Muda-gaya-berpolitik: Masalah buat Loch?!
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
“…yang
muda mabok, yang tua korup.
Mabok terus,
korup terus. Jayalah negeri ini, jayalah negeri ini.”
(Ahmad Band,
Distorsi)
Pendahuluan
Tak
dapat dipungkiri, terminus “politik”, baik dalam pengertiannya sebagai sebentuk
pemikiran, proses maupun tindakan, telah berasosiasi dengan serangkaian hal
negatif dalam masyarakat kita; homo
homini lupus ‘manusia makan manusia’, adu tipu-muslihat, angkara-dusta, dan
yang lebih menonjol lagi: korupsi. Begitu pula, telah umum kiranya, lancar-nasehat
kedua orang tua kepada putra-putri pertiwi tuk menjauhi dunia politik kala duduk di
bangku kuliah kelak. Tegas dan jelasnya, seolah tak ada perihal yang paling
wajib dijauhi di negeri ini selain politik.
Lalu,
jika generasi muda tanah air haram berpolitik,
apa yang syarat mereka lakukan?. Lagi-lagi, sebagaimana nalar awam masyarakat
kita perihal “menjalani kehidupan normal” layaknya manusia-manusia pada
umumnya: belajar giat, berprestasi, lulus cepat, memperoleh kerja, menikah, hidup
mapan, “beranak-pinak”, berikut hidup tenang hingga wassalam. Ihwal yang lebih parah lagi adalah, ekspektasi kehidupan
generasi muda yang tercermin melalui budaya pop. Entah film layar lebar, film
televisi maupun sinetron-sinetron misalnya, ajeg
menampilkan kehidupan generasi muda yang serba glamor, parlente, dan terutama … dipenuhi dengan cinta-romantis!. Ya, dapatlah kita tilik, hampir di
setiap kisah layar lebar maupun televisi yang tertuju bagi konsumsi generasi
muda selalu berlatar tentang cinta. Cinta, cinta, dan cinta. Anehnya lagi, para
audiens tak merasa aneh mendapati seorang
tokoh yang kesehariannya serba dipenuhi dengan cinta—sedari bangun tidur hingga
tidur kembali—seolah tak ada persoalan penting lain dalam kehidupannya selain
cinta.
Tak
hanya pada media elektronik, latar cinta-romantis turut meng-ekspansi media
aksara. Hal ini tampak dengan kerapnya novel-novel berlatar cinta-romantis menyabet semat best-seller, pun kenyataan tak sedikitnya para penggemar novel
bergenre chicklit maupun teenlit yang berkisah seputar percintaan
dunia remaja dan kehidupan karier profesional semata. Kesemua hal tersebut
sudah tentu menjauhkan generasi muda tanah air dari atmosfer berikut nalar
“berpolitik”. Meskipun memang, dalam beberapa tahun terakhir turut dijumpai berbagai
karya sastra maupun film yang mengangkat ragam kisah heroisme anak muda dalam mewujudkan
cita-citanya, dan syarat diakui, hal tersebut cukup berdampak positif-signifikan
bagi generasi muda, namun agaknya berbagai karya sastra serta film yang berkisah
tentang keterlibatan anak muda dalam dunia ([per]gerakan) politik masih begitu
langka ditemui.
Kuat
dugaan, jarangnya karya sastra maupun visual mengenai aktivisme anak muda dalam
dunia politik ditengarai oleh segmentasi pasar yang begitu terbatas dan
spesifik sehingga membuat para pemodal berikut pekerja kreatif—penulis maupun
pembuat film, berpikir ulang tuk membuatnya. Miris memang, media massa yang
seyogyanya menjadi sarana pencerdas publik, terutama generasi muda, justru menumpulkan
daya kritis berikut mencekoki generasi muda dengan ektase-ektase yang berfokus
pada lingkup kehidupannya semata. Namun demikian, syarat diakui, berbagai
persoalan di atas tak terjadi secara sui
generic ‘ujug-ujug’, melainkan terdapat serangkaian proses yang
mendahuluinya. Tulisan ini berupaya membongkar selaksa demi selaksa pentahapan
proses di atas, yakni bagaimana kaum muda tanah air secara sistematis dijauhkan
dari aktivisme politik. Tak hanya mengulas persoalan tersebut, tulisan ini berupaya
pula menawarkan formulasi aktivisme politik bagi generasi muda sedari tingkat
ringan hingga berat.
Genealogi Politik Tanah Air
Bisa
jadi, bagi sebagian pihak, cukup samar memetakan ujung-pangkal persoalan jauhnya
generasi muda kontemporer dari aktivisme politik—apa/siapa menyebabkan/mempengaruhi apa/siapa. Namun, di tanah air
khususnya, persoalan tersebut merupakan ihwal yang terang-benderang, bahkan dapat
kita telisik bersama. Semua bermula dari rezim Orde Baru (1966-1998) yang
mengedepankan slogan “ekonomi sebagai panglima”. Penitikberatan problem nasional
pada persoalan ekonomi menyebabkan katup-keran politik rakyat tertutup rapat—ekonomi
adalah soal terpenting. Seolah, wacana yang hendak dikedepankan pemerintah kala
itu adalah: “Nikmatilah kesejahteraan,
biar masalah politik kami yang urusi”.
Dan
benar kiranya, antara tahun 1975-1982 di mana pada periode-periode tersebut Indonesia
memasuki era Oil Boom akibat naik
drastisnya harga minyak dunia, tanah air bak
“kebanjiran dolar”, gaji PNS naik lima kali-lipat, program padat karya
digalakkan secara masif, banyak bermunculan kelas menengah baru, dan mobil tak
lagi menjadi barang langka di kota-kota besar tanah air. Kultur leissure class ‘kelas penikmat’ pada
kelas menengah sebagaimana diyakini Veblen pun segera mewujud di Indonesia. Tegas
dan jelasnya, era Oil Boom seakan mampu
membuat masyarakat tanah air “mabuk kesejahteraan” dan melupakan riuh-atraksi
panggung perpolitikan nasional, saat itu, juga setelahnya. Masyarakat Indonesia
kadung meyakini “kebaikan”
pemerintahannya—benar kata pemerintah:
nikmati kesejahteraan, lupakan politik. Tak hanya itu saja, predikat
swasembada beras yang dituai pemerintah Orde Baru pada tahun 1984-1986 kian
memupuk kepercayaan rakyat Indonesia.
Bersamaan
dengan itu, pemerintah Orde Baru kian gencar melucuti hak-hak politik rakyat,
ini tampak dengan munculnya UU No. 8/1985 tentang ke-ormas-an, serta
dipertahankannya UU No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, berikut
Inpres No. 15/1970 tentang Tata Cara Pembentukan UU dan PP.[1] Tak hanya itu
saja, kaum cerdik-cendekia berlatar agamis turut digadang pemerintah guna
meyakinkan betapa kotornya politik sehingga rakyat menjauhinya. Satu yang terpopuler
adalah slogan cetusan cendekiawan muslim, Nurcholish Madjid, yang berbunyi, “Islam Yes, Partai Islam No”. Tegas dan
jelasnya, konstelasi perpolitikan nasional kala itu jauh dari transparansi
publik dan sekedar melibatkan “orang-orang lingkaran dalam”.
Serangkaian
hal di atas ditambah dengan injeksi budaya pop, utamanya ditujukan bagi
generasi muda, yakni hadirnya berbagai novel maupun film/serial picisan, beberapa yang populer semisal Catatan Si Boy, Lupus, serta Olga-Sepatu Roda.
Kiranya, baik ketiganya sama sekali tak memuat aktivisme politik generasi muda.
Bisa jadi pula, hal tersebut menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah dalam me-ninabobo-kan nalar berpolitik rakyat,
terutama generasi muda—terbukti lewat kegemaran pada ragam novel/film terkait. Dapatlah
ditilik, paparan uraian singkat di atas menunjukkan betapa pendangkalan nalar
berpolitik rakyat dilakukan dengan cara bertahap dan sistematis oleh pemerintah
yang berkuasa kala itu, dan agaknya, pendangkalan tersebut kadung tertanam hingga kini.
“Politik” Didefinisikan Kembali
Terlalu
naif kiranya apabila kita mengamini
begitu saja, berikut tanpa mempertanyakan kembali, “politik” sebagai perihal
yang kotor. Secara etimologis, kata “politik” berasal dari bahasa Yunani, politea, menunjuk pada suatu negara-kota
(polis) di era Yunani Kuno di mana tiap-tiap penduduknya dapat melangsungkan
diskusi/debat secara bebas, bahkan mengangkat tema-tema yang bersifat subvresif[2]. Pada
perkembangannya, istilah “politik” didefinisikan sebagai “Upaya atau proses alokasi berikut
distribusi berbagai ‘sumberdaya’ yang terdapat dalam masyarakat”. “Sumberdaya” sebagaimana dimaksudkan di sini,
utamanya berkenaan dengan kekuasaan. Melalui kekuasaan tersebutlah berbagai
dimensi kehidupan masyarakat layaknya sosial, ekonomi, budaya, dan politik itu
sendiri dipengaruhi (dikontrol).
Pun, pada mulanya bapak-bapak ilmu
pengetahuan kita yang terhormat layaknya Plato dan Aristoteles menegaskan
tujuan utama politik sebagai pewujud kebaikan bersama. Plato mencetuskan
istilah res-publica yang berarti
politik syarat mengakomodasi kepentingan bersama. Di sisi lain, Aristoteles mencetuskan
istilah bonum-publikum yang berarti
politik syarat menciptakan kebahagiaan orang banyak, bukannya
kebahagiaan/kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan demikian, dapatlah
ditilik jika baik-buruknya politik sesungguhnya ditentukan oleh man behind the gun atau aktor-aktor yang
terdapat di baliknya. Seseorang dapat menggunakan politik guna meluluskan
kepentingan/kebahagiaannya sendiri, tetapi dapat juga digunakannya untuk mengakomodasi
kepentingan/kebahagiaan bersama. Oleh karenanya, dapatlah kita tilik pula bahwa
pencitraan politik yang cenderung negatif selama ini lebih diakibatkan oleh
aktor-aktor yang bermain di belakangnya.
Satu
hal yang kiranya perlu kita definisikan kembali, faktual terminus “politik”
atau “berpolitik” tak selalu berkelindan dengan hingar-bingar panggung parlemen,
berpolitik dapat pula dilakukan secara nonparlemen alias terjun langsung ke lapangan. Hal ini menunjuk pada pengertian
politik sebagai politea di mana cukup para penduduk negara-kota tersebut
melangsungkan diskusi mengenai penguasa atau kekuasaan, maka mereka telah
berpolitik—melakukan aktivitas politik. Kenyataannya, berpolitik sangatlah simpel.
Muda-gaya-berpolitik: Cetar membahana-spektakuler!
Era
globalisasi dewasa ini, di mana teknologi informasi berkembang dengan demikian
pesatnya, umum diketahui bahwa generasi muda lebih responsif terhadap situasi
dan kondisi di atas. Tak pelak, berpolitik pun dapat dimulai melaluinya, dengan
memberikan label like pada suatu isu
politik di media jejaring sosial dunia maya-facebook
misalnya. Dengan menyematkan label tersebut, secara tak langsung menunjukkan
keberpihakan atau persetujuan kita terhadap suatu isu politik. Begitu pula kala
kita mengomentari atau membuat “status” bertemakan politik dalam facebook, terlebih membuat page ‘halaman’ yang berisikan isu
politik tertentu. Tak hanya itu saja, aktivitas serupa dapat pula dilakukan di
media blog, atau yang tak kalah keren juga, menjadi komentator cerdas
lagi kritis pada berbagai portal berita nasional online yang memuat beragam isu politik.
Dalam
kehidupan nyata (nonmaya), faktual berpolitik pun dapat beriringan dengan hobi
dan kesukaan anak muda. Generasi muda yang gemar nongkrong misalnya, sedikit-banyak dapat mengetahui situasi dan
kondisi aktual dunia perpolitikan tanah air lewat mendengarkan diskusi politik
generasi tua di relung-relung ruang publik. Pun,
generasi muda yang gemar bergerombol—berkumpul dengan sesamanya—sesekali dapat
mencoba masuk dalam kepanitiaan pemilu tingkat lokal maupun nasional di lingkungannya,
mereka dapat pula menjadi saksi dalam penghitungan suara. Singkat kata,
serangkaian aktivitas tersebut sesungguhnya dapat “dibawa senang” sebagaimana ke-senang-an
berbagai aktivitas anak muda pada umumnya. Meskipun mungkin memang, [bersambung...]
...dan genarasi muda saat ini merupakan generasi "penurut", menuruti apa saja arahan yg diberikan (padahal arahan itu blm tentu benar) dan menelan semua yg "disuapkan" (layaknya budaya Pop dan pemikiran kolot).
BalasHapusSalam Sosiologi!!