang atau figur yang tak terkenal dituturkan secara langsung oleh dirinya sendiri. Ketiga, intimasi, topik-topik pribadi atau personal berikut aspek hubungan interpersonal yang terdapat di dalamnya dirubah sehingga menjadi topik publik. Keempat, emosi, setiap tutur dan perilaku yang ada memang sengaja ditujukan guna memancing emosi serta komentar audiens. Tak pelak, uraian singkat mengenai ampuhnya media guna mempengaruhi afeksi berikut perilaku individu di atas kiranya memang dapat dimanfaatkan sedemikian rupa bagi penyadaran publik akan pentingnya keasrian serta kelestarian sumber daya air.

Kesimpulan dan Penutup   
            Berpijak melalui serangkaian pemaparan di atas, kiranya akar permasalahan penyebab timbulnya terminus other atau “liyan” terhadap alam, utamanya sumber daya air, telah ter-uraikan secara jelas. Hal tersebut tak lain disebabkan oleh penemuan manusia akan rasio atau akal-budi yang dimilikinya sehingga serasa menjadi satu-satunya makhluk yang ada di muka bumi ini, sedang makhluk (entitas) lain sekedar ditempatkan sebagai “pelengkap” keberadaannya. Tak pelak, cara berpikir yang demikian memicu lahirnya dikotomi antara ada dan pengada dalam terminologi Heidegger, berikut melahirkan “pola pikir teknik” yang selalu hendak memanipulasi, menaklukkan, serta mengeksploitasi entitas lain di luar diri manusia.

            Adapun upaya yang dapat ditempuh guna mengeliminasi, atau setidaknya mereduksi “pola pikir teknik” yang kadung kuat-bercokol adalah dengan mendekonstruksi ada—manusia sebagai sentral—melalui beberapa langkah sebagai berikut. Pertama, membenturkan rasio ada dengan rasio lain yang bernegasi dengannya (rasio pro-Pengada). Kedua, melakukan refleksi diri yang mendalam sehingga modus “menjadi” pun ditemui: Aku adalah air, dan air adalah aku. Ketiga, kedua langkah tersebut agaknya bakal kian mantap apabila dibarengi dengan penetrasi budaya pop berupa karya sastra berikut film layar lebar yang menarasikan air sebagai figur sentral, sedang manusia sebagai figur pinggiran, mengingat besar dan kuatnya pengaruh yang dibawa kedua media tersebut.

Kiranya, demikian tulisan ini disusun. Syarat diakui, kapasitas intelektual yang tak memadai berikut keterbatasan wawasan yang dimiliki penulis menyebabkan serangkaian analisis, penjelasan, berikut pemaparan yang terdapat dalam pengkajian ini masih jauh dari sempurna, pun jauh dari anggapan berkualitas. Namun demikian, sebagaimana terbersit pada prolog di muka, terpercik secuil harap dari tulisan yang sekedarnya ini untuk mengajak setiap dari kita berpikir secara fundamental (mendasar) mengenai sumber daya air yang keberadaannya demikian vital bagi ragam-warna kehidupan di muka bumi ini, baik bagi manusia, hewan, pun tumbuhan.


Epilog:
Bagaimana jadinya, jika nalar yang diyakini oleh umat manusia sekarang sebagaimana diyakini filsuf klasik Yunani dahulu kala, Thales (+ 625-545 SM): “Segala sesuatu berasal dari air”—? [Hadiwijono, 2001: 16].

(Live in Harmony [Pic: mi9.com])
Referensi:

Buku;
Borradori, Giovanna, 2005, Filsafat dalam Masa Teror, Kompas.
Hadiwijono, Harun, 2001, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Kanisius.
Hardiman, F. Budi, 2004, Filsafat Modern, Gramedia.
Lemay, Eric & Jennifer A. Pitts, 2005, Heidegger untuk Pemula, Kanisius.
Zeitlin, Irving M., 1995, Memahami Kembali Sosiologi, Gadjah Mada University Press.

Jurnal;
Wirth, Werner & Holger Schramm, 2005, Media and Emotions, Communication Research Trends, Vol. 24 (2005) No. 3, pp. 15-18.

Publikasi Institusi;
National Patient Safety Agency (NPSA), Water for Health, UK, August 2007.
Pacific Institute, Water Quality: Facts and Statistics, California-USA, 22nd March 2010.

Majalah;
Basis, No. 11-12, Tahun ke-54, November-Desember 2005, Terorisme Bawah Sadar, Basis.
Info Vegetarian (IVS/Indonesia Vegetarian Society), Edisi 1 (2008), Bumi Butuh Langkah Cepat, Go Veg Please!, Info Vegetarian.




[1] Dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan dengan; bencana/malapetaka yang terjadi secara mendadak.
[2] Semisal nalar agamis, nalar primitif yang menempatkan alam sebagai Tuhan (panteisme), dsb.
[3] Pada era Revolusi Industri, tenaga air (uap) berikut udara (angin) lebih diandalkan ketimbang tenaga manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar