Rabu, 03 Agustus 2011

Sekilas tentang "Habitus"-Pierre Bourdieu

Sekilas tentang "Habitus"-Pierre Bourdieu

Oleh: Wahyu Budi Nugroho


            Terlalu sukar—bahkan tak mungkin—mengkategorikan Pierre Bourdieu sebagai salah seorang pakar bidang tertentu dalam ilmu-ilmu sosial karena kajiannya yang begitu luas mencakup ranah etnografi, seni, sastra, pendidikan, bahasa, selera kultural dan televisi. Tak heran, banyak orang mengidentifikasi jebolan Ecole Normale Superieure ini sebagai sosiolog, antropolog, budayawan atau bahkan sejarawan sebelum ia menegaskan diri sebagai etnolog, “Saya mengira saya adalah seorang filsuf, dan butuh waktu yang lama bagi saya untuk mengakui sendiri bahwa saya telah menjadi seorang etnolog“, ungkapnya.[1]

            Semasa hidupnya, Bourdieu disibukkan “proyek besar“ dalam memecahkan peliknya persoalan hubungan antara struktur subyektif dengan obyektif, yakni sebuah pertanyaan atas posisi individu dalam masyarakat dan sebaliknya,[2] “Tujuan saya adalah mengembalikan aktor ke kehidupan nyata yang telah lenyap di tangan Levi Strauss dan strukturalis lainnya, terutama Althusser.“ (Bourdieu, dikutip dalam George Ritzer-Douglas J. Goodman, 2006:518)[3] Penelaahan seksamanya dalam proyek tersebutlah yang kemudian menghasilkan konsep “habitus“ sebagaimana kita kenal.

            Menurut Bourdieu habitus adalah,

...suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktek-praktek yang terstruktur dan terpadu secara objektif. (Bourdieu, dikutip dalam Richard Harker [et al.]  2005:13)[4]

Baginya, habitus melakukan praktek kerja secara sadar maupun tak sadar yang salah satunya tampak melalui gerakan tubuh yang kerap dianggap remeh orang, dari cara makan, bicara, berjalan hingga membuang ingus yang kesemuanya terkait erat dengan pembagian kerja berikut perihal dominasi-dormant.[5] Secara singkat dan sederhana, habitus dijelaskan George Ritzer sebagai “struktur mental atau kognitif“ yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Dalam hal ini, aktor dibekali seperangkat sistem nilai, norma dan pengetahuan di lingkungan manapun ia berada, seperangkat sistem (baca: modal) tersebutlah yang nantinya berguna untuk “menghadapi dunia“. Dengan demikian, habitus bersifat “diciptakan dan menciptakan“, atau dengan kata lain “struktur yang menstruktur“ (structuring structure).[6]

Namun demikian, bagi sebagian pihak penjelasan mengenai habitus lebih tampak sebagai strukturalisme atau konstruktivisme Geertz yang memang lebih memadai.[7] Apabila peninjauan ulang atasnya kita lakukan maka hal tersebut bukannya tanpa alasan mengingat samarnya konsep habitus Bourdieu dengan kedua mahzab di atas-bahkan-dengan dialektika George Herbert Mead. Tokoh kawakan interaksionisme simbolik tersebut menelurkan prinsip dialektika di mana menurutnya individu mampu menciptakan masyarakat dan sebaliknya masyarakat pun mampu menciptakan individu.[8]           

Dalam kehidupan sehari-hari, habitus dapat dimisalkan dengan seorang intelektual yang diangkat menjadi pimpinan suatu organisasi namun ditemui beberapa pihak yang menyanksikannya, kesanksian tersebut dapat diandaikan sebagai bentuk penolakan atas seperangkat sistem atau modal yang dimiliki sang pemimpin. Bisa jadi, modal yang dimilikinya tak mencukupi dan tak sesuai atau resisten dengan beberapa anggota lainnya, entah dalam dimensi sosial, kultural bahkan ekonomi. Secara singkat, praksis di atas dirumuskan dengan (habitus x modal) + ranah = praktek.[9]    

Di satu sisi, beberapa pihak mengakui habitus sebagai konsep yang menarik mengingat jangkauannya yang luas, tak hanya mencakup atau menjembatani kesenjangan antara struktur dengan agensi, tetapi juga antara teori dengan praktek, borjuis dengan proletar serta pendukung mode lama dengan mode baru dan sebagainya.[10]

*****

[1] Richard Harker (et al.), (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, Jalasutra, Yogyakarta, 2005, h. vii-x.
[2] Ibid., h. xv.
[3] George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2006, h. 518.
[4] Richard Harker (et al.), op. cit., h. 13.
[5] Loc. cit.   
[6] George Ritzer-Douglas J. Goodman, op. cit., h. 522.
[7] Loc. cit.
[8] Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, h. 338.
[9] Richard Harker (et al.), op. cit., h. xx-xxi.
[10] George Ritzer-Douglas J. Goodman, op. cit., h.528, 530. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar