Minggu, 24 Juli 2011

Cerita “Lucu” dari Sigmund Freud: “Allah adalah Papa Besar”

Cerita “Lucu” dari Sigmund Freud: “Allah adalah Papa Besar”

Oleh: Wahyu Budi Nugroho


“Tak ada salahnya mengimani keberadaan Tuhan…”
(Pascal)

Mereka yang berkecimpung di dunia psikologi, entah para psikolog, mahasiswa/i fakultas psikologi atau mereka yang sekedar meminati bacaan-bacaan psikologi, pasti mengenal Sigmund Freud. Ia adalah psikolog asal Austria pencetus metode terapi yang paling terkenal dalam dunia psikologi: “psikoanalisis”. Psikoanalisis bekerja dengan cara si pasien berebah pada suatu sandaran, entah kursi panjang atau tempat tidur hidrolik, sedang sang psikolog cukup mendengar keluh kesahnya secara seksama dan sesekali memberi masukan atau melontarkan sebuah tanya. Metode yang “teramat-sangat” sederhana tersebut diyakini Freud mampu “mengimpaskan ketegangan” pada diri si pasien.[1]

(Sigmund Freud)

Di samping terkenal dengan metode terapi psikologis yang dicetuskannya, Freud terkenal dengan teori pembagian jiwa manusia ke dalam tiga lapisan; id, ego dan superego. Namun, di luar reputasinya sebagai psikolog besar dunia, terdapat satu teori cetusannya yang masih juga dipertanyakan hingga kini, yakni pemikiran (konsep) Freud mengenai “Allah” atau “Bapa” (baca: Tuhan) dalam agama Kristen. Sebagai seorang “atheis militan”, Freud meyakini bahwa keberadaan Tuhan hanyalah salah satu bentuk fenomena kejiwaan manusia semata. Hingga kini, teori tersebut masih menjadi perdebatan hangat di antara para pemikir sosial-humaniora, sebagian menganggapnya ilmiah, sedang sebagian yang lain sama sekali tidak. Berikut ulasan pemikiran Freud sebagaimana dimaksud.

Allah adalah “Papa Besar”
Di samping menganggap keyakinan manusia terhadap keberadaan Tuhan sebagai bentuk ketidakmampuan manusia mengatasi “insting mati”[2], Freud meminjam pisau bedah antropologi budaya guna menjelaskan lahirnya konsep “Allah” atau “Bapa” dalam agama Kristen. Menurutnya, dahulu kala terdapat seorang lelaki kuat dan dominan, Freud menjulukinya sebagai “Papa Besar”. Dikarenakan saking kuat dan dominannya Papa Besar, tak tersisa wanita (baca: isteri) bagi anak-anak lelakinya. Suatu hari, anak-anak lelaki Papa Besar berkumpul, mereka meratapi nasibnya yang menyedihkan. Pada akhirnya, mereka pun bersepakat untuk membunuh Papa Besar.


Dalam suatu momen yang telah ditunggu-tunggu, Papa Besar pun berhasil dibunuh oleh anak-anak lelakinya. Namun kemudian, lambat-laun timbul perasaan bersalah yang mendalam dari anak-anak lelakinya. Mereka pun menyadari bahwa Papa Besar syarat dihormati dan dijunjung tinggi, bahkan pascakematiannya. Hal tersebutlah yang kemudian menurut Freud memunculkan konsep “Allah” atau “Bapa” dalam agama Kristen, di mana Tuhan begitu identik dengan sosok laki-laki—Papa Besar. Lebih jauh, Freud mengatakan bahwa mereka yang mengimani keberadaan surga dan neraka ibarat anak kecil usia enam tahun yang masih mempercayai cerita-cerita dongeng dan negeri impian.


*****

Referensi:
  • Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
  • Fudyartanta. 2005. Psikologi Kepribadian Freudianisme. Yogyakarta: Zenith Publisher.    
  • Freud, Sigmund. 1942. Totem and Taboo: Resemblances between The Psychic Lives of Savages and Neurotics. England: Penguin Books.  




[1] Disebut “katarsis” dalam dunia psikologi.
[2] Dalam pandangan Freud, “insting mati” semisal proses penuaan pada individu berikut kematian yang bakal dihadapinya.

2 komentar:

  1. ^^keren. boleh izin copy di blog-ku? sbg 'yang kubaca hari ini' :D

    BalasHapus
  2. monggo, kalau bisa, soalnya nih blog diprotect dari copas

    Salam Hangat,
    Wahyu BN :)

    BalasHapus