Stop, Islam Jangan Dijual!
Membongkar Fenomena Komodifikasi Agama di Bulan Suci
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Tulisan ini berupaya menelisik fenomena komodifikasi Islam di bulan suci Ramadhan sebagaimana ajeg terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Suatu fenomena objektif yang dapat kita lihat bersama, namun hanya sebagian kecil saja dari kita yang menyadarinya...
“Apa yang dimaksud dengan komodifikasi?”
Secara sederhana, “komodifikasi” dapat diartikan sebagai “penjualan” atau “peng-uang-an” sesuatu demi memperoleh keuntungan. Dengan demikian, istilah “komodifikasi Islam” menunjuk pada suatu fenomena di mana agama Islam diperjual-belikan sedemikian rupa guna memperoleh profit (keuntungan).
Bukti-bukti
Mungkin sebagian dari kita bertanya-tanya, apa buktinya jika Islam diperjualbelikan guna meraup untung? Mudah saja, fenomena tersebut banyak kita temukan di bulan suci, khususnya bulan suci Ramadhan yang tengah kita jalani saat ini. Mari sejenak kita perhatikan, artis-artis wanita yang pada bulan-bulan sebelumnya tampil “buka-bukaan”, mengumbar aurat mereka yang molek berikut suara mendesah-memancing konak, secara tiba-tiba “merombak” total penampilannya, kini di bulan suci mereka tampak mengenakan kerudung/jilbab, memakai pakaian sopan yang menutup aurat dari ujung kaki hingga kepala, plus membawakan lagu-lagu rohani yang benafaskan Islam.
Begitu pula, band-band kenamaan tanah air yang pada bulan-bulan sebelumnya ajeg berpenampilan macho berikut “aneh-aneh”, di bulan suci merombak habis penampilannya, kini kita jumpai mereka menggunakan baju koko, sebagian tak lupa mengenakan peci atau kopiah, dan yang lebih penting lagi, jika pada bulan-bulan sebelumnya mereka selalu membawakan lagu yang memuja-muja wanita, kini di bulan suci mereka “bertobat” dan memuja-muja Tuhan, menggelikan memang.
Korporasi tak mau ketinggalan, mereka pun seakan latah dengan meluncurkan produk-produk yang berbau Islami di bulan suci. Sebagai misal, “handphone khusus umat Islam” yang dilengkapi dengan surat-surat Al-Quran serta suara adzan dari masjid-masjid “keramat” umat Islam (Masjid Nabawi, Al-Aqsha, dsb.). Ringtone yang berlantunkan shalawat pun hadir untuk melengkapi, cukup dengan “dua hingga lima ribu perak” dan tekan reg spasi “bla, bla, bla”, ringtone berbau Islami pun bakal didapatkan. Melalui iklan-iklan yang dilancarkan secara masif di berbagai media massa, seolah kesan yang hendak mereka buat adalah, keislaman kita belumlah kaffah (baca:sempurna) apabila belum menggunakan “handphone khusus umat Islam” atau ringtone yang berlantunkan shalawat.
Berdakwah atau Berdagang?
Pertanyaan yang bisa jadi muncul kemudian adalah, apakah motif mereka yang sesungguhnya: “berdakwah ataukah berdagang?” Dan, bagaimanakah cara kita mengetahui/membedakan kedua motif tersebut? Mudah saja. Hal tersebut dapat kita lihat pascabulan suci Ramadhan ini, apabila setelahnya para artis wanita dan band-band kenamaan tanah air tersebut konsisten untuk tetap berpenampilan Islami dan membawakan lagu-lagu bernafaskan Islam, maka dapat diyakinkan bahwa mereka benar-benar berdakwah. Namun sebaliknya, apabila pascabulan suci mereka kembali pada penampilan berikut lagu-lagu yang dibawakannya semula, maka dapatlah dipastikan bahwa mereka sekedar “berdagang” di bulan suci ini. Dengan kata lain, mereka sekedar menggunakan nama Islam demi keuntungan diri, yakni menjual Islam guna memperbanyak pundi-pundi kekayaan.
“Seyogyanya, dimanakah kita mencari spiritualitas?”
Pertanyaan di atas menemui relevansi dan urgensinya bagi kita semua. Dimanakah seharusnya kita mencari akar-akar spiritualitas: pada lagu-lagu, ringtone maupun barang-barang bernafaskan Islam yang kencang dipasarkan semasa bulan Ramadhan ini, ataukah pada diri sendiri? Pada hakekatnya, Tuhan yang di atas sana telah memberikan pada masing-masing kita akal berikut perasaan untuk menentukan mana yang benar atau salah. Tak hanya sampai di situ, Tuhan pun memberikan pada kita “kebebasan untuk memilih” atas jalan yang kita kehendaki masing-masing. Mereka yang patuh akan diganjar syurga, sedang mereka yang memilih “bandel” bakal menuai neraka. Kiranya, hal tersebut telah cukup untuk menumbuhkan nilai-nilai spiritualitas pada diri kita.
Namun sayang, dewasa ini banyak dari kita yang lebih suka mencari akar-akar spiritualitas di luar diri. Nyatanya, apa yang terjadi saat ini lebih menunjukkan “ketergantungan” kita untuk menumbuhkan nilai-nilai spiritualitas melalui lagu-lagu, ringtone berikut benda-benda yang bernafaskan ketuhanan. Ketika lagu rohani yang didengar serasa telah membosankan karena saking kerapnya diputar, maka luntur pula lah nilai-nilai spiritualitas dalam diri, kita syarat mencari lagu rohani baru yang dapat “menggenjot” kembali nilai-nilai spiritualitas dalam diri, dan demikian seterusnya. Kita secara sengaja dibuat tergantung oleh para penguasa pasar, dimensi batiniah dan rohaniah kita terus-menerus dieksploitasi untuk mengeluarkan rupiah demi rupiah.
Oleh karena itu, mari kita suarakan, “Stop, Islam jangan dijual!”
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar