Sabtu, 12 Maret 2011

KULTUR INDUSTRIAL DALAM PERSPEKTIF MARXISME

KULTUR INDUSTRIAL DALAM PERSPEKTIF MARXISME
KRITIK KARL MARX ATAS INDUSTRIALISASI
Oleh: Wahyu Budi Nugroho


Sekilas Marxisme
Apa Itu Marxisme?
            Marxisme adalah suatu pemahaman yang didasarkan pada pemikiran-pemikiran Marx. Karl Marx (1818-1883) sebagai pencetus Marxisme sekaligus peletak dasar Sosialisme Ilmiahª, lahir di Jerman, beliau dikenal sebagai ekonom, sosiolog, antropolog atau lebih luasnya sebagai filsuf. Predikat ekonom ia dapatkan melalui kajiannya yang komprehensif mengenai sejarah matrelisme dan konsep-konsep ekonomi yang dicetuskannya dalam Das Kapital atau Matrealisme Historis yang terbit dalam tiga volume, ia pulalah yang pertama kali memunculkan istilah “kapitalisme” dan “kapitalis” dalam buku tersebut. Julukan sebagai sosiolog ia rangkul karena kajian dan prediksinya mengenai perkembangan masyarakat, antara lain dari tahapan primitif menuju feodalisme, kemudian kapitalisme, selanjutnya sosialisme-dan kemudian hari ditambatkan periode komunisme (take off) oleh Lenin. Marx sebagai antropolog dapat dikaji lebih jauh melalui analisisnya tentang konsep “alienasi” atau keterasingan yang dialami pekerja, sedangkan Marx sebagai filsuf diakibatkan kajian keilmuannya yang komprehensif- menyentuh berbagai disiplin ilmu.  
Secara garis besar, apa yang diusung Marxsisme adalah “masyarakat tanpa kelas” dan kehidupan ekonomi “sama rasa, sama rata”-yang kesemuanya merupakan refleksi atas apa yang terjadi selama perjalanan hidupnya yakni penindasan dan kesewenangan para feodalis-kapitalis atas pekerja dalam kultur industri. Selama hidupnya Marx telah menghasilkan beberapa karya besar, namun diantaranya yang terpenting adalah Manifesto Komunis (Matrealisme Dialektis) yang ditulis bersama sahabatnya-Engels-dan Das Kapital (Matrealisme Historis).  
Lahirnya Tragedi
Kemunculan Era Industri
            Marx menegaskan bahwa periode awal ekonomi yang dialami masyarakat adalah tahapan primitif kemudian feodalisme, dalam tahapan ini terdapat persamaan yang cukup ketara yakni “produksi untuk kegunaan”, sebagai contoh, seseorang yang lapar tidak perlu bekerja dahulu untuk mendapatkan uang kemudian membelanjakannya di pasar, seseorang cukup berburu atau telah jauh-jauh hari bercocok tanam guna memenuhi kebutuhan perutnya. Pada era ini belum dikenal tukar menukar atau jual-beli, produksi murni untuk “kegunaan”. Lebih jauh, orang yang melakukan pertukaran atau jual-beli dianggap amoral dan patut menerima sanksi.
            Setelah era masyarakat primitif dan feodalisme berlalu, masuklah masyarakat pada tahapan kapitalisme, inilah pijakan terpenting dalam pemahaman pemikiran Marx. Dalam era ini, Marx menegaskan bahwa sekelompok penindas telah memisahkan masyarakat subsisten dengan alat produksinya, mereka dipaksa untuk bekeja di pabrik-pabrik dan dirampas kepemilikan tanahnya, Marx menjelaskan fenomena ini sebagai proses “pengambilalihan” dalam pertumbuhan sejarah. Sebagai ilustrasi, seseorang pada awalnya bekerja di sawah sebagai petani dan peternak, ia tidak menjual hasil pertanian dan peternakannya melainkan digunakan untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri dan keluarga-atau dapat pula disebut “subsisten”. Namun kemudian, tiba-tiba sekelompok orang yang tak dikenal menyerang dan merampas apa yang mereka miliki, memaksanya untuk bekerja pada pabrik-pabrik yang sebelumnya tidak mereka kenal sama sekali, bersamaan dengan itu, kepemilikan mereka berupa sarana atau alat produksi seperti lahan, cangkul dan bajak dirampas begitu saja oleh orang-orang asing yang tak dikenalnya, dalam Das Kapital, Marx menerangkan era ini sebagai periode “pertumbuhan sejarah” dan “pengambilalihan”, era ini berlangsung di Eropa pada abad 15 hingga 17.
            Sekilas mengenai kemunculan era industri di atas kiranya cukup menjadi pijakan kita selanjutnya untuk mengkaji berbagai kritik yang dilontarkan Marx terhadap kultur industrial itu sendiri. Kritik Marx terhadap kultur industri yang akan kita kaji kemudian akan lebih banyak menyangkutkan analisisnya dalam Das Kapital atau Matrealisme Historis.
Kritik Marx Atas Kultur Industrial
Alienasi Nilai Guna
            Seperti apa yang telah dijelaskan, sebelum abad 15 barang diproduksi untuk digunakan«, namun setelah abad tersebut-era bermunculannya industri, barang diproduksi untuk dijual atau pertukaran (jual-beli), bagi Marx, ketika suatu barang dijual maka akan menghasilkan apa yang disebutnya dengan “alienasi nilai guna” atau “keterasingan nilai guna”. Sebagai contoh sepotong roti yang ditempatkan di sudut supermarket, apabila belum ada seseorang yang membelinya berarti nilai guna dan nilai tukar roti tersebut sedang ditidurkan, apabila hingga pada batas waktu tertentu roti tersebut tidak ada yang membeli atau tidak laku maka roti tersebut akan terus berada di sudut supermarket menjadi kadaluwarsa, basi kemudian tidak dapat dimakan-tidak peduli di luar terdapat orang kelaparan, menderita dan membutuhkan roti tersebut. Kapitalis tidak akan dengan ringan tangan memberikan roti tersebut pada orang-orang kelaparan di luar, sebelum roti tersebut diberikan, ia harus membuktikan kemampuan nilai tukarnya (uang). Hal penting yang dapat kita ambil dari fenomena tersebut adalah, adanya roti-roti yang membusuk di supermarket bukan berarti tidak ada orang yang hendak memakannya melainkan karena kapitalis terlalu memuja nilai tukar.
Surplus
            Surplus atau kelebihan produksi menurut Marx akan selalu terjadi secara berkala dalam sektor pertanian dan perkebunan. Pada periode-periode tertentu, tanah memberikan hasil yang minus bagi panen, namun dalam periode lainnya secara natural, tanah akan memberikan hasil panen berlebihan, inilah yang disebut dengan surplus atau kelebihan produksi. Ketika terjadi surplus, otomatis harga barang yang ada di pasaran jatuh mengingat banyaknya barang yang beredar, hal ini akan diatasi kapitalis dengan mengurangi stok barang yakni menghancurkannya dengan jalan apapun. Sebagai contoh, pada tahun 1930-an ketika depresi ekonomi terjadi, pasar dibebani kelebihan produksi tidak hanya pada sektor pertanian dan perkebunan tetapi juga peternakan. Akibat kelebihan produksi tersebut, berbagai harga komoditas pangan anjlok, akibatnya para kapitalis membakar kelebihan produksi seperti padi, tomat dan membuang susu  dengan cuma-cuma. Dapat dibayangkan, demi keuntungan materi, kapitalis dengan mudahnya membakar padi, tomat, cengkeh dan membuang susu dengan cuma-cuma, tak peduli banyak orang menderita dan kelaparan membutuhkan komoditas tersebut.
Nilai Lebih
            Salah satu pencapaian penting Marx adalah pengungkapannya terhadap rahasia nilai lebih. Bagi Marx, nilai lebih lahir melalui perpanjangan waktu kerja dan percepatan produksi yang jelas mempercepat si kapitalis menebalkan kantong uangnya. Semisal seseorang yang bekerja di pabrik sepatu, gaji yang diperolehnya selama dua hari kerja adalah Rp100.000,- sedangkan dalam dua hari ia dapat menghasilkan empat sepatu yang tiap-tiap sepatu berharga Rp100.000,-, jadi dalam dua hari ia digaji Rp100.000,- sedangkan barang yang dihasilkannya selama dua hari pula bernilai Rp 400.000,-, apabila kita amati di sini, maka terjadi apa yang disebut Marx sebagai nilai lebih. Seharusnya, gaji yang dibayarkan kepada pekerja tersebut sebesar dengan harga komoditas yang dihasilkannya yakni Rp 400.000,-, namun dalam proses industri kenyataannya adalah lain. Pekerja yang dalam dua hari digaji Rp 100.000,- menurut Marx seharusnya menghasilkan barang yang selama dua hari pula bernilai Rp 100.000,-, bukan Rp 400.000,-. Inilah yang disebut Marx sebagai “nilai lebih”.
Akumulasi Modal
            Akumulasi modal atau penumpukan modal di sini dalam proses industri menyebabkan ketimpangan atau kesenjangan yang lebih dalam antara si miskin dengan si kaya. Dalam hal ini, Marx membagi dua konsep ekonomi antara si miskin dengan si kaya, baginya, si miskin memiliki konsep ekonomi K-U-K di mana “K” adalah “komoditas” dan “U” adalah “uang”. Seperti kita ketahui, komoditas adalah segala sesuatu yang dibuat atau diproduksi untuk diperjual-belikan. Sebagai misal yang lebih konkret karena buruh cukup abstrak yakni menjual tenaga, ambilah contoh penjahit, ia akan membuat komoditas berupa pakaian untuk dijual, hasil penjualan akan menghasilkan uang, selanjutnya uang yang dihasilkan dari penjualan tersebut akan kembali sebagai komoditas yakni digunakannya untuk membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari. Dalam analisis Kiyosaki seseorang dengan konsep ekonomi demikian telah masuk dalam rat race ‘perlombaan tikus’, terperangkap pada kehidupan ekonomi “bekerja untuk uang”, seseorang yang demikian menurutnya dipastikan sulit menjadi kaya.
            Sebaliknya, Marx juga menganalisis konsep ekonomi yang diterapkan para borjuis, dari pengamatannya dihasilkan rumusan U-K-U. Para borjuis memiliki uang atau modal, mereka gunakan untuk membeli komoditas, lalu komoditas itu sendirilah yang akan menghasilkan uang dengan sendirinya tanpa bersusah-payah. Ketika terjadi profit atau keuntungan dibandingkan U sebelumnya maka U sebelumnya akan berubah menjadi U1 sehingga rumusan kemudian adalah U-K-U1, ketika modal dan keuntungan terus-menerus terakumulasi dalam U1 kemudian digunakan kapitalis untuk membeli komoditas lain dan sisa dari U1 tersebut tetap lebih besar dari U sebelumnya, maka dengan segera U1 tersebut akan berubah menjadi U2, sehingga rumusan kemudian adalah U-K-U2, ketika tahapan ekonomi seseorang telah mencapai U2 dan mampu mempertahankannya, menurut Marx ia telah menjadi “kapitalis sejati”. Secara ringkas, dampak dari akumulasi modal yang dilakukan kapitalis akan menyebabkan yang kaya semakin kaya dan sebaliknya.
Alienasi
            Konsep alienasi atau “keterasingan” Marx pada dasarnya tidak hanya sebatas pada nilai guna. Ia menciptakan pula konsep alienasi buruh, alienasi produksi dan alienasi potensi buruh. Alienasi buruh yang dimaksud adalah, seyogyanya kehidupan antara manusia yang satu dengan yang lain adalah kerja sama, namun kapitalis telah merubah suasana tersebut menjadi kompetitif sedemikian rupa sehingga buruh tidak memiliki kesempatan untuk menjalin hubungan kebersamaan dalam sepenanggungan. Alienasi produksi berarti, segala komoditas yang dihasilkan buruh sama sekali tidak berarti baginya, berbeda dengan periode sebelum abad 15 di mana “barang diproduksi untuk digunakan” sehingga buruh merasakan manfaat dari komoditas yang diproduksinya sendiri, berbeda dengan apa yang terjadi dalam kultur industrial, semua diproduksi atas kehendak dan keinginan kapitalis dan pada akhirnya hanya menguntungkan kapitalis saja. Sedangkan alienasi potensi buruh dapat dijelaskan sebagai berikut, buruh sebagai manusia juga memiliki potensi diri namun kapitalis kemudian mengubah buruh tak lebih menjadi “seonggok” alat yang hanya diprogram untuk kepentingan produksinya.
Penutup
            Beberapa konsep Marx yang telah dipaparkan di atas sebagai kritik atas kultur industrial hanyalah sebagian saja dari luasnya berbagai teori yang dicetuskan Marx. Berbagai konsep di atas dapat ditemui dalam karya monumentalnya, Das Kapital (Matrealisme Historis). Hingga saat ini, sebuah kenyataan bahwa eksistensi marxisme tetap disegani keberadaannya-terutama bagi kaum kapitalis, seperti halnya yang tertera dalam paragraf pembuka Manifesto Komunis, “ada setan bergentayangan di Eropa”, setan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Marx dan sahabatnya Engels, setan tersebut sewaktu-waktu, tanpa diduga-duga dapat menjungkirbalikkan tatanan sosial yang ada dan telah lama mapan, inilah mengapa marxisme tetap menjadi momok mengerikan bagi kapitalis, borjuis, akumulator kekayaan dan sejenisnya.
            Namun demikian, tak dapat dipungkiri pula bahwa cukup banyak juga konsep Marx yang tidak vaild lagi untuk diterapkan saat ini. Bahkan lebih jauh, Marshall Berman seorang ahli Marxisme mengatakan bahwa satu dekade setelah kematian Marx, praktis teorinya tidak dapat diterapkan lagi atau terbukti gagal, hal tersebut dijelaskan pula dengan manis sekali oleh Karl Popper-seorang antimarxisme dalam The Poverty of History, di sisi lain adanya fakta kebangkrutan rezim Sosialisme-Komunisme tahun 1989 yang mengadopsi konsep ekonomi Marx-cukup menjadi pelajaran bahwa Marxisme telah kehilangan taringnya. Penutup dari paper mengenai kritik Marx atas kultur industrial yang singkat ini kiranya akan kami tutup pula dengan kalimat penutup yang sama dalam paragraf terakhir Manifesto Komunis,  
“Buruh sedunia bersatulah!”

Referensi
  • Marx & Engels, Keluarga Suci, Hasta Mitra, Jakarta, 2005.
  • David Smith & Phil Evans, Das Kapital Untuk Pemula, Resist Book, Yogyakarta, 2004.
  • Marshall Berman, Berpetualang Dalam Marxisme, Pustaka Promethea, Surabaya, 2002.
  • Lenin, Negara dan Revolusi, Fuspad, Yogyakarta, 2001.
  • Adhe (Ed.), Belok Kiri Jalan Terus, Alinea, Yogyakarta, 2005.
  • Taufik Ismail, Katastrofi Mendunia : Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba, Yayasan Titik Infinitum, Jakarta, 2004.
  • Linda Smith & William Raeper, Ide-Ide, Kanisius, Yogyakarta, 2000.
  • Laak Paskalis, Urgensi Masyarakat Terbuka : Refleksi Pemikiran Karl R. Popper, Bigraf, Yogyakarta, 2001.
  • Sunyoto Usman, Sosiologi : Sejarah, Teori dan Metodologi, Cired, Yogyakarta, 2004.
           






ª Sosialisme pada dasarnya telah eksis di zaman Yunani, yakni ketika Plato dan Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, berlawanan dengan Epicurus dengan pendapatnya bahwa manusia adalah makhluk individu. Kemudian, muncullah Marx yang cukup revolusioner meletakkan Sosialisme tersebut dalam dasar-dasar ilmiah.
« Sesuai dengan definisi Aristoteles tentang ekonomi yakni “produksi untuk kegunaan” sedangkan produksi untuk pertukaran atau jual-beli dinamakannya “chrematistics”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar