VII
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos
“Saya masih percaya bahwa kebebasan individual adalah total...”
(Sartre)
Melalui berbagai pengkajian dan penelaahan seksama secara sosiologis yang dilakukan penulis terhadap salah satu cabang besar filsafat Eropa, “eksistensialisme-Jean Paul Sartre” dalam eksemplar ini, ditemui beberapa hal yang dapat dipaparkan sebagai konklusi atau kesimpulan dari keseluruhan pengkajian berikut penelaahan di atas.
Pertama, pengkajian mengenai latar belakang konteks sosial kelahiran filsafat eksistensialisme-Jean Paul Sartre ke dalam analisis “konteks sosial-internal” berikut “konteks sosial-eksternal” menemui bahwa kelahiran filsafat tersebut terkait erat dengan kehidupan sosial masa kecil Sartre sebagai anak yang dikucilkan dan terasing dari pergaulan teman sebayanya, di samping, kondisi keluarganya yang tergolong dalam kelas borjuis dan tak begitu mengajarkan Sartre bersosialisasi serta berempati dengan sesamanya. Di sisi lain, konstelasi Eropa terkait Perang Dunia II (1939-1945) dengan berbagai kekejaman dan penderitaan yang turut menyeret Perancis terlibat di dalamnya memiliki andil pula atas berbagai pemikiran Sartre yang terangkum dalam filsafat eksistensialisme.
Kedua, fenomenologi berikut turunan dalil eksistensialisme (“eksistensi mendahului esensi”) berupa; kebebasan, pilihan bebas, absurditas, etre en soi-etre pour soi, kesadaran reflektif-nonreflektif, mauvaise foi, objektivasi (other is hell) serta faktisitas, merupakan epistemologi filsafat sosial-eksistensialisme Jean Paul Sartre.
Ketiga, pengkajian seksama yang dilakukan atas konsep interaksi sosial-eksistensialisme Jean Paul Sartre menemui bahwa interaksi antarindividu merupakan suatu hal yang mustahil dan tak mungkin. Hal tersebut disebabkan pertemuan antarmanusia sebagai etre pour soi yang ajeg menemui bentuknya sebagai sengketa dan konflik tak berkesudahan: “meniadakan satu sama lain”. Di satu sisi, konsep interaksi sosial dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre faktual meradikalkan perspektif mikrososiologi Klasik dan Modern usungan Max Weber, George Simmel, Peter L. Berger serta George Herbert Mead. Sedang, dalam ranah Sosiologi Kritik dan Postmodern filsafat sosial-eksistensialisme Sartre meradikalkan perspektif mikrososiologi Erich Fromm, Jurgen Habermas, Mitchel Foucault berikut Jacques Derrida.
Keempat, berbagai karakteristik epistemologis berikut perspektif yang termuat dalam konsep interaksi sosial filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre dapat diklasifikasikan ke dalam paradigma definisi sosial disiplin sosiologi.
Kelima, konsep interaksi sosial-eksistensialisme Jean Paul Sartre tetap menemui praksis dan relevansinya di era kontemporer—dewasa ini. Di samping sumbangsih yang diberikannya atas upaya penggalian dan pengembangan potensi berikut aktualisasi entitas individu (manusia), eksistensialisme-Jean Paul Sartre memiliki kemungkinan pula menjadi salah satu alternatif guna merevisi kebuntuan Frankfurt Schule akan one dimensional society.
Namun demikian, filsafat sosial-eksistensialisme Jean Paul Sartre pun tak luput dari berbagai kritik baik secara langsung maupun tak langsung yang ditujukan terhadapnya. Beberapa kritik yang mewarnai konsep interaksi sosial-eksistensialisme Jean Paul Sartre antara lain hadir melalui Thomas Aquinas, Count Joseph de Maistre, Muhammad Iqbal serta Ali Syariati.
Harus diakui memang, kapasitas intelektual yang tak memadai berikut keterbatasan wawasan yang dimiliki penulis menyebabkan analisis, penjelasan berikut pemaparan yang termuat dalam eksemplar ini jauh dari anggapan sempurna dan ber-kualitas. Namun demikian, melalui berbagai keterbatasan dan ketidakberdayaan di atas, kiranya tetap terbesit harapan besar dari penulis guna memberikan sumbangsih dalam upaya pengembangan berikut pengayaan khasanah pemikiran ilmu sosial dan humaniora pada umumnya, dan disiplin sosiologi khususnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar