FEMINISME EKSISTENSIAL
MENINJAU EKSISTENSIALISME SARTRE DALAM FEMINISME BEAUVOIR
By Wahyu Budi Nugroho
Sekilas Feminisme Eksistensial
Berbicara mengenai feminisme eksistensial tak dapat lepas dari dua pemikir kenamaan Prancis abad 20 yakni Jean Paul Sartre dan Simon De Beauvoir. Dalam hal ini, Beauvoir dikenal sebagai pemikir perempuan pertama yang mencetuskan salah satu gerakan pemikiran dan perlawanan perempuan yang populer dengan sebutan “feminisme eksistensial” melalui Second Sex, sedangkan Sartre sendiri telah diakui dan didaulat sebagai tokoh terpenting dalam gerakan pemikiran eksistensialisme melalui eksemplar Being and Nothingness serta Existentialism and Humanism. Namun demikian, hingga saat ini masih juga ditemui samarnya penjelasan terkait orisinalitas pemikiran eksistensialisme abad 20 antara Sartre dan Beauvoir terkait “siapa mempengaruhi atau dipengaruhi siapa” mengingat begitu intimnya hubungan Sartre dengan Beauvoir.[1]
Sartre dan Beauvoir untuk pertama kali bertemu di Ecole Normale Supreriure, sebuah universitas ternama dan paling bergengsi di saentaro Prancis, dan segera setelahnya keduanya tak terpisahkan kemudian.[2] Sartre dan Beauvoir hidup serumah tanpa menikah, baik keduanya memiliki perspektif negatif atas pernikahan yang dianggapnya sekedar melanggengkan lembaga borjuasi berikut beberapa alasan filosofis lainnya.[3]
Seperti apa yang telah disinggung sebelumnya bahwa ditemui samarnya penjelasan terkait orisinalitas pemikiran eksistensialisme antara Sartre dengan Beauvoir, namun demikian dalam ranah feminisme eksistensial banyak pihak beranggapan bahwa Being and Nothingness Sartre lah yang menjadi inspirasi utama Beauvoir dalam penyusunan ide feminisme eksistensial. Apabila benar demikian adanya maka pengkajian atas eksistensialisme Sartre menjadi syarat dan mutlak dilakukan sebelum lebih jauh melangkah pada feminisme eksistensial Beauvoir. Hal tersebut bukannya tanpa alasan, melainkan sebagai upaya guna membentuk pemahaman yang sistematis serta diakronis atas feminisme eksistensial Beauvoir.
Sekilas Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan salah satu bentuk “filsafat besar” yang merajai dunia intelektual Eropa di era 1940-an hingga 1960-an. Tokoh paling menonjol dalam arus pemikiran tersebut adalah Jean Paul Sartre (1905-1980).[4] Cukup sulit memastikan kapan eksistensialisme untuk pertama kali lahir, namun banyak pihak meyakini Thus Spoke of Zarathustra karya filsuf anti-Pencerahan abad 19, Nietzsche yang mewartakan “kematian Allah” dan kesendirian manusia sebagai awal kemunculan eksistensialisme.[5]
Pada perkembangannya kemudian, munculah berbagai pemikir yang menamakan diri atau mewarisi tradisi pemikiran eksistensialisme baik bagi mereka yang tergolong theis maupun atheis. Berbagai tokoh eksistensialisme religius antara lain Soren Kierkegaard, Karl Jaspers, Paul Tillich, Rodaf Batman, Gabriel Marcel, Nicolai Berdyaev dan Martin Buber, sedangkan mereka yang tergolong atheis seperti Martin Heidegger, Albert Camus, Dostoevsky, Maurice Ponty dan Sartre sendiri.[6]
Kata “eksistensi” yang menjadi akar istilah eksistensialisme berasal dari bahasa Latin “existo” dan “exister” yang berarti to stand.[7] Secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti “ada”, “adanya”, “hidup”, “kehidupan”, “keadaan hidup”, “berdiri”, “keadaan berdiri”, “keadaan mengada” atau “berada”.[8] Sedangkan imbuhan –isme di belakang kata tersebut mengacu pada sebentuk aliran, ajaran atau pemahaman sehingga apabila keseluruhan kata tersebut secara telanjang diterjemahkan, eksistensialisme akan berarti suatu aliran, ajaran atau pemahaman mengenai “ada”, “hidup”, “kehidupan” atau “berada”.
Namun demikian, tataran ontologis di atas belumlah mempresentasikan eksistensialisme yang dimaksudkan, oleh karena itu pendefinisiannya sebagai salah satu gerakan pemikiran yang terdapat dalam filsafat syarat dilakukan. Sartre dalam Existentialism and Humanism (1946) mendefinisikan eksistensialisme sebagai aliran, ajaran atau pemahaman yang menempatkan “eksistensi mendahului esensi” (existence precedes essence). Secara singkat, apa yang dimaksud Sartre adalah sesuatu barulah dapat dimaknai ketika sesuatu tersebut “ada” terlebih dahulu, sebagai misal, Sartre mengatakan, “…pertama-tama manusia ada, berhadapan dengan dirinya sendiri, terjun ke dalam dunia-dan barulah setelah itu ia mendefinisikan dirinya…Ia tidak akan menjadi ‘apa-apa’ sampai ia menjadikan hidupnya ‘apa-apa’…manusia adalah bukan apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri, itulah prinsip pertama eksistensialisme”.[9]
Dalam upaya memahami eksistensialisme Sartre maupun feminisme eksistensial Beauvoir terdapat beberapa kata kunci yang patut dijadikan perhatian lebih, antara lain kebebasan, pilihan bebas, etre en soi-etre pour soi, kesadaran reflektif-nonreflektif, mauvaise foi dan objektivasi (other is hell).
Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Kebebasan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa eksistensialisme “mengkramatkan” dalil “eksistensi mendahului esensi”, hal ini bagi Sartre mengimplikasikan ketiadaan tuhan. Karena tuhan tidaklah ada maka kabar baik bagi manusia adalah keberadaannya yang bebas-sebebasnya di dunia ini bahkan menurutnya manusia adalah kebebasan itu sendiri.[10] Namun demikian, ketiadaan tuhan tidaklah serta-merta membawa kebaikan penuh bagi manusia. Permasalahan muncul ketika eksistensialisme sendiri menghendaki manusia memaknai diri dan tak dimaknai orang lain serta lingkungan sebagai konsekuensi atas “kesadaran diri” yang dimiliki.
Dalam hal ini, karena tuhan tidak ada maka manusia pun menemui kesulitan dalam upaya menyusun patokan nilai, norma dan etika bagi dirinya sendiri. Manusia dengan segala keterbatasan dan kapasitasnya dipaksa menyusun tatanan moral, etika serta tujuan hidup bagi dirinya sendiri sebagai konsekuensi ketiadaan tuhan, terkait hal ini Sartre mengatakan, “Je suis condamned a etre libre!” (Aku dikutuk untuk bebas) dan segalanya bagi Sartre-hidup tanpa patokan norma dan nilai berikut tujuan yang jelas-adalah nausea ‘memuakkan’.[11]
Pilihan Bebas
Ketiadaan tuhan bagi Sartre berimplikasi pula pada kebebasan manusia menentukan pilihan hidup. Prihal menarik yang kiranya patut menjadi perhatian lebih adalah absurditas yang muncul melalui ketidakmampuan manusia menyusun tujuan hidupnya sendiri menghantarkan pada kematian sebagai salah satu pilihan bebas hidup yang tak dianggap tabu dalam eksistensialisme. Dengan demikian, melalui indikator sederhana pengukuran epistemologi berupa pemaknaan “asal kehidupan, tujuan kehidupan dan kematian” dengan tegas dan lugas seorang eksistensialis bakal mengatakan bahwa semuanya adalah absurd![12]
Bunuh diri sebagai pengejawantahan kebebasan pilihan hidup eksistensialisme salah satunya tampak dalam buah karya Albert Camus, Mite Sisifus di mana menceritarakan seorang bernama Sisifus-mitologi Yunani-yang dikenai hukuman para dewa untuk membawa sebuah batu besar ke puncak bukit dan setelah mencapainya batu besar tersebut digelindingkan kembali oleh para dewa ke kaki bukit dan Sisifus diharuskan melakukan hal yang sama, membawanya kembali ke puncak bukit, terus-menerus dan berulang-ulang. Dalam hal ini Camus menengarai bahwa jika hidup sudah lagi tak bermakna maka apakah tetap layak untuk dijalani, dengan kata lain Camus mengajak orang-orang yang telah kehilangan makna hidup untuk melakukan tindakan bunuh diri.[13]
Di sisi lain terkait pilihan bebas di atas, Sartre menambahkan premis, “ketika anda memilih berarti anda memilih untuk seluruh umat manusia”. Hal tersebut senada dengan konsep etika Immanuel Kant yang menegaskan bahwa bertindaklah sehingga tindakanmu menjadi model bagi seluruh umat manusia.[14]
Etre En Soi & Etre Pour Soi
Eksistensialisme Sartre dikenal pula sebagai bentuk ontologi radikal dengan oposisi biner di dalamnya-essay on phenomenological ontology. Oposisi biner tersebut tampak melalui pembagian Sartre akan segala hal menjadi etre en soi ‘berada dalam dirinya’ dan etre pour soi ‘berada bagi dirinya’. Menurut Sartre etre en soi adalah segala sesuatu yang tak memiliki kesadaran, tak mampu menyusun tujuan hidupnya sendiri, tujuan keberadaannya sepenuhnya ditentukan oleh eksistensi lain. Etre en soi dapat dimisalkan dengan sebuah meja, kursi, bangunan dan sebagainya. Namun demikian, meskipun etre en soi tak memiliki kesadaran tetapi ianya adalah sempurna, sempurna sebagai kursi, meja, bangunan dan sebagainya. Ia tak memiliki celah untuk dikritisi, ia tak memiliki kekosongan yang memunculkan keinginan-keinginan, di sinilah kelebihan etre en soi.[15]
Berseberangan dengan etre en soi, etre pour soi adalah segala sesuatu yang memiliki kesadaran, dalam hal ini manusia itu sendiri. Dengan kesadaran tersebut manusia mampu menyusun tujuan hidupnya, memaknai diri sendiri sesuai kehendaknya, bahkan memaknai pihak lain. Namun demikian, di satu sisi etre pour soi pun memiliki kekurangan yakni celah yang dimilikinya berikut keinginan-keinginan yang menandakan ajegnya kekosongan.[16]
Menurut Sartre, pada hakekatnya manusia selalu ingin menjadi sempurna-tak memiliki celah dan kekosongan-namun di satu sisi ia tetap ingin memiliki kesadaran, dengan demikian ia hendak menjadi etre en soi-etre pour soi, namun yang demikian hanyalah sifat tuhan semata, oleh karena itu kesimpulan fenomenal Sartre atas manusia adalah, “man is useless passion!”.[17]
Kesadaran Reflektif & Nonreflektif
Seperti apa yang telah diuraikan sebelumnya bahwa eksistensialisme Sartre turut berbicara mengenai kesadaran, lebih lanjut, kesadaran dalam eksistensialisme Sartre terbagi dalam dua bentuk yakni kesadaran reflektif dan kesadaran nonreflektif. Kesadaran reflektif adalah kesadaran akan eksistensi dan kehadiran diri, sedangkan kesadaran nonreflektif adalah kesadaran akan eksistensi dan kehadiran individu lain. Bagi Sartre, kesadaran pastilah dikotomis, tak terdapat jalan guna menggabungkan reflektif dan nonreflektif, antara yang satu dengan yang lain selalu saling “mengenyahkan”.
Sebagai misal, Sartre kerap mencontohkan hal di atas melalui temu janjinya dengan seorang teman di sebuah cafe. Ketika Sartre tiba di sebuah cafe yang telah disepakati dengan segera ia mencari temannya, pandangannya menyapu seisi orang yang terdapat dalam cafe tersebut, ketika hal tersebut terjadi maka kesadaran yang ada dalam diri Sartre adalah kesadaran nonreflektif karena seluruh alam pikirannya terfokus pada orang-orang yang terdapat dalam cafe tersebut, ia telah mengenyahkan dirinya sendiri. Ketika Sartre telah selesai menyapu bersih pandangannya pada seisi orang yang terdapat dalam cafe dan ia tak menemui teman yang memiliki temu janji dengannya, Sartre berkata pada dirinya, “Saya ditipu!”, ketika ia mengatakan hal tersebut maka bentuk kesadaran yang terdapat dalam dirinya dengan segera berubah menjadi bentuk kesadaran reflektif, yakni kesadaran akan eksistensi dan kehadiran dirinya, “diri yang telah ditipu seorang teman”.[18]
Mauvaise Foi
Mauvaise foi adalah istilah yang digunakan Sartre guna menunjuk pada “keyakinan buruk” manusia. Menurut Sartre pilihan manusia hanyalah dua yakni hidup secara otentik atau hidup dengan keyakinan buruk. Bagi Sartre, seseorang hidup secara otentik bila ia meyakini sepenuhnya bahwa dirinya benar-benar bebas, tidak terikat oleh aturan tuhan dan berbagai hukum yang ada. Sebaliknya dengan mereka yang hidup dengan mauvaise foi ‘keyakinan buruk’, ialah mereka yang terikat oleh aturan tuhan dan berbagai hukum yang ada, termasuk di dalamnya bentuk-bentuk streotipe dan pelabelan tertentu.[19]
Other Is Hell
“Other is hell” merupakan salah satu ide yang ditawarkan eksistensialisme Sartre. Penajisan orang lain sebagai neraka tersebut bagi Sartre dikarenakan eksistensi orang lain yang selalu mengobjekkan diri kita. Hal tersebut dapat terjadi mengingat aspek kesadaran yang dimiliki pula oleh individu lain layaknya diri kita sehingga tak khayal berpotensi membentuk penilaian ataupun menstrukstur eksistensi kita.[20]
Hal di atas dapat dimisalkan dengan kesendirian saya di sebuah kelas, ketika hal tersebut tengah berlangsung maka semisal kursi, meja dan papan tulis menjadi objek saya-ataupun segala sesuatu yang berada pada jangkauan penglihatan saya. Namun, ketika orang lain datang di kelas tersebut, situasi berbalik di mana sayalah yang menjadi objek kemudian, saya tersipu malu, tertindas, orang tersebut telah merenggut dunia saya.
Ide “other is hell” yang ditawarkan eksistensialisme tak heran memunculkan anggapan miris terkait eksistensialisme sebagai filsafat antisosial, individualis maupun borjuis. Namun demikian, hal tersebut memang diakui Sartre sebagai inti pemikiran yang ditawarkan dalam eksistensialisme. Apabila penelaahan lebih jauh kita lakukan atas eksistensialisme maka ditemui bahwa kesendirian, keterkucilan, kesedihan, alienasi kerap menjadi tema sentral dalam karya-karya berbagai tokoh eksistensialis.
Aplikasi Eksistensialisme Sartre Dalam Feminisme Beauvoir
Setelah memahami beberapa ide sentral dalam eksistensialisme Jean Paul Sartre yang antara lain berupa kebebasan, pilihan bebas, etre en soi dan etre pour soi, kesadaran reflektif dan nonreflektif, mauvaise foi ‘keyakinan buruk’ berikut other is hell ‘orang lain adalah neraka’, selanjutnya sub-Bab ini akan menelaah lebih jauh implementatsi atau aplikasi eksistensialisme Sartre dalam konsep feminisme eksistensial Simon De Beauvoir.
Kebebasan dalam Feminisme Eksistensial
Telah disinggung sebelumnya bahwa pada hakekatnya manusia adalah bebas sebebas-bebasnya, bahkan manusia adalah kebebasan itu sendiri. Konsekuensi dari kebebasan tersebut adalah tak berlakunya berbagai aturan tuhan, nilai dan norma dalam masyarakat bagi dirinya. Implikasi yang demikian menuntut manusia guna menciptakan nilai dan norma bagi dirinya.
Dalam ranah feminisme eksistensial hal di atas dapat dimisalkan dengan tak berlakunya status berikut peran yang diajukan agama maupun masyarakat bagi perempuan. Dalam tataran sosial, umumnya wanita ditempatkan sebagai makhluk yang seharusnya bertutur kata sopan, lemah lembut, menjaga aurat, tidak “berkeliaran” di malam hari dan sebagainya, maka bagi seorang feminis eksistensialis hal tersebut tak berlaku baginya, ia bebas menjadi apapun yang diinginkan. Feminis eksistensialis memiliki kuasa penuh untuk menentukan status dan perannya sendiri berikut mendobrak tatanan nilai dan norma sosial yang telah mapan.
Pilihan Bebas dalam Feminisme Eksistensial
Pengkajian kita atas pilihan bebas dalam eksistensialisme menemui satu hal menarik terkait bunuh diri sebagai salah satu pilihan bebas manusia yang tak tabu dalam aliran pemikiran tersebut. Singkatnya, hal tersebut termuat dalam dialog singkat antara Beauvoir dan Sartre di mana Beauvoir berkata bahwa dunia ini diciptakan oleh laki-laki dan dengan segera Sartre menjawab bahwa biar demikian wanita tetap memiliki pilihan bebas antara lain, larut dalam sistem patriarki, berupaya melawannya atau melakukan tindakan bunuh diri untuk menghindarinya, jika sang wanita tetap memilih untuk hidup maka wanita tersebut dengan sengaja memasukkan patriarki dalam penglihatan dan pikirannya, dengan demikian ia harus menanggung konsekuensinya sendiri.
Etre En Soi & Etre Pour Soi dalam Feminisme Eksistensial
Konsep etre en soi dan etre pour soi dalam feminisme eksistensial pada dasarnya sekedar bentuk pengukuhan atas hidup yang absurd dan kenihilan manusia sebagai useless passion ‘hasrat kesia-siaan’, bahwa keinginan manusia untuk menjadi etre en soi sekaligus etre pour soi adalah hal yang mustahil dan oleh karenanya seorang wanita yang tak mampu lagi menghadapi penderitaan hidup akibat lingkungan maupun tekanan sistem patriarki dianjurkan untuk bunuh diri.
Kesadaran Reflektif & Nonreflektif dalam Feminisme Eksistensial
Kesadaran reflektif dan nonreflektif dalam feminisme eksistensial menunjukkan bahwa wanita pada dasarnya kerap tak sadar akan dirinya yakni dengan mengeliminasi diri demi eksistensi objek-objek lain. Dalam hal ini, konsep kesadaran feminisme eksistensial lebih berperan sebagai bentuk motivasi perempuan guna meruntuhkan tembok kemapanan nilai dan norma sosial yang dinilai menyudutkan perempuan.
Sebagai misal, dalam ranah sosial faktual perempuan lebih kerap memiliki kesadaran nonreflektif. Ia dituntut terus-menerus menjaga penampilan, terlebih dengan konstruksi masyarakat semisal bila ia telah mencapai usia tertentu dan belum juga menikah maka dapat dilabelkan “tidak laku” dan sebagainya. Dalam hal ini, upaya perempuan dalam menjaga penampilannya kerap kali disadari maupun tak disadarinya sebagai tuntutan lingkungan. Begitu pula dengan seorang wanita yang dikontruksi menjadi ibu rumah tangga, kesadaran dominan yang dimilikinya adalah nonreflektif karena pikirannya terfokus dan terkuras guna mengurus anak, suami, suplai makanan bagi keluarga dan sebagainya. Oleh karena itu, feminisme eksistensial berupaya melakukan emansipatoris melalui kesadaran reflektif guna menghentikan pengobjekkan terus-menerus pada wanita.
Mauvaise Foi dalam Feminisme Eksistensial
Layaknya eksistensialisme Sartre, feminisme eksistensial Beauvoir mengajarkan perempuan untuk hidup secara otentik yakni memunculkan kesadaran bahwa pada hakekatnya mereka bebas, tak terikat dengan segala aturan, hukum, nilai dan norma berikut berbagai streotipe yang ada. Dalam hal ini, feminisme eksistensial menilai wanita dengan mauvaise foi bila ia terjebak dan meyakini bentuk-bentuk streotipe maupun kodrat tertentu semisal wanita sebagai jelmaan iblis atau iblis itu sendiri, memiliki dosa asali, makhluk lemah, inferior ketimbang pria, diharuskan berkorban, konco wingking dan berbagai bentuk streotipe maupun konsep kodrat lainnya.
Other Is Hell dalam Feminisme Eksistensial
Konsep other is hell dalam feminisme eksistensial terkait erat dengan beberapa konsep yang telah dijabarkan sebelumnya. Dalam hal ini, other is hell bilamana masyarakat maupun pihak-pihak tertentu memaksakan norma dan nilai berikut streotipe yang menyudutkan eksistensi perempuan-mengobjekkan. Beberapa contoh konkret lain mengenai hal ini ialah sadisme dan masokisme, sadisme merupakan upaya pencapaian kenikmatan seksual dengan jalan menyiksa pasangan, begitu juga dengan masokisme hanya saja dengan cara yang berbeda yakni dengan penyerahan diri total pada pasangan. Baik sadisme maupun masokisme merupakan sesuatu yang konyol dalam perspektif feminisme eksistensial mengingat upaya saling mengobjekkan dan diobjekkan antarkeduanya.[21]
Motivasi Beauvoir
Kemantapan Beauvoir meminang eksistensialisme dalam upaya emansipatoris perempuan setidaknya dimotivasi oleh beberapa hal. Pertama, ketidakpuasannya atas perspektif biologis dalam menjelaskan fenomena pria vis a vis wanita. Di satu sisi, Beauvoir menerima penjelasan perspektif biologis terkait proses reproduksi perempuan sebagai bentuk perendahan diri, namun di sisi lain ia menolak pengaruh signifikan atasnya bagi kedudukan perempuan yang dianggap inferior ketimbang laki-laki.[22]
Kedua, penolakannya atas psikologi freudian yang menilai inferioritas perempuan dibandingkan laki-laki disebabkan ketiadaan penis yang kemudian menimbulkan kekecewaan pada sang ibu sehingga memunculkan elektra complex-kecintaan pada ayah-disertai upaya keras perempuan untuk menjadi laki-laki.[23] Di sisi lain, kajian Freud terhadap agama yang kental dengan muatan hubungan keluarga dalam Totem and Taboo faktual menyiratkan pendeskreditan atas perempuan di mana Freud menjelaskan, “Pada suatu masa terdapat ayah besar yang memiliki banyak istri...”.[24]
Ketiga, penolakan atas konsep ekonomi marxis yang ditegaskan Engels bahwa pembedaan antara perempuan dan laki-laki terkait penentuan upah berdasarkan gender-wanita yang diupah lebih rendah ketimbang pria-bakal berakhir ketika kapitalisme ditumbangkan dan seluruh alat produksi dimiliki merata baik oleh pria maupun wanita. Menurut Beauvoir pembedaan tersebut tak sesederhana argumen di atas, namun lebih dikarenakan aspek ontologis di mana terkait realitas “ada” antara laki-laki dan wanita yang dengan demikian turut memperhitungkan faktor will to power ‘keinginan untuk berkuasa’-dalam istilah Nietzsche.[25] Dengan demikian dapatlah dianalisis bahwa ketiga alasan di ataslah yang menjadikan eksistensialisme sebagai tempat peraduan terakhir Simon De Beauvoir dalam upayanya merumuskan bentuk-bentuk pemikiran bagi pembebasan kaum hawa.
Kesimpulan & Penutup
Dengan demikian, melalui berbagai uraian singkat di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa feminisme eksistensial Simon De Beauvoir yakni implementasi eksistensialisme Sartre dalam ranah feminitas berupaya melakukan pembebasan wanita dengan jalan memunculkan kesadaran terkait hakekat perempuan yang pada dasarnya adalah bebas sebebas-bebasnya, atau dengan kata lain ia adalah kebebasan itu sendiri, dapat menjadi apa pun yang diinginkannya, menembus batas-batas struktur yang ada, keberadaannya di dunia ini adalah sendiri dan oleh karenanya ia syarat hidup secara otentik dan menolak mauvaise foi, ia memiliki pilihan bebas yang sering kali tak disadarinya, bahkan kematian pun menjadi salah satu bentuk pilihan bebas dalam hidupnya.
Singkat kata, humanisme eksistensialisme memang unik! Penghargaan atas diri sebagai manusia utuh dengan menajiskan orang lain sebagai neraka...
∞
Daftar Pustaka
§ Tong, Rosemarie Putnam. 2004. Feminist Thought. Yogyakarta : Jalasutra.
§ Sartre, Jean Paul. 1956. Being and Nothingness. New York : Philosophical Library.
§ Sartre, Jean Paul. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
§ Camus, Albert. 1999. Mite Sisifus. Jakarta : Gramedia.
§ Freud, Sigmund. 1942. Totem and Taboo. New York : Pelican Books.
§ Palmer, Donald D. 2003. Sartre Untuk Pemula. Yogyakarta : Kanisius.
§ Martin, Vincent. 2003. Filsafat Eksistensialisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
§ Muzairi, H. 2002. Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
§ Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta : Jalasutra.
§ Echols, John. M & Shadily, Hassan. 1996. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
[1] Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, Jalasutra, Yogyakarta, 2004, h. 254 & Donald D. Palmer, Sartre Untuk Pemula, Kanisius, Yogyakarta, 2003, h. 7.
[2] Ibid., h. 6.
[3] H. Muzairi, Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Pustaka Pelajar, Yogyakarta , 2002, h. 74.
[4] Donald D. Palmer, op. cit., h. 2.
[5] Ibid., h. 19 & H. Muzairi, op. cit., h. 200.
[6] Ibid., h. 52-53.
[7] Ibid., h. 28.
[8] John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta , 1996, h. 224.
[9] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta , 2002, h. 40-41, 44-45.
[10] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, New York , 1956, h. 179.
[11] H. Muzairi, op. cit., h. 82-83.
[12] Vincent Martin, Filsafat Eksistensialisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta , 2003, h. 30.
[13] Albert Camus, Mite Sisifus, Gramedia, Jakarta , 1999.
[14] Donald D. Palmer, op. cit., h. 116-117.
[15] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, h. 74.
[16] Ibid., h. 222-223.
[17] Ibid., h. 599 & Donald D. Palmer, op. cit., h. 104.
[18] Ibid., h. 56-59.
[19] Ibid., h. 78.
[20] H. Muzairi, op. cit., h. 174-175.
[21] Donald D. Palmer, op. cit., h. 96-97.
[22] Rosemarie Putnam Tong, op. cit., h. 263.
[23] Ibid., h. 264.
[24] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta , 2006, h. 12-13. Selengkapnya baca Sigmund Freud, Totem and Taboo, Pelican Books, New York , 1942.
[25] Rosemarie Putnam Tong, op. cit., h. 266.
Apakah Simon de Beauvoir sadar bahwa memilih eksistensialis sebagai pilihan bebasnya adalah bagian dari ketidaksadarannya?? menerima eksistensialisme Sartre setelah menghabiskan beberapa waktu hidupnya bersama Sartre... Benarkah Beauvoir sudah hidup secara otentik?
BalasHapusmenurut saya existensialisme satre sudah salah di dasarnya. Dasar dari existensialisme satre adalah ketidak beradaan tuhan, sedangkan tuhan sendiri menurut saya juga existensialis, dia membebaskan kita untuk hidup bebas, kita diberi kebebasan memilih mana agama kita dan bagaimana memaknainya.
BalasHapus