Sekilas tentang Absurditas
Absurditas dalam Pandangan Eksistensialisme Sartre dan Camus
Absurditas dalam Pandangan Eksistensialisme Sartre dan Camus
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Sartre & Camus |
“Absurditas” adalah suatu terminus yang kerap digunakan para filsuf eksistensialis guna menggambarkan betapa “anehnya” kehidupan di dunia ini...
*****
Dimensi absurditas
atau ketidakbermaknaan hidup dalam eksistensialisme Sartre ditunjukkan melalui
eksistensi manusia sebagai kehendak untuk menjadi Tuhan. Secara tegas, ia
berkata, “To be man means to reach toward
being God. Or if you prefer, man fundamentally is the desire to be God.”
[“Menjadi manusia berarti adalah upaya untuk menjadi Tuhan. Atau jika kau lebih
menyukainya, secara mendasar manusia adalah kehendak untuk menjadi Tuhan.”].[1] Hal tersebut
dimungkinkan dikarenakan eksistensi manusia sebagai pour soi yang selalu memiliki celah atau kekurangan berupa ajeg-nya kehendak atau keinginan dalam
diri sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya: “The existence of desire as a human fact is sufficient to prove that
human reality is lack.”.
Oleh karenanya, di samping
“berada dalam dirinya” (pour soi atau
being for itself), sesungguhnya manusia juga hendak
menjadi en soi (being in itself) “berada dalam dirinya” yang sempurna berikut tanpa
celah. Namun eksistensi yang demikian, etre
pour soi sekaligus etre en soi,
hanyalah menjadi sifat Tuhan semata. Oleh karenanya, Sartre kemudian menyatakan
keberadaan manusia di dunia tidak lebih sebagai useless passion ‘hasrat kesia-siaan’.
“Each
human reality is at the same time direct project to metamorphose its own
For-itself into an In-itself ... Every human reality is a passion in that it projects
losing itself so as to found being and by the same stroke to constitute the
In-itself which escapes contigency by being its own foundation, the Ens causa
sui, which religion call God … But the idea of God is contradictory and we lose
ourselves in vain. Man is useless passion”.[2]
[“Setiap
realitas manusia pada waktu yang bersamaan memiliki proyek untuk merubah
karakter “berada bagi dirinya” menjadi “berada dalam dirinya” … Setiap realitas
manusia merupakan hasrat pada proyek untuk melenyapkan “berada bagi dirinya”
namun tetap berkesadaran dan pada waktu bersamaan menemukan dirinya sebagai “berada
dalam dirinya” yang tidak memiliki pondasi kesadaran, suatu penyebab utama, di
mana dalam agama disebut sebagai Tuhan … Namun ide mengenai Tuhan
bertentangan—dengan sifat manusia—dan kita akan selalu menemukan diri kita
dalam kegagalan. Manusia adalah hasrat kesia-siaan.”]
Dimensi lain
absurditas kehidupan dalam pandangan Sartre adalah ketiadaan alasan dan tujuan dari
terciptanya benda-benda. “Dunia dan
benda-benda yang membentuknya adalah benda-benda yang ada tanpa alasan maupun
tujuan. Tidak tercipta, tanpa alasan untuk hidup, mereka sekedar ada”, ucap
Sartre.[3] Lebih jauh,
karena dunia ini tidak memiliki alasan untuk ada, maka Sartre menyebutnya
sebagai “Yang Absurd”. Begitu pula keberadaan manusia bagi Sartre, pada awalnya
manusia hanyalah sebuah benda, ia—manusia—benar-benar akan menjadi manusia
sejati manakala telah memilih moralitas yang diinginkannya secara bebas. Melalui
kebebasan menentukan diri, maka ia telah membentuk hakekatnya sendiri, atau
dengan kata lain, “menciptakan dirinya sendiri”.[4] Ia tak lagi
menjadi sebuah benda yang tanpa makna dan tujuan (absurd).
Perihal
lain yang menunjukkan dimensi ketidakbermaknaan hidup dalam pandangan
eksistensialisme Sartre adalah tidak tabunya tindakan bunuh diri sebagai salah
satu bentuk pilihan bebas kehidupan manusia. Meskipun memang, kajian yang lebih
seksama atasnya akan lebih banyak ditemui dalam eksistensialisme Albert Camus,
di mana melalui eksemplarnya, Mite
Sisifus, Camus mengambil misal salah satu mitologi Yunani mengenai Sisifus yang dihukum
para dewa untuk mendorong batu ke puncak bukit,
kemudian digelindingkan kembali, setelahnya Sisifus harus mendorongnya kembali, dan demikian
seterusnya. Menyitir ungkapan Dostoyevsky, Camus berkata, “Jika hidup sudah tidak bermakna layaknya Sisifus, pantaskah untuk
tetap dijalani?”.[5]
Bagi Camus, absurditas kehidupan tidak hadir dengan
sendirinya, ia hadir-menyerua melalui rutinitas yang selalu dilakoni manusia. Pada awalnya, manusia merasa apa yang
dilakukannya begitu berharga dan bermakna, namun lambat-laun, setelah ia
melakukannya secara terus-menerus dan berulang-ulang, timbul kejenuhan pada
dirinya. Kejenuhan ini, apabila terus berlanjut, nantinya bakal melahirkan absurditas. Satu hal penting yang kiranya tidak patut diluputkan
dalam pengkajian tersebut adalah setiap usaha manusia yang akan selalu berhadapan
dengan “dinding-dinding absurditas”, yakni kematian dari manusia itu sendiri. Dalam
Mite Sisifus, Camus berkata,
“Semua kehidupan manusia beserta hasratnya yang hangat,
aktivitasnya dengan berbagai prestasi, semua keindahan yang telah ia saksikan,
semua cinta yang telah ia berikan dan terima, semua akan berakhir dengan
kematian. Setiap peristiwa dan setiap detik yang ia jalani semakin
mendekatkannya pada kematian. Bayang-bayang kematian bisa muncul melalui apa
saja: Ia adalah bagian dari semua kesenangan kita, ia tunjukkan kesia-siaan
dari aktivitas kita. Inilah perasaan absurd itu.”[6]
Lain halnya dengan Camus yang cenderung menjadikan tindakan bunuh diri
sebagai solusi mengatasi absurditas kehidupan, bagi Sartre salah satu pilihan
moderat (baca: aman) yang dapat diambil guna mengatasi absurditas kehidupan
adalah dengan melakukan penciptaan diri yang terus-menerus dan berulang-ulang.[7] Hal tersebut terlebih berarti melakukan pemaknaan di
setiap situasi dan kondisi yang berbeda.
Referensi:
- Sartre, Jean Paul. 1956. Being and Nothingness. New York: Philosophical Library.
- Camus, Albert. 1999. Mite Sisifus. Jakarta: Gramedia.
Saya suka dengan blog anda bung.. Mantap :) Bisa untuk bahan bacaan singkat sebelum lebih mendalami kajian teori tertentu :)
BalasHapusthanks Bung, buat Anda blog ini dibuat :)
BalasHapussetiap filsuf existensialis punya caranya sendiri dalam menghadapi absurditas hidup. Ada yang menyarankan bunuh diri, ada yang mencoba memaknai setiao situasi, ada yang melakukan penyerahan diri total, dll.. keren blognya bang, karena saya juga suka dengan existensialise.. hehehe
BalasHapusblog ini memperkaya khasanah pemikiran sosiologi. Congrats dan terus berkarya
BalasHapusCamus tidak menyarankan untuk bunuh diri bang, menurut saya dia lebih menyarankan untuk minum kopi
BalasHapusSaya juga menyukai Albert Camus, dia pernah bilang:" Saya banyak meluangkan waktu di saat musim panas di pantai populer Les Sablettes di Algeria. Saya hidup melarat di masa kecil namun juga dengan semacam kesenangan lahiriah, dengan berenang, sinar matahari, pasir dan sepakbola. Saya lelaki Mediterranean, dengan badan sehat yang menyembah keindahan dan badan seperti orang Yunani kuno. "
BalasHapusSaya mencoba menulis blog tentang dia, semoga anda suka:
http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/08/wawancara-dengan-albert.html