MELIHAT LEBIH DEKAT MARXISME…[1]
ILMU EKONOMI, ANTROPOLOGI DAN SOSIOLOGI DALAM MARXISME
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Sekilas Karl Marx
Berbicara mengenai marxisme tidak mungkin lepas dari seorang tokoh bernama Heinrich Karl Marx mengingat marxisme sendiri merupakan suatu pemahaman yang didasarkan pada pemikiran-pemikiran Marx. Karl Marx lahir di Trier, Prusia (saat ini Jerman) pada 5 Mei 1818 dari keluarga kelas menengah keturunan rabbi Yahudi yang kemudian menjadi penganut ajaran Protestan ketika Marx masih sangat muda. Riwayat pendidikannya antara lain tercatat sebagai mahasiswa Ilmu Hukum di Universitas Bonn, mahasiswa Ilmu Filsafat di Universitas Berlin serta menjadi mahasiswa di Universitas Jena untuk bidang ilmu yang sama sekaligus memperoleh gelar doktoralnya di universitas tersebut, serta pernah pula mempelajari Ilmu Ekonomi Politik dan Sejarah secara intensif di Prancis dan Inggris.
Di Berlin Marx sempat berpartisipasi dalam keanggotaan Doktorclub-merupakan tempat berkumpulnya hegelian muda-yang segera ditinggalkannya karena kecenderungan teoretis kelompok ini. Kariernya dimulai sebagai editor utama sebuah surat kabar di Koln bernama Rheinische Zeitung, tulisan pembelaannya terhadap pemberontakan pekerja Silesian serta simpatinya terhadap para Mossele membuat pemerintah geram dan kemudian membreidel surat kabar tersebut serta membuang Marx keluar Jerman tak lama setelah ia menikah pada 1843 dengan Jenny Von Westphalen. Setelah insiden tersebut Marx pergi ke Prancis guna merasakan suasana yang lebih liberal, di sana ia menjadi editor untuk surat kabar Deutsch-franzosische Jahrbucher. Di Prancis pulalah ia berkenalan dengan Engels-anak pengusaha pabrik tekstil di Manchester, Inggris yang menjadi seorang sosialis-dan kelak akan menjadi sahabat seumur hidupnya. Berkolaborasi dengan Engels, Marx menulis The Holy Family ‘Keluarga Suci’ yang menunjukkan ketertarikannya terhadap persoalan ekonomi. Tak lama setelah Marx bekerja secara intensif dalam analisis ekonomi yakni sebuah kontrak untuk pengerjaan sebuah buku ekonomi, ia dan Jenny diusir dari Prancis sebagai “orang yang tak diinginkan secara politis”, dari sana ia berpindah ke Brussels.
Di Brussels Marx kembali berkolaborasi dengan Engels menulis pamflet yang kemudian terkenal tiada bandingannya yaitu The Communist Manifesto atau yang juga dikenal dengan nama ilmiah Matrealisme Dialektis. Revolusi yang pecah di Prancis, Jerman dan Hongaria menarik minat Marx kembali ke Jerman guna menerbitkan New Rheinische Zeitung. Setelah kekalahan revolusi di Jerman, Marx menghadapi tuntutan penghasutan oleh pemerintah, walaupun pidatonya di depan hakim mengundang simpati dan segera membebaskannya, Marx tetap ditendang keluar Jerman untuk kedua kalinya dan kali ini berpindah ke Inggris di mana Engels menetap.
Di Inggris Marx dan istrinya, Jenny menghabiskan sisa hidup, Marx juga tetap setia pada profesi terdahulunya yakni menjadi editor-yang kali ini untuk New York Tribune selama 12 tahun serta beberapa koran lainnya seperti Vienna Presse. Pada 1859 Marx menerbitkan A Contribution to the Critique of Political Economy sebagai hasil buah studinya dalam ekonomi politik, kemudian pada 1867 ia menerbitkan Capital, A Critique of Political Economy, Volume I atau lebih dikenal dengan nama Das Kapital dalam bahasa Jerman serta Matrealisme Historis dalam ranah ilmiah. Marx menderita bronkitis dan pada akhirnya meninggal pada tahun 1883-dua tahun setelah Jenny istrinya meninggal. Marx memiliki tujuh orang anak, empat di antaranya meninggal akibat kecelakaan dan sisanya tiga orang putri-Laura, Eleanor dan Jenny-yang mampu membaca tulisan-tulisan Marx. Volume-volume lanjutan Das Kapital diselesaikan dan diterbitkan Engels yang juga bertindak sebagai editor hingga setahun sebelum kematiannya pada tahun 1894.[2]
Marxisme Sebagai Ideologi [3]
Terlepas dari berbagai definisi yang ada mengenai ideologi baik dalam ranah awam maupun intelektual, kata ideologi untuk pertama kali muncul melalui mulut seorang bangsawan Prancis bernama Antoine Desttut De Tracy pada akhir abad 18, baginya ideologi merupakan ilmu tentang pemikiran manusia yang dapat menunjukkan pada kebaikan, yakni bebasnya pemikiran manusia dari prasangka metafisika dan agama,[4] namun demikian, sebelum Tracy, konsep yang mengarah pada ideologi telah jauh hari dikemukakan Machiavelli dalam I’ll Prince serta Bacon melalui konsep “idola” dalam Novum Organum.[5] Menilik pada definisi ideologi yang dikemukakan Tracy agaknya menemui sedikit kemiripan dengan pikiran Marx, yakni pemikiran manusia yang seyogyanya bebas dari agama, karena menurutnya agama mengkonstruksi kesadaran palsu bagi kelas proletar dan lumpen proletariat yang berdampak pada munculnya false conciousness sehingga memperlemah perjuangan kelas tertindas untuk memperoleh haknya, yakni terkuburnya alienasi manusia dengan alam. Nuansa renaissance agaknya menjadi titik temu antara pemikiran Tracy dan Marx walaupun kemudian Marx mengutuk eksistensi ideologi.
Dalam perjalanannya, ideologi telah mengalami bentuknya yang amelioratif serta peyoratif, di tangan Tracy ideologi menjadi sesuatu yang baik, namun tiba-tiba di tangan Napoleon, Mannheim berikut teoretikus-teoretikus sosial kritis lainnya ideologi menemui bentuknya yang paling picik dan “tidak bisa dimaafkan”. Perdebatan mengenai ideologi yang telah lama berlangsung dalam ranah positivis dan kritis hingga saat ini memang belum menemui titik temu, namun apabila analisis yang lebih cermat kita lakukan, ideologi akan tampak terkungkung di antara dua hal tersebut, hal ini terlihat melalui posisi Popper yang membingungkan dalam perdebatan tersebut, di satu sisi, Popper menolak anggapan marxis-leninis atas klaim sejarah, namun ia tetap mempertahankan sisi bebas nilai yang ada dalam ilmu pengetahuan. Begitu pula dengan kritis, ia tidak sepakat dengan pembekuan yang dicapai marxis-leninis, namun sebaliknya, kritis menyokong ilmu pengetahuan yang tidak bebas nilai.[6] Ideologi dalam porsinya secara umum membawa sisi “ketetapan-ketetapan” dalam sejarah serta bentuknya yang tidak bebas nilai.
Terlepas pula dari methodenstreit[7] yang ketat seperti apa yang telah dijelaskan di atas, marxisme sebagai ideologi tak dapat dipungkiri memiliki andil besar menggoreskan tinta dalam lembaran sejarah dunia, tercatat pada periode 1945-1990 hampir separuh dari penduduk dunia hidup di bawah rezim yang menamakan diri marxis,[8] ia telah menjadi salah satu ideologi besar dunia di samping kapitalisme, fasisme, Islam serta Nasrani.[9] Marxisme yang kita kenal saat ini, disadari atau tidak cenderung pada buah pikiran Marx tua yang tertuang dalam The Communist Manifesto dan Capital yang menyiratkan generalisasi empiris masyarakat tanpa kelas dan kehidupan ekonomi sama rasa-sama rata. Sebaliknya, apabila kita mengkaji pemikiran-pemikiran Marx muda maka perjumpaan dengan kontradiksi-kontradiksi terhadap pemikiran Marx tua tidaklah terhindarkan, terutama konsepnya mengenai individu seperti apa yang telah dikaji Adam Schaff, filsuf marxis Polandia yang membuka cakrawala dunia tentang wajah lain Marx.[10]
Marxisme yang berpijak pada dua kitab suci matrealisme Marx dipengaruhi oleh idealisme Hegel dan Feurebach, ekonomi klasik Smith dan Ricardo serta sosialisme Owen dan Saint Simon.[11] Melalui pencapaiannya, Marx disebut-sebut sebagai penemu Sosialisme Ilmiah mengingat tidak ditemukannya suatu pengkajian yang cermat, sistematis dalam kerangka metode ilmiah terhadap sosialisme sebelumnya. Hal di ataslah yang kemudian juga memberi peluang marxisme sebagai pijakan ilmu-ilmu sosial atau humaniora[12] serta humanisme dengan sendirinya, seperti apa yang dikatakan Neil J. Smelser bahwa pikiran-pikiran Marx merupakan salah satu teori-teori yang paling komprehensif tentang manusia dan masyarakat yang pernah dikenal dunia pengetahuan.[13]
Dalam Theses on Feurebach Marx sempat menulis, “para filsuf hanya menafsirkan dunia secara berbeda-beda dalam berbagai cara; pokok yang penting adalah mengubahnya”,[14] ini mengisyaratkan humaniora-marxisme agaknya akan menjelma menjadi mahzab frankurt[15], yakni tidak bebas nilai serta bermisi pembebasan atas pihak-pihak tertindas seperti apa yang dinalurikan Marx. Setidaknya, dalam humaniora marxisme dapat diterapkan dalam disiplin Ilmu Ekonomi, Antropologi dan Sosiologi walaupun memang, cakupan marxisme sesungguhnya lebih luas dari tiga disiplin tersebut, yakni mencakup pula bidang sastra serta budaya, namun demikian ketiga disiplin di atas menjadi bagian yang paling kentara dalam marxisme.
Apabila kita memperhatikan pendapat Peter Beilharz maka ada benarnya bahwa satu Marx dapat diterjemahkan dalam banyak Marx yakni Marx sebagai ekonom, antropolog, sosiolog atau bahkan sebagai seorang filsuf.[16] Predikat ekonom ia dapatkan melalui kajiannya yang komprehensif mengenai sejarah matrelisme dan konsep-konsep ekonomi yang dicetuskannya dalam Das Kapital atau Matrealisme Historis yang terbit dalam tiga volume, ia pulalah yang untuk pertama kalinya memunculkan istilah “kapitalisme” dan “kapitalis” dalam buku tersebut. Marx sebagai antropolog dapat dikaji lebih jauh melalui analisisnya tentang konsep “alienasi” atau keterasingan yang dialami manusia sebagai buruh. Julukan sebagai sosiolog ia rangkul karena kajian dan prediksinya mengenai perkembangan masyarakat, antara lain dari tahapan primitif menuju feodalisme, kemudian kapitalisme, selanjutnya sosialisme dan kemudian hari ditambatkan periode komunisme (take off) oleh Lenin, sedangkan Marx sebagai filsuf diakibatkan kajian keilmuannya yang komprehensif-menyentuh berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian, melalui berbagai pertimbangan di atas, marxisme sebagai landasan humaniora serta humanisme agaknya memang mungkin untuk dipenuhi.
Ekonomi Marxis
Aspek ekonomi dominan tertuang dalam maha karya Karl Marx, Capital, lebih jauh banyak pihak mengatakan bahwa marxisme yang berlandaskan Capital adalah paham ekonomi sama rasa-sama rata, atau lebih singkatnya marxisme adalah sosialisme itu sendiri. Konsep alienasi seperti apa yang telah dijelaskan di atas memang lebih banyak tercakup dalam kajian antropologi, namun beberapa diantaranya dapat diklasifikasikan dalam bidang ekonomi seperti konsep alienasi nilai guna.
Alienasi ekonomi bagi Marx terjadi ketika manusia lebih berpihak pada profit ketimbang pertukaran yang adil. Di masa sebelum pencarian keuntungan berlangsung, segala sesuatu dijelaskan oleh Marx ditukarkan scara adil, ambilah contoh ketika sepasang sepatu dapat dikerjakan dalam tempo satu hari sedangkan sebuah jam tangan memerlukan waktu 20 hari, maka apabila seorang pembuat sepatu menginginkan sebuah jam tangan, maka ia harus menukarkannya dengan 20 pasang sepatu, inilah tinjauan Marx mengenai pertukaran yang adil.[17] Alienasi ekonomi kemudian berlanjut pada alienasi nilai guna, yakni ketika produksi untuk kegunaan bergeser menjadi untuk pertukaran.
Pertumbuhan Sejarah & Pengambilalihan
Sebelum abad 15 (sebelum kapitalisme lahir) barang diproduksi untuk digunakan-sesuai dengan definisi ekonomi yang dikemukakan Aristoteles. Sebagai misal pakaian yang kita gunakan, sebelum abad 15 diproduksi untuk langsung kita gunakan, namun setelah abad 15 pakaian tersebut diproduksi untuk dijual, inilah yang dinamakan produksi untuk pertukaran (jual-beli) yang dalam pandangan Aristoteles dinamakan dengan chrematistics[18]. Pada abad sebelum 15 pula, manusia tidak dipisahkan dari alat produksinya yang dibuktikan dengan eksistensi kehidupan bercorak subsisten, yakni produksi untuk konsumsi sendiri.[19] Namun kemudian di sekitar abad 15-17 terjadilah apa yang dinamakan Marx dengan “pertumbuhan sejarah” sebagai proses pengambilalihan. Di era tersebut sekelompok orang (bangsawan) dengan kekuatan yang dimilikinya mengambil alih secara brutal lahan-lahan pertanian yang dimiliki masyarakat, kemudian memaksa mereka bekerja di pabrik-pabrik yang diciptakan feodalis, inilah saat di mana manusia dipisahkan secara langsung dengan alat produksinya.[20] Berbagai “keterasingan” manusia menurut Marx muncul kemudian terkait hal ini. Tahapan tersebut menandai masuknya masyarakat primitif dalam tahapan feodalis-kapitalis.[21]
Alienasi Nilai Guna
Konsep alienasi nilai guna dijelaskan pula secara cerdas oleh Marx dalam analisis surplus kapitalis-yang sekaligus menggambarkan betapa kapitalis mendewakan nilai tukar dibandingkan nilai guna. Surplus atau kelebihan produksi menurut Marx akan selalu terjadi secara berkala dalam sektor pertanian dan perkebunan. Pada periode-periode tertentu, tanah memberikan hasil yang minus bagi panen, namun dalam periode lainnya secara natural, tanah akan memberikan hasil panen yang berlebih, inilah yang disebut dengan surplus atau kelebihan produksi. Ketika terjadi surplus, harga barang yang ada di pasaran jatuh mengingat banyaknya barang yang beredar, hal ini akan diatasi kapitalis dengan mengurangi stok barang yakni menghancurkannya dengan jalan apapun. Sebagai contoh, pada tahun 1930-an ketika depresi ekonomi terjadi, pasar dibebani kelebihan produksi tidak hanya pada sektor pertanian dan perkebunan tetapi juga peternakan. Akibat kelebihan produksi tersebut, berbagai harga komoditas pangan anjlok, akibatnya para kapitalis membakar kelebihan produksi seperti padi, tomat, cengkeh dan membuang susu dengan cuma-cuma.[22] Dapat dibayangkan, demi profit, kapitalis dengan mudahnya membakar padi, tomat, cengkeh dan membuang susu dengan cuma-cuma, tak peduli banyak orang menderita dan kelaparan membutuhkan komoditas tersebut.
Nilai Lebih
Pencapaian penting lain Marx adalah pengungkapannya terhadap rahasia nilai lebih. Bagi Marx, nilai lebih lahir melalui perpanjangan waktu kerja dan percepatan produksi yang jelas mempercepat si kapitalis menebalkan kantong uangnya. Semisal seseorang yang bekerja di pabrik sepatu, gaji yang diperolehnya selama satu hari kerja adalah Rp10.000,- sedangkan dalam satu hari ia dapat menghasilkan lima pasang sepatu yang tiap-tiap pasang sepatu berharga Rp100.000,-, jadi dalam sehari ia digaji Rp10.000,- sedangkan barang yang dihasilkannya selama satu hari pula bernilai Rp 500.000,-, apabila kita amati di sini, maka terjadi apa yang disebut Marx sebagai nilai lebih sebesar Rp 490.000,-. Seharusnya, gaji yang dibayarkan kepada pekerja tersebut setengah-atau paling tidak-mendekati harga komoditas yang dihasilkannya yakni Rp 490.000,-, namun dalam proses industri kenyataannya adalah lain. Pekerja yang dalam sehari digaji Rp 10.000,- menurut Marx seharusnya menghasilkan barang yang selama satu hari pula bernilai sedikit lebih dari Rp 10.000,-, bukannya Rp 490.000,-. Inilah yang disebut Marx sebagai “nilai lebih”. [23]
Sirkuit Modal
Sebagai kelanjutan dari penemuannya terhadap nilai lebih, Marx kemudian berhasil mengungkap rahasia ketimpangan antara si kaya dengan si miskin yang tersirat dalam konsepnya mengenai sirkuit modal atau uang. Perbedaan sirkuit modal atau uang antara borjuis dengan proletar dalam proses industri menyebabkan ketimpangan atau kesenjangan yang lebih dalam antara mereka. Dalam hal ini, Marx membagi dua konsep sirkuit modal antara si miskin dengan si kaya, baginya, si miskin memiliki konsep sirkuit modal K-U-K di mana “K” adalah “komoditas” dan “U” adalah “uang”. Seperti kita ketahui, komoditas adalah segala sesuatu yang dibuat atau diproduksi untuk diperjual-belikan.[24] Sebagai misal yang lebih konkret karena buruh cukup abstrak yakni menjual tenaga, ambilah contoh penjahit, ia akan membuat komoditas berupa pakaian untuk dijual, hasil penjualan akan menghasilkan uang, selanjutnya uang yang dihasilkan dari penjualan tersebut akan kembali sebagai komoditas yakni digunakannya untuk membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari. Dalam analisis Kiyosaki seseorang dengan konsep ekonomi demikian telah masuk dalam rat race ‘perlombaan tikus’, terperangkap pada kehidupan ekonomi “bekerja untuk uang”, seseorang yang demikian menurutnya dipastikan sulit menjadi kaya.[25]
Sebaliknya pada analisis Marx terhadap sirkuit modal borjuis, dari pengamatannya dihasilkan rumusan U-K-U. Para borjuis memiliki uang atau modal, mereka gunakan untuk membeli komoditas, lalu komoditas itu sendirilah yang akan menghasilkan uang dengan sendirinya tanpa bersusah-payah. Ketika terjadi profit atau keuntungan dibandingkan U sebelumnya maka U sebelumnya akan berubah menjadi U1 sehingga rumusan kemudian adalah U-K-U1, ketika modal dan keuntungan terus-menerus terakumulasi dalam U1 kemudian digunakan kapitalis untuk membeli komoditas lain dan sisa dari U1 tersebut tetap lebih besar dari U sebelumnya, maka dengan segera U1 tersebut akan berubah menjadi U2, sehingga rumusan kemudian adalah U-K-U2, ketika tahapan ekonomi seseorang telah mencapai U2 dan mampu mempertahankannya, menurut Marx telah terjadi akumulasi modal dan dengan sendirinya ia telah menjadi “kapitalis sejati”. Secara ringkas, dampak dari akumulasi modal yang dilakukan kapitalis akan menyebabkan yang kaya semakin kaya dan sebaliknya bagi yang miskin.[26]
Prediksi Kehancuran Kapitalisme
Antusias yang cukup besar terhadap Marx muncul pula sebagai dampak dari keberhasilannya meramalkan krisis ekonomi yang terjadi pada negara-negara kapitalis, yakni apa yang kita sebut dengan peristiwa great depression yang terjadi pada 1930-an. Walaupun banyak ekonom-ekonom kanan[27] mereduksi kegagalan ekonomi tersebut sebagai dampak dari Perang Dunia I (1914-1918), namun fakta menunjukkan peristiwa tersebut murni diakibatkan kepincangan kapitalisme.[28] Hal tersebut dijelaskan demikian, pada suatu periode kapitalis akan mengalami modal yang telah mencapai puncaknya-modal atau uang yang telah terakumulasi demikian besarnya. Dalam keadaan tersebut kapitalis justru “bingung” hendak dikemanakan modal atau uang yang telah memuncak tersebut, kapitalis hanya mampu untuk terus berproduksi dan berproduksi, di satu sisi, daya beli masyarakat telah melemah, sebagai akibat tersedotnya uang mereka guna membeli produk-produk kapitalis sebelumnya, terjadilah apa yang dinamakan overproduksi. Dalam masa-masa itu jumlah barang atau produk yang ada di masyarakat begitu melimpah tetapi tidak diikuti kemampuan konsumsi masyarakat, yang terjadi kemudian adalah meruginya pabrik-pabrik kapitalis, pada akhirnya pabrik-pabrik tersebut “gulung tikar” akibat tak kunjung mendapatkan profit, bisa ditebak, dampak yang paling urgen kemudian adalah membengkaknya pengangguran, terjadilah depresi ekonomi.[29]
Antropologi Marxis
Kajian Marx atas konsep alienasi dapat dikata cukup luas, mencakup aspek ekonomi hingga agama. Dalam kajian antropologi, konsep alienasi Marx dapat ditempatkan dalam analisisnya terhadap aktivitas buruh pabrik serta kesadaran manusia terhadap agama. Setidaknya, dalam proses produksi terdapat empat macam alienasi yang dialami buruh dalam aktivitas produksinya antara lain, alienasi buruh terhadap aktivitas kerjanya, alienasi terhadap barang yang dihasilkannya, alienasi buruh terhadap buruh lain serta alienasi buruh dari potensinya sendiri.[30]
Alienasi Terhadap Aktivitas Kerja
Alienasi buruh terhadap aktivitas kerjanya dapat dijelaskan dengan kondisi buruh yang melakukan proses produksi hanya berdasarkan ketentuan pemilik modal, mereka mau-tidak mau harus mengikuti keinginan produksi sang pemodal karena bagaimanapun juga faktual kapitalis tidak membeli kerja melainkan pekerja. Hal ini berarti, buruh dapat diperlakukan sesuka hati oleh majikan, bahkan menilik pada kondisi buruh di Inggris tahun 1830-an mereka bekerja 12-16 jam per harinya.[31] Alienasi terhadap aktivitas kerja menimbulkan rasa tidak nyaman bagi buruh yang bersangkutan, dalam arti, ketika buruh berada di tempat kerjanya, ia tidak serasa di rumah sendiri, atau paling tidak, sama sekali tidak merasakan kenyamanan di tempat kerjanya, inilah yang dimaksud keterasingan terhadap aktivitas kerja.
Alienasi Terhadap Produk yang Dihasilkan
Alienasi buruh terhadap barang atau produk yang dihasilkannya yakni suatu perasaan di mana manusia mengerahkan daya dan upayanya namun segala usaha tersebut tidaklah berguna baginya, berbeda dengan gambaran kehidupan manusia sebelum abad 15 di mana produksi adalah untuk kegunaan sehingga proses produksi manusia pada saat itu dirasakan langsung manfaatnya. Berbeda halnya pasca-Abad 15, ambilah contoh kehidupan buruh pabrik sepatu, memproduksi sepatu untuk mereka yang mampu membeli komoditas tersebut, sedangkan pemroduksinya sendiri (buruh) tidak mampu membelinya, barang tersebut dapat dikatakan sama sekali tak berguna baginya, dengan kata lain proses produksi yang dilakukannya adalah untuk orang lain.
Alienasi Buruh Terhadap Buruh Lain
Suasana kerja pabrik dengan mekanisasinya serta banyaknya jumlah pekerja yang tersedia di pasaran membuat buruh terprogram bersaing dengan buruh lain dalam usahanya mempertahankan penghidupan. Dalam hal ini dapat dilihat di mana manusia yang seyogyanya hidup kooperatif seperti apa yang dikatakan Plato dan Aristoteles sebagai makhluk sosial, dirubah keadaannya oleh pemilik modal ke dalam suasana yang penuh kompetisi-saling jegal demi mempertahankan kehidupan. Hal ini yang kemudian menurut Marx menciptakan false conciousness bagi sebagian buruh yang mendapat penghidupan dari kantong-kantong kapitalis, sebagai akibatnya revolusi buruh akan kian sulit dilakukan.
Alienasi Buruh Terhadap Potensi Diri
Buruh dalam kapasitasnya sebagai manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang tidak hanya terbatas pada kemampuannya sebagai instrumen proses produksi kapitalis. Seperti apa yang dikatakan Marx, bagaimana sekilas gambaran tatanan masyarakat sosialis, di mana pada pagi hari seseorang dapat menjadi petani, pada siang hari menjadi kritikus sastra dan pada malam hari menjadi penyanyi serta seterusnya demikian sesuai apa yang dikehendakinya sebagai makhluk otonom.[32] Kerja produksi yang dirancang kapitalis tak pelak mengurung potensi-potensi yang terdapat dalam diri manusia, buruh dipaksa bekerja dalam jangka waktu yang tidak masuk akal sehingga waktu guna mengembangkan potensi-potensi lain dirinya pun tak ada-sebagai tumbal dari pencapaian nilai lebih yang diharapkan pemilik pabrik.
Sosiologi Marxis
Pemikiran Marx bercirikan pencerahan dan positivis, di samping Tracy, seperti halnya Comte, ia begitu terpikat konsepsi evolusi sosial dan sosialisme yang dibawa Saint Simon.[33] Dalam Capital, pengungkapan Marx terhadap sejarah matrealisme menghantarkannya pada pentahapan masyarakat yang diawali dengan tahapan primitif, kemudian feodalis, selanjutnya kapitalis dan terakhir sosialis.[34] Apa yang membedakan berbagai tahapan tersebut adalah mode of production ‘bentuk produksi’. Tahapan primitif adalah era di mana alienasi manusia terhadap alam tidak terjadi, manusia tidak dipisahkan dari alat produksinya. Tahapan feodalis menandai kekuasaan bangsawan atau para tuan tanah atas petani yang dahulunya hidup subsisten. Tahapan lanjut dari feodalisme adalah kapitalisme, kondisi di mana para pemodal[35] menguasai proses produksi, namun demikian faktual antara tahapan feodalisme dan kapitalisme agaknya sedikit sulit untuk dibedakan, hampir keduanya eksis pada periode waktu yang sama. Tahapan masyarakat akhir bagi Marx adalah sosialisme, pada dasarnya Marx sendiri kurang begitu menjelaskan bagaimana bentuk masyarakat pada tahapan ini, kalimat kunci yang kita temukan dalam Capital terkait tahapan ini ialah, “dari seseorang dimintakan kesanggupannya, dan kepada orang tersebut diberikan sesuai dengan kebutuhannya” serta, “menjadi mungkin bagi kita untuk mengerjakan sesuatu hari ini dan hal yang lain lagi esok harinya; berburu di pagi hari, memancing di siang hari, beternak di sore hari, dan menjadi kritikus setelah makan malam, tanpa menjadi pemburu, nelayan, peternak dan kritikus”.[36] Bagi Marx, usaha untuk mencapai tahapan sosialisme haruslah ditempuh dengan jalan revolusi, yakni momen ketika kapitalisme ambruk dengan sendirinya.
Usaha menuju tatanan masyarakat yang sosialis menurut Marx memerlukan perantara berupa pemerintahan diktatur proletariat yang akan mengalihkan berbagai alat produksi bagi kolektif. Tahapan sosialisme menandai kembalinya bentuk produksi untuk kegunaan. Dalam analisisnya, penghalang bagi terbentuknya tatanan masyarakat sosialis adalah adanya negara karena institusi tersebut menciptakan kelas-kelas sosial, itulah mengapa pemerintahan diktatur proletariat haruslah berjalan sementara saja, hal kedua yang cukup urgen menjadi penghalang adalah doktrin nasionalisme dan rasialisme karena kiranya akan menimbulkan dampak yang sama seperti negara.
Di samping konsep evolusi sosial yang dikemukakan Marx di atas, ia juga mengungkapkan ramalan-ramalan besar terhadap konstelasi dunia di masa depan.[37] Setidaknya, terdapat empat ramalan besar Marx berkait hal tersebut, pertama, Marx menjelaskan bahwa kelak kondisi buruh akan kian menderita, kedua, ia meyakini bahwa revolusi akan terjadi pada buruh-buruh industri, ketiga, berubah halauannya negara-negara kapitalis menjadi sosialis, dan keempat, krisis ekonomi akan terjadi pada negara-negara kapitalis.[38] Menilik pada berbagai ramalan besar Marx di atas, agaknya hanya satu ramalan yang hingga saat ini telah terbukti yakni krisis yang akan terjadi pada negara-negara kapitalis akibat overproduksi (great depression 1930-an). Kondisi buruh yang kian menderita tidaklah terbukti, faktual saat ini sistem jaminan sosial atau kerja serta asuransi kian bermunculan,[39] revolusi juga terbukti tak terjadi pada buruh-buruh pabrik melainkan pada buruh tani, begitu juga, negara-negara kapitalis tak kunjung menjadi sosialis.
Berdasarkan penjabaran di atas, apabila Marxisme hendak dijadikan pijakan sosiologi, maka tidaklah bijak apabila mengadopsikannya begitu saja. Guna menjadikannya ilmiah, agaknya prinsip falsifikasi Popper dapat dijadikan pendukung. Popper yang awalnya seorang marxis, meninggalkan pemahamannya karena kesimpulannya bahwa pemahaman-pemahaman yang bercirikan penetapan-penetapan terhadap sejarah (historisisme) hanya akan menimbulkan peperangan, kekejaman dan penindasan, terutama pola pemerintahan yang militeristik. Setelah meninggalkan marxisme, pemikiran Popper lebih condong pada David Hume dalam melihat penetapan-penetapan tahapan sejarah. Hume dalam Treatise On Human Nature menjelaskan bahwa manusia tidak mengetahui apa-apa tentang apa yang terjadi esok hari, sebagai misal, apabila ia mengatakan bahwa esok matahari akan muncul, hal ini hanyalah sebentuk nafsu yang didorong oleh kebiasaan. Bagi Hume, hal-hal yang demikian tidaklah patut dijadikan bagian dari ilmu pengetahuan, karena lebih condong pada nafsu daripada sisi ilmiah.[40] Senada dengan Hume, dalam The Poverty of History Popper menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan yang baik adalah ilmu pengetahuan yang memiliki kesalahan, sebab dengan kesalahan itu ilmu pengatahuan justru akan berkembang.
Penutup
Berbagi penjelasan mengenai Marx dan ide-idenya yang telah disajikan di atas hanyalah sebagian kecil saja dari luasnya pemahaman Marx yang sesungguhnya. Apa yang telah dijabarkan di atas hanyalah garis besar pemikiran Marx dan kiranya cukup menjadi pengantar bagi pembaca yang budiman untuk lebih jauh mengkaji pemikiran-pemikiran Marx. Namun demikian, perlu diingat sekali lagi bahwa pengkajian terhadap marxisme harus ditempatkan sebagai ilmu pengetahuan dan bukannya ideologi-guna menghindari stagnasi. Kiranya penutup dari tulisan mengenai Marx dan berbagai idenya yang singkat ini akan saya tutup pula dengan kalimat penutup yang sama dalam paragraf terakhir Manifesto Komunis,
“Buruh sedunia bersatulah!”
∞
[1] Ditulis sebagai konstribusi pada Jurnal Kontradiksi (Jurnal Ilmu Sosial Marxis).
[2] Diambil dari berbagai sumber.
[3] Pada dasarnya Marx bukanlah seorang ideolog, marxisme bagi Marx sendiri bukanlah suatu ideologi melainkan bangunan pemikiran Marx yang bulat dan sistematis yang secara lumrah merupakan penamaan suatu bentuk ilmu pengetahuan. Marxisme sebagai ideologi, faktual hanya bagi mereka yang menganggapnya demikian, entah bagi lawan atau penganutnya. Marx sendiri mengatakan, “bila marxisme seperti itu, maka saya bukanlah seorang marxis”. Bila Marxisme dianggap sebagai ideologi maka ia tidak lagi menjadi sebuah ilmu pengetahuan melainkan dogma. Lebih jelasnya baca Muhidin M. Dahlan (Editor), Sosialisme Religius, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, h. 48 & F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004, h. 244.
[4] Lihat Nuswantoro, Daniel Bell: Matinya Ideologi, Indonesiatera, Magelang, 2001, h. 56-57.
[5] Ibid., h. 52-55.
[6] Lihat F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius, Yogyakarta, 1990, h. 29.
[7] Ibid., h. 26. Methodenstreit merupakan perdebatan antar-Ilmuwan sosial Eropa mengenai metode yang digunakan dalam merumuskan ilmu pengetahuan.
[8] Baca Baskara T. Wardaya, Marx Muda, Buku Baik, Yogyakarta, 2003, h. 2.
[9] Lihat Ben Agger, Teori Sosial Kritis, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2006, h. 250. Bagi Marx agama dapat pula disebut sebagai ideologi hal ini mengingat pemahaman Marx mengenai ideologi sebagai sistem mistifikasi yang membingungkan, mendistorsi realitas, mempropagandakan kepalsuan seperti klaim bahwa ketika orang mati mereka akan mendapatkan surga. Untuk melihat praksis ideologi yang lahir dari Islam dan Nasrani lihat Herqutanto Sosronegoro, Beberapa Ideologi dan Implementasinya dalam Kehidupan Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta, 1984.
[10] Baskara T. Wardaya, op. cit., h. xiii dst. Buku yang disusun Baskara tersebut mengkaji karya Adam Schaff, Marxism and The Human Individual yang berbicara panjang lebar mengenai manusia dan marxisme dalam perspektif Marx muda.
[11] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 235.
[12] Lihat Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.2.-cet. 9.-Jakarta: Balai Pustaka, 1997. h. 361. Humaniora dapat diartikan dengan ilmu pengetahuan yang mempelajari apa yang diciptakan atau diperhatikan manusia (dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan alam).
[13] Muhidin M. Dahlan (Editor), op. cit.,h. 17.
[14] Lihat Linda Smith & William Raeper, Ide-Ide, Kanisius, Yogyakarta, 2000, h. 116.
[15] Mahzab Frankurt pada dasarnya merupakan percabangan marxisme yang telah jauh meninggalkan induknya.
[16] Baca Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filsuf Terkemuka, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 269-278.
[17] Lihat Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, Qalam, Yogyakarta, 2001, h. 224.
[18] Lihat David Smith-Phil Evans, Das Kapital Untuk Pemula, Resist Book, Yogyakarta, 2004, h. 34.
[19] Dalam bahasa Soekarno disebut dengan marhaen. Lihat Soekarno, Pokok-Pokok Ajaran Marhaenisme, Media Pressindo, Yogyakarta, 2004, h. 5.
[20] Lihat Marx, Kapital (Buku I), Hasta Mitra, Jakarta, 2004, h. 800-821 & Anthony Brewer, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Teplok, Jakarta, 1999, h. 121-123 & David Smith-Phil Evans, op. cit., h. 89-112.
[21] Seperti apa yang dijelaskan Pals bahwa antara tahapan feodalisme dengan kapitalisme agaknya terlalu samar untuk dipisahkan satu sama lain, adakalanya kedua tahapan tersebut eksis pada periode yang bersamaan.
[22] David Smith-Phil Evans, op. cit., h. 42.
[23] Karl Marx, op. cit., h. 205-214 & Anthony Brewer, op. cit., h. 64-65 & David Smith-Phil Evans, op. cit., h. 113-149.
[24] Karl Marx, op. cit., h. 6.
[25] Baca Robert T. Kiyosaki, Rich Dad, Poor Dad, Gramedia, Jakarta, 2002, h. 39.
[26] Anthony Brewer, op. cit., h. 134-139 & David Smith-Phil Evans, op. cit., h. 69-85.
[27] Istilah “kiri” dan “kanan” telah mengalami berbagai pemaknaan dari waktu ke waktu, untuk lebih jelasnya lihat Anthony Giddens, The Third Way, Gramedia, Jakarta, 2002, h. 39.
[28] Baca Soetatwo Hadiwigeno-Faried Wijaya, Lembaga-Lembaga Keuangan dan Bank, Liberty, Yogyakarta, 1984, h. 172.
[29] Loc. cit.
[30] Baca Sunyoto Usman, Sosiologi: Sejarah, teori dan Metodologi, Cired, Yogyaklarta, 2004, h 37.
[31] Lihat Marx & Engels, Keluarga Suci, Hasta Mitra, Jakarta, 2005, h. 17.
[32] Muhidin M. Dahlan (Editor), op. cit., h. 47.
[33] Ibid., h. 21.
[34] Oleh Lenin pentahapan tersebut ditambatkan tahapan komunis selepas sosialis.
[35] Tidak selalu bangsawan.
[36] Muhidin M. Dahlan (Editor), op. cit., h. 47.
[37] Walaupun Marx menolak keras eksistensi ideologi, namun penjelasannya tentang evolusi masyarakat dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk ideologi.
[38] Lihat Laak Paskalis, Urgensi Masyarakat Terbuka, Bigraf, Yogyakarta, 2001, h. 55.
[39] Sunyoto Usman, op. cit., h. 38-39.
[40] Lihat Paul Ormerod, Matinya Ilmu Ekonomi Jilid 1: Dari Krisis ke Krisis, Kepustakaan Gramedia Populer, 1998, h. 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar