CDMK & PNPM MANDIRI: DUALISME KEBIJAKAN PEMERINTAH?
MENINJAU DINAMIKA PROGRAM CDMK DAN PNPM MANDIRI
DI DESA POTORONO, KECAMATAN BANGUNTAPAN, KABUPATEN BANTUL
Oleh:
Wahyu Budi Nugroho
Pendahuluan
Dalam makalah terdahulu telah diuraikan dan dijabarkan secara singkat latar belakang berikut berbagai karakter program Community Development Mengentaskan Kemiskinan (CDMK) yang dicetuskan pemerintah daerah kabupaten Bantul. Secara singkat, CDMK dapat dilihat sebagai salah satu bentuk program pemberdayaan pemerintah (pemerintah daerah) yang telah berlangsung sejak tahun 2003.[1] Secara konkret, program tersebut berupaya melakukan pemberdayaan masyarakat melalui pemberian dana guna pembelanjaan berbagai komoditas produktif dalam bentuk binatang ternak seperti sapi, kambing, ayam, kelinci dan lain sebagainya.
Namun demikian, pengamatan lebih jauh menunjukkan bahwa CDMK bukanlah satu-satunya program pemberdayaan masyarakat yang terdapat di kabupaten Bantul, khususnya Desa Potorono, melainkan terdapat pula program pemberdayaan masyarakat dalam bentuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri atau PNPM Mandiri yang telah berlangsung sejak tahun 2008. Terkait program pemberdayaan tersebut dengan program CDMK, persamaan yang dimiliki satu sama lain adalah fokus program tersebut yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat, sedangkan satu hal yang begitu jelas membedakannya adalah sumber tercetusnya program di mana CDMK berasal dari pemerintah daerah kabupaten Bantul, sedangkan PNPM Mandiri merupakan program yang lahir melalui pemerintah pusat.
Di sisi lain, dengan mengedepankan pola pikir “kritis” dan menakarnya dalam “relasi kekuasaan”, kiranya satu hal yang patut menjadi perhatian dan pertimbangan seksama adalah “afiliasi politik” dan “kepentingan” masing-masing pemrakarsa atau pencetus program di atas, Dalam hal ini, CDMK yang lahir melalui pemerintah daerah kabupaten Bantul tercetus melalui kebijakan atau Surat Keputusan (SK) Bupati Bantul, Idam Samawi yang notabene memiliki kedudukan pula sebagai “fungsionalis” Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Di satu sisi, program PNPM Mandiri yang berasal dari pemerintah pusat tercetus melalui kebijakan Susilo Bambang Yudhoyono yang berkedudukan sebagai presiden sekaligus “dewan pembina” Partai Demokrat. Disadari atau tidak, dua kebijakan dengan tujuan sama namun berasal dari unit pemerintahan yang berbeda lebih mengesankan terjadinya “dualisme”[2] dalam tubuh pemerintahan itu sendiri. Singkat kata, kiranya berbagai hal di ataslah yang membuat penulis tertarik lebih dalam untuk mengkaji dan menelaahnya lebih jauh dalam working paper ini.
Sekitar Motif Kebijakan Pemerintah: Ideologis atau Pragmatis?
Diakui atau tidak, upaya dalam melakukan interpretasi atas fenomena dualisme kebijakan di atas berpotensi besar memunculkan beragam makna dan maksud yang berbeda. Beragam interpretasi tersebut bisa jadi muncul dalam bentuk opini layaknya kebijakan pemerintah yang dicap “ideologis”, “idealis” atau kebijakan yang bersifat “politis”, “pragmatis” oleh masyarakat atau pihak-pihak tertentu.
Terkait dengan dualisme kebijakan pemberdayaan masyarakat di atas, opini pertama, yakni kebijakan pemerintah yang dianggap idealis atau ideologis dapat muncul melalui peninjauan ulang atas “agenda setting” pemerintah. Sebagaimana pandangan kaum klasik dalam studi kebijakan publik, permasalahan mendasar dalam setiap kebijakan pemerintah lebih banyak bukan disebabkan oleh pilihan pemecahan masalah atau alternatif solusi, melainkan pada tahapan “formulasi kebijakan” di mana pendefinisian dan pemaknaan masalah dilakukan.
Menilik sekali lagi pada kasus CDMK dan PNPM Mandiri, bisa jadi PNPM Mandiri yang hadir kemudian dan memiliki cakupan nasional diluncurkan guna “lebih” mengembangkan atau memajukan berbagai konsep pemberdayaan masyarakat yang telah ada di masyarakat. Dengan demikian, latar belakang eksistensinya dapatlah dikatakan “ideologis” atau “idealis” mengingat tujuannya bagi “kemaslahatan” rakyat.
Namun demikian, anggapan sebaliknya yang menyatakan bahwa berbagai kebijakan di atas syarat dengan muatan politis dan kepentingan atas kekuasaan pun tak dapat ditampik begitu saja. Pasalnya, di samping masing-masing pencetus atau pelopor kebijakan memiliki afiliasi politik dan cakupan unit yang berbeda, faktual dalam waktu dekat ini (tahun 2009) akan digelar perhelatan akbar berupa Pemilihan Umum Nasional (Pemilu) sebagai bagian dari agenda besar nasional. Menilik kebijakan CDMK dan PNPM Mandiri yang muncul pada tahun 2008 terutama, kiranya tak menutup kemungkinan apabila kedua kebijakan di atas syarat dengan muatan-muatan di atas, yakni kebijakan sebagai upaya menjaring simpati dan suara rakyat sebanyak mungkin dengan menonjolkan afiliasi politik masing-masing pencetusnya. Apabila benar demikian, maka kebijakan yang diambil tidaklah bersifat ideologis atau idealis, melainkan politis dan pragmatis.
Dinamika CDMK dan PNPM Mandiri di Desa Potorono:
Wawancara dengan Bapak Suprianto
Dalam upaya melakukan klarifikasi dan peninjauan ulang atas fenomena kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang mengesankan terjadinya dualisme di dalamnya, dilakukan sebentuk wawancara mendalam (depth interview) pada tanggal 20 Juni 2009 dengan salah seorang pejabat kelurahan bernama Bapak Suprianto yang berkedudukan pada “Bagian Umum” dalam kelurahan dan terlibat pada program PNPM Mandiri. Melalui wawancara yang dilakukan dengan Bapak Suprianto diperoleh beberapa informasi sebagai berikut.[3]
Pertanyaan,
Apa yang Bapak ketahui mengenai CDMK dan PNPM Mandiri?
Jawaban,
Program CDMK merupakan program pemberdayaan yang telah eksis jauh sebelum bencana gempa bumi Bantul, jelasnya program tersebut telah ada sejak tahun 2003, hanya saja baru menjamah Potorono dua hingga tiga tahun setelahnya. PNPM Mandiri berdiri pada tahun 2008 dan hingga kini telah terbentuk Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) di Potorono yang telah tercatat notaris.
Pertanyaan,
Menurut Bapak, apa yang membedakan CDMK dengan PNPM Mandiri?
Jawaban,
CDMK konsen pada pemberdayaan masyarakat, sedangkan PNPM Mandiri konsen pada pengentasan kemiskinan.
Pertanyaan,
Sejauh ini, adakah hambatan-hambatan yang muncul dalam pelaksanaan dua program tersebut?
Jawaban,
Sejauh ini belum ada hambatan yang berarti. Hanya saja memang terdapat beberapa pihak yang tak mematuhi ketentuan kebijakan seperti dana yang tak digunakan pada tempatnya, tetapi belum sampai taraf yang “mengganggu”.
Pertanyaan,
Sebagaimana kita ketahui bahwa CDMK merupakan kebijakan yang lahir melalui pemerintah daerah yakni Bupati Idam Samawi sedangkan PNPM Mandiri adalah kebijakan yang lahir melalui pemerintah pusat yakni presiden SBY, menurut Bapak, sejauh mana tidak terjadi “tumpang tindih” dalam pelaksanaannya di lapangan?
Jawaban,
“Tumpang tindih” atau overlapping itu tergantung pada daerahnya. Ada kalanya, faktor hubungan darah mempengaruhi, ada beberapa pihak pula yang subyektifitas-nya muncul, lebih menggemborkan satu program dibandingkan program lain. Ada pula yang berkomentar bahwa PNPM Mandiri ini berasal dari SBY, apabila besok SBY tidak lagi jadi presiden, tidak tahu apa akan tetap lanjut atau tidak.
Pertanyaan,
Setahu saya, program konkret dari CDMK berupaya memberi dana pada masyarakat guna pembelanjaan komoditas produktif seperti hewan ternak, bagaimana dengan PNPM Mandiri?
Jawaban,
Intinya, setiap kebijakan bersifat fleksibel dan sesuai koordinasi, bila satu bagian telah ditangani CDMK, maka PNPM Mandiri menangani masalah lain. Terlebih, PNPM telah memiliki alokasi dana tersendiri, 10% bagi kegiatan sosial, 20% kegiatan ekonomi dan 70% bagi kegiatan lingkungan. Namun, patokan alokasi tersebut tidaklah saklek, melainkan fleksibel dan menyesuaikan kebutuhan.
Pertanyaan,
Di kelurahan sendiri, sejauh mana perkembangan pembagian kerja bagi pelaksanaan CDMK dan PNPM Mandiri?
Jawaban,
Untuk CDMK, desa sendiri sudah menyerahkan pada fasilitator jadi kelurahan sama sekali tak terlibat di dalamnya, sekedar melakukan kontrol dan pengawasan. Sedangkan PNPM Mandiri telah memiliki kantor administratif sendiri di setiap kelurahan.
Pertanyaan,
Bagaimana pandangan masyarakat mengenai CDMK dan PNPM Mandiri?
Jawaban,
Yang jadi masalah, masyarakat masih menganggap bahwa dana PNPM Mandiri begitu besar sehingga setiap proposal dapat masuk, padahal setiap tahun dana yang disediakan hanya dua ratus juta rupiah dan untuk pembangunan fisik saja sebetulnya tidak cukup.
Pertanyaan,
Kiranya satu hal yang masih begitu “samar” untuk saya terkait penanganan PNPM Mandiri di kelurahan yang sepertinya lebih dominan daripada penanganan CDMK di kelurahan, mungkin Bapak bisa menjelaskan lebih lanjut?
Jawaban,
Begini, CDMK merupakan kebijakan melalui bupati, hanya saja tidak membentuk kelembagaan di dalamnya, sedangkan PNPM Mandiri memiliki kantor kesekretariatan, inventaris dan usaha sendiri, seperti usaha loket pembayaran listrik sehingga wajar lebih tampak dominan dibandingkan CDMK.
Kesimpulan & Penutup
Melalui serangkaian wawancara yang dilakukan dengan Bapak Suprianto selaku Bagian Umum di Kelurahan Potorono ditemui beberapa catatan penting berikut,
- Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri (PNPM Mandiri) yang tercetus melalui pemerintah pusat tampak lebih dominan daripada program Community Development Mengentaskan Kemiskinan (CDMK) yang hadir melalui pemerintah daerah kabupaten Bantul.
- Ditemui pula opini masyarakat yang menganggap PNPM Mandiri sebagai kebijakan politis dan pragmatis pemerintah.
Dengan demikian, pembahasan sekitar dinamika dua kebijakan di atas masih juga menampakkan ambiguitasnya. Namun demikian, dengan kehati-hatian yang teramat sangat dan peninjauan ulang atas posisi PNPM Mandiri yang begitu dominan dan “terlembaga” ketimbang CDMK berikut tercetus melalui pemerintah yang berkuasa saat ini di mana legitimasi pemanfaatan berbagai sumberdaya yang ada begitu terjamin, dapatlah nalar kritis kita menakar relasinya yang begitu kental dengan “kekuasaan”.
Catatan Kritis:
- Kelurahan tak memiliki data penerima bantuan program CDMK sehingga penelusuran lebih lanjut pada masyarakat setempat penerima bantuan begitu sulit dilakukan.
- Ditemuinya masalah teknis yakni fasilitator perogram CDMK (Saudara Udin) yang kehilangan “telepon genggam” sehingga begitu sulit dihubungi.
∞
Daftar Pustaka
Primer
§ Wawancara dengan Bapak Suprianto, Bagian Umum, Kelurahan Potorono, fasilitator PNPM Mandiri pada tanggal 20 Juni 2009.
Sekunder
§ Bahruddin, materi kuliah “Kebijaan Pembangunan”, S1, Jurusan Sosiatri, Fisipol UGM.
[1] Pada tahun 2009 program CDMK dihentikan untuk sementara waktu karena adanya pemilu.
[2] Harus diakui bahwa penulis mengalami kesulitan dalam menentukan istilah yang harus digunakan, yakni antara “dualitas” ataukah “dualisme”. Namun demikian, dengan pertimbangan seksama penulis menggunakan istilah dualisme guna menunjukkan adanya motif pemahaman dan menempatkannya sebagai kata kerja yang ajeg dengan “proses”.
[3] Redaksi kalimat percakapan dalam wawancara telah disederhanakan dan dibakukan sedemikian rupa tanpa mengurangi substansi informasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar