"LOCAL-GENIOUS" DALAM TRADISI PANEN MASYARAKAT DUSUN GEDEN, DESA SIDOREJO, KABUPATEN KULONPROGO, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
----------------------------------------------------------------------------------
Sekilas Dusun Geden
Dusun Geden terletak di Desa Sidorejo, Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dusun ini memiliki 25 kepala keluarga atau + 310 jiwa dengan RW 19 yang terdiri dari tiga RT yakni RT 45, RT 46 dan RT 47. Mayoritas penduduk Dusun Geden bermatapencaharian di sektor agraris sebagai buruh tani dengan + total luas lahan pertanian baik berupa sawah, tegalan maupun pekarangan mencapai 60 ha, sedangkan tercatat sebagai PNS dua belas orang, satu TNI, dua perawat dan tiga pekerja swasta (perkantoran). Sebagai daerah agraris dengan tipe pertanian sawah tadah hujan dan varietas bibit padi “64 putih” sebagai mayoritas yang ditanam serta panen satu kali per tahunnya, peran kelompok tani di Dusun Geden cukup signifikan, dengan intensitas pertemuan setiap Selasa Kliwon bagi Kelompok Tani Dewasa dengan ketua Bapak Sudi Sutrisno serta setiap Kamis Pon bagi Kelompok Tani Sidodadi dengan ketua Bapak Nurhadi, lembaga ini mampu mencukupi kebutuhan bibit padi dan jagung serta pupuk[1] masyarakat setempat.
Fokus Penelitian
Penelitian yang dilakukan di Dusun Geden pada tanggal 4 Juni 2007 difokuskan pada local genius atau local wisdom, local genius ‘kecerdasan lokal’ atau local wisdom ‘kearifan lokal’ merupakan pengetahuan penduduk setempat yang bersifat tradisional dalam artian tidak menutup kemungkinan dapat jauh atau bahkan bertentangan dengan pengetahuan maupun ilmu pengetahuan modern yang positivistik-yang menurut Comte ditandai oleh keyakinan terhadap ilmu sains (science) dimana manusia mulai cenderung menghentikan penelitian terhadap penyebab absolut (Tuhan atau alam) dan memusatkan perhatian pada pengamatan terhadap alam fisik dan dunia sosial guna mengetahui hukum-hukum yang mengaturnya.[2] Sebaliknya, local genius penuh dengan tradisi yang erat dengan ikatan perasaan atau sentimen serta keyakinan yang diwariskan secara turun-temurun lintas generasi. Dalam fokus penelitian terhadap local genius, ekplorasi penelitian lebih dispesifikkan pada upacara-upacara tradisional yang hadir mengiringi kegiatan panen tahunan baik sebelum maupun sesudah panen berlangsung.
Dalam era globalisasi saat ini, dimana keterbatasan ruang dan waktu kian sempit karena adanya kemajuan teknologi bidang transportasi dan komunikasi, faktual dunia ibarat sedang menghadapi invasi “mata uang”, mengingat dampak yang dibawa globalisasi bersifat positif dan negatif yang bergerak simultan. Praktek di lapangan membuktikan bahwa modernisasi berjalan seiring dengan westernisasi. Globalisasi sebagai produk negara-negara dunia pertama yang notabene kapitalis-tak diragukan lagi turut membawa muatan produk lain yakni sekularisme, hedonisme dan liberalisme kehidupan sosial. Perlu menjadi pertimbangan kiranya, prinsip ketuhanan yang dibawa Barat (negara-negara dunia pertama) adalah god is the watch maker ‘tuhan adalah pembuat jam tangan’, prinsip ini bermakna keyakinan masyarakat Barat terhadap eksistensi transenden namun tidak menghendaki adikodrati tersebut untuk mengatur kehidupan mereka. Gejala ini juga tampak melalui kebobrokan demokrasi dimana slogan vox dei, vox populei justru berlaku sebaliknya.[3]
Analisis yang berkaitan dengan local genius masyarakat Dusun Geden secara umum menggunakan perspektif teoretisi sosiologi klasik seperti Comte, Marx, Weber, Durkheim dan Spencer. Namun demikian, untuk menghindari batasan-batasan yang kaku dan rancu, analisis tidak menutup kemungkinan akan penggunaan perspektif yang lebih luas hingga tokoh-tokoh percabangan dari teoretisi-teoretisi klasik di atas, semisal Gramsci, salah seorang intelektual kiri yang mengacu pada Marx dan ilmuwan sosial lain seperti Freud, Pitirin Sorokin, Talcott Parson atau Peter M. Blau. Hal ini dilakukan agar pemahaman yang terbentuk mengenai local genius masyarakat Dusun Geden lebih holistik.
Local Genius Dalam Tradisi Panen
Masyarakat Dusun Geden, Desa Sidorejo,
Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Seperti halnya dijelaskan dalam bagian Sekilas Dusun Geden sebelumnya, mayoritas masyarakat bekerja pada sektor agraris, hal ini secara struktur pekerjaan menunjukkan adanya homogenitas sehingga mobilitas sosial vertikal ke atas maupun diagonal ke atas cenderung sulit terjadi. Di sisi lain, homogenitas tersebut menunjukkan adanya konstruksi solidaritas mekanik dalam penjelasan Durkheim yakni solidaritas yang muncul karena adanya kesamaan,[6] serta karakter masyarakat yang tradisional karena tidak ditemuinya division of labour.[7] Bagi Durkheim, karakteristik masyarakat yang demikian cenderung terkungkung dalam moralitas absolut, dimana determinisme kultural bermain sangat kuat di dalamnya.[8] Namun demikian, tidak semua perspektif yang dikemukakan Durkheim dapat mendeskripsikan realitas masyarakat Dusun Geden, konsep Durkheim yang mengatakan bahwa class conciousness ‘kesadaran kelas’ cenderung tumbuh dalam masyarakat homogen tidak tampak di Dusun Geden dengan bukti sikap warga dusun yang tidak begitu mempermasalahkan ketidakadilan yang terjadi berkait dengan pembangunan saluran irigasi yang diskriminatif oleh pemerintah.
Hingga saat ini Dusun Geden tidak dilalui saluran irigasi karena keengganan pemerintah membangun dengan alasan sedikitnya penduduk Dusun Geden, padahal tidaklah begitu sulit untuk mengaliri air ke Dusun Geden mengingat daerah ini tergolong bertopografi rendah dibandingkan daerah sebelah barat balai desa yang cenderung bertopografi lebih tinggi. Ironis memang, mengingat apatisme pemerintah inilah yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat Dusun Geden hanya mampu melaksanakan panen satu kali dalam setahun. Sebagai solusi, beberapa masyarakat yang mampu secara ekonomi memilih menggunakan sanyo secara swadaya untuk memenuhi kebutuhan debit air. Kejadian di atas memang tidak begitu saja lepas dari filosofi kehidupan masyarakat Jawa yang cenderung nrimo dan prihatin (perih-perih dibatin). Bagi Marx, keadaan suatu kelas atau kelompok masyarakat yang dicerminkan dalam kehidupan Dusun Geden adalah suatu false consciousness ‘kesadaran palsu’ karena masyarakat tidak melakukan suatu “pergerakan” guna menentang ketidakadilan serta masih berbaik sangka terhadap pemerintah.[9]
Berkait dengan kegiatan panen tahunan sawah tadah hujan masyarakat Dusun Geden, terdapat dua jenis upacara tradisional yang digunakan sebagai pengiring panen masyarakat setempat yang hingga saat ini masih berlangsung, walaupun memang tak dapat dipungkiri bahwa dari waktu ke waktu terjadi regresi partisipan upacara. Upacara tersebut antara lain adalah wiwitan yang berlangsung sebelum panen dan majemukan yang berlangsung pasca panen.
Wiwitan
Wiwitan adalah upacara tradisional masyarakat Dusun Geden sebelum melangsungkan panen, dalam hal ini padi masih berada di sawah dan belum dipetik. Tradisi ini juga dikenal dengan nama mboyong Dewi Sri, hal mana padi itu sendiri merupakan personifikasi dari Dewi Sri. Selain itu, terdapat alasan lain berlangsungnya tradisi ini yakni ngupahi sing jaga sawah ‘memberi upah pada penjaga sawah’ yang hingga saat ini tidak jelas siapa yang menjadi objek pemberian tersebut. Hal tersebut tampak mencirikan pola pikir masyarakat tradisional yang masih begitu bergantung pada kosmisasi sakral atau takhayul.[10] Di sisi lain, psikolog kenamaan Jerman, Sigmund Freud mengatakan bahwa keyakinan pada transenden muncul ketika manusia atau suatu masyarakat tidak mampu mengatasi insting dari dalam diri maupun kekuatan dari luar.[11]
Upacara wiwitan hanya berlaku bagi mereka yang memiliki sawah, sedangkan buruh tani tidak dilibatkan dalam prosesi ini. Fenomena ini menunjukkan adanya rasionalitas tradisional yang dikemukakan oleh Weber dalam kehidupan masyarakat Dusun Geden, pasalnya tradisi yang mengandung petunjuk dan kebiasaan masa lalu nenek moyang tersebut dijaga secara turun-temurun hingga saat ini.[12]
Tradisi wiwitan menggunakan berbagai komponen dalam pelaksanannnya, antara lain telur ayam kampung dan sambel gepeng serta beraneka ragam jenis bunga dan tumbuhan seperti “bunga wiwitan”, dadap irep, daun otok-otok, tebu, merang dan janur kuning. Makna dari penggunaan telur ayam kampung terletak pada kulit telur yaitu adanya warna kulit telur yang berbeda-beda seperti putih, coklat, merah namun tetap tidak mempengaruhi isi telur, warna kulit telur yang berbeda-beda tersebut tidak mempengaruhi isi telur yang sama yaitu bagian putih telur dan kuning telur. Lebih jelasnya hal tersebut diartikan, tidak jadi mengapa warna kulit orang bermacam-macam (putih, kuning, coklat, hitam) yang terpenting keyakinan tetap sama yaitu Islam. Simbolis tersebut memberikan pesan adanya toleransi dan solidaritas dalam masyarakat yang disatukan oleh nilai-nilai keislaman, hal ini sekali lagi menunjukkan adanya solidaritas mekanik dalam kehidupan masyarakat Dusun Geden, Desa Sidorejo.
Di samping telur ayam kampung, terdapat pula sambel gepeng dan berbagai bunga serta tumbuhan dalam tradisi wiwitan, namun sangat disayangkan karena pemimpin spiritual masyarakat Dusun Geden yang bertindak sebagai narasumber, Bapak Parto Inangun tidak begitu paham makna dari kedua komponen tersebut. Ketidakpahaman Bapak Parto Inangun disebabkan generasi sebelumnya yang melarang beliau menanyakan simbol dan makna berbagai benda yang digunakan dalam berbagai upacara tradisional dengan alasan ora elok ‘tidak sopan’. Dari pengalaman Bapak Parto dapat dianalisis bahwa kecenderungan status quo[13] dan hagemoni golongan tua sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Dusun Geden. Menurut Gramsci, hagemoni tidak lepas dari peranan intelektual organik terdahulu dalam menciptakan alam pikiran dan sistem nilai yang diyakini oleh seluruh masyarakat. Bagi sebagian orang, hagemoni itu kelihatan masuk akal dan sebuah keniscayaan, sesuatu yang mau-tidak mau harus diterima karena dari hari ke hari memang demikian adanya. Hagemoni itu tertanam dalam keyakinan, cita-cita dan pandangan normatif seluruh masyarakat, oleh karena itu Gramsci memandang hagemoni bersifat kultural.[14]
Di sisi lain, telah menjadi kebiasaan bahwa aneka racikan bunga yang menjadi bagian dari upacara wiwitan telah tersedia di pasar sehingga praktis masyarakat Dusun Geden tinggal membelinya tanpa bersusah payah mengumpulkan atau meracik sendiri. Kebiasaan seperti ini disadari atau tidak, membuat masyarakat semakin terasing dengan budayanya sendiri. Ketidaktahuan warga terutama “kaum” mereka sendiri terhadap beberapa tradisi menunjukkan adanya keterputusan local genius atau local wisdom antargenerasi yang ada sehingga upacara tradisional yang dilakukan cenderung tidak memiliki “ruh” lagi akibat hilangnya makna dari komponen-komponen tradisionalitas itu sendiri.
Pada prinsipnya, tradisi wiwitan cenderung otonom dan moderat. Dikatakan otonom karena prosesi dilakukan secara mandiri oleh setiap kepala keluarga yang memiliki lahan, sedangkan dikatakan moderat karena tidak ada sanksi yang diterapkan bagi mereka yang tidak melaksanakan tradisi ini. Salah satu perbedaan tradisi wiwitan saat ini dibandingkan masa lalu adalah tidak ditemuinya tradisi memperebutkan wiwitan oleh anak-anak.
Dengan demikian dapat pula diprediksi bahwa sifat otonom dan moderat ini juga yang menyebabkan jumlah kepala keluarga yang “setia” dan apatis terhadap tradisi ini kiranya cukup berimbang dengan statistik kian menyusut dari waktu ke waktu. Agaknya, fenomena ini sedikit berbenturan dengan salah satu karakter masyarakat militan yang dikemukakan Spencer dimana terdapat tekanan aturan dalam kehidupan, baik yang mengatur aktivitas bersifat positif maupun negatif, melihat pada faktor-faktor tertentu, hal ini memang tidak dapat lepas dari salah satu dampak masuknya pola pikir tertentu (asing) dalam masyarakat itu sendiri. Namun, di sisi lain dapat ditemui otonomi ekonomi, pemenuhan kebutuhan sendiri, perdagangan yang pasif dengan luar dan bersifat proteksionistik yang kesemuanya merupakan ciri lain masyarakat militan rumusan Spencer.[15] Ciri tersebut ditunjukkan sebagian besar masyarakat petani Dusun Geden yang subsisten, mereka tidak menjual hasil panennya melainkan untuk konsumsi pribadi, secara historis, fenomena seperti ini sering merujuk pada kegiatan petani gurem, di sisi lain, kegiatan perdagangan yang pasif tampak melalui penjualan hewan-hewan ternak pada periode tertentu[16].
Esensi utama dari wiwitan adalah menunjukkan rasa syukur warga terhadap Allah, Dewi Sri dan “Penjaga Sawah” secara bersamaan atas padi yang tumbuh dengan baik. Namun demikian, walaupun secara umum wiwitan digunakan sebagai bentuk syukur atas panen padi, ditemui pula warga yang menggunakan wiwitan dalam panen palawija. Berkaitan dengan subyek yang dijadikan objek rasa syukur, fenomena ini menunjukkan adanya sinkretisme keyakinan melalui elemen Islam dan Kejawen. Di satu sisi, doa-doa yang dipanjatkan dalam wiwitan dominan berasal dari agama Islam, adapun doa-doa yang dipanjatkan bersifat bebas, sejauh mana kemampuan hafalan doa pemilik hajat. Bagi mereka dengan pemahaman Islam yang baik umumnya tidak berpartisipasi dalam kegiatan ini dengan alasan cenderung mengarah pada “syirik” sekalipun memiliki esensi syukuran.[17]
Kian menyusutnya antusias warga untuk menjaga tradisi wiwitan tampaknya ditanggapi pemerintah setempat dengan cukup serius. Guna menghidupkan kembali tradisi ini, pemerintah daerah sempat berupaya menggelar lomba kesenian tradisional dimana selain lamaran, wiwitan juga menjadi bagian dari tema lomba .
Mejemukan
Berbeda dengan wiwitan, majemukan dilaksanakan pasca panen berlangsung dan dikhususkan bagi tanaman padi, di daerah lain majemukan sering dikenal dengan nama kenduri. Majemukan bersifat fleksibel, tidak dikhususkan bagi pihak tertentu atau dapat diikuti semua pihak dengan berbagai macam status dan peran sosial.
Persamaan antara majemukan dengan wiwitan adalah syukuran sebagai esensi atau ruh tradisi, namun objek yang menjadi tempat syukur lebih spesifik, apabila wiwitan menunjuk pada Allah s.w.t, Dewi Sri dan penjaga sawah yang kurang jelas, majemukan khusus menjadikan Allah s.w.t, Tuhan umat Islam sebagai objek pensyukuran. Hal ini dapat diidentifkasi karena asal kata majemukan sendiri berasal dari “kitab majemuk” dalam agama Islam sehinggga wajar ruh Islam sangat kuat ditemukan dalam tradisi ini.
Majemukan dalam pelaksanaannya selalu dipimpin oleh kaum, pemimpin spiritual atau orang yang dituakan di Dusun Geden. Dalam hal ini yang sering bertindak sebagai orang yang dikultuskan masyarakat adalah Bapak Parto Inangun, anak laki-laki beliau serta menantu laki-laki beliau. Telah menjadi ketentuan bahwa jabatan kaum yang ada tidak bisa dipegang atau diemban bagi mereka yang berada di luar garis keturunan Bapak Parto Inangun, tampaknya hal ini menunjukkan adanya otoritas tradisional dalam kehidupan masyarakat Dusun Geden yakni kewenangan yang diperoleh melalui garis keturunan dengan sifat tertutup dan umumnya dikemas dalam nuansa sakral serta magic. Nuansa sakral di sini tampak melalui peran Bapak Parto Inangun sebagai pemimpin spiritual Islam masyarakat setempat. Dilihat dari segi macam status sosial, status yang didapatkan Bapak Parto Inangun dan keturunannya (khususnya pria) adalah ascribed status[18].
Prosesi majemukan dilakukan dengan membaca tahlil dan lain sebagainya layaknya syukuran dan setelah itu membaca doa majemukan atau syukuran terkait dengan panen. Setiap warga (keluaraga dengan perwakilan satu orang per keluarga) membawa makanan dengan nasi wuduk/gurih serta lauk pauk dengan kekomplitan lainnya dari rumah menuju padukuhan. Makna dari nasi wuduk yang berasal dari kata wudlu ialah semacam Taharah atau bersuci (dalam agama Islam). Kesucian yang dimaksud adalah kesucian masyarakat setempat dalam mencari maupun mengolah kebutuhan hidup seperti padi, palawija, dll. Umumnya, majemukan dilaksanakan di dua tempat berbeda yaitu di rumah Pak Dukuh setelah Dzuhur dengan kebiasaan pemimpin upacara Bapak Parto Inangun dan di daerah barat Dusun Geden sebelum waktu Dzuhur dengan pemimpin upacara anak kandung atau menantu Bapak Parto Inangun.
Sanksi bagi mereka yang tidak mengikuti prosesi ini, mengingat tidak adanya batas-batas tertentu bagi siapa yang harus berpartisipasi cenderung lebih tampak dibanding dalam tradisi wiwitan. Sanksi yang akan diterima bagi mereka yang tidak berpartisipasi adalah gunjingan dari warga lain. Sanksi yang tidak begitu moderat dibanding dalam wiwitan juga tidak lepas dari konstruksi pengalaman masyarakat dusun Geden dimana ketika masyarakat tidak menjalankan tradisi majemukan sempat terjadi beberapa kali gagal panen akibat hama wereng dan walang sangit. Fenomena ini mewakili pola pikir masyarakat berkait dengan rasionlitas nilai, yakni tindakan atas dasar nilai dan komitmen yang berkembang dalam suatu komunitas. Jauh sebelumnya, di era kolonialisme Belanda masyarakat selalu menjalankan tradisi ini, namun tradisi ini harus berhenti ketika era kolonialisme Jepang dimulai, pasalnya penduduk Dusun Geden mengalami paceklik. Tradisi dilanjutkan kembali di era setelah kemerdekaan. Dalam hal ini, karakteristik yang dikemukakan Durkheim dan Spencer berkait dengan masyarakat militan dengan absolutisme moralitas dan aturan tampak dalam tradisi ini.
Penutup
Berdasarkan berbagai keterangan dan analisis di atas, pola pikir masyarakat Dusun Geden menurut the law of three stages ‘hukum tiga tingkatan’ rumusan Comte, dapat digolongkan pada tahap metafisika, yakni suatu keyakinan dimana kekuatan abstrak yang menerangkan segala sesuatu, bukannya dewa-dewa personal,[19] dengan kata lain gejala-gejala alam diakibatkan oleh dewa, ruh dan sejenisnya, namun disertai alasan yang rasional dan ilmiah. Di sisi lain, apabila menggunakan perumusan jenis masyarakat menurut Pitirin Sorokin maka masyarakat Dusun Geden akan tergolong pada masyarakat ideasional, yaitu masyarakat yang berlandasakan pada kepercayaan nilai-nilai dan supranatural.
Di samping local genius yang tampak dalam berbagai tradisi panen, sebagian masyarakat Dusun Geden masih melakukan penghormatan terhadap ruh leluhur atau nenek moyang dengan memberikan sesaji di tempat-tempat tertentu. Menggunakan analisis agama Durkheim, hal ini dapat dikategorikan ke dalam teori sentimen kemasyarakatan. Teori tersebut menjelaskan bahwa “masyarakat tidak menyembah Tuhan melainkan masyarakat itu sendiri”, terdapat nilai universal dalam masyrakat, dimana yang lebih muda harus menghormati dan menghargai yang lebih tua, yang tua semakin lama semakin tidak teridentifikasi, lama-lama menjadi mitos dan akhirnya nenek moyang ituilah yang menjadi personifikasi Tuhan sebagai objek penyembahan masyarakat.
Berkait dengan karakter yang dimiliki masyarakat Dusun Geden dengan nilai-nilai budaya yang kuat, hal tersebut juga dapat diidentifikasi melalui teori sistem sosial Talcott Parson. Melalui analisis ini, masyarakat Dusun Geden cenderung mengarah pada sistem metafisika dan menjauhi fisika. Parson menuturkan bahwa terdapat dua sistem besar yaitu metafisika dan fisika, diantara kedua sistem tersebut terdapat subsistem-subsistem, antara lain subsistem biologi, subsistem kepribadian, subsistem sosial dan subsistem kebudayaan yang kesemuanya terikat oleh AGIL (Adaptation, Goal Attaintment, Integration, Latency). Arus ke atas sistem sosial tersebut membawa “informasi” karena memperoleh norma, kaidah dan aturan-aturan yang mengarah pada sistem metafisika, sebaliknya arus ke bawah yang membawa muatan energi (kalor), semakin menjauhi norma, kaidah dan aturan-aturan sehingga cenderung mengarah pada sistem fisika atau prilaku hewani.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya masih banyak teori-teori atau konsep-konsep ilmu sosial lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena masyarakat Dusun Geden. Namun demikian, adanya keterbatasan waktu serta menghindari apa yang disebut “proyek bancana Marx dengan Capital nya” yang tidak urung selesai juga hingga akhir hayatnya dan terpaksa harus diteruskan sahabatnya, Engels. Ternasehati dengan peristiwa tersebut, penyusun hendak membatasi analisis yang dilakukan pada masyarakat Dusun Geden cukup sampai di sini. Terima kasih.
[1] Semisal ZA, KCL dan Pusri
[2] Lihat George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta , 2006, h. 17-18.
[3] Guru Besar Fakultas Filsafat UGM, Prof. Dr. Damardjati Supadjar mengatakan bahwa demokrasi adalah Vox Dei, Vox Populei, artinya mendengar suara Tuhan di balik suara rakyat, namun faktanya dengan demokrasi (khususnya mekanisme votting) justru suara rakyat mengalahkan suara Tuhan, hal ini tampak melalui pelegalan UU homoseks dan lesbian di Prancis serta negara-negara Eropa lainnya yang notabene bible sendiri melarang hal tersebut.
[4] Lihat Tim Penyusun Bahan Kuliah Sistem Sosial Indonesia, Sistem Sosial Indonesia, FISIPOL UGM, Yogyakarta, 1994, h. 105. Menurut Peter M. Blau (1977), consolidated social structure adalah keadaan dimana difrensiasi sosial atas dasar parameter etnik jatuh berhimpitan dengan parameter lain seperti agama, kasta, ekonomi, dll.
[5] Adian Husaini, “Dibalik Hermeunetika” ISLAMIA, Thn I No. 1/MUHARRAM 1425, h. 4.
[6] Lihat Soeprapto, “Sosiologi Hukum”, Bahan Kuliah, Sosiologi-Fisipol UGM Yogyakarta . h. 9.
[7] Baca Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI-Press, Jakarta , 1986, h. 118-122.
[8] Lihat Soerjono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Rajawali Pers, Jakarta , 2002, h. 85-94.
[9] Lihat Sunyoto Usman, Sosiologi: Sejarah, Teori dan Metodologi, Cired, Yogyakarta , 2004, h. 34.
[10] Lihat Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta , 2003. h. 67.
[11] Lihat Ibnu Rochman, “Manusia dan Agama”, Bahan Kuliah, FISIPOL UGM Yogyakarta. h. 1. Sesuai dengan pernyataan Freud, bahwa keyakinan terhadap nilai-nilai transendensi memang akan lebih kuat bila salah satunya dipicu karena adanya helpness atau ketidakmampuan manusia dalam menyikapi fenomena baik dari dalam diri maupun dari luar diri manusia.
[12] Lihat Sutaryo dan Purwanto, “Silabus Mata Kuliah Teori Sosiologi Klasik”, Sosiologi FISIPOL UGM Yogyakarta, h. 24.
[13] Kemutlakan, sesuatu yang tidak dapat dipertanyakan dan diganggu-gugat, telah fix ‘tetap’ atau begitu adanya.
[14] Lihat Adhe (Ed.), Belok Kiri Jalan Terus, Alinea, Yogyakarta , 2005, h. 26.
[15] Sutaryo dan Purwanto, op. cit., h. 18.
[16] Semisal saat Idhul Adha, dll.
[17] Hal ini dikarenakan pandangan masyarakat terhadap wiwitan yang cenderung pada tradisi Kejawen.
[18] Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi, Rajawali Pers, Jakarta , 1990. h. 240. Ascribed status merupakan kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan anak seorang bangsawan adalah bangsawan pula.
[19] George Ritzer-Douglas J. Goodman, op. cit., h. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar