Minggu, 15 Mei 2011

Tinjauan Kritis Pendidikan

Tinjauan Kritis Pendidikan

Oleh: Koko Wijayanto
Universitas Gadjah Mada

(Fisipol-UGM tempo doeloe [Kraton])

            Melihat relitas kehidupan yang ada dalam masyarakat pada umumnya, disadari atau tidak, kita telah masuk pada era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukan hal yang tabu untuk diyakini bahwa pendidikan akan memberi perubahan-perubahan yang nyata dalam masyarakat. Kini, masyarakat ditempatkan pada ranah kehidupan yang semakin berkembang (selalu berubah). Perubahan semacam ini bisa terjadi pada kebudayaan, kebiasaan maupun cara pandang atas suatu gejala/fenomena.

Sebuah citra mengenai masyarakat konsumtif akan mudah dilihat. Seperti halnya penggunaan kendaraan bermotor pada tahun 2000-an, bila dibandingkan dengan keluaran tahun 2010 pastilah berbeda bila dipandang dengan kacamata terkini. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semacam ini telah memberi dampak yang sangat drastis selama 10 tahun terakhir. Tentunya, pada umumnya orang akan cenderung memilih kendaraan terbaru untuk digunakan dalam kesehariannya. Selain itu, beberapa makanan cepat saji juga menjadi alternatif bagi masyarakat. Dengan adanya makanan cepat saji, tentu akan memudahkan maupun mempersingkat waktu dalam beraktivitas. “Tidak perlu berlama-lama, Bung! Sekarang semua makanan serba instan.”[1] Anggapan serta kemajuan seperti ini hanyalah contoh kecil saja dari dampak perubahan yang ada dalam kehidupan masyarakat.

Bapak besar pendidikan seperti Paulo Freire berkata, “Proyek pendidikan diciptakan untuk memberikan … pengetahuan dan transformasi sebagai senjata untuk mengubah dunia.”[2] Sebuah bimbingan untuk membantu kita mengetahui bawasanya kita telah berada dalam dunia yang bisa dirubah dengan “pendidikan”. Di lain sisi, adakalanya pendidikan bisa disalahgunakan sebagai alat legitimasi. Atas dasar kepentingan tertentu, pendidikan juga bisa disalahgunakan pada tempat dan tujuan yang tidak semestinya.

Berbicara mengenai fungsi pendidikan dalam masyarakat, tak dipungkiri bahwa anggapan yang dapat muncul kemudian adalah keterkaitan erat antara pengetahuan dengan kekuasaan. Bagaimana tidak, fungsi ganda pendidikan dapat pula menciptakan serta menjalankan sebuah budaya yang ada dalam masyarakat. Pengaruh besar yang dihasilkan melalui penemuan ataupun kebenaran kiranya akan merubah cara pandang manusia dalam menjalankan aktivitasnya. Dengan pola seperti ini, tatanan kebudayaan lambat-laun dapat berubah, hingga pada akhirnya ditemui anggapan yang mengklaim bahwa kebiasaan atau tradisi itu kuno, ketinggalan jaman dan sebagainya.

Beberapa aktor yang bermain dalam hegemoni perubahan adalah para intelektual. Sebagaimana pernah diutarakan Presiden Soekarno dalam pidatonya, “… kaoem intelektual adalah kaoem jang akal-fikirannja telah mendapat ‘didikan’ dan pengadjaran.”[3] Sebuah anggapan besar yang termuat dalam benak Soekarno, bahwa para terdidiklah yang nantinya berperan besar dalam dunia pendidikan. Tidak dapat dipungkiri, manusia terdidiklah yang dapat merubah budaya, kebiasaan serta cara pandang atas suatu fenomena yang terjadi.

Beberapa tipologi intelektual juga diperjelas oleh Antonio Gramsci. Pendekatan intelektual menurut Gramsci terbagi menjadi empat kelas besar. Pertama, “Intelektual Tradisional”, ialah intelektual yang menyebarkan ide dan berfungsi sebagai mediator masyarakat kelas bawah dengan kelas atas. Kedua, “Intelektual Organik”, ialah mereka peneliti dan pembelajar yang berupaya memberikan refleksi atas keadaan yang terjadi. Namun, hal ini kerap kali dilakukan atas tujuan atau kepentingan kelompok tertentu. Ketiga, “Intelektual Kritis”, kaum intelektual yang mampu melepaskan diri dari hegemoni elit pemerintah yang memiliki kedaulatan untuk berkuasa maupun menguasai. Keempat, “Intelektual Universal”, adalah mereka yang berusaha memperjuangkan proses peradaban budaya yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Berbagai kerangka teoretis terkait kiranya akan mempermudah kita dalam melihat beragam tipe intelektual yang juga erat kaitannya dengan ranah pendidikan.

Jika kita membicarakan definisi dari istilah “revolusi”, tentu tidak akan bermakna jauh dari pengertiannya mengenai perubahan suatu tata kehidupan masyarakat yang menuju ke arah lebih baik. Kiranya, perlu disadari bahwa kegiatan politik dan kekuasaan dapat dipengaruhi oleh konstelasi pendidikan yang ada. Dengan mengetahui fungsi pendidikan yang dapat berpengaruh pada tataran sosial, budaya, ekonomi hingga politik, bisa jadi beberapa pihak menggunakannya untuk menghancurkan tatanan dunia sosial serta meluluhlantahkan kekuasaan yang mapan. Di satu sisi, kekuasaan politik dapat pula mengancam otonomi intelektual melalui pengawasan yang berlebihan terhadap aktivitas intelektual, mematikan setiap gerak dan bahkan hingga melakukan makanisme sensor atas karya intelektual. Di sisi lain, penetrasi uang dapat menjadikan intelektual abai akan panggilan utamanya sebagai agent of change.[4]

Berbagai karya intelektual yang dirahasiakan maupun disensor sudah tentu menghambat perkembangan kemajuan dunia global meskipun pada akhirnya dengan kesungguhan berikut usaha keras yang dilakukan oleh minority creative dapat menyerua ke permukaan. Dalam hal ini, tentunya amat disayangkan jika pendidikan sekedar digunakan sebagai alat kepentingan kelompok tertentu.

“Kehebatan manusia terletak pada kekuatan pikirannya”, ungkap Blaise Pascal, filsuf dan ahli fisika Perancis.[5] Sebagaimana ungkapnya, hakikat kekuatan manusia berada pada otaknya (baca: pikirannya), bukan pada uang, harta atau kekuasaannya. Melalui sudut pandang Pascal, kita akan mengetahui arti penting pendidikan bagi masa depan umat manusia. Laksana sebutir benih anggur yang berkembang subur, nantiya akan menciptakan benih-benih anggur yang baru. Pendidikan memiliki arti penting bagi transformasi dunia di masa mendatang. Melalui pendidikan lah struktur masyarakat dapat berubah dan/atau dirubah, meskipun memang, entah menuju konstelasi perubahan yang lebih baik ataukah lebih buruk mengingat kekuatan politik dan kekuasaan yang selalu bermain di belakangnya. Singkat kata, arah perubahan dunia berikut umat manusia di dalamnya besar dipengaruhi oleh discovery of sciences and technology.


[1] Instrumental rational action (tindakan rasionalitas instrumental), tindakan semacam ini terkait dengan pilihan akan efisiensi dan efektifitas. Tindakan ini dilakukan dengan penuh kesadaran yang tak lepas dari pertimbangan pencapaian tujuan secara instan. Saya ingin berterima kasih kepada Max Weber atas poin ini.
[2] Peter McLaren, Che Guevara, Paulo Freire dan Politik Harapan: Tinjauan Kritis Pendidikan. Diglossia Media, Surabaya, hlm. 14.
[3] Kalimat tersebut diutarakan Soekarno dihadapan ‘Open bare Vergadering PNI Bandoeng dan Jakarta’s pada bulan Desember 1929. Dikutip dari Daniel Dhakidae, 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Gramedia, Jakarta, hlm. 49-50.
[4] Arizal Mutahir, Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu; Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2011, hlm. 10.
[5] Mahbub Djunaidi, 365 Motivasi, Pustaka Ansana, Yogyakarta, 2010, hlm. 10.

1 komentar:

  1. iya saya tahu. tapi sekarang yang ada kan pengajar, bukan lagi pendidik.

    BalasHapus