Selasa, 28 Mei 2013

Muda-gaya-berpolitik: Masalah buat Loch?!

Muda-gaya-berpolitik: Masalah buat Loch?!


Oleh: Wahyu Budi Nugroho

“…yang muda mabok, yang tua korup.
Mabok terus, korup terus. Jayalah negeri ini, jayalah negeri ini.”
(Ahmad Band, Distorsi)

Pendahuluan
            Tak dapat dipungkiri, terminus “politik”, baik dalam pengertiannya sebagai sebentuk pemikiran, proses maupun tindakan, telah berasosiasi dengan serangkaian hal negatif dalam masyarakat kita; homo homini lupus ‘manusia makan manusia’, adu tipu-muslihat, angkara-dusta, dan yang lebih menonjol lagi: korupsi. Begitu pula, telah umum kiranya, lancar-nasehat kedua orang tua kepada putra-putri pertiwi tuk menjauhi dunia politik kala duduk di bangku kuliah kelak. Tegas dan jelasnya, seolah tak ada perihal yang paling wajib dijauhi di negeri ini selain politik.

            Lalu, jika generasi muda tanah air haram berpolitik, apa yang syarat mereka lakukan?. Lagi-lagi, sebagaimana nalar awam masyarakat kita perihal “menjalani kehidupan normal” layaknya manusia-manusia pada umumnya: belajar giat, berprestasi, lulus cepat, memperoleh kerja, menikah, hidup mapan, “beranak-pinak”, berikut hidup tenang hingga wassalam. Ihwal yang lebih parah lagi adalah, ekspektasi kehidupan generasi muda yang tercermin melalui budaya pop. Entah film layar lebar, film televisi maupun sinetron-sinetron misalnya, ajeg menampilkan kehidupan generasi muda yang serba glamor, parlente, dan terutama … dipenuhi dengan cinta-romantis!. Ya, dapatlah kita tilik, hampir di setiap kisah layar lebar maupun televisi yang tertuju bagi konsumsi generasi muda selalu berlatar tentang cinta. Cinta, cinta, dan cinta. Anehnya lagi, para audiens tak merasa aneh mendapati seorang tokoh yang kesehariannya serba dipenuhi dengan cinta—sedari bangun tidur hingga tidur kembali—seolah tak ada persoalan penting lain dalam kehidupannya selain cinta.

            Tak hanya pada media elektronik, latar cinta-romantis turut meng-ekspansi media aksara. Hal ini tampak dengan kerapnya novel-novel berlatar cinta-romantis menyabet semat best-seller, pun kenyataan tak sedikitnya para penggemar novel bergenre chicklit maupun teenlit yang berkisah seputar percintaan dunia remaja dan kehidupan karier profesional semata. Kesemua hal tersebut sudah tentu menjauhkan generasi muda tanah air dari atmosfer berikut nalar “berpolitik”. Meskipun memang, dalam beberapa tahun terakhir turut dijumpai berbagai karya sastra maupun film yang mengangkat ragam kisah heroisme anak muda dalam mewujudkan cita-citanya, dan syarat diakui, hal tersebut cukup berdampak positif-signifikan bagi generasi muda, namun agaknya berbagai karya sastra serta film yang berkisah tentang keterlibatan anak muda dalam dunia ([per]gerakan) politik masih begitu langka ditemui.

            Kuat dugaan, jarangnya karya sastra maupun visual mengenai aktivisme anak muda dalam dunia politik ditengarai oleh segmentasi pasar yang begitu terbatas dan spesifik sehingga membuat para pemodal berikut pekerja kreatif—penulis maupun pembuat film, berpikir ulang tuk membuatnya. Miris memang, media massa yang seyogyanya menjadi sarana pencerdas publik, terutama generasi muda, justru menumpulkan daya kritis berikut mencekoki generasi muda dengan ektase-ektase yang berfokus pada lingkup kehidupannya semata. Namun demikian, syarat diakui, berbagai persoalan di atas tak terjadi secara sui generic ‘ujug-ujug’, melainkan terdapat serangkaian proses yang mendahuluinya. Tulisan ini berupaya membongkar selaksa demi selaksa pentahapan proses di atas, yakni bagaimana kaum muda tanah air secara sistematis dijauhkan dari aktivisme politik. Tak hanya mengulas persoalan tersebut, tulisan ini berupaya pula menawarkan formulasi aktivisme politik bagi generasi muda sedari tingkat ringan hingga berat.       

Genealogi Politik Tanah Air
            Bisa jadi, bagi sebagian pihak, cukup samar memetakan ujung-pangkal persoalan jauhnya generasi muda kontemporer dari aktivisme politik—apa/siapa menyebabkan/mempengaruhi apa/siapa. Namun, di tanah air khususnya, persoalan tersebut merupakan ihwal yang terang-benderang, bahkan dapat kita telisik bersama. Semua bermula dari rezim Orde Baru (1966-1998) yang mengedepankan slogan “ekonomi sebagai panglima”. Penitikberatan problem nasional pada persoalan ekonomi menyebabkan katup-keran politik rakyat tertutup rapat—ekonomi adalah soal terpenting. Seolah, wacana yang hendak dikedepankan pemerintah kala itu adalah: “Nikmatilah kesejahteraan, biar masalah politik kami yang urusi”.

            Dan benar kiranya, antara tahun 1975-1982 di mana pada periode-periode tersebut Indonesia memasuki era Oil Boom akibat naik drastisnya harga minyak dunia, tanah air bak “kebanjiran dolar”, gaji PNS naik lima kali-lipat, program padat karya digalakkan secara masif, banyak bermunculan kelas menengah baru, dan mobil tak lagi menjadi barang langka di kota-kota besar tanah air. Kultur leissure class ‘kelas penikmat’ pada kelas menengah sebagaimana diyakini Veblen pun segera mewujud di Indonesia. Tegas dan jelasnya, era Oil Boom seakan mampu membuat masyarakat tanah air “mabuk kesejahteraan” dan melupakan riuh-atraksi panggung perpolitikan nasional, saat itu, juga setelahnya. Masyarakat Indonesia kadung meyakini “kebaikan” pemerintahannya—benar kata pemerintah: nikmati kesejahteraan, lupakan politik. Tak hanya itu saja, predikat swasembada beras yang dituai pemerintah Orde Baru pada tahun 1984-1986 kian memupuk kepercayaan rakyat Indonesia.

            Bersamaan dengan itu, pemerintah Orde Baru kian gencar melucuti hak-hak politik rakyat, ini tampak dengan munculnya UU No. 8/1985 tentang ke-ormas-an, serta dipertahankannya UU No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, berikut Inpres No. 15/1970 tentang Tata Cara Pembentukan UU dan PP.[1] Tak hanya itu saja, kaum cerdik-cendekia berlatar agamis turut digadang pemerintah guna meyakinkan betapa kotornya politik sehingga rakyat menjauhinya. Satu yang terpopuler adalah slogan cetusan cendekiawan muslim, Nurcholish Madjid, yang berbunyi, “Islam Yes, Partai Islam No”. Tegas dan jelasnya, konstelasi perpolitikan nasional kala itu jauh dari transparansi publik dan sekedar melibatkan “orang-orang lingkaran dalam”.

            Serangkaian hal di atas ditambah dengan injeksi budaya pop, utamanya ditujukan bagi generasi muda, yakni hadirnya berbagai novel maupun film/serial picisan, beberapa yang populer semisal Catatan Si Boy, Lupus, serta Olga-Sepatu Roda. Kiranya, baik ketiganya sama sekali tak memuat aktivisme politik generasi muda. Bisa jadi pula, hal tersebut menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah dalam me-ninabobo-kan nalar berpolitik rakyat, terutama generasi muda—terbukti lewat kegemaran pada ragam novel/film terkait. Dapatlah ditilik, paparan uraian singkat di atas menunjukkan betapa pendangkalan nalar berpolitik rakyat dilakukan dengan cara bertahap dan sistematis oleh pemerintah yang berkuasa kala itu, dan agaknya, pendangkalan tersebut kadung tertanam hingga kini.        

“Politik” Didefinisikan Kembali
            Terlalu naif kiranya apabila kita mengamini begitu saja, berikut tanpa mempertanyakan kembali, “politik” sebagai perihal yang kotor. Secara etimologis, kata “politik” berasal dari bahasa Yunani, politea, menunjuk pada suatu negara-kota (polis) di era Yunani Kuno di mana tiap-tiap penduduknya dapat melangsungkan diskusi/debat secara bebas, bahkan mengangkat tema-tema yang bersifat subvresif[2]. Pada perkembangannya, istilah “politik” didefinisikan sebagai “Upaya atau proses alokasi berikut distribusi berbagai ‘sumberdaya’ yang terdapat dalam masyarakat. “Sumberdaya” sebagaimana dimaksudkan di sini, utamanya berkenaan dengan kekuasaan. Melalui kekuasaan tersebutlah berbagai dimensi kehidupan masyarakat layaknya sosial, ekonomi, budaya, dan politik itu sendiri dipengaruhi (dikontrol).

            Pun, pada mulanya bapak-bapak ilmu pengetahuan kita yang terhormat layaknya Plato dan Aristoteles menegaskan tujuan utama politik sebagai pewujud kebaikan bersama. Plato mencetuskan istilah res-publica yang berarti politik syarat mengakomodasi kepentingan bersama. Di sisi lain, Aristoteles mencetuskan istilah bonum-publikum yang berarti politik syarat menciptakan kebahagiaan orang banyak, bukannya kebahagiaan/kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan demikian, dapatlah ditilik jika baik-buruknya politik sesungguhnya ditentukan oleh man behind the gun atau aktor-aktor yang terdapat di baliknya. Seseorang dapat menggunakan politik guna meluluskan kepentingan/kebahagiaannya sendiri, tetapi dapat juga digunakannya untuk mengakomodasi kepentingan/kebahagiaan bersama. Oleh karenanya, dapatlah kita tilik pula bahwa pencitraan politik yang cenderung negatif selama ini lebih diakibatkan oleh aktor-aktor yang bermain di belakangnya.

            Satu hal yang kiranya perlu kita definisikan kembali, faktual terminus “politik” atau “berpolitik” tak selalu berkelindan dengan hingar-bingar panggung parlemen, berpolitik dapat pula dilakukan secara nonparlemen alias terjun langsung ke lapangan. Hal ini menunjuk pada pengertian politik sebagai politea di mana cukup para penduduk negara-kota tersebut melangsungkan diskusi mengenai penguasa atau kekuasaan, maka mereka telah berpolitik—melakukan aktivitas politik. Kenyataannya, berpolitik sangatlah simpel.    

Muda-gaya-berpolitik: Cetar membahana-spektakuler!
            Era globalisasi dewasa ini, di mana teknologi informasi berkembang dengan demikian pesatnya, umum diketahui bahwa generasi muda lebih responsif terhadap situasi dan kondisi di atas. Tak pelak, berpolitik pun dapat dimulai melaluinya, dengan memberikan label like pada suatu isu politik di media jejaring sosial dunia maya-facebook misalnya. Dengan menyematkan label tersebut, secara tak langsung menunjukkan keberpihakan atau persetujuan kita terhadap suatu isu politik. Begitu pula kala kita mengomentari atau membuat “status” bertemakan politik dalam facebook, terlebih membuat page ‘halaman’ yang berisikan isu politik tertentu. Tak hanya itu saja, aktivitas serupa dapat pula dilakukan di media blog, atau yang tak kalah keren juga, menjadi komentator cerdas lagi kritis pada berbagai portal berita nasional online yang memuat beragam isu politik.

            Dalam kehidupan nyata (nonmaya), faktual berpolitik pun dapat beriringan dengan hobi dan kesukaan anak muda. Generasi muda yang gemar nongkrong misalnya, sedikit-banyak dapat mengetahui situasi dan kondisi aktual dunia perpolitikan tanah air lewat mendengarkan diskusi politik generasi tua di relung-relung ruang publik. Pun, generasi muda yang gemar bergerombol—berkumpul dengan sesamanya—sesekali dapat mencoba masuk dalam kepanitiaan pemilu tingkat lokal maupun nasional di lingkungannya, mereka dapat pula menjadi saksi dalam penghitungan suara. Singkat kata, serangkaian aktivitas tersebut sesungguhnya dapat “dibawa senang” sebagaimana ke-senang-an berbagai aktivitas anak muda pada umumnya. Meskipun mungkin memang, [bersambung...]

  
                            


[1] Kebijakan floating mass ‘massa mengambang’.
[2] Menyindir penguasa/mengancam kekuasaan.

1 komentar:

  1. ...dan genarasi muda saat ini merupakan generasi "penurut", menuruti apa saja arahan yg diberikan (padahal arahan itu blm tentu benar) dan menelan semua yg "disuapkan" (layaknya budaya Pop dan pemikiran kolot).

    Salam Sosiologi!!

    BalasHapus