Minggu, 13 Maret 2011

Review: MONEY AND THE MARKET By Mark Granovetter

Review:
MONEY AND THE MARKET
By Mark Granovetter
CHAPTER V: "The Sociology of Economic Life"
THE MARKET FROM A HUMANIST POINT OF VIEW

            
      Dalam bab ini terdapat beberapa hal substansial yang dikaji lebih mendalam, antara lain kedudukan manusia sebagai makhluk individu ataukah sosial, kritik atas konsep homo economicus, konsep potlatch serta ide-ide mengenai ekonomi pasar-laissez faire. Beberapa tokoh sentral yang terlibat dalam pembahasan tersebut antara lain Malinowski, Mauss dan Polanyi.
            Perbincangan mengenai manusia sebagai mahkluk individu ataukah sosial memunculkan berbagai hal mendasar yang tetap saja menjadi perdebatan hingga kini. Secara tidak langsung, hal tersebut menghantarkan kita pada legal-tidaknya “pemilikan pribadi”. Dalam ranah ini, terdapat dua istilah yang dipertentangkan satu sama lain yakni ius in personam dengan ius in rem. Sebagai misal, seseorang yang pergi merantau ke suatu tempat untuk bekerja menemui lingkup lingkungan yang begitu individualis atau ius in rem, namun permasalahan muncul ketika ia kembali ke daerah asal dan mau-tidak mau harus menyerahkan semua barang yang telah dengan jerih payah kerja dibelinya pada seseorang di desa yang memintanya begitu saja. Peristiwa tersebut menunjukkan pertentangan konstruksi sosial yang terjadi antara dua tempat yang berbeda, antara ius in personam “vis a vis” ius in rem.[1]
            Pendiri “Antropologi Ekonomi Modern”, terutama Mauss yang juga merupakan  kemenakan Durkheim, menanggapi masalah di atas dengan konsep potlatch yang ditawarkannya. Potlatch yang kental dengan altruisme berbicara mengenai konsep memberi antara sesama manusia, ianya begitu berbeda dengan logika ekonomi yang kental dengan “balas jasa langsung”. Menurutnya, potlatch bakal menghasilkan sesuatu pula bagi kita, hanya saja tak terlepas dari variabel situasi dan waktu, atau singkatnya, dalam potlatch manusia tak langsung mendapat balasan dari apa yang telah diberikannya melainkan “balasan pada suatu hari nanti”.[2]
Namun demikian, secara singkat pula, konsep potlatch mendapat tantangan keras dari Derrida, menurutnya memberi tanpa mengharap kembali adalah sesuatu yang tak mungkin, bahkan ucapan “terima kasih” yang telah kita dengar dalam aktivitas tersebut telah menggugurkan konsep “memberi” itu sendiri, sedang bagi Derrida, apa yang dinamakan “pemberian” harus diikuti dengan melupakan, tanpa mengharap sesuatu sekalipun.[3] Secara tidak langsung, perdebatan di atas mengundang kritik Malinowski atas konsep homo economicus, yakni manusia sebagai mahkluk ekonomi yang diartikan dengan segala tindakan yang dilakukannya tak lepas dari kerangka ekonomi, untung-rugi. Bagi Malinowski homo economicus tidaklah bersifat universal.[4]   
Seperti kita ketahui bahwa konsep homo economicus-lawan dari altruisme-merupakan “ruh” dari liberalisme ekonomi atau ekonomi pasar bebas, hal inilah yang kemudian menghantarkan kita pada pemikiran-pemikiran Polanyi dalam The Great Transformation. Polanyi memberikan penekanan tajam pada perekonomian suatu negara yang didasarkan atas pasar bebas, ia tak luput pula menyoroti begaimana seratus tahun ketenangan Eropa (1815-1914) berbuah pada Perang Dunia I yang mengerikan.[5] Namun demikian, seperti halnya Malinowski dan Mauss apa yang lebih penting lagi baginya adalah sorotan atas depresi ekonomi dunia yang terjadi pada akhir 1920-an akibat kapitalisme-terulang kembali pada krisis ekonomi 1990-an.[6] Meskipun secara umum peristiwa tersebut diakibatkan oleh overproduksi kapitalis, namun faktual peristiwa tersebut juga membuktikan ketidakmerataan ekonomi yang menjadi endemik kapitalisme. Ketidakmerataan ekonomi tersebut dijelaskan dengan apik oleh Marx melalui konsep formulasi atau sirkuit modal kapitalis M-C-M (atau U-K-U), dalam hal ini “M” adalah “modal” atau “uang”, sedangkan “C” ialah “komoditas” atau “barang”.[7] 
Glorious Revolution pada 1688 yang digawangi kelas menengah Inggris tak pelak berjasa menghantarkan ekonomi pasar menjadi sentral kehidupan masyarakat.[8] Namun demikian, gerakan tersebut bukannya tanpa dampak sama sekali, faktual seabrek masalah menjadi momok bagi individu dan masyarakat kemudian. Beberapa hal urgen yang menjadi duri tatanan sosial kemudian semisal segregasi kehidupan pasar dengan rumah (pemisahan antara tempat kerja dan rumah),[9] anomie kekaburan antara hal-hal personal maupun impersonal yang berdampak pada krisis legitimasi pemerintahan modern[10] serta penggunaan buruh perempuan dan anak-anak dengan upah rendah[11]-yang kesemuanya dapat dicap sebagai bentuk dehumanisasi.[12]   
            Namun demikian, terdapat beberapa solusi yang ditawarkan guna mengatasi berbagai masalah di atas, antara lain dengan membentuk “core competences” yakni spesialis firma yang khusus menangani masalah buruh atau pekerja. Melalui firma tersebut pekerja dapat menikmati jaminan kerja, tunjangan kesehatan dan berbagai keuntungan lainnya.[13] Praktek tersebut telah diterapkan di Jepang melalui saling komitmen antara pekerja dengan perusahaan dan terbukti berhasil,[14] begitu juga dengan apa yang dilakukan Henry Ford yang tak hanya “mempercantik” mobil tetapi juga memberi makan dan pakaian bagi pekerjanya.[15] Di satu sisi, revolusi komunikasi berupa “teleworking” turut andil meringankan masalah segregasi antara rumah dengan tempat kerja yakni bagaimana seorang pekerja dapat menggarap pekerjaan di rumahnya sendiri.[16]   







[1] Money and the Market, h. 183.
[2] Ibid., h. 186, 192-194. 
[3] Haryatmoko, “Kutukan Logika Ekonomi: Tak Mungkin Memberi Tanpa Mengharap Kembali”, Basis No. 11-12, Tahun ke-54, November-Desember 2005, h. 9-10.
[4] Ibid., h. 190.
[5] Ibid., h. 197.
[6] Ibid., h. 186.
[7] Ibid., h. 199.
[8] Ibid., h. 184, 212.
[9] Ibid., h. 210, 214, 223.  
[10] Ibid., h. 208, 210.
[11] Ibid., h. 215.
[12] Ibid., h. 222.
[13] Ibid., h. 225.
[14] Ibid., h. 223.
[15] Ibid., h. 224.
[16] Ibid., 226. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar