KAPITALISASI DESA DAN HILANGNYA “PESONA DUNIA”
MENILIK PROSES PENGKOTAAN DESA DAN BERBAGAI DAMPAK YANG DITIMBULKANNYA
By Wahyu Budi Nugroho
Pendahuluan
“Tak ada tema yang paling kerap menjadi pembicaraan para pakar di abad 21 melainkan globalisasi”, kurang-lebih demikian ungkap Giddens, sosiolog kenamaan Inggris dalam The Third Way dan agaknya pernyataan tersebut memang telah sepatutnya diamini. Tak hanya itu saja, Giddens menambahkan bahwa saat ini kita hidup dalam dunia yang begitu berbeda dengan sebelumnya di mana berbagai perubahan signifikan terjadi dan mempengaruhi hampir setiap belahan dunia. Tumbangnya Komunisme Soviet, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya berikut berbagai penemuan dan perubahan struktur konstelasi dunia dewasa ini.[1]
Namun kiranya, dari berbagai “topik besar” yang telah dikemukakan di atas, pembicaraan sekitar globalisasi tetap menjadi primadona di antara para pakar dunia-ilmuwan sosial, ekonom, politikus dan berbagai pakar lainnya. Beberapa di antara mereka yang kerap mewacanakan globalisasi semisal Giddens, Arjun Appadurai, Robertson, Ritzer, Mierson, Sardar dan Anwar Ibrahim.[2] Terkait globalisasi, Giddens mendefinisikannya sebagai proses “penyempitan ruang dan waktu” di mana analisisnya menunjukkan bagaimana sebuah kebijakan yang lahir di salah satu sudut atau ruangan Eropa dapat berdampak besar bagi belahan bumi lain semisal Asia dan Afrika.[3] Di satu sisi, Ritzer dengan apik membungkus konsep homogenisasi (baca: westernisasi) dari globalisasi melalui kajiannya atas hilangnya “efek kejut” berbagai belahan bumi.[4]
Terkait hal di atas, modernisasi yang dibawa globalisasi faktual telah merambah berbagai daerah pelosok dan terpencil dunia sebagaimana ditegaskan Giddens dan Appadurai. Hal tersebut, tak pelak membawa pengaruh signifikan pada berbagai wilayah semisal pedesaan baik dalam aspek fisik maupun nonfisik, infrastruktur maupun superstruktur yang di dalamnya mencakup teknologi, berbagai barang kebutuhan dasar, berikut nilai dan norma masyarakat. Hal tersebutlah yang kemudian dapat diistilahkan dengan “kapitalisasi” atau “proses pengkotaan” desa dan dalam kesempatan ini menjadi minat penulis untuk lebih jauh mengkajinya dalam sebentuk paper terkait pembangunan masyarakat kota dan desa. Jelasnya, berbagai hal di atas akan dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai uraian berikut.
Perdebatan Sekitar Lahirnya Globalisasi:
Kesengajaan atau Ketidaksengajaan?
Sebelum lebih jauh melangkah pada berbagai dampak yang dibawa arus modernisasi dalam globalisasi, menjadi sesuatu yang patut tak terlewatkan kiranya penelisikan atas perdebatan sekitar kemunculan globalisasi sebagai suatu proses yang disengaja ataukah tidak. Hal tersebut begitu penting mengingat “kehebatan” globalisasi dalam mengubah wajah dunia dan menghasilkan berbagai implikasi sehingga diharapkan melalui penelusuran di atas dapat ditarik secara jelas “ujung” dan “pangkalnya”.
Layaknya dewa perang Romawi Kuno, Janus, yang memiliki dua wajah saling berlawanan dengan kepala tunggal, begitu pula dengan perspektif yang hadir bersamaan dengan globalisasi. Terkait hal tersebut, faktual ditemui saling silang pendapat antara berbagai pakar dalam menanggapi fenomena globalisasi. Umumnya, mereka yang berkutat pada bidang teknologi dan ranah keilmuan eksak-nonsosial positivistik-menganggap globalisasi sebagai suatu proses yang lumrah, yakni terkait erat dengan kemajuan dan perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi yang memang tak terduga sebelumnya.[5]
Di sisi lain, muncul perspektif atas globalisasi yang menganggapnya sebagai suatu proses yang “disengaja” yakni sebentuk “konspirasi” yang kental dengan motif ekonomi. Pandangan atas globalisasi yang demikian umumnya tercetus melalui buah pemikiran para ilmuwan sosial, politikus dan ekonom yang sebagian besar berhalauan “kiri”.[6] Kiranya beberapa tokoh semisal Andre Gunder Frank, Dos Santos, Samir Amin, Todaro, Cardoso dan kawan-kawan yang tergabung dalam mahzab ekonomi-politik menjadi contoh konkret.[7] Di era kontemporer, kiranya nama-nama seperti Hugo Chavez, Evo Moralez dan Kim Jong Ill tak asing tergabung pula dalam deretan skpetis globalisasi. Kesemua hal tersebut tak mengherankan mengingat begitu kecilnya “keuntungan” yang diperoleh negara dunia ketiga dan negara berkembang dalam konstelasi global yang justru menuai backwash effect atas globalisasi.
Kapitalisasi Desa dan Berbagai Dampak yang Ditimbulkannya
Sebagaimana telah disinggung subbab sebelumnya di mana arus globalisasi telah merambah berbagai tempat di dunia tak terkecuali daerah pedesaan dan menghasilkan dua ragam transformasi yang bersifat fisik maupun nonfisik. Terkait hal tersebut, oposisi biner yang terjadi antara masing-masing ragam transformasi faktual kembali ditemui. Lebih jauh, hal tersebut akan dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan berikut.
Transformasi Fisik dan Hilangnya “Pesona Dunia”
Transformasi fisik pedesaan akibat kapitalisasi yang dibawa arus globalisasi salah satunya begitu tampak melalui hadirnya berbagai bangunan perkotaan yang kian tak asing lagi dijumpai pada daerah pedesaan. Di Indonesia, secara konkret hal tersebut dapat ditilik melalui fenomena muunculnya pusat-pusat perbelanjaan modern franchise semisal Indomaret dan Alfamart. Dalam ranah sosiologi modern, pembahasan di atas agaknya menemui korelasi terhadap pengkajian Ritzer atas fenomena “Mc Donaldisasi” yang merambah berbagai tempat di dunia.[8]
Lebih jauh, baik Mc Donaldisasi, “Indomaretisasi” atau “Alfamartisasi” menghasilkan apa yang disebut Weber dan diamini Ritzer sebagai disenhancment of the world ‘hilangnya pesona dunia’.[9] Hal tersebut lebih lanjut dijelaskan Ritzer melalui hilangnya “efek kejut” dalam kehidupan manusia yang pada dasarnya-efek kejut-menjadi salah satu elemen penting bagi penciptaan “dunia yang mempesona”. Sebagai ilustrasi, kerap ditemui penduduk perkotaan yang menjadikan pedesaan sebagai tempat berlibur, sarana melepas lelah dan ketegangan (baca: refreshing). Namun demikian, dengan munculnya fenomena Indomaretisasi atau Alfamartisasi, efek kejut sebagai prasyarat mencipta dunia yang mempesona makin terkikis, lebih jauh, hal tersebut dikarenakan kian tak ditemuinya perbedaan mendasar antara desa dengan kota sebagai konsekuensi homogenisasi kapitalis. Oleh karenanya, tak heran Weber dan Ritzer menyebutnya sebagai disenhancment of the world atau “hilangnya pesona dunia”, penyeragaman antara desa dengan kota yang menyebabkan hilangnya something special pada masing-masing entitas.
Di satu sisi, hilangnya pesona dunia akibat penyeragaman antara desa dengan kota sebagai efek yang dibawa globalisasi-kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi-disebabkan pula oleh fenomena “desakralisasi”. Apa yang dimaksud dengan desakralisasi ialah terkikisnya berbagai hal sakral akibat komodifikasi. Dengan kata lain, komodifikasi budaya sedikit-banyak memiliki pengaruh atas degradasi nilai-nilai kebudayaan sebagai akibat pergeseran motif dan nilai-nilai yang dijunjung bersama di mana kepentingan ekonomi yang diejawantahkan melalui rasionalitas formal memiliki proporsi lebih besar ketimbang kesakralan yang dikerangka rasionalitas tradisional.[10]
Sebagai misal, upacara adat di daerah tertentu yang awalnya begitu tertutup dan tak sembarang orang dapat mengikuti prosesinya menunjukkan sejauh mana tingkat kesakralan dan kramatnya hal tersebut, namun dengan adanya komodifikasi budaya di mana setiap orang diizinkan mengikuti upacara adat tersebut maka intensitas pengunjung yang datang mengikutinya pun kian meningkat sehingga desakralisasi-lah sebagai konsekuensi yang hadir kemudian. Hal tersebut wajar mengingat kualifikasi finansial yang sekedar menjadi ukuran boleh-tidaknya seseorang mengikuti prosesi sakral ketimbang berbagai hal yang bersifat religius dan kental mengandung nilai-nilai transendensi, terlebih dengan hadirnya antropolog, arkeolog ataupun pakar-pakar keilmuan lain pada prosesi sakral tersebut yang sekedar menyederhanakannya menjadi simbol-simbol semiotik sebagaimana ditegaskan Clifford Geertz.
Di sisi lain, hilangnya pesona dunia akibat transformasi fisik pedesaan tak hanya terjadi pada aspek psikis melainkan pula dalam ranah ekonomi yakni tergerusnya sarana perbelanjaan semi-Modern semisal toko kelontong dan sejenisnya. Hadirnya pusat-pusat perbelanjaan modern di pedesaan tak pelak mengancam eksistensi toko-toko kecil masyarakat pedesaan karena sebagaimana analisis yang ditunjukkan Baudrillard, berbagai pusat perbelanjaan modern ibarat drugstore ‘toko obat’ yang menjual berbagai barang konsumsi baik yang sifatnya low consumption hingga high consumption dalam skala besar.[11]
Mekanisasi pertanian tak luput andil mengikis hilangnya pesona dunia pedesaan, beberapa hal tersebut tampak melalui penggunaan traktor dan mesin ketam dalam keseharian kaum tani. Dapatlah dibayangkan, ketika kaum tani di suatu daerah pedesaan menggunakan kerbau untuk meluku sawah atau bergotong-royong mengetam padi, terpikirkan suatu bentuk kehidupan harmonis yang terjalin di antara mereka. Namun kiranya, seketika struktur kognitif berbalik ketika melihat traktor diesel berbahan bakar fosil dengan berbagai polusi udara dan suara digunakan, begitu juga dengan mesin pengetam padi yang kian mereduksi intensitas gotong-royong kaum tani dan membuat hubungan yang terjalin di antaranya kian berjarak. Jelas dan tegasnya, kesemua hal tersebut menyebabkan “hilangnya pesona dunia”...
Transformasi Nonfisik dan Hilangnya “Pesona Dunia”
Apabila sebelumnya penelisikan atas bentuk-bentuk transformasi fisik dan berbagai dampak yang ditimbulkannya telah dilakukan maka subbab ini secara khusus berupaya mengkaji berbagai bentuk transformasi nonfisik pedesaan berikut konsekuensi yang hadir bersamaan dengannya kemudian. Dalam hal ini, kiranya analisis cultural studies menjadi pisau bedah yang bakal digunakan bagi penelisikan lebih jauh atasnya.
Terkait dengan korelasi perspektif cultural studies atas kapitalisasi pedesaan, kiranya konsep “habitus” Pierre Bourdieu menempati posisi sentral dalam pembahasan ini, habitus sendiri oleh Bourdieu didefinisikan sebagai,
...suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktek-praktek yang terstruktur dan terpadu secara objektif. (Bourdieu, dikutip dalam Richard Harker [et al.] 2005:13)[12]
Jelasnya, menurut Bourdieu habitus melakukan praktek kerja secara sadar maupun tak sadar yang salah satunya tampak melalui gerakan tubuh yang kerap dianggap remeh orang, dari cara makan, bicara, berjalan hingga membuang ingus yang kesemuanya terkait erat dengan pembagian kerja berikut prihal dominasi-dormant.[13] Secara singkat dan sederhana habitus dijelaskan George Ritzer sebagai “struktur mental atau kognitif“ yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Dalam hal ini, aktor dibekali seperangkat sistem nilai, norma dan pengetahuan di lingkungan manapun ia berada, seperangkat sistem (baca: modal) tersebutlah yang nantinya berguna untuk “menghadapi dunia“. Dengan demikian, habitus bersifat “diciptakan dan menciptakan“, atau dengan kata lain “struktur yang menstruktur“ (structuring structure).[14]
Terkait hal di atas, agaknya “penindasan habitus“ menjadi salah satu konsekuensi akut yang hadir bersamaan kapitalisasi pedesaan. Secara sederhana-guna menghindari tautologi dalam pembahasan ini-habitus menunjuk pada bagaimana suatu lingkungan entah geografis, pergaulan ataupun biologis mempengaruhi dan membentuk prilaku individu atau kelompok. Dalam hal ini, fenomena kapitalisasi pedesaan-masih dapat diistilahkan dengan modernisasi pedesaan-sebagaimana disinggung Appadurai sebelumnya membawa berbagai muatan informasi pada masyarakat pedalaman terutama terkait dengan food, fun and fashion.
Melalui penyeragaman food, fun and fashion di atas, jamak diketahui hampir selalu terjadi dikotomi di dalamnya, yakni terkait dengan mereka yang cenderung tertutup ataukah terbuka dalam menerimanya. Umumnya, mereka yang cenderung tertutup atas berbagai hal baru yang datang dari “luar“ ialah golongan tua yang “konservatif“ dan “primordialis“, sedangkan mereka yang cenderung terbuka bagi perubahan adalah golongan muda yang kian “nakal“ mempertanyakan eksistensi status quo.
Dalam hal ini, ketika berbagai instrumen kapitalis berupaya memasarkan produk-produknya melalui media televisi, radio maupun spanduk, baliho ataupun banner di pedesaan dan sedikit-banyak mempengaruhi muda-mudi yang memang lebih berpembawaan “inovatif“ maka dengan segera ditemui struktur fisik yang berubah signifikan di dalamnya yakni mereka kaum muda yang cenderung berpenampilan trendy, modern dan fashionable, sedangkan mereka kaum tua yang cenderung berpenampilan tradisional, ala kadarnya dan sesuai kebutuhan.
Namun demikian, apa yang menjadi lebih “gawat“ lagi ialah tersegregasinya hubungan dan pergaulan di antara kalangan pemuda maupun pemudi pedesaan itu sendiri. Konkretnya, segregasi tersebut tampak melalui hubungan pergaulan yang didasarkan pada kesamaan minat dan ikatan semisal kelompok pemudi yang gemar berbelanja di Indomaret atau Alfamart, kelompok pemudi yang fashionable, kelompok pemuda yang membentuk genk motor, yang kesemuanya jelas berbanding terbalik dengan pemudi yang tak mampu berbelanja di pusat-pusat swalayan modern, tak fashionable atau pemuda yang tak memiliki motor. Dengan demikian, fenomena tersebutlah yang diistilahkan Bourdieu sebagai habitus yang dimiliki masing-masing individu atau kelompok. Disadari dan diakui atau tidak, masing-masing habitus memiliki rambu-rambu berikut batasan yang laten, ia memiliki seperangkat nilai, norma, kebiasaan, pandangan dan struktur mental yang berbeda. Dengan demikian, dapatlah dibayangkan begitu sulitnya satu kelompok habitus ataupun entitas habitus menembus (baca: berinteraksi) dengan kelompok atau entitas habitus lain karena masing-masing telah tersekat sedemikian rupa.
Sebagai misal, seorang anak yang belum pernah mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan modern entah dikarenakan ketidakmampuannya secara ekonomi ataukah disebabkan faktor-faktor mental tertentu pastilah mendapati dirinya “canggung“ bila berinteraksi dengan kelompok anak yang didasarkan pada minatnya mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan modern, layaknya kelompok elit yang “risih“ bila berupaya dimasuki mereka yang berada di luar kategori “elit“. Begitu pula, mereka yang tak fashionable merasa “minder“ jika berinteraksi atau sekedar bertatap muka dengan kelompok fashionable dan berbagai contoh konkret lainnya.
Berbagai contoh konkret di atas kiranya cukup menjelaskan apa yang dimaksud dengan “penindasan habitus“ di mana secara laten dan halus ditemui bentuk-bentuk struktur dominan-dormant yang bermain di dalamnya, yakni bagaimana pihak dominan (individu atau kelompok) dengan leluasa membuat “canggung“, “kikuk“ dan “minder“ pihak dormant. Kesemua hal tersebut pastinya turut andil mengikis harmonisasi kebersamaan masyarakat desa yang secara tak langsung menyebabkan pula “hilangya pesona dunia“.
Kesimpulan & Penutup
Melalui berbagai uraian dan penjabaran singkat di atas, dapatlah dianalisis bagaimana kapitalisasi desa atau proses pengkotaan desa memiliki andil besar atas hilangnya “pesona dunia“. Hal tersebut setidaknya tampak melalui berbagai transformasi struktur fisik maupun nonfisik pedesaan yang justru berdampak negatif pada kondisi psikis, batin dan ekonomi masyarakat bersangkutan. Dengan demikian, kiranya dapat dibenarkan penegasan Weber yang menyatakan bahwa kehidupan modern memiliki karakter spesialis tanpa visi, sesualis tanpa hati dan ... kekosongan, sebagaimana ditegaskan kembali oleh Ritzer, “Tiada lain yang dikonsumsi masyarakat modern melainkan kehampaan...“.
∞
Referensi
§ Giddens, Anthony. 2002. The Third Way . Jakarta : Gramedia.
§ Sardar, Ziauddin-Van Loon, Borin. 2001. Cultural Studies for Beginners. Bandung : Mizan.
§ Ritzer, George. 2006. The Globalization of Nothing. Yogyakarta : Andi Offset.
§ Ritzer, George-Goodman, Douglas J. 2006. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana.
§ Clements, Kevin P. 1997. Teori-Teori Pembangunan Dari Kiri ke Kanan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
§ Wrong, Dennis (Ed.). 2003. Max Weber: Sebuah Khazanah. Yogyakarta : Ikon.
§ Harker, Richard (et al.). 2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Yogyakarta : Jalasutra.
[1] Anthony Giddens, The Third Way , Gramedia, Jakarta , 2002, h. 32-38.
[2] Selengkapnya baca Ziauddin Sardar-Borin Van Loon, Cultural Studies for Beginners, Mizan, Bandung, 2001 & George Ritzer, The Globalization of Nothing, Andi Offset, Yogyakarta, 2006.
[3] Anthony Giddens, op. cit., h. 35.
[4] George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta , 2006, h. 565.
[5] Anthony Giddens, op. cit., h. 35-36.
[6] Loc. cit.
[7] Selengkapnya baca Kevin P. Clements, Teori-Teori Pembangunan Dari Kiri ke Kanan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta , 1997.
[8] George Ritzer-Douglas J. Goodman, op. cit., h. 564-571.
[9] George Ritzer, op. cit., h. 49.
[10] Dennis Wrong (Ed.), Max Weber: Sebuah Khazanah, Ikon, Yogyakarta , 2003, h. 42-44.
[11] George Ritzer-Douglas J. Goodman, op. cit., h. 569
[12] Richard Harker (et al.), (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, Jalasutra, Yogyakarta , 2005, h. 13.
[13] Loc. cit.
[14] George Ritzer-Douglas J. Goodman, op. cit., h. 522.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar