Rabu, 27 Juli 2011

Sampah Visual di Sekitar Kita

Sampah Visual di Sekitar Kita

Oleh: Wahyu Budi Nugroho


Pernahkah Anda merasa “risih” dengan banner iklan jam tangan Tissot di pinggir jalan? Pernahkah Anda terganggu dengan iklan mobil mewah di televisi? Apabila iya, maka kesemua hal tersebut hanyalah “sampah visual” bagi Anda…

Istilah sampah visual untuk pertama kali dipopulerkan oleh Jean Baudrillard, salah seorang pemikir Perancis yang banyak menaruh perhatian terhadap perilaku konsumsi masyarakat di era kontemporer. Menurut Baudrillard, sampah visual merupakan “kebiasaan” para kapitalis yang ajeg menawarkan beragam produknya melalui berbagai spanduk dan banner di pinggiran jalan, juga penayangan iklan-iklan di setiap stasiun televisi, yang kesemuanya justru menimbulkan “kelelahan” berikut “ke-tertindas-an” psikologis bagi mereka yang melihatnya (menontonnya). Lebih jauh, simak ilustrasi di bawah ini.

(Jean P. Baudrillard)

Ilustrasi: Susilo dan Banner Iklan Kamera Digital Merek X
Suatu hari, Susilo berjalan-jalan di sepanjang Jalan Malioboro. Pada suatu momen, ia melihat banner iklan kamera digital merek X. Ia terpesona dengan kamera tersebut dan ingin memilikinya. Namun apa daya, uang yang terdapat di kantong Susilo sekedar Rp 20.000,- saja. Ia kemudian berkata pada diri, “Betapa ‘kere’-nya aku…”. Susilo ingin memilikinya, tapi ia tak mampu… Alam pikirannya pun “terdistorsi” sedemikian rupa, ia tertindas dan tertekan. Seketika, hari Susilo yang indah pun berubah menjadi kelabu setelah melihat banner iklan kamera digital merek X tersebut.

Lebih Jauh tentang Sampah Visual
Pada kesempatan lain, Baudrillard mengistilahkan pula sampah visual sebagai kitsch. Secara literal, kitschen dalam bahasa Jerman berarti, “memungut sampah dari jalan”. Hal ini senada dengan lanjutan penjelasan Baudrillard, “…budaya modern ditandai dengan ‘pengumpulan’ tanpa orang tahu fungsinya”. “Pengumpulan” sebagaimana dimaksudkannya di sini adalah, pengumpulan individu akan pengalaman melihat dan mendengar yang sesungguhnya tak dibutuhkannya. Hal tersebut sebagaimana diilustrasikan melalui pengalaman Susilo di atas: ia sesungguhnya tak membutuhkan banner iklan kamera digital merek X karena sudah pasti ia tak memiliki kemampuan finansial untuk membelinya, namun tanpa dinyana-nyana, ia melihatnya, dan itu sekedar mengakibatkan kelelahan psikologis pada dirinya—penindasan, tekanan. Inilah yang disebut Baudrillard sebagai “efek keterkejutan” dalam iklan.

Dewasa ini, di mana ekspansi kapitalisme kian masif di tengah masyarakat kita, nyaris tak mungkin menghindari sampah visual. Berbagai gambar produk konsumtif telah memenuhi ruang publik kita; jalanan, alun-alun, kantor-kantor pelayanan umum, bahkan perguruan tinggi. Kini, tinggal dimensi psikologis dan mentalitas kita yang diuji atasnya.

—Apakah Anda akan menyia-nyiakan hari yang indah dengan bermuram durja karena tak dapat membeli sepeda motor keluaran terbaru? Anda sendiri yang berkualifikasi menjawabnya.—


#####

Referensi:
  • Baudrillard, Jean P. 2009. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
  • Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal.   



2 komentar:

  1. Berarti film apalagi sinetron tergolong sampah sosial,..

    Mengherankan ketika seorang terpaksa menangis hanya karena melihat akting sedih atau semacamnya.

    Jauh lebih banyak emosi yg tidak seharusnya keluar ketimbang sebuah banner iklan.

    BalasHapus
  2. Saya kira konteksnya berbeda, bung. Kalau memang ia tak suka nonton sinetron tapi "dipaksa" nonton, itu bisa jadi sampah audiovisual buat dia.

    Tapi, kalau dia sendiri suka sinetron kemudian hanyut dan turut menangis di dalamnya, itu merupakan sebentuk 'ektase' dan hiburan tersendiri. Perlu dicatat, kemampuan berempati merupakan salah satu bentuk kepuasan diri.

    Pertanyaannya, apakah kita bisa dihibur dengan iklan? Dalam hal ini iklan2 yang berada "di luar jangkauan" kita sebagaimana Susilo di atas.

    BalasHapus