Sabtu, 11 Juni 2011

MALAPETAKA DEREGULASI IMPOR KEDELAI

MALAPETAKA DEREGULASI IMPOR KEDELAI
(Resume Seminar, "Malapetaka Deregulasi Impor Kedelai", PSPK-UGM: 02-01-2008)
Oleh : Wahyu Budi Nugroho


            Pada tahun 1969-1973 sektor kedelai tidak begitu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah, tidak terdapatnya program intensifikasi kedelai serta pelepasan benih baru ditambah cara budi daya yang masih “klasik”, kesemuanya berdampak pada produksi sektor tersebut yang hanya berkisar pada 0,5 juta ton per tahun. Pada periode 1974-1978 barulah usaha pemerintah untuk menggarap sektor tersebut tampak, program intensifikasi dimulai begitu juga dengan pelepasan benih baru. Pada tahapan selanjutnya yakni pada 1979-1983 usaha dalam sektor ini lebih dipergiat, hal tersebut antara lain tampak melalui program intensifikasi yang diperluas, penyediaan pupuk murah, penggunaan pestisida serta pengendalian hama yang mengganggu. Hal penting lain berkait perhatian pemerintah pada sektor kedelai dalam periode ini adalah adanya kebijakan penetapan harga dasar kedelai yang dilakukan oleh BULOG (1979), di samping itu perluasan lahan bagi tanaman kedelai pun dilakukan yakni sekitar 700.000 ha, hingga tahun 1992 tercatat area yang dapat ditanami kedelai seluas 1,5 juta ha dengan produksi kurang-lebih sebesar 1,8 juta ton.

Namun demikian, deretan catatan emas prestasi pertanian Indonesia dalam sektor kedelai agaknya mulai menurun setelah tahun-tahun tersebut, hal ini dikarenakan pada tahun 1994-1998 terjadi kekeringan yang berdampak pada stagnasi sektor kedelai. Malapetaka sektor kedelai kian menjadi setelah tahun 1998, yakni ketika sektor tersebut nihil dari kegiatan-kegiatan produksi ditambah dengan tiadanya proteksi melalui kebijakan impor kedelai bebas bea masuk 0%-yang sebelumnya 20%. Hal tersebut salah satunya juga merupakan imbas dari euforia sebagai dampak dari gerakan reformasi yang terjadi pada tahun sebelumnya di mana pemerintah dituntut untuk mengurangi campur tangannya dalam bidang ekonomi.

Akibatnya, walaupun pada tahun 1998 di bawah pemerintahan yang baru, Habibie sebagai pengganti Soeharto telah mencanangkan program Gema Palagung (Gerakan Mananam Palawija dan Jagung) dengan targetnya swasembada beras, gula dan jagung pada 2001 serta pemerintahan Megawati pada 2005 mengeluarkan kebijakan Gerakan Kemitraan untuk swasembada kedelai dan jagung, keterpurukan pada sektor ini tetap tak terhindarkan, tercatat pada periode 1999-2003 rata-rata produksi yang tercapai menurun dari periode sebelumnya, 1994-1998 yakni dari 1.486.000 ton per tahun menjadi 915.000 ton per tahun. Pada 2004 hingga 2007 kemerosotan hasil panen kedelai kian membengkak yakni menjadi hanya 722.000 ton per tahun saja.   

Perspektif mengenai merosotnya produksi kedelai dalam negeri agaknya cukup picik apabila kita hanya melihat pada faktor alam saja seperti iklim dan cuaca. Tercatat, pada 1999-2007 impor kedelai luar negeri membanjiri Indonesia yakni mencapai angka 1 juta ton per tahun-1,5 juta ton per tahun sebagai dampak dari apa yang telah dijelaskan sebelumnya yakni pembebasan tata niaga impor kedelai tanpa disertainya proteksi terhadap para petani.ª Usaha yang telah dilakukan pemerintah dalam upaya “mengerem” banjirnya impor kedelai ialah menetapkan pajak bea masuk sebesar 10% pada tahun 2002, namun demikian tampaknya ketergantungan kedelai telah menjangkiti pertanian dalam negeri sehingga untuk mewujudkan kembali tahun-tahun emas kedelai yakni pada 1989-1998 di mana produksi mencapai rata-rata 1,5 juta ton per tahun agaknya musykil dilakukan.

Di samping beberapa alasan di atas, tahun-tahun emas kedelai yang pernah dicapai Indonesia memang membutuhkan suatu usaha yang keras, hal ini mengingat kedelai sebagai tanaman komersial dan cukup spesifik penanamannya, begitu juga spesifik dengan penanamnya. Konsep moral ekonomi (kepastian panen) petani James Scott dalam hal ini terkalahkan oleh “moral pasar” petani, sehingga penanaman kedelai bukan lebih dikarenakan jaminan panen atau tidaknya melainkan berdasarkan untung-rugi pasar, hal tersebut berbeda dengan padi atau ketela yang apabila pasar menolaknya, maka petani dapat mengkonsumsinya sendiri. Di sisi lain, sektor industri seperti pembuatan kecap faktual hanya sedikit membutuhkan bahan baku kedelai, begitu pula halnya dengan pemasarannya yang sangat terbatas namun menyerap biaya yang besar.       

 Spesifikasi tanaman kedelai antara lain lahan yang sedikit becek serta memiliki ph netral mengakibatkan lahan-lahan yang cukup luas seperti di Kalimantan praktis tidak dapat ditanami kedelai mengingat rendahnya kadar kapur di daerah tersebut. Tanaman kedelai juga membutuhkan penyinaran matahari yang cukup, tidak terlalu panas atau dingin, lebih sesuainya pada iklim subtropis. Masalah lain yang cukup urgen mengenai kedelai adalah daya tumbuh benih yang terbatas, benih kedelai sangat rentan dipindahkan dan disimpan untuk jangka waktu yang lama. Adapun pupuk bagi tanaman ini juga khusus, di samping itu tanaman ini juga memiliki hama yang banyak. Beberapa spesifikasi tanaman kedelai di atas menyiratkan penanamnya yang spesifik pula yakni mereka para petani yang rajin, tekun dan ulet serta memiliki basis finansial yang kuat, di samping itu jaringan yang kuat juga merupakan prasyarat yang mutlak harus dipenuhi apabila hendak menanam tanaman ini.
                                                                                                               
Komoditas kedelai yang menjadi bahan baku kecap, susu, taoco, tahu dan terutama tempe dengan cakupan konsumen dari presiden hingga “sinden” di Indonesia agaknya menuntut pemerintah melakukan pembenahan-pembenahan yang lebih serius dalam sektor ini. Di satu sisi, isu global warming ‘pemanasan global’ yang diprediksi akan menyebabkan mahalnya seluruh komoditas pangan sepuluh tahun ke depan kiranya kian memperparah keadaan.     

Dengan demikian usaha untuk mengembalikan masa-masa emas kedelai di Indonesia setidaknya membutuhkan tiga syarat mutlak yang antara lain adalah faktor politik berupa komitmen nasional demi mewujudkan swasembada kedelai, hal ini hendaknya didukung oleh seluruh jajaran pemerintah dari pusat hingga daerah. Syarat kedua adalah faktor teknis yakni paket-paket teknologi yang cocok berikut manajemen di tingkat daerah yang handal dengan dukungan pihak-pihak profesional. Faktor ekonomi dan jaminan pasar menjadi faktor berikutnya yang tak kalah urgen, faktor tersebut efektif diwujudkan dengan pembentukan harga pasar kedelai oleh pemerintah. Melalui realisasi ketiga hal di atas diharapkan tahun-tahun emas kedelai yakni terwujudnya swasembada komoditas pangan tersebut di Indonesia dapat dituai kembali.





ª Amerika tercatat menyuplai lebih dari 50% komoditas pangan kedelai dan gandum dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar