MATINYA “MATINYA SEKOLAH”-EVERETT REIMER
REKONSTRUKSI ATAS DEKONSTRUKSI REIMER PADA SISTEM PENDIDIKAN UNIVERSAL
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Pendahuluan
Gerakkan Reformasi yang terjadi kurang-lebih satu dekade lalu tak hanya merubah struktur pemerintahan Indonesia tetapi juga membawa “angin segar” bagi dunia pendidikan Indonesia. Bergantinya kurikulum CBSA dengan KBK menandai berakhirnya sistem pendidikan gaya bank sebagaimana dikritisi Paulo Freire.[1] Momen tersebut secara tidak langsung membangkitkan kembali kajian atas tokoh-tokoh besar pendidikan seperti Paulo Freire di atas, Philip H. Coombs, Neil Postman, Ivan Illich dan tentunya Everett Reimer.[2]
Hal ini tampak melalui tanggapan kreatif berbagai percetakan yang ada dengan penerbitan ulang buku-buku yang ditelurkan sejumlah tokoh pendidikan di atas. Dalam paper ini, kiranya penulis cukup tertarik melakukan analisis singkat terhadap salah satu dari sejumlah “buku besar” pendidikan di atas yakni School is Dead karya Everett Reimer. Adapun buku yang hendak dikaji penulis merupakan edisi lama (1987) yang saat itu karena berkuasanya rezim otoriter Orde Baru memaksa penerbit melunakkan judul buku tersebut, dari judul yang seharusnya Matinya Sekolah menjadi Sekitar Eksistensi Sekolah, namun penulis telah memastikan bahwa cetakan lama buku ini tetap dijumpai kesamaan muatan dan substansi dengan cetakan baru.[3]
Harus kita akui bahwa ide-ide para ‘pembesar’ pendidikan di atas tampaknya begitu subversif namun menawan dan mempesona kita. Saya menganggap bahwa ini seharusnya juga menjadi catatan penting tersendiri, yakni jebakan-jebakan pada romantisme ide-ide pembebasan. Bukannya saya menempatkan diri sebagai anti-Subversif dan dekonstruksionis, hanya saja analisis yang saya lakukan pada School Is Dead karya Reimer menemukan banyak hal yang tidak lagi relevan di era sekarang ini. Oleh karena itu, dalam paper yang singkat ini saya berupaya menyajikan berbagai ide Reimer yang kiranya tidak relevan dan membutuhkan pembenahan bagi penyesuaian-penyesuaian situasi dan kondisi saat ini.
Sekilas “Matinya Sekolah” Karya Everett Reimer
Dalam bagian pendahuluan, Reimer mengakui bahwa buku yang ia tulis ini merupakan hasil diskusi apiknya dengan Ivan Illich selama kurang-lebih 15 tahun. Ia dan Illich secara tidak sengaja bertemu di Puerto Rico yang kala itu sedang menggalakkan industrialisasi besar-besaran, Reimer saat itu menjabat selaku sekretaris panitia Sumber-Sumber Tenaga Kerja Manusia Pemerintahan Persemakmuran, bertindak sebagai konsultan tenaga kerja dan rekomendator suatu program pendidikan untuk menopangnya sedangkan Illich menunaikan “tugas suci” dari Kardinal Spellman yang diembankan kepadanya untuk mengorganisasi suatu program latihan bagi para pastur.[4]
Dalam bagian pendahuluan ini pula Reimer mengemukakan motivasinya dalam penulisan buku ini, yaitu “melihatnya sebagai ramalan yang akan menjadi kenyataan”. Baginya juga, menjadikan seseorang sadar akan kebiasaan-kebiasaan buruk institusionalnya dan dapat merubahnya kemudian menjadi sesuatu yang ditawarkan dalam tesis ini.[5]
Membaca School Is Dead karya Reimer akan membawa kita pada beberapa poin penting yang menjadi isu utama buku tersebut. Beberapa poin inilah yang seyogyanya menjadi sorotan utama kita dalam mempertimbangkan sekali lagi relevan-tidaknya ide-ide Reimer bagi dunia pendidikan kontemporer. Apakah benar pemikiran-pemikiran Reimer di atas betul-betul dapat terwujud atau tidak, kiranya pemaparan selanjutnya dapat menjadi pertimbangan seksama bagi kita.
Hidupnya Sekolah
Hidupnya Ketidakadilan
Dalam tulisannya Reimer kerap berbicara masalah keadilan dalam pendidikan, sekolah sebagai media indoktrinasi serta tema-tema pembebasan manusia lainnya. Satu untaian kalimat yang diungkapkannya dan tampaknya bakal sulit untuk kita lupakan, bahwa sekolah hanya mengajarkan pada murid-muridnya untuk seolah-seolah mempercayai bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama seperti siswa-siswi lainnya yang faktual kesempatan tersebut sama sekali tidak ada,[6] atau dapatlah dikatakan sebagai sebuah ilusi yang dikatakan secara terus-menerus supaya tampak sebagai buah kebenaran. Ketika Reimer berbicara masalah ini maka akan kita lihat penekanan pada aspek materi, baginya tebal-tipis “kantong” orang tua sangat berpengaruh pada kesempatan-kesempatan tersebut. Sekolah yang secara konkret hanya menjadi tempat pengawasan anak, kemudian mengakumulasi kekayaannya lewat biaya-biaya pengawasan yang kian meningkat seiring bertambah umur murid-murid, inilah yang kemudian menyebabkannya semakin sulit dijangkau.[7]
Dari analisis sekolah secara internal yang dilakukan Reimer, ia kemudian beranjak pada analisisnya secara eksternal yakni melihat bagaimana “produk-produk” sekolah mempengaruhi situasi dan kondisi masyarakat, bukan hanya pada taraf lokal-nasional tetapi juga pada cakupannya yang lebih luas yaitu masyarakat internasional. Ide Reimer mengenai suatu karir yang dapat dicapai seorang siswa berprestasi hendaknya tidak mematikan peluang atau kesempatan berkarir siswa yang lain terkesan begitu “indah” di benak kita,[8] namun pertanyaan yang cukup mengusik batin menghampiri kita kemudian, apakah benar hal tersebut betul-betul dapat terwujud, hal itu lebih tampak pada tatanan masyarakat utopia Thomas More (1516).[9] Apa yang menjadi kesepakatan bagi kita adalah tiadanya masyarakat yang tidak terstratifikasi, baik mahzab konflik maupun struktural fungsional mengakui hal ini, hanya saja dengan perspektif yang mereka kembangkan masing-masing.[10]
Menilik sekali lagi pada salah satu konsepsi pendidikan Reimer tersebut agaknya juga mengingatkan kita pada konsepsi masyarakat take off Marx di mana “menjadi mungkin bagi kita untuk mengerjakan sesuatu hari ini dan hal yang lain lagi esok harinya; berburu di pagi hari, memancing di siang hari, beternak di sore hari, dan menjadi kritikus setelah makan malam, tanpa menjadi pemburu, nelayan, peternak dan kritikus”.[11] Inilah yang kemudian- seperti halnya konsep masyarakat sosialis Marx-kita dapat menyimpulkan bersama bahwa konsepsi pendidikan Reimer berkait keadilan kesempatan dalam pendidikan tak lebih dari isapan jempol belaka. Hal tersebut diperkuat dengan adanya fakta bahwa Tiongkok Komunis di bawah Mao Tse Tung pada dekade 60-an menemukan kebuntuan dalam usaha “memecahkan” stratifikasi sosial yang diciptakan sekolah.[12]
Dalam masalah ini saya berupaya memberi masukan di mana aspek keadilan yang dimaksudkan Reimer haruslah yang bersifat ‘kecenderungan’, bukannya yang bersifat konkret atau meteriil.[13] Keadilan dalam arti ‘kecenderungan’ dimaknai dengan apa yang tertanam dalam batin, perasaan atau jiwa, sedangkan apa yang bersifat konkret adalah sesuatu yang tampak secara fisik-materiil semisal kesempatan karir, harta, kekayaan dan lainnya, hal ini penting mengingat utopisnya kesamaan kesempatan karir, pemilikan harta serta kekayaan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Penekanan pada keadilan yang ‘berkecenderungan’ memberikan kita kesempatan-kesempatan untuk menghindar dari radikalnya paham sosialisme, egosentrisnya kapitalisme, sebaliknya bila dapat saya katakan, hal itu justru akan membimbing kita pada bentuk-bentuk kapitalisme religius, yakni kembalinya etika-etika kerja berbagai agama besar.
Hidupnya Indoktrinasi
Kritik penting lain yang dikemukan Reimer atas sekolah adalah fungsi institusi tersebut sebagai media pengendali sosial dan indoktrinasi. Dalam membahas masalah ini teradapat dualitas “nilai” yang kita hadapi, nilai sekolah sebagai sarana pengendali sosial dan indoktrinasi yang disangka positif oleh kaum konservatif sedangkan nilainya yang negatif-sebagai bentuk pembodohan, kepalsuan dan pernyataan yang tidak sebenarnya-bagi para ahli, pakar atau revisionis pendidikan.[14] Indoktrinasi bagi mereka selalu ditempatkan sebagai sesuatu yang buruk, atau setidaknya seperti suatu ideologi yang patut dihindari jauh-jauh.
Apa yang ingin saya ungkapkan di sini, apabila kita cermati lebih dalam kritik Reimer di atas, maka perjumpaan dengan kontradiksi-kontradiksi pemikiran Reimer setelahnya tidaklah terhindarkan. Dalam bab-bab berikutnya setelah mengemukakan kritiknya atas sekolah sebagai media indoktrinasi, ia menekankan pentingnya sekolah sebagai pewaris dan penjaga tradisi berpikir Yunani yang kemudian memunculkan renaissance Eropa di abad 15-18.[15] Tak hanya itu saja, Reimer juga mengakui sumbangsih sekolah pada abad pertengahan yang menelurkan tokoh-tokoh besar peradaban seperti Agustinus dan Thomas Aquinas.[16] Dalam hal ini, tampaklah bagi kita bahwa doktrin-doktrin pemikiran Yunani sendiri pada akhirnya “berjasa” bagi masyarakat yang mewarisinya. Tentunya, saya tidak menutup mata terhadap “samarnya” pengertian indoktrinasi dalam konteks-konteks tertentu, namun demikian dalam pembahasan berkait pewarisan tradisi pemikiran Yunani ini saya menemukan adanya intertelektualitas yang dalam pandangan Bordieu dapat disebut sebagai “terdoktrin” atau “tak terbebaskan dari kekuatan yang menentukannya”.[17]
Di satu sisi, pandangan yang dikemukakan Reimer di atas menandakan lemahnya pemahaman Reimer atas fungsi-fungsi strategis dari penggunaan doktrin-doktrin dalam masyarakat. Pada ranah ini-bukan maksud saya mengagungkan fasisme-apabila lebih jernih kita melihatnya, pencapaian-pencapaian besar yang diperoleh Napoleon Bonaparte tidak lepas dari doktrin nasionalisme yang disuntikkan pada rakyatnya, atau bila kita melihat kebangkitan Italia yang menyerukan Italia Irradenta di bawah Mussolini yang kala itu dijuluki sebagai Il Duce maka hal itu tak lepas pula dari indoktrinasi yang dilakukan Mussolini pada rakyat Italia kala itu. Hal yang lebih fantastis dan sistematis adalah menilik apa yang dilakukan Hitler pada rakyat Jerman pasca Perang Dunia I, dengan doktrin Deutchland Uberalles sang Fuhrer mampu membangkitkan perekonomian Jerman yang mati akibat Perjanjian Versailles.[18] Kesemua hal di atas salah satunya memerlukan peran strategis institusi sekolah atau sejenisnya dalam upaya melakukan indoktrinasi. Pandangan kita terhadap “doktrin” tidak harus sesempit ini, kemunculan berbagai peradaban besar religius dunia kiranya tidak lepas pula dari berbagai doktrin yang “dijunjung” bersama. Kita melihat bagaimana kanonisasi lembaga gereja yang mendominasi dunia, begitu juga dengan khilafah Islamiyyah.
Agaknya kritik Reimer atas indoktrinasi sekolah kian menemui kenaifannya di era kontemporer, pasalnya, sosiolog kenamaan semisal Giddens menyoroti arti penting survillance institution ‘lembaga pengontrol/pengawas’ sebagai lembaga yang mengatur arah atau jalannya perubahan sosial. Lembaga ini, seperti apa yang dikatakannya, berfungsi mengatur sejauh mana ketakutan atau kepanikan yang seharusnya atau tidak seharusnya dialami masyarakat yang notabene ketakutan tersebut berguna bagi keselamatannya sendiri.[19] Kiranya kita perlu meninjau ulang pernyataan Reimer bahwasanya doktrin sekedar mengakomodasi kepentingan orang dewasa, anggapan yang demikian memiliki andil besar terhadap pencitraan negatif atas doktrin. Dalam hal ini dengan demikian, seperti apa yang anda lihat, saya berupaya melakukan dekonstruksi pencitraan negatif atas doktrin, dan kiranya saya berupaya melakukan rekonstruksi bagi pencitraan positif doktrin. Saya pikir ilmuwan-ilmuwan sosial harus mulai membuka mata dan pikirannya bahwa terminologi doktrin tidak sepicik yang mereka kira, doktrin memiliki sisi-sisi strategis bagi kontinyuitas kelanjutan hidup bersama, ilmuwan sosial juga harus mulai sadar dan membuka diri bahwa konsep-konsep eksistensialisme dalam ranah ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti apa yang diusung Kierkgraad, Sartre, Camus dan tokoh-tokoh lainnya cepat-lambat akan menemui kebuntuan karena memang dunia dengan berbagai kompleksitasnya bukan tempat yang potensial untuk hidup bebas ‘sebebas-bebasnya’-mewujudkan berbagai kritik yang muncul dari ratusan juta kepala manusia. Keyakinan kita atas sisi positif doktrin agaknya akan kian menguat ketika menginsyafi bahwa tidak ada satu pun manusia yang benar-benar obyektif karena memang bentuk-bentuk keobyektifan hanya disusun melalui konsep intersubyektif. Dengan demikian, dalam melihat realitas ini saya sepakat dengan Watson atas tantangannya membentuk salah satu dari selusin bayi sehat menjadi spesialis tertentu sesuai dengan minatnya, bahwa faktual tidak satu pun bayi yang terlahir di dunia ini yang tidak terdoktrin oleh orang tuanya.[20]
Hidupnya Kurikulum
Berbicara mengenai aspek-aspek pembebasan manusia juga menjadi poin penting dalam pemikiran Reimer mengenai pendidikan, setidaknya terdapat dua aspek pembebasan manusia yang menjadi sorotan Reimer, pertama, pembebasan manusia dari kurikulum sekolah dan kedua, pembebasan manusia untuk menjadi apa saja yang diinginkannya selepas dari sekolah. Khusus bagi aspek kedua, jika dikaji lebih jauh maka titik temu terhadap poin pertama pemikiran Reimer yakni keadilan dalam pendidikan menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.
Seperti halnya pakar-pakar pendidikan lain, Reimer menganggap kurikulum sebagai bentuk ‘pengetahuan mati’,[21] peserta didik tak diperkenankan memperdalam apa yang menjadi minatnya, kurikulum bak momok yang memenjarakan kapasitas intelektual. Upaya Reimer guna melegitimasi argumennya dilakukan dengan memetik kata-kata salah satu jenius yang pernah dimiliki dunia yakni Einstein, ia pernah berkata bahwa apa yang menghambatnya dalam studi adalah sekolah itu sendiri, lanjut Einstein, ia juga mengatakan kehilangan minat berbagai pekerjaan kreatif akibat waktunya yang tersita untuk menyiapkan berbagai ujian sekolah.[22] Bagi Reimer pembebasan kurikulum bakal berdampak positif bagi orang-orang seperti Einstein, tetapi yang menjadi permasalahan kemudian, tidak setiap siswa-terutama mahasiswa-memiliki pola pikir yang sama seperti Einstein-katakanlah sebagai mahasiswa yang memiliki kemapanan berpikir. Efisiensi dan efektivitas guna membina mahasiswa-mahasiswa berbakat seperti Einstein hendaknya dilakukan dengan menyediakan sekolah-sekolah khusus berikut dengan berbagai ketentuan kualifikasi peserta didik tentunya.
Apa yang menjadi cita-cita Reimer untuk “mengenyahkan” kurikulum sekolah agaknya kian sulit diwujudkan saat ini. Dalam meninjau hal ini kita tidak perlu membaca buku yang tebalnya beratus-ratus halaman atau melakukan analisis selama bertahun-tahun lamanya, hal ini cukup jelas tampak dalam kehidupan sehari-hari kita di mana para pelajar, terutama pada tingkatan SMA dan perguruan tinggi larut dalam budaya hedonis siang dan malam, berlomba-lomba melakukan konsumsi hasil kontruksi pabrik-pabrik bergengsi, tenggelam dalam gaya hidup dan bukannya pemenuhan kebutuhan hidup. Hal ini, seperti apa yang saya lacak, menjangkiti mahasiswa-mahasiswa di berbagai belahan dunia, budaya ini tak hanya berlangsung di tahun-tahun terakhir ini, bahkan telah berlangsung sejak 1970-an (pasca gerakan Kiri-Baru),[23] apa yang menjadi pijakan saya dalam hal ini salah satunya adalah kesaksian Hawking di mana pada 1970-an ia menuntut ilmu di Cambridge dan menemui bahwa mahasiswa-mahsiswa yang benar-benar serius dalam belajar-jumlahnya sangat minoritas-hanya menjadi bahan olok-olok teman-temannya.[24] Kebanyakan mahasiswa dunia kala itu larut dalam kehidupan kampus yang glamor, foya-foya, tiada malam tanpa pesta dan sayangnya budaya tersebut masih berlanjut hingga kini.
Melihat berbagai realitas di atas, cukuplah akal sehat kita mengakui bahwa kurikulum agaknya kian absurd untuk ditiadakan saat ini. Jika kita mengkaji lebih dalam lagi, pemaknaan sekolah pada awal-awal berdirinya yakni di era Yunani Kuno atau jauh sebelum itu, dalam upacara-upacara manusia primitif memang memandang budaya-budaya hedonis di atas tidak ada salahnya sama sekali karena memang sekolah berasal dari kata scholay yang berarti waktu luang, jadi pada pakem awalnya sekolah adalah tempat untuk mengisi waktu luang.[25] Namun, perkembangan zaman melalui kemajuan teknologi dan pembangunan-pembangunan dinamisnya menggugurkan itu semua, sekolah kemudian tak dapat sekedar menjadi tempat pengisian waktu luang atau sambilan semata, konstelasi Eropa abad pertengahan, Kekhalifahan Islam dan dengan berjalannya waktu hingga saat ini menjadikannya sebagai suatu institusi yang mutlak dan wajib eksistensinya bagi kemakmuran dan ketahanan suatu bangsa dan negara.
Penutup
Penutup
Hingga saat ini, kita masih juga bingung menimbang bagaimana menghancurkan budaya-budaya hedonis di atas sekaligus mewujudkan tradisi apollonian[26] dalam masyarakat, khususnya pelajar. Apakah mengkonstuksi belajar sebagai sebuah “panggilan” tuhan yang dengan demikian secara tidak langsung meletakkan kembali dasar etika-etika kerja berbagai agama besar dunia menjadi jawaban, hal ini tentunya masih membutuhkan penyelidikan dan pengujian lebih jauh lagi.
*****
[1] Lihat Adhe (Ed.), Belok Kiri Jalan Terus, Alinea, Yogyakarta, 2005, h. 60.
[2] Untuk melihat sekilas ide-ide berbagai tokoh besar pendidikan di atas akses Djoko Adi Walujo, Sekolah Mati, Pendidikan Almarhum, Pengajaran=Subversif, http://djokoawcollection.blogspot.com/2007/12/one-teacher-on-blog-teacher-bloger.html
[3] Cetakan terbaru buku Reimer (pasca-Reformasi) dikeluarkan oleh penerbit yang sama (Hanindita) pada tahun 2000 berikut dengan judul yang sama dengan buku aslinya yakni Matinya Sekolah.
[4] Everett Reimer, Sekitar Eksistensi Sekolah, Hanindita, Yogyakarta, 1987, h. 1-6. Dapat kita lihat, bagian kecil dari Amerika Latin inilah-Puerto Rico-yang kemudian menjadi laboratorium Reimer dalam membangun ide dan konsepnya mengenai pendidikan.
[5] Ibid., h. 4-6. Pernyataan Reimer berkait “ramalan yang akan menjadi kenyataan” patut kita kritisi lebih jauh mengingat kentalnya muatan positivisme di dalamnya.
[6] Ibid., h. 36.
[7] Ibid., h. 14.
[8] Ibid., h. 35.
[9] Lihat Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia, Kanisius, Yogyakarta, 1991, h. xvii.
[10] Baca Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995.
[11] Muhidin M. Dahlan (Editor), Sosialisme Religius, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, h. 47.
[12] Everett Reimer, op. cit., h. 18.
[13] Ibid., h. 141. Suatu bentuk pengorbanan yang dianggap menguntungkan oleh banyak orang ialah mempertukarkan kuantitas dengan kualitas.
[14] Ibid., h. 119. Bagi Reimer, Paulo Freire memberikan definisi terbaik bagi terminologi pendidikan yakni suatu proses yang secara kritis menyadarkan orang akan realita dengan cara yang mengakibatkan tindakan efektif terhadap realita itu. Dengan kata lain, seorang yang terdidik akan cukup memahami dunianya untuk dapat menanggulanginya secara efektif.
[15] Ibid., h. 46.
[16] Loc. cit.
[17] Baca George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2006, h. A-7 hingga A-9.
[18] Lihat Jules Archer, Kisah Para Diktator, Narasi, Yogyakarta, 2004, h. 55-64 & 141-152.
[19] Baca Anthony Giddens, The Third Way, Gramedia, Jakarta, 1999, h. xii-xxii
[20] Lihat Linda Smith & William Raeper, Ide-Ide, Kanisius, Yogyakarta, 2000, h. 36.
[21] Everett Reimer, op. cit., h. 10. Ingin saya tambahkan bahwa adakalanya benar kurikulum hanya menciptakan orang-orang ‘ensiklopedik’ yakni mereka yang mengetahui banyak hal namun tidak mendalam, sekedar pada permukaannya saja, dampak yang ditimbulkannya kemudian sangat jelas, yakni kian berkurangnya para ahli dalam bidang-bidang tertentu.
[22] Ibid., h. 23.
[23] M. Achmad Icksan, Mahasiswa dan Kebebasan Akdemik, Hanindita, Yogyakarta, 1985, h. 35. Saya justru melihat mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam gerakan Kiri-Baru memiliki kemapanan berpikir dan sangat potensial menjadi intelektual-intelektual muda, jauh berbeda dengan generasi-generasi mahasiswa setelahnya.
[24] Metro TV, Biography Channel-Stephen Hawking.
[25] Everett Reimer, op. cit., h. 44-45.
[26] Dave Robinson, Nietzsche dan Posmodernisme, Jendela, Yogyakarta, 2002, h. 65. Apollonian merupakan lawan dari Dionsyian, prinsip Apollonian adalah berpikiran harafiah, rasional, intelek dan teratur, sedangkan prinsip Dionsyian berkaitan dengan keliaran, kehewanan dan instabilitas.
SALAM kenal. . . maaf numpang tanya??? pernah tau analisi khusus pemikiran everett reimer ini gk, gan..??
BalasHapusmakasih sebelumnya??
mhon bantuannya.
bagi dong blognya..
BalasHapus