Kamis, 21 Juli 2011

I: LATAR BELAKANG KELAHIRAN FILSAFAT EKSISTENSIALISME JEAN PAUL SARTRE

I
LATAR BELAKANG KELAHIRAN
FILSAFAT EKSISTENSIALISME JEAN PAUL SARTRE
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos


“...bahwa ternyata aku tidak memiliki super-Ego.”
(Sartre)

            Bab terkait berisi pembahasan sekitar latar belakang kelahiran filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Dalam hal ini, pembahasan diuraikan dalam lima bagian. Pertama, sejarah konsep “manusia-sentris” dari masa ke masa berikut berbagai tokoh serta pola pemikiran dalam ranah filsafat serta sosiologi pada tataran “klasik” hingga “postmodern”. Kedua, sekilas sketsa perjalanan hidup Jean Paul Sartre berikut berbagai karya yang telah ditelurkannya. Ketiga, analisis konteks “sosial-internal” perjalanan hidup Jean Paul Sartre. Keempat, analisis konteks “sosial-eksternal” perjalanan hidup Jean Paul Sartre, serta terakhir, kelima, sekilas respon aliran filsafat eksistensialisme bercorak “theistik” dalam memandang “keberadaan” manusia dan kehidupannya.
Konsep “Manusia-Sentris” dari Masa ke Masa:
Sebentuk Telaah atas Pemikiran Filsafat dan Sosiologi
dalam Tataran “Klasik” hingga “Postmodern”
            “Manusia adalah dinamika”, demikian ungkap Drijarkara. Secara umum, berbagai pembahasan atas manusia dituangkan Drijarkara dalam sebentuk kajian mengenai “filsafat manusia”.[1] Terkait latar belakang kelahiran filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre, kiranya “filsafat manusia” dapat ditempatkan sebagai “pengantar” dalam pemaparan pembahasan yang lebih luas atas sejarah konsep “manusia-sentris” dari masa ke masa.
            Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa menurut Drijarkara “manusia adalah dinamika”, atau dengan kata lain, “dinamika merupakan realitas dalam manusia”. Apa yang dimaksudkan adalah, kata dinamika yang menunjuk pada “kekuatan” atau “daya gerak” mengindikasikan bahwa manusia merupakan makhluk yang tak pernah “stagnan” atau “berhenti” dan selalu dalam “keaktifan”. Lebih jauh, dinamika manusia berfungsi guna mengatasi segala rintangan dalam hidup, namun karena rintangan tak akan pernah habis, maka kehidupan manusia merupakan pergulatan dengan rintangan sehingga manusia sebagai dinamika selalu bergerak dan aktif. Ringkasnya, hal tersebut diistilahkan dengan “pendinamisasian manusia”.[2]
            Manusia sebagai dinamika berimplikasi pula pada entitasnya sebagai “subyek”. Artinya, hanyalah manusia satu-satunya makhluk di dunia ini yang memiliki pendirian dan sikap berikut memahami kedua hal tersebut. Jelas dan tegasnya, manusia melihat realitas di hadapannya sebagai fenomena tersendiri, kemampuannya mengambil dan merubah sikap menunjukkan adanya “pengertian” dan “kemerdekaan”. Pendek kata, kesemua hal tersebut menunjukkan “kemampuan” manusia dalam menghadapi realitas.[3]
            Pada ranah yang lebih spesifik yakni terkait pengkajian berbagai filsuf mengenai manusia, pada periodesasi filsafat klasik ditemui Epicurus yang memiliki pandangan begitu bertolak belakang dengan Plato. Apabila Plato mengukuhkan kedudukan manusia sebagai makhluk sosial, maka Epicurus menolaknya dan menegaskan bahwa “manusia adalah makhluk individu”, ia sepenuhnya bebas dan tujuan utamanya di dunia adalah mencari kesenangan berikut kenikmatan sebesar-besarnya. Di satu sisi, “kebebasan” manusia yang didewakan Epicurus berbenturan pula dengan konsepsi filsuf lain bernama Zeno yang menegaskan segala tindakan manusia merupakan “skenario” Tuhan.[4]
            Pada perkembangannya, pemikiran Zeno atas manusia diadopsi oleh beberapa filsuf skolastik (filsuf abad pertengahan) layaknya Agustinus dan Thomas Aquinas, di samping memang, Agustinus yang mengadopsi konsep forma Plato guna menjelaskan keberadaan surga dan Aquinas yang menggunakan konsep “Tuhan sebagai penggerak pertama” Aristoteles untuk membuktikan eksistensi-Nya.[5]
            Melalui serangkaian “kejumudan” intelektual dan “stagnasi” konsepsi manusia selama periode filsafat skolastik berlangsung, munculah ekses berupa peristiwa akbar renaissance ‘pencerahan’ Eropa pada abad 15-18 yang digawangi tokoh-tokohnya seperti Nicolo Machiavelli, Giordano Bruno serta Thomas Hobbes yang mendewa-dewakan kebebasan berpikir dan melakukan penolakan keras atas doktrin kanonisasi lembaga gereja. Di samping Machiavelli sebagaimana telah disinggung dalam bab sebelumnya, Thomas Hobbes misalnya, dalam Leviathan mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hewani yang dengan demikian berperilaku layaknya “hewan”.[6] Melalui pernyataannya, Hobbes dikukuhkan sebagai “Bapak Matrealisme Modern”.[7] Di sisi lain, hal tersebut menandai pula dimulainya era “filsafat modern”.
            Terkait hal di atas, sebagaimana telah disinggung dalam bab sebelumnya pula, Nietzsche, filsuf anti-Pencerahan abad 19 mendiktumkan “kematian Allah” di mana pada abad 17-18 menandai pergeseran pola pikir “teosentris” kepada “antroposentris” di mana manusia menjadi pusat “permasalahan” dan “pembicaraan”, bukannya Tuhan. Sebagai penegas hal tersebut, dalam Ecce Homo Nietzsche berkomentar,[8]
                        Mengapa “AKU” demikian bijak,
                        Mengapa “AKU” demikian pintar,
                        Mengapa “AKU” menulis buku-buku yang begitu bagus... 
            Di satu sisi, pada ranah sosiologi klasik, Max Weber dianggap Ritzer mempelopori munculnya salah satu paradigma ilmu sosial yang diistilahkan dengan “definisi sosial” di mana individu atau entitas manusia sebagai satu-satunya fakta yang dapat diselidiki dan menjadi pusat kajian melalui epistemologi verstehen. Terkait hal tersebut Weber menegaskan, “There’s no thing such social” (“Tidak ada perihal yang dinamakan sosial/masyarakat”), melainkan, “kumpulan individu dengan kepentingannya masing-masing”.[9] Pemahaman tersebut, sebagaimana diketahui bersama, dalam ranah sosiologi modern diadopsi dan dikembangkan Berger melalui konsep “obyektivasi” di mana individu dapat dipisahkan dari masyarakat dan begitu pula sebaliknya, berikut Mead melalui dialektika interaksionisme simbolik—keduanya telah disinggung dalam bab sebelumnya. Dalam hal ini, baik Weber, Berger maupun Mead meyakini kemampuan individu dalam merubah dan merombak masyarakat di mana berbagai motif tersembunyi entitas individulah yang dianggap “riil”.
            Pada perkembangannya, yakni dalam tahap pemahaman filsafat dan sosiologi postmodern muncul berbagai tokoh yang kian meneguhkan posisi individu sebagai kesatuan “mandiri” dan “bebas” yang dapat “menafsirkan” serta “mengkonstruksi” realitas dengan caranya tersendiri—sebagaimana ia memandang dunianya. Beberapa di antara tokoh tersebut seperti Jacques Derrida yang pada ranah sastra mengemukakan “nihilnya makna tunggal” di mana ketika bahasa memasuki domain publik, maka penulis kehilangan kendali atasnya. Menurutnya, bahasa selalu terbuka bagi beragam pemaknaan sehingga yang benar tambahnya, bukanlah “menemukan makna” melainkan “menciptakan makna”. Oleh karenanya, berpijak pada keyakinan tersebut Derrida memperkenalkan metode “dekonstruksi” dalam pembacaan teks dan realitas—metode tersebut berakhir pada sebuah kesimpulan bahwa “realitas tidaklah ada”.[10]
            Di samping Derrida, terdapat pula Michel Foucault yang mendudukkan individu sebagai “sentral” (pusat) dari segala hal. Dalam Kegilaan dan Peradaban Foucault mengatakan bahwa term, istilah atau kata “normal” dan “abnormal” serta “baik” dan “buruk” tidaklah dapat didefinisikan. Masyarakat atau penguasa tidak memiliki hak berikut kuasa guna menentukan dua hal di atas, melakukan klaim kebenaran dan justifikasi pada pihak lain. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan Foucault, mengingat ekistensi episteme yakni seperangkat kesatuan norma dan hukum yang saling berhubungan dalam periode tertentu. Oleh karena itu, dalam kesimpulannya Foucault mendiktumkan, “Pengetahuan adalah kekuasaan”.[11]  Apabila penelusuran lebih jauh atas arus pemikiran postmodern dilakukan maka ditemui bahwa Nietzsche yang mana merupakan pelopor antifondasionalisme, relativisme, skeptisisme berikut nihilisme radikal dapat ditempatkan sebagai salah satu perintis mahzab postmodernisme.
            Melalui berbagai uraian dan penjabaran singkat perkembangan pemikiran mengenai  “manusia-sentris” dalam ranah filsafat maupun disiplin sosiologi di atas, faktual ditemui berbagai pemikiran tokoh yang menegaskan eksistensi manusia sebagai entitas sui generic ‘apa adanya’, bebas berikut menempatkannya sebagai satu-satunya yang “riil” atau “fakta” yang dapat diselidiki. Dalam hal ini, filsafat eksistensialisme Sartre yang mana “meradikalkan” berbagai pemikiran di atas, hadir hampir bersamaan dengan pemahaman fenomenologi Berger berikut interaksionisme simbolik Mead, tepatnya pada era “pra-Filsafat postmodern”. Melalui eksistensialisme “usungannya”, Sartre membawa konsep atau pemikiran atas manusia hingga ke “batas”. Ia menyuarakan penolakan keras terhadap berbagai bentuk interaksi antar sesama manusia dan menekankan eksistensinya sebagai makhluk yang bebas “sebebas-bebasnya”. Tak khayal, hal tersebutlah yang kemudian menyebabkan eksistensialisme Sartre didaulat sebagai puncak pemikiran Barat atas semangat individualisme, kebebasan dan semangat anti-Tuhan.
Sekilas Perjalanan Hidup Jean Paul Sartre[12]
            Jean Paul Sartre lahir di Paris, Perancis pada tanggal 21 Juni 1905. Ibunya bernama Anne-Marie Schweitzer, sedangkan ayahnya bernama Jean Baptiste. Keluarga ibu Sartre berasal dari Alsace-Lorraine, daerah Timur Perancis yang berbatasan langsung dengan Jerman di mana penduduknya berbicara baik dalam bahasa Perancis maupun Jerman. Ibu Sartre merupakan puteri Charles Schweitzer, seorang guru bahasa dan sastra Jerman serta penulis buku-buku pelajaran yang “sukses” di Alsace. Di satu sisi, ibu Sartre merupakan saudara sepupu pertama dari Albert Schweitzer yakni seorang teolog, misionaris serta ahli musik kenamaan asal Jerman.
            Jean Baptiste, ayah Sartre, merupakan seorang perwira Angkatan Laut yang meninggal dua tahun setelah kelahiran Sartre saat melaksanakan tugas kemiliteran di Indocina. Ayah Jean Baptise merupakan seorang dokter yang menikahi puteri seorang tuan tanah di daerah Perigord. Ia menjadi seorang dokter yang tersohor di Perancis sebagai pelopor kedokteran di pedalaman Afrika, khususnya di Lambarene, Togo.
            Akibat “kematian muda” ayahnya dalam usia tiga puluh tahun, pada umur dua tahun Sartre telah menjadi anak yatim. Ibunya pun mencurahkan perhatian pada Sartre kecil yang dipanggilnya dengan nama sayang, “Poulou”. Segera setelahnya, Sartre dan ibunya, Annie-Marie, kembali ke rumah orang tuanya, Charles Schweitzer di Ascale. Layaknya sang ibu, kakeknya pun begitu menyayangi Sartre, ia kerap memanggilnya dengan julukan “anak emas” atau “anak ajaib”.
            Namun sayang, Sartre tak memiliki wajah yang tampan, karena suatu penyakit pada usia empat tahun, ia menderita strabismus ‘mata juling’. Hal tersebutlah yang kemudian menyebabkan Sartre kecil kerap mendapati olok-olok teman seusianya dan menjadikannya pribadi yang “minder” serta “penyendiri”. Semasa kecil, Sartre tumbuh sebagai pribadi yang terasing dan terkucil, ia sering menghabiskan waktunya dengan berkhayal dan melamun. Namun kemudian, ia segera menemukan kesenangannya pada perpustakaan pribadi kakeknya, Charles Schweitzer yang dipenuhi ratusan buku serta tumpukannya yang tak teratur. Melalui kakeknya pulalah Sartre berkenalan dengan dunia “membaca” dan “menulis”, buah kegemaran yang bakal menigisi berikut menyibukkan dirinya hingga akhir hayat. Melalui membaca, imajinasi dan khayal Sartre pun berkembang sedemikian kaya serta “dahsyatnya”, melalui menulis ia serasa memiliki “kuasa penuh” untuk menciptakan dunia sebagaimana yang diinginkannya.
            Hingga usianya mencapai 10 tahun, Sartre belajar di rumah, kemudian ibunya memasukkannya ke Lycee Henri IV di Paris. Pada periode-periode tersebut, tepatnya saat Sartre berusia 12 tahun ibunya menikah lagi, Sartre merasakan pernikahan tersebut sebagai bentuk “kehilangan” dan “pengkhianatan”. Segera setelahnya, Sartre mendiktumkan bahwa “Allah tidaklah ada”, ia secara terbuka menentang pandangan kakek serta ayah tirinya—sebagai bentuk “balas dendam”. Setelah ibunya menikah, Sartre bermukim di La Rochelle, barulah beberapa tahun kemudian ia kembali ke Paris dan bersekolah di Lycee Louis-le-Grand. Pada tahun 1924, Sartre berhasil mencatatkan dirinya sebagai salah seorang mahasiswa Ecole Normale Superieure, sebuah perguruan tinggi paling terkemuka dan bergengsi di Perancis.
            Namun begitu mengejutkan memang, pada ujian kelulusannya yang pertama (agregation), ia mendapat peringkat terakhir di kelasnya. Selang penundaannya pada agregation kedua mempertemukannya dengan seorang mahasiswi filsafat yang cantik, pandai dan tentunya baik kepada Sartre, mahasiswi tersebut bernama Simone de Bauvoir. Sejak saat itu mereka tak terpisahkan. Meskipun keduanya tak pernah menikah, mereka jatuh cinta dan bersahabat hingga Sartre meninggal, baik Sartre maupun De Beauvoir menyapa satu sama lain dengan sebutan formal, “Anda”. Pada gilirannya, Simone de Beauvoir dikenal sebagai tokoh terpenting dalam mahzab pemikiran feminis berhalauan eksistensialisme—“feminisme eksistensial”—melalui eksemplarnya, Second Sex. Sartre dan De Beuvoir kerap menghabiskan waktu bersama, menonton film serta belajar bersama guna menghadapi ujian. Pada agregation kemudian, Sartre mendapat peringkat pertama, sedangkan De Beauvoir menempati peringkat kedua.
            Keduanya sempat berpisah ketika Sartre mendapat kedudukan sebagai salah seorang staff pengajar di Lycee[13] Le Harve, pantai barat laut Perancis, sedangkan De Beauvoir pada Lycee Marseilles, pantai selatan Perancis, keduanya berupaya bertemu sebisa mungkin. Ketika Perang Dunia II (1939-1942) meletus, Sartre bergabung menjadi tentara. Kelainan pada matanya menyebabkan Sartre bekerja pada bagian meteorologi di Perancis Timur yang bertugas meluncurkan balon udara guna menguji arah angin. Tepat pada ulang tahunnya yang ke-35 yakni pada 21 Juni 1940, ia ditawan tentara Nazi-Jerman. Namun, tak lama kemudian pada tahun 1941 ia berhasil melarikan diri dan secara diam-diam pulang ke Paris.
            Semasa menjadi tawanan perang tentara Jerman, Sartre dikenal sebagai seorang yang “dekil”, ia jarang mandi dan bercukur, namun demikian pada periode-periode tersebutlah—ketika menjadi tawanan perang—ia menulis mahakarya filsafat yang berjudul Being and Nothingness (dalam bahasa Perancis: L’Etre et le Neant)[14] dan terbit pada tahun 1943. Harus diakui memang, masa-masa “memanas” dan berkecamuknya Perang Dunia II merupakan periode produktif bagi Sartre, di samping Being and Nothingness, ia menulis pula dua buah eksemplar filsafat yang berjudul The Psychology of Imagination (L’Imagination) dan Transcendence of the Ego (La Transcendance de l’Ego) serta tiga buah novel besar berjudul Nausea (La Nausee), The Age of Reason (L’Age de Raison) dan Roads to Freedom (Les Chemins de la Liberte).[15]
            Saat tengah tak menulis, Sartre kerap menghabiskan waktunya di cafe bersama penulis dan seniman lainnya seperti Albert Camus dan Pablo Picasso. Ketika Perang Dunia II usai, Sartre menjadi tokoh yang “dipuja”, tiba-tiba eksistensialisme menjadi sesuatu yang “digemari”, Sartre pun diundang mengajar di berbagai penjuru dunia. Gagasan-gagasannya pun kian tersebar luas berkat kedudukannya sebagai redaktur majalah prestisius, Les Temps Modernes (Zaman Modern) yang namanya diambil dari salah satu judul film terkenal Charlie Chaplin.
            Namun demikian, di tengah-tengah kepopuleran Sartre atas eksistensialisme, berbagai diskusi yang dilakoninya dengan Maurice Merleau-Ponty (tokoh marxis Perancis) begitu mempengaruhinya kemudian. Tak hanya sampai di situ, pada akhirnya Sartre pun meninggalkan eksistensialisme dan beralih pada halauan “sayap kiri”. Perlu dicatat sekali lagi kiranya, ia meninggalkan eksistensialisme justru ketika arus filsafat tersebut tengah “populer-populernya” di dunia. Ia mengaku “bertaubat” dan menyatakan diri sebagai seorang “marxis”. Akibatnya kemudian, ia urung menyelesaikan buah eksemplar kelanjutan karya besar Being and Nothingness yang dijanjikannya bakal memberi landasan “etika” bagi eksistensialisme.
            Semenjak pengakuannya sebagai seorang marxis, Sartre aktif terlibat dalam berbagai gerakan politik. Dalam Perang Dingin yang tengah berlangsung kala itu, ia mendukung Uni Soviet dan Kuba yang kerap pula disinggahinya, hal tersebut membuat hubungannya dengan salah seorang kolega yang juga seorang pemikir eksistensialis, Albert Camus mengalami keretakan. Namun kemudian, Sartre cukup dikejutkan dengan “kebrutalan” tentara Uni Soviet tatkala menumpas pemberontakan di Hongaria pada tahun 1956. Beberapa tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 1960, terbit volum satu dari karya pertama Sartre yang berbau marxis berjudul Critique de la Raison Dialectique (Critique of Dialectical Reason). Pada tahun 1964, Sartre dianugerahi hadiah nobel bidang sastra yang dengan segera ditolaknya atas alasan politis. 
            Lambat-laut, keterpikatan Sartre pada Uni Soviet pun memudar, ia memutuskan hubungan dengan Kremlin pada tahun 1968 bersamaan dengan invasi Uni Soviet atas Czechoslovakia. Namun demikian, aktivitas politik sayap kirinya tetap berlangsung di Perancis, ia berpihak pada penduduk pribumi Aljazair dalam perang Perancis. Tak khayal, Sartre pun tercatat dalam daftar orang “paling dicari” kala itu, lima ribu veteran Perancis berbaris menyusuri Champs-Elysees dan meneriakkan, “Bunuh Sartre! Bunuh Sartre!”. Pada tahun yang sama, ia dituduh pula oleh pers “sayap kanan” Perancis sebagai penyebab terjadinya pemberontakan mahasiswa atas pemerintahan Presiden De Gaulle yang dinilainya “konservatif” karena menindas mahasiswa serta menyerang Partai Komunis Perancis. 
            Pada tahun 1971, Sartre memutuskan hubungan dengan Fidel Castro (Kuba) dan segera bergabung dengan Bertrand Russell yang telah berusia 92 tahun dalam penyelidikan kejahatan perang tentara Amerika Serikat di Vietnam. Pada periode-periode setelahnya, apa yang mengejutkan lagi adalah ketika Sartre mengatakan, “Saya bukan lagi seorang marxis” pada tahun 1977. Hal tersebut secara pasti “menggagalkan” kelanjutan volum kedua karyanya yang berbau marxis, The Critique.[16]
            Pada masa-masa di atas, akibat kebiasaan buruk Sartre semasa hidupnya; terlalu banyak minum wiski, menghabiskan dua bungkus rokok dalam sehari, menggunakan berbagai obat terlarang guna merangsang otaknya ketika menulis filsafat, ia harus membayar dengan kesehatannya. Dokter Sartre pun mengancam bakal “mengamputasi” pertama-tama jari-jari kakinya, kemudian kakinya, betis dan pahanya apabila ia tidak berhenti merokok. Mendengar hal tersebut, Sartre pun menjawabnya dengan enteng, “Akan kupertimbangkan”.
            Pada tanggal 15 April 1980, seluruh penjuru Perancis, bahkan saentaro dunia berduka, Jean Paul Sartre, filsuf besar abad 20, seorang pemikir, penulis, dramawan, humanis serta aktivis politik yang paling berpengaruh kala itu meninggal dunia pada usia 75 tahun. Para dokter harus membujuk Simone de Beauvoir yang berbaring pada tubuh Sartre sepanjang malam karena begitu terpukul atas kematiannya. Sebagai bukti “penghargaan” dan “penghormatan” yang dimilikinya, ribuan orang memadati jalanan Paris menghantarkan kepergian Jean Paul Sartre untuk terakhir kalinya. Kini, ia telah menjadi “is” sebagaimana konsep yang diuraikannya dalam eksistensialisme mengenai maut...
Karya-karya Jean Paul Sartre[17]
            Tak dapat dipungkiri bahwa Jean Paul Sartre tercatat sebagai salah seorang pemikir—“filsuf”—yang begitu produktif semasa hidupnya. Karya-karya Sartre mencakup berbagai eksemplar dalam bidang filsafat, sastra, naskah-naskah drama serta berbagai karya kecil lainnya. Berikut uraian karya-karya Sartre berdasarkan berbagai klasifikasi di atas.
Karya-karya Filsafat
La Transcendance de l’Ego ‘Transendensi Ego’ (1936); L’Etre et le Neant ‘Ada dan Ketiadaan’ (1943); L’Existentialisme est un Humanisme ‘Eksistensialisme Adalah Humanisme’ (1946); Questions de Methode ‘Persoalan-persoalan Metode’ (1957); Critique de la Raison Dialectique ‘Kritik atas Rasio Dialektis’ (1960).
Karya-karya Sastra
La Nausee ‘Rasa Muak’ (1938); L’Age de Raison ‘Abad Pemikiran’ (1945); Les Chemins de la Liberte ‘Jalan-jalan Kebebasan’ (1944, 1945, 1946); Les Mots ‘Kata-kata’ (1963).
Karya-karya Drama
Les Mouches ‘Lalat-lalat’ (1943); Huis Clos ‘Pintu Tertutup’ (1945); Morts Sans Sepulture ‘Orang Mati Tanpa Terkubur’ (1946); La Putain Respectueuse ‘Pelacur Terhormat’ (1946); Les Mains Sales ‘Tangan Kotor’ (1948); Le Diable et le Bon Dieu ‘Setan dan Allah yang Baik’ (1951); Les Sequestres d’Altona ‘Tahanan-tahanan dari Altona’ (1960).
Karya-karya Kecil[18]
L’Imagination ‘Imajinasi’ (1936), Esquisse d’une Theorie des Emotions ‘Garis Besar Teori-teori Tentang Emosi’ (1939); L’Imaginaire ‘Yang Imajiner’ (1940); Baudelaire (1947); Saint Genet: Comedien et Martyr ‘Santo Genet: Komedian dan Martir’ (1952); L’Idiot de la Famille ‘Si Idiot dalam Keluarga’ (1971).
Konteks Sosial-Internal
Kelahiran Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre[19]
            Dalam pengkajian latar belakang kelahiran filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre, konteks “sosial-internal” berikut konteks “sosial-eksternal” tokoh terkait syarat disertakan. Konteks sosial-internal sebagaimana dimaksudkan dan akan dijelaskan lebih lanjut dalam subbab ini, merupakan sebentuk analisis atas dinamika dan perjalanan hidup Jean Paul Sartre dari masa ke masa, secara “pribadi”, sebagai “entitas individu” yang mana di dalamnya mencakup berbagai peristiwa atau suatu kejadian penting dalam hidupnya serta diuraikan “sebab-musababnya” sejauh mana hal tersebut berpengaruh “secara psikologis”, membentuk kepribadian atau dirinya kelak hingga menelisik berbagai kemungkinan pertautannya dengan pemikiran-pemikiran yang dicetuskannya sebagai intelektual kenamaan abad 20, “filsuf” tepatnya. Dengan demikian, konteks sosial-internal berbeda halnya dengan catatan perjalanan hidup seorang tokoh baik dalam bentuk “biografi” maupun “autobiografi” yang lebih bersifat “deskriptif”. Konteks sosial-internal menyertakan “analisis” berikut “refleksi kritis” atas perjalanan hidup tokoh terkait yang mana kesemua hal tersebut lebih mencirikan bentuknya sebagai metode “sosioanalisa” dalam “sosiologi pengetahuan”[20].
            Dalam mewujudkan upaya di atas, pembacaan dan pengkajian secara seksama atas catatan perjalanan hidup Sartre yang ditulisnya secara “otonom” dan tertuang dalam buah karya Les Mots ‘Kata-kata’—autobiografi Sartre—syarat dilakukan. Tak hanya cukup sampai di situ, metode semiotika[21] pun digunakan dalam rangka membongkar berbagai susunan kata dan kalimat Sartre yang memang kental dengan nuansa “simbol”. Terkait hal tersebut, dalam suatu wawancara eksklusif dengannya, Sartre mengatakan, “I never cared for Gide, I liked Valery, he spoke in symbols” (“Aku tak pernah tertarik pada Gide, aku menyukai Valery, ia berbicara dengan simbol-simbol”).[22] Diakui dan disadari atau tidak, hal tersebut sedikit-banyak menjabarkan kegemaran Sartre akan penggunaan simbol-simbol dalam mengungkapkan sesuatu.
            Sebagaimana telah dijabarkan dalam uraian singkat perjalanan hidup Jean Paul Sartre sebelumnya, kematian muda ayahnya, Jean Baptiste menyebabkan ibu Sartre, Anne-Marie mencurahkan perhatian dan kasih sayang yang begitu besar pada Sartre. Faktual, tak hanya sang ibu yang bersikap demikian, melainkan pula kakeknya, Charles Schweitzer yang kerap menyapa Sartre dengan sebutan “anak emasku”, “anak ajaibku” atau panggilan “mungilku” ketika mereka hidup bersama di Ascale. Apabila penelisikan lebih jauh atasnya dilakukan maka ditemui bahwa masa kecil Sartre diliputi kasih sayang dan kehangatan keluarga di sekelilingnya, dengan kata lain, ia adalah “bocah” yang benar-benar merasakan “kepenuhan” rasa sayang keluarganya. Hal tersebut sebagaimana diungkapkannya sendiri,

“Dengan manis kubiarkan orang lain memakaikan sepatu, meneteskan obat di hidungku, menyikat dan memandikanku, menaikkan dan melepaskan bajuku, mengurusi dan melindungiku.”
(Jean Paul Sartre 2000:27-28)

“Aku tidak punya hak karena cinta sudah sepenuhnya memuaskanku; aku tidak punya kewajiban karena kupasrahkan diri pada cinta.”
(Jean Paul Sartre 2000:36)

            Dapatlah ditelisik lebih jauh, pernyataan kedua Sartre di atas secara ekplisit menyiratkan betapa dirinya penuh diliputi rasa cinta dan kasih sayang orang-orang di sekelilingnya sehingga ia pun merasa “haknya” telah terpenuhi, bahkan hingga merasa tak memiliki “kewajiban” yang “membebani”.
            Sedangkan perihal sosok kakek ia bertutur,

“Kakek dapat menikmatiku tanpa memilikiku: maka aku menjadi keajaibannya ... dia memberkatiku dengan telapak tangannya, dan aku merasakan kehangatan telapak tangannya di atas kepalaku; dengan suara bergetar mesra dia memanggilku “mungilku”, sambil matanya yang dingin berkaca-kaca. Semua orang berteriak, “Bocah ini  telah menjadikannya gila!”
(Jean Paul Sartre 2000:22-23)

            Namun demikian, kasih sayang yang agaknya “berlebih” diterima Sartre kecil melalui ibu dan kakeknya tidak serta-merta menghindarkannya dari karakter negatif kepribadian. Sartre kecil kemudian berubah menjadi sosok yang “haus” akan pujian, sanjungan bahkan ia tak segan-segan “berakting” baik untuk mendapat kesemua hal tersebut, singkatnya ia menjadi “kecanduan” akan pujian serta sanjungan orang lain. Ia mengakuinya sebagai berikut,

“Bagaimanapun, ada satu kejahatan yang masih membekas dalam ingatanku ... Saat-saat dengan spiritualitas tinggi itulah kepuasanku ... itulah kesempatanku untuk memperlihatkan kecanggihan gayaku: berlutut di bangku gereja, aku seolah-olah menjadi patung; jempol kaki pun tidak kugerakkan ... sampai air mata akhirnya berlinangan di pipi ... Akan tetapi aku membohongi diri; berpura-pura seolah aku dalam bahaya agar efek kemenanganku membesar ... Bila ingin membuat orang kagum, itu harus karena pesona keunggulan diriku ... berbudi luhur merupakan bagian dari komediku...”
(Jean Paul Sartre 2000:28-29)

“Satu-satunya tujuanku: bagaimana menyenangkan orang, demi keinginan pamer.”
(Jean Paul Sartre 2000:36)

“... keyakinan bahwa aku adalah seorang penipu .. ke mana saja  aku pergi, kubawa kebaikan hatiku yang palsu, kesombonganku yang santai, sambil mencari-cari kesempatan baru.”
(Jean Paul Sartre 2000:110-111)

            Faktual, begitu banyak pengakuan Sartre atas sikapnya yang haus akan pujian, di samping kedua hal di atas, ia pernah pula memberi uang pada gelandangan guna meraih pujian kakeknya. Di sisi lain, sikapnya yang haus akan pujian memunculkan pula sifat negatif lain pada diri Sartre, yakni selalu hendak menjadi “unggul” dengan jalan apa pun. Pernah suatu kali, dalam sebuah pertunjukkan teater, Sartre merusak kostum temannya di depan penonton karena melihat permainan sandiwaranya yang lebih baik ketimbang dirinya. Sesampainya di rumah ia dimarahi Anne-Marie, ibunya, namun demikian, ia tak pernah menyesali sikapnya, malahan “meringis” di depan kaca. Tak hanya itu saja, sifatnya yang hendak selalu “menang” pun kian “menjadi-jadi”. Pernah suatu saat, ia enggan meminta maaf pada neneknya karena yakin kakek akan membelanya, demikian tulisnya dalam Les Mots,

“Pikiran yang selalu menyangkal ... karena aku yakin akan dibela, aku menolak (meminta maaf) ... dia (kakek) memihakku untuk melawan istrinya yang seketika langsung tersinggung ... Aku betul-betul menikmati kekuasaanku: aku seperti Santo Mikhail yang berhasil mengalahkan roh jahat.” 39-40

            Disadari atau tidak, berbagai uraian mengenai Sartre di atas; selalu hendak menang dengan menghalalkan segala cara, enggan mengalah sekalipun pada orang yang lebih tua, mengindikasikan karakternya yang begitu “egois”. Faktual, hal tersebut pun “diperparah” dengan kondisi keluarga Sartre yang “berkecukupan” dan termasuk dalam golongan kelas menengah—“borjuis kecil”—yang kurang mengajarinya berempati terhadap lingkungan sosial sekitar. Dengan menilik berbagai karakternya tersebut, dalam bahasa freudian dapatlah dikatakan bahwa “super-Ego” yang dimiliki Sartre tidak begitu baik, dan memang sebagaimana ungkapnya sendiri,

“Adakah ini baik atau buruk, entahlah, tetapi aku cenderung menyetujui kesimpulan seorang psikoanalisis kondang: bahwa ternyata aku tidak memiliki super-Ego.”
(Jean Paul Sartre 2000:17)

            Semasa kecil, Sartre adalah anak yang suka berimajinasi dan berkhayal, ia kerap menghabiskan berjam-jam waktunya untuk melakukan hal tersebut. Berbagai imajinasi dan khayalannya diperoleh melalui berbagai ceritra yang kerap dibacakan Anne-Marie kepadanya. Hal tersebut diutarakannya sebagai berikut,

“Aku menjadi La Perouse, Magellan, Vasco de Gama. Aku menemukan berbagai suku bangsa yang aneh...”
(Jean Paul Sartre 2000:62)

“Aku perankan semua tokoh sekaligus: bila menjadi satria kelana, aku menghajar duc, dan langsung berpaling; sebagai duc aku menerima hajaran itu. Tetapi aku hanya sebentar berperan menjadi penjahat; aku tak sabar menanti untuk berperan kembali sebagai tokoh utama, yaitu diriku sendiri. Tak terkalahkan, aku mengalahkan semua orang.”
(Jean Paul Sartre 2000:170)

            Belakangan, kebiasaan Sartre berimajinasi dan berkhayal kian “akut” setelah mendapati dirinya “ditolak” oleh teman-teman sebayanya, ia dikucilkan dan terasing akibat wajahnya yang buruk, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Sartre menderita kelainan mata strabismus ‘mata juling/mata kero’. Dalam guratan-guratan penuh kesedihan dan keperihan ia menuliskan masa-masa tersebut dalam Les Mots sebagai berikut,

 “Ada kebenaran lain. Di teras-teras Taman Luxembourg anak-anak bermain, aku mendekati mereka; mereka menyisih tanpa melihatku; aku memandang mereka dengan pandangan duka; betapa kuat dan gesitnya mereka! Betapa gantengnya mereka! ... keunggulan kecerdasanku lenyap seketika ... kesempatan itu tidak diberikan: aku menemukan hakim-hakimku yang sesungguhnya, yaitu manusia sebaya, manusia setara, dan ketakacuhan mereka telah memvonisku ... tidak seorang pun mengajakku bermain...”
(Jean Paul Sartre 2000:180-181)

            Begitu pula mengenai penampilan fisiknya, Sarte menuliskan,

“Sejak beberapa waktu sudah ada noda pada mataku yang akan menjadikanku bermata picek dan jereng ... Aku telah difoto seratus kali yang diperindah Mama dengan pensil berwarna.”
(Jean Paul Sartre 2000:30)

“Mama masih bisa menolak kenyataan bahwa aku benar-benar buruk rupa ... mata kananku seperti matahari tenggelam. Sepertinya Mama harus mengakui kenyataan ini.”
(Jean Paul Sartre 2000:139)

“...aku menugaskannya (cermin) untuk meyakinkan bahwa diriku monster ... penyesalanku yang kecut berubah menjadi rasa iba ... betapa hina sesungguhnya aku ini...”
(Jean Paul Sartre 2000:145)

            Namun demikian, beruntung ia dapat menemukan kesenangan lain guna mengisi waktu-waktu luang masa kecilnya melalui perpustakan pribadi yang dimiliki sang kakek, Charles Schweitzer. Ia terpesona oleh ratusan buku yang tertata rapi dalam rak, begitu pula dengan tumpukan-tumpukan buku “liar” yang berserakan di sekelilingnya. Ia kerap menaiki kursi dan meja untuk mengambil buku tertinggi, membuka-buka halaman, menutupnya dan kemudian mengembalikannya pada tempat semula. Terdapat kesan tersendiri yang dituliskannya mengenai perpustakaan milik kakek,

“Perpustakaan (milik kakek) laksana dunia yang terjerat dalam cermin; tebalnya tak terhingga, beraneka, juga tak terduga. Aku terjun dalam petualangan yang luar biasa: menaiki kursi, meja, meski dengan resiko membuat semua roboh jatuh di atasku.”
(Jean Paul Sartre 2000:60)

            Melihat cucu kesayangannya kerap menyambangi perpustakaan pribadinya, Charles Schweitzer pun mengajari Sartre membaca dan secara tak langsung mendorongnya untuk menulis. Ia sekedar memberi berbagai petunjuk dasar cara membaca dan kemudian Sartre melanjutkan sendiri pembelajaran tersebut. Terkait motivasi secara tak langsung Charles pada cucunya untuk menulis, ia kerap mengirimi cucunya sajak-sajak puisi yang indah, Sartre pun membalasnya dengan sajak-sajak yang ditulisnya sendiri. Waktu demi waktu pun berlalu, dari seorang penulis sajak kecil, Sartre memberanikan diri menuliskan cerita pertamanya, tulisan monumental tersebut diberinya judul Pour un Papillon ‘Demi Kupu-kupu’.
            Semenjak larut dalam dunia “membaca” dan “menulis”, pribadi Sartre sebagai anak penyendiri pun kian menjadi-jadi, melalui membaca, ia kian lama dan akut berimajinasi—berkhayal. Melalui menulis, ia memiliki “kuasa penuh” untuk menciptakan dunianya. Demikian ungkapnya,

“Aku puas, aku menemukan dunia di mana aku ingin hidup, aku menggapai kemutlakan.”
(Jean Paul Sartre 2000:167)

“Sambil jadi penulis, aku juga berperan sebagai tokoh utama, dan aku memakai tokoh itu untuk memproyeksikan impian epis pribadiku.”
(Jean Paul Sartre 2000:194)

“Setelah novelku yang pertama, aku tahu bahwa seorang anak telah memasuki istana kaca. Dengan menulis aku eksis, lepas dari dunia kaum dewasa ... Yang penting: aku menjadi periang; menjadi anak publik, yang memberikan janji pribadi kepada diri sendiri.”
(Jean Paul Sartre 2000:202-203)

            Melalui kegemaran barunya di atas, munculah berbagai sifat dan karakter baru dalam diri Sartre kemudian. Pada periode-periode tersebut ia sempat menjadi pribadi yang tak dapat memisahkan antara “fiksi” dengan “realitas” (kenyataan), ia hanyut dan larut dalam keduanya. Di satu sisi, ia menjadi pribadi yang begitu percaya diri, “narsis”, bahkan memilki kecenderungan megalomania (memuja diri). Hal tersebut diutarakannya sebagai berikut,

“Kubuang surat kabar itu ke lantai, menginjak-injaknya sambil berteriak, ‘Tidak! Tidak!’ ... Setelah membaca itu aku takut pada air, kepiting dan pohon.”
(Jean Paul Sartre 2000:200)

            Terkait kepercayaan diri Sartre yang berlebih dan kecenderungan megalomanianya,

“Waktu itu, kesombongan dan keterlantaranku sedemikian tinggi, keinginanku adalah: mati atau dibutuhkan seluruh umat manusia”.
(Jean Paul Sartre 2000:220)

“...laksana kilat aku menyilaukan mereka, mengungguli mereka dari jauh, kesaktianku melebihi batasan ruang dan waktu, menyambar yang jelek, melindungi yang baik ... Aku dibaca orang, aku langsung dikenali orang; aku dibicarakan, namaku disebut dimana-mana, aku telah menjadi sejenis bahasa yang sekaligus khusus dan universal ”
(Jean Paul Sartre 2000: 261)

“...tokoh masa depan: Napoleon, The Mistocles, Philipe-Auguste, Jean Paul Sartre.”
(Jean Paul Sartre 2000:280)

            Melalui berbagai pemaparan dan uraian konteks sosial-internal di atas, yakni sebentuk telaah atas perjalanan hidup Jean Paul Sartre semasa usia 9-12 tahun, faktual ditemui beberapa peristiwa yang andil membentuk kepribadiannya di masa mendatang, terutama dalam kaitannya dengan arus pemikiran—filsafat—eksistensialisme cetusannya. Hal tersebut dapat dimisalkan dalam beberapa hal; pertama, kehidupan keluarga Sartre sebagai kelas borjuis yang selalu berkecukupan dan tak pernah merasakan penderitaan mengkondisikan dirinya sebagai pribadi yang tak pernah dilatih untuk bersosialisasi dan berempati dengan sesamanya, melainkan larut dalam kenyamanan dan kesenangan hidup—hal ini pulalah yang menyebabkan Sartre memiliki super-Ego yang lemah sebagaimana diakuinya. Kedua, pengalaman masa kecil Sartre yang begitu pahit dan menyedihkan atas “penolakan” teman-teman sebayanya dikarenakan dirinya yang buruk rupa sehingga menjadikannya pribadi terkucil dan terasing. Ketiga, penemuan Sartre akan kesenangannya membaca dan menulis kian mengukuhkan karakternya yang gemar berimajinasi, berkhayal serta menyendiri. Beberapa hal tersebut kiranya menjadi “embrio” pemikirannya dalam filsafat eksistensialisme cetusannya kelak di mana secara lugas dan tegas dalam Being and Nothingness ia mendiktumkan, “Other is the causes of my fallness” (“Orang lain adalah sebab kejatuhanku”) serta “Other is hell!” (“Orang lain adalah neraka!”).
Konteks Sosial-Eksternal
Kelahiran Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Apabila sebelumnya telah dipaparkan konteks “sosial-internal” kelahiran filsafat eksistensialisme Sartre, maka subbab ini beranjak pada konteks “sosial-eksternal” yang melatarbelakangi kelahiran salah satu arus besar filsafat Eropa tersebut. Baik konteks sosial-internal maupun konteks sosial-eksternal memiliki metode yang mencirikan bentuknya sebagai “sosioanalisa” dalam “sosiologi pengetahuan”, hanya saja, apabila konteks sosial-internal lebih memberikan penekanan pada kehidupan pribadi Jean Paul Sartre serta berbagai dampaknya pada dirinya kelak, terutama sejauh mana hal tersebut berpengaruh pada filsafat eksistensialisme cetusannya kemudian, maka konteks sosial-eksternal melakukan penekanan pada berbagai kondisi “eksternal”, di luar diri Sartre secara pribadi atau di luar entitasnya sebagai individu. Dengan kata lain, konteks sosial-eksternal menunjuk pada suatu konstruksi situasi dan kondisi yang lebih bersifat objektif serta terindera dalam batas-batas kolektivitas tertentu—memenuhi prinsip-prinsip empirisme berikut pola pikir matrealisme.[23]
            Sebagaimana diketahui bersama bahwa masa-masa dimulai dan berkecamuknya Perang Dunia II merupakan periode produktif bagi Sartre. Ia menelurkan tiga buah karya filsafat berupa Being and Nothingness, The Psychology of Imagination dan Transcendence of the Ego, begitu pula, ia menulis tiga novel besar berjudul Nausea, The Age of Reason dan Roads to Freedom. Apabila penelisikan lebih jauh terhadap berbagai karya Sartre di atas dilakukan, maka ditemui bahwa Perang Dunia II dan berbagai peristiwa di dalamnya begitu kental mempengaruhi penulisan karya-karya tersebut. Dan memang, konstelasi Eropa atau Perancis kala itu khususnya, menjadi penekanan konteks sosial-eksternal dalam pembahasan ini. Dengan kata lain, bagaimana peristiwa Perang Dunia II yang dialami jutaan bahkan puluhan juta penduduk Eropa dan Perancis terutama—terindera dan dirasakan secara bersamaan (kolektif dan objektif)—memiliki kedudukan atau tempatnya tersendiri dalam pandangan serta penilaian Sartre berikut sejauh mana hal tersebut berpengaruh pada pemikirannya dalam filsafat eksistensialisme kemudian.
            Pada periode-periode Perang Dunia II, tepatnya ketika Sartre menjadi tawanan perang tentara Jerman, ia mulai membaca karya Soren Kierkegaard, filsuf melankolis asal Denmark yang kemudian didaulat sebagai perintis filsafat eksistensialisme bercorak theistik ‘agamis’. Di luar perbedaan keyakinannya yang begitu mencolok atas filsuf kenamaan Denmark tersebut, faktual ditemui persamaan persepsi antar keduanya dalam memandang serta memaknai salah satu dimensi “kebebasan”. Dalam hal ini, Kierkegaard mengangkat kisah Adam guna menggambarkan betapa besar kebebasan yang dimiliki manusia. Tuhan telah melarang Adam memakan buah pengetahuan di surga, namun larangan tersebut berarti pula bahwa “ia dapat memakannya” (ia bebas untuk melakukannya), dan memang ia memiliki kemungkinan bakal memakannya atau bahkan kemungkinan besar bakal memakannya. Dengan demikian, “dosa asal” dalam pandangan Kierkegaard merupakan kecemasan atau rasa takut ketika ia berhadapan dengan kebebasannya sendiri, dengan kata lain, kecemasan dan ketakutan pastilah menghinggapi manusia ketika ia dihadapkan pada kebebasannya sendiri.[24]
            Terkait hal di atas, dalam Being and Nothingness Sartre menegaskan bahwa manusia memiliki “pilihan bebas” atau “kebebasan” yang begitu besar. Setiap manusia tak harus menyaksikan perang ini (Perang Dunia II), setiap manusia memiliki kebebasan untuk menolak perang tersebut dengan mengakhiri hidupnya sendiri (baca: bunuh diri), namun karena mereka tak kunjung melakukannya, maka ia memiliki konsekuensi untuk menanggung kesemua hal di atas; melihat perang tersebut, mendistorsi alam pikirannya, bahkan kemungkinan terluka akibat terkena serpihan ledakan granat dan sebagainya. Di satu sisi, apabila manusia menolak pilihan bebas dan kebebasan yang dimilikinya, dengan kata lain tidak mengakui “bunuh diri” sebagai salah satu kebebasannya, maka dalam pandangan Sartre ia memiliki mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’. Oleh karenanya, Sartre berkata, “Perang ini adalah perangku, perang ini ada dalam bayanganku, dan aku pantas menerimanya”, begitu pula dengan pernyataannya yang menuai kontroversi, “Tidak ada korban yang tidak bersalah dalam perang”.[25]
            Lebih jauh, dalam eksemplar yang sama (Being and Nothingness), Sartre menyatakan bahwa realitas “sebagaimana adanya” tidaklah berarti apa-apa, manusialah yang sepenuhnya menentukan atau memaknai hal tersebut, “Manusia sendirilah yang menciptakan situasi dan kondisi dunianya”, tegasnya. Oleh karena itu, menurut Sartre, tidak ada situasi dan kondisi yang “tidak manusiawi”, bahkan perang sekalipun—perang adalah situasi dan kondisi yang manusiawi.[26]
            Terkait hal di atas, Sartre menemui satu misal pula dalam perang yang tengah berlangsung kala itu. Pernah suatu kali, seorang mahasiswa datang dan meminta nasehat padanya. Sang mahasiswa “dibingungkan” akan dua opsi (pilihan); pertama, apakah ia harus bergabung dengan tentara Perancis untuk mengusir penjajah, kedua, sedang di satu sisi sang ibu tengah sakit keras dan membutuhkan pula kehadirannya. Melalui hal tersebut Sartre berpikir dan meninjaunya dalam hubungannya dengan kebebasan yang dimiliki manusia, ia menakar,[27]
1)       Merawat ibu merupakan tindakan konkret, namun berarti mengorbankan nyawa prajurit lain demi kebebasannya, di satu sisi hal tersebut dapat pula dianggap sebagai tindakan “pengecut”.
2)       Maju ke medan perang merupakan tindakan mulia, hanya saja lebih abstrak karena perjuangan yang dilakukan bakal tereduksi dengan para patriot lainnya, namun itu berarti pula mengorbankan ibu demi kejayaan Perancis, di sisi lain pengorbanan tersebut belumlah pasti menuai keberhasilan.
            Sartre melihat kedua hal di atas sebagai “etika” yang baik, begitu pula bila ditinjau melalui persepsi “maksim tindakan” Immanuel Kant. Oleh karenanya, Sartre memberi nasehat pada sang mahasiswa, “Ciptakan! Dalam setiap hal akan ada penderitaan, tetapi juga penciptaan dunia”.[28] Apa yang dimaksudkan Sartre di sini adalah, setiap manusia memanglah selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan, namun berbagai pilihan tersebut tidaklah “mengkungkung” dan membatasinya, selalu tersedia pilihan “ringan” hingga “radikal”, dengan demikian istilah yang lebih sesuai digunakan adalah “menciptakan”, bukannya “memilih”. Perlu dijelaskan sekali lagi kiranya, istilah “menciptakan” lebih menunjuk pada dimensi kebebasan manusia ketimbang “memilih”—karena “memilih” berarti ditemui berbagai “batasan” pilihan.[29]
            Dalam perang yang terjadi, Sartre memahami berbagai kekejaman dan penderitaan yang berlangsung di dalamnya, ia merangkumnya secara apik dalam empat jilid (baca: tetralogi) novel berjudul Roads to Freedom. Dalam jilid kedua novel tersebut yang berjudul The Reprieve[30] ia menuliskan,

“...semua tak ada bedanya ... menggali parit di tengah terik matahari, dengan resiko tertembak peluru, geranat dan bom ... mereka akan menunggu perang usai seperti halnya menunggu akhir dari kemiskinan.” 13

            Terkait holocaust yang terjadi dalam Perang Dunia II, Sartre menuturkan kesannya tersendiri,

“Tempat pengasingan orang-orang Babilonia, kutukan pada orang-orang Israel, dan dinding yang menjerit, takdir negara Yahudi belum berubah sejak saat itu ketika putra-putranya berjalan terikat rantai di antara menara-menara merah Assiria, di bawah tatapan kejam penakluk-penakluk mereka...”
(Jean Paul Sartre 2004:89-90)

            Berbagai catatan di atas faktual dijelaskan Sartre secara filosofis dalam Being and Nothingness. Menurutnya, realitas yang terjadi kala itu, yakni perang dan berbagai kekejaman serta penderitaan yang terjadi di dalamnya merupakan entitas yang etre en soi atau being in itself ‘berada dalam dirinya sendiri’, sedangkan berbagai pihak yang menciptakan maupun menanggung perang tersebut (tentara maupun korban) merupakan entitas etre pour soi atau being for itself ‘berada bagi dirinya sendiri’. Lebih jauh, Sartre menjelaskan bahwa etre en soi merupakan “hal atau realitas sebagaimana adanya”, ia “sempurna” sebagai hal atau realitas, namun demikian etre en soi tidaklah memiliki “kesadaran” karena diciptakan, disebabkan atau ditanggapi oleh pihak lain, pihak lain bebas mengkonstruksi dan memaknainya.[31] Di satu sisi, mereka yang menciptakan atau menanggung merupakan etre pour soi, menurutnya etre pour soi tidaklah sempurna dan memiliki lack ‘celah’ atau ‘kekosongan’.[32]
Hal di atas semisal tampak melalui kehendak pasukan Nazi yang selalu menginginkan ekspansi “lebih” dari apa yang telah mereka capai atau dapatkan, sedangkan bagi korban perang, mereka mengalami kekosongan hidup dan pastilah menginginkan situasi dan kondisi hidup yang lebih baik ketimbang saat-saat perang terjadi. Namun demikian, etre pour soi mempunyai kelebihan dibandingkan etre en soi yakni “kesadaran” yang dimilikinya, artinya selalu terbuka peluang bagi tentara Nazi untuk menentukan sejauh mana intensitas dan ekspansi perang, sedangkan sang korban dapat memaknai perang tersebut sebagai “penebusan dosa”, “ke-martir-an” dan lain sebagainya. Menurut Sartre, setiap manusia selalu hendak menjadi etre en soi dan etre pour soi sekaligus. Dengan kata lain, manusia selalu ingin “sempurna” sekaligus “berkesadaran”, namun tambah Sartre, etre en soi dan etre pour soi sekaligus merupakan sifat “Tuhan” semata sehingga mustahil bagi setiap manusia untuk mencapainya. Melalui hal tersebut, Sartre memberi kabar “tragis” akan keberadaan manusia dan kehidupannya di dunia, ia menegaskan bahwa “Man is useless passion!” (“Manusia adalah hasrat kesia-siaan!”).[33]
            Melalui berbagai catatan Sartre mengenai Perang Dunia II yang terangkum dalam sebentuk telaah konteks sosial-eksternal di atas, dapatlah ditelisik lebih jauh betapa periode-periode tersebut memberi pengaruh yang signifikan atas pemikiran Sartre mengenai keberadaan manusia dan kehidupannya—filsafat eksistensialisme. Harus diakui memang, terlalu mustahil, bahkan “naif” untuk memilah dan menentukan berbagai ide Sartre yang faktual telah terkerangka jauh sebelum perang berlangsung maupun ketika perang tengah berlangsung. Namun demikian, berbagai hal dan peristiwa sebagaimana diungkapkan serta dimisalkan Sartre terkait perang yang tengah berlangsung, diakui atau tidak, kian memperjelas dan mempertegas berbagai pemikirannya mengenai entitas manusia, kehidupan manusia, kebebasan yang dimilikinya bahkan kondisi hakikinya, atau secara keseluruhan, filsafat eksistensialisme itu sendiri.
Respon Filsafat Eksistensialisme “Theistik”
atas Manusia dan Kehidupannya: Soren Aabey Kierkegaard
            Sebagaimana telah dipaparkan dalam bab pertama bahwa faktual filsafat eksistensialisme “tersegregasi” ke dalam dua corak atau bentuk yang lebih mengesankannya sebagai “oposisi biner” yang tak mungkin terintegrasi satu sama lain, yakni filsafat eksistensialisme dengan corak “theistik” atau “agamis” dan filsafat eksistensialisme yang bercorak “atheistik” atau “anti-Agamis/anti-Tuhan”. Beberapa tokoh yang berdiri di belakang pemahaman eksistensialisme theistik semisal Soren Kierkegaard, Karl Jaspers, Paul Tillich, Rodaf Batman, Gabriel Marcel, Nicolai Berdyaev, Martin Buber, sedangkan mereka yang bermahzab atheistik antara lain Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Albert Camus, Dostoevsky, Maurice Ponty dan Jean Paul Sartre.[34] Dalam hal ini, Kierkegaard didaulat sebagai pelopor filsafat eksistensialisme bercorak “theistik”, sedangkan Nietzsche “dikukuhkan” sebagai perintis mahzab eksistensialisme “atheistik”.[35] Meskipun perbedaan mendasar ditemui antar keduanya, namun terdapat beberapa tema yang menyatukan mereka dalam arus pemikiran eksistensialisme seperti subyektivitas, eksistensi, individualitas, gairah, kebebasan, pilihan dan tanggung jawab.[36]
            Terkait pembahasan respon (baca: pemikiran) filsafat eksistensialisme “theistik” atas manusia dan kehidupannya, berbagai pemikiran Soren Kierkegaard akan ditempatkan sebagai ulasan utama dalam pengkajian ini mengingat kedudukannya sebagai avant garde ‘garda depan’ pemahaman terkait. Soren Aabey Kierkegaard merupakan filsuf asal Denmark, ia hidup di Kopenhagen pada abad kesembilan belas. Kierkegaard dibesarkan dalam iklim keluarga Kristiani yang religius, akibat hal tersebut pulalah ia menjadi seorang “melankolis” yang dijangkiti “rasa bersalah” serta “kemurungan religius” ayahnya.[37]
            Sebagaimana halnya Sartre, hanya saja dengan interpretasi dan pemaknaan yang berbeda, Kierkegaard berbicara pula mengenai individualisme, subyektifitas, keterasingan serta kebebasan. Menurutnya, manusia berada dalam kondisi “keterasingan mutlak”—seperti “keterbuangan” Sartre—yang mana dapat dimisalkan, ketika kita tengah berseru kepada Allah maka kita akan disambut dengan “kesunyian pekat”, bagi Kierkegaard kesunyian tersebut merupakan “kehadiran” Allah. Dalam hubungannya dengan keterbuangan serta kebebasan yang diberikan Allah pada kita berikut tanggung jawab yang meliputinya, Kierkegaard menegaskan, “Ketika kita berpaling dari Allah, justru kita berpaling dari kebebasan kita sendiri”.
            Lebih jauh, bagaimana hal di atas menjadi mungkin (“Ketika kita berpaling dari Allah, justru kita berpaling dari kebebasan kita sendiri”). Sedikit mengulas kembali penjelasan pada konteks sosial-eksternal kelahiran filsafat eksistensialisme Sartre sebelumnya, Kierkegaard mengambil misal kisah Adam yang tidak diperbolehkan Tuhan memakan buah pengetahuan guna menjelaskan hal tersebut. Di satu sisi, faktual larangan Tuhan menunjukkan pula bahwa sesungguhnya Adam dapat melakukannya (ia dapat, bahkan bebas untuk melakukannya dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu). Kierkegaard menyebut hal tersebut sebagai “dosa asal” yakni perasaan “takut” dan “cemas” ketika manusia dihadapkan pada “kebebasannya sendiri”.[38]
            Di sisi lain, begitu pula dengan Sartre, Kierkegaard memandang “individualisme” sebagai buah “kepastian”. Menurutnya, persoalan mendasar yang dihadapi saat ini adalah, “bagaimana menjadi ‘seorang Kristen’ dalam ‘umat’ Kristiani”.[39] Kierkegaard melihat bahwa agama Kristen telah mengalami “degradasi” sedemikian rupa, ianya telah menjadi sesuatu yang “umum”, setiap orang menyebut nama Tuhan dengan “mudahnya” berikut membicarakan agama kristen secara “enteng”, tegasnya, “Agama Kristen tak lagi menjadi sesuatu yang sakral”.[40] Oleh karenanya, menurut Kierkegaard permasalahan mendasar yang dihadapi adalah sebagaimana diutarakannya di atas sehingga “individualisme” dan “keterasingan” menjadi sebuah “kepastian pilihan”.
            Baik Sartre maupun Kierkegaard menolak filsafat “dialektika” Hegel melalui sudut pandang yang berbeda satu sama lain. Sartre melihat dialektika Hegel membatasi dan mendistorsi kedudukan manusia sebagai makhluk yang bebas, hal tersebut dikarenakan fenomena sejarah yang sekedar ditempatkan sebagai “pengejawantahan” takdir Tuhan (Ruh Absolut) dalam konsepsi filsafat tersebut.[41] Di sisi lain, Kierkegaard menganggap dialektika Hegel sebagai “perusak” tenangnya kehidupan agamis, hal tersebut mengingat “diskursus” tiada henti yang terjadi antara tesis dan antitesis yang kemudian melahirkan sintesis baru dan demikian seterusnya. Secara sinis, Kierkegaard menyebut rangkaian tesis-antitesis tersebut sebagai, “terjebak dalam ‘kebingungan’ dialektika Hegel”.[42]
            Berbagai pemaparan singkat di atas kiranya cukup menunjukkan perbedaan mendasar yang terjadi antara corak filsafat eksistensialisme “theistik” atas eksistensialisme “atheistik” dalam memandang manusia dan kehidupannya. Dalam hal ini, apabila eksistensialisme “atheistik” melihat berbagai keterasingan, keterkucilan, ketakutan serta kecemasan manusia dalam kehidupan disebabkan oleh eksistensi otonomnya sebagai manusia, maka tidak demikian halnya dengan eksistensialisme “theistik” yang menganggap kesemua hal tersebut berasal dari Tuhan.




[1] Drijarkara, Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta, 1989, h. 51.
[2] Ibid., h. 51 & 54.
[3] Ibid., h. 56.
[4] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Kanisius, Yogyakarta, 2001, h ...
[5] Linda Smith & William Raeper, Ide-Ide, Kanisius, Yogyakarta, 2000, h. 49.
[6] Louis Leahy, Siapakah Manusia?, Kanisius, Yogyakarta, 2007, h. 17.
[7] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004, h. 68.
[8] Selengkapnya lihat Nietzsche, Ecce Homo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
[9] Sunyoto Usman, Sosiologi: Sejarah, teori dan Metodologi, Cired, Yogyaklarta, 2004, h. 41.
[10] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2006, h. 82-83.
[11] Ibid., h. 85 & Lydia Alix Fillingham, Foucault Untuk Pemula, Kanisius, Yogyakarta, 2001, h. 6-7.
[12] Diambil dari berbagai sumber, selengkapnya lihat Jean Paul Sartre, Kata-Kata, Gramedia bekerja sama dengan “Forum Jakarta-Paris”, Jakarta, 2000, h. vii-xiii & H. Muzairi, Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 71-77 & Donald D. Palmer, Sartre Untuk Pemula, Kanisius, Yogyakarta, 2007, h. 2-17.
[13] Lycee adalah sebentuk sekolah negeri yang mempersiapkan pelajar terpilih untuk melanjutkan studi di berbagai universitas Perancis.
[14] Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan “Ada dan Ketiadaan”.
[15] Masing-masing dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan “Imajinasi”, “Transendensi Ego”, “Rasa Muak”, “Abad Pemikiran” dan “Jalan-jalan Menuju Kebebasan”.
[16] Pada akhirnya, karya tersebut diterbitkan sebagai naskah yang “tak rampung” pada tahun 1985, lima tahun setelah kematian Sartre.
[17] Selengkapnya lihat Jean Paul Sartre, op. cit., h. ix-xii.
[18] Beberapa di antaranya merupakan ulasan atas berbagai karya penulis lain.
[19] Analisis yang didasarkan pada autobiografi Sartre berjudul Les Mots ‘Kata-kata’. Selengkapnya lihat Jean Paul Sartre, Kata-Kata, Gramedia, Jakarta, 2000. 
[20] Sosiologi Pengetahuan (sociology of knowledge) melakukan kajian atas relasi (hubungan) antara teori atau pemikiran yang dicetuskan oleh seorang tokoh atau pemikir dengan memperhatikan konteks sosial yang mencakup “dimana” dan “di masa” ia hidup. Selengkapnya lihat Gordon Marshall, A Dictionary of Sociology, Oxford University Press, New York, 1998, h. 342-343.
[21] Secara ringkas dan sederhana, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu mengenai “tanda” atau “simbol”. Pada mulanya, semiotika dicetuskan dan dirintis oleh Ferdinand de Saussure (Swiss), kemudian dipopulerkan oleh Roland Barthes. Selengkapnya lihat St. Sunardi, Semiotika Negativa, Kanal, Yogyakarta, 2002, h. 4.
[22] “Sartre par lui-meme (I-6)”, diunduh dari youtube.com, tanggal 7 Juli 2009.
[23] Pola pikir matrealisme yang dimaksudkan di sini adalah, bagaimana suatu masalah muncul terlebih dahulu dan terindera oleh banyak pihak.
[24] Donald D. Palmer, op. cit., h. 43.
[25] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Washington Square Press, New York, 1992, h. 708.
[26] Loc. cit.
[27] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 59-66.
[28] Ibid., h. 66.
[29] Namun demikian, istilah “memilih” dan “menciptakan” tetap digunakan Sartre secara bergiliran dalam filsafatnya guna menunjuk pada “kebebasan” yang dimiliki manusia.
[30] Dalam bahasa Indonesia, The Reprieve diterbitkan dengan judul Kematian yang Tertunda. Selengkapnya lihat Jean Paul Sartre, Kematian yang Tertunda, Jendela, Yogyakarta, 2004.
[31] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, New York, 1956, h. 82.
[32] Ibid., h. 85.
[33] Ibid., h. 615.
[34] H. Muzairi, op. cit., h. 52-53.
[35] Donald D. Palmer, op. cit., h. 19.
[36] Vincent Martin, Filsafat Eksistensialisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, h. 1.
[37] Linda Smith & William Raeper, op. cit., h. 78.
[38] Donald D. Palmer, op. cit., h. 43.
[39] Vincent Martin, op. cit., h. 3.
[40] Ibid., h. 5.
[41] Hegel, Nalar Dalam Sejarah, Teraju, Jakarta, 2005, h. xix-xlvi.
[42] Vincent Martin, op. cit., h. 8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar