Berakhirnya Kehidupan Sosial
Menilik “Simulakra” sebagai Penyebab Lahirnya Individualisme dan Apatisme Sosial
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Tidakkah Anda merasa bahwa dewasa ini masyarakat kita kian individualis? Seakan kini, slogan “loe-loe, gue-gue” menjadi perihal yang lumrah di tengah masyarakat kita. Lalu, apakah penyebab utama timbulnya badai apatisme sosial tersebut? Tak lain dan tak bukan disebabkan oleh … simulakra!
“Apakah yang dimaksud dengan simulakra?”
Istilah “simulakra” (simulacrum) digunakan Jean Baudrillard, salah seorang pemikir Perancis, untuk menggambarkan suatu hal (benda) yang dapat merubah hal-hal yang bersifat abstrak menjadi konkret, dan begitu pula sebaliknya: hal konkret menjadi abstrak. Beberapa contoh sederhana simulakra yang kerap kita jumpai dalam keseharian semisal televisi, radio, internet, video games, komik hingga media massa.
Cara Kerja Simulakra
Sebagaimana diuraikan di atas, simulakra memiliki kuasa guna merubah perihal abstrak menjadi konkret dan begitu pula sebaliknya. Namun lebih jauh, simulakra bekerja dengan cara menciptakan hiperrealitas, yakni sesuatu atau perihal yang “melampaui kenyataan kita”. Ia dapat berupa imajinasi, angan-angan atau pikiran yang diwujudkan dalam sebuah lukisan ataupun acara televisi. Sebagai misal, serial SpongeBob SquarePants, dalam kehidupan nyata tak pernah kita temui “spon yang dapat berbicara”, namun di dalam televisi, hal yang tak masuk akal dan tak mungkin tersebut dapat diwujudkan. Ini membuktikan bahwa televisi merupakan salah satu bentuk simulakra.
“Spon yang berbicara” >>> SpongeBob SquarePants
(Abstrak/mustahil dalam kehidupan nyata) >>> (Menjadi konkret/nyata dalam televisi)
Berakhirnya Kehidupan Sosial akibat “Terjebak” dalam Simulakra
Melalui misal di atas, dapatlah dijelaskan lebih jauh betapa simulakra dapat menciptakan individualisme maupun apatisme sosial masyarakat. Ambilah misal, seorang anak yang lebih memilih untuk menonton kartun SpongeBob ketimbang bermain di luar bersama teman-temannya, maka dapatlah dikatakan bahwa anak tersebut telah “terjebak dalam simulakra”. Begitu pula, anak-anak yang lebih memilih bermain video games di rumah ketimbang berkumpul dengan teman-temannya di luar. Di sisi lain, para “pecandu sinetron” pun dapat dikatakan telah terjebak dalam simulakra, yakni ketika mereka lebih memilih menyaksikan berbagai adegan dramatis tokoh-tokoh pujaannya di layar kaca ketimbang melakukan aktivitas yang berbau sosial di luar sana.
Kiranya, berbagai kasus di atas menunjukkan betapa simulakra memiliki andil dalam penciptaan individualisme berikut apatisme sosial masyarakat. Kini, individu tak lagi menghibur diri melalui berinteraksi dengan sesamanya, melainkan melalui media lain: simulakra.
#####
Referensi:
- Baudrillard, Jean P. 2009. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
- Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar