PSYCHO
(18+)
Wahyu
BN
Emosiku tak tertahankan lagi, kuambil parang yang
menyandar di sudut tembok dekat kursi. Haris tampak terperangah, tapi waktunya
benar-benar habis kali ini, ajalnya kan’ segera tiba. Aku berlari keluar
memutari halaman tuk menujunya. Seketika ia tersadar dan buru-buru masuk rumah.
Saat ia hendak menutup daun pintu, dengan sigap kutendangnya. “Gubrak!”, Haris jatuh menimpa meja-kursi
ruang tamunya. Istrinya tampak terkaget-kaget melihatku dari dalam agak
kejauhan.
Tak mau bertele-tele, karena memang murkaku padanya
selama ini tak tertahankan lagi; kuhunuskan mata parangku tepat di jantungnya,
masuk sekitar 10 hingga 15 senti mengakrabi tubuhnya. Darah Haris yang
kehitam-hitaman pun muncrat, bukti kalau hatinya memang hitam legam, dan betapa
ia pantas untuk mati.
“Pembunuh! Pembunuh!!!” istri Haris meneriakiku, juga
agar orang-orang di luar mendengarnya. Aku segera berlari menujunya, tanpa
pikir panjang, kulayangkan parang tuk membelah kepalanya. Sayangnya, parangku sekedar
menancap di dahi istri Haris yang lumayan cantik itu, membuka kepalanya dengan
tanggung. Ini semata-mata kulakukan hanya untuk membungkamnya. “Salah sendiri pakai
teriak-teriak segala!”, ucapku sambil melihatnya meregang.
Bebarengan dengan ambruknya istri Haris yang lumayan
cantik itu, kudengar isak tangis dari kamar gelap. Masha-Allah! Itu anak Haris yang masih usia SD. Apa aku juga harus
menghabisinya? Tapi, dia kan tak bersalah? Oh
noes![1]
Tapi, kalau ia tak kuhabisi, orang-orang bakal tahu kalau aku pelakunya; lagian dia dulu juga pernah menghinaku, ikut-ikutan bapaknya, mengataiku sinting. Berarti ia juga bersalah. Okelah kalau begitu!
Tapi, kalau ia tak kuhabisi, orang-orang bakal tahu kalau aku pelakunya; lagian dia dulu juga pernah menghinaku, ikut-ikutan bapaknya, mengataiku sinting. Berarti ia juga bersalah. Okelah kalau begitu!
Kudatangi anak itu, ketakutan akut tampak meraut di
wajahnya, ketakutan paling ekstrem yang pernah dideranya. Ia tak punya
siapa-siapa lagi, tak ada ayah-ibu tuk berlindung, dan kini, nasibnya di
tanganku, kecuali kalau anak ini memegang pistol, tentu, nasibku lah yang di
tangannya.
“Sini Nak, sini. Jangan takut sama om. Sini anak
manis, om takkan melukaimu…”. Aku tak berbohong, kan kucari cara tercepat tuk
membinasakannya, hingga tak secuil pun sakit dirasanya, ya paling-paling cuma seperti
digigit tengu; selayaknya dusta para orangtua
pada anak lelakinya sewaktu sunatan.
Aku tak boleh berlama-lama, tiba waktuku tuk
menyempurnakan kejahatan. Kupegang kepala anak itu, kutundukkan sedikit, ia
masih saja terisak. “Ssssh, tenang Nak, tenang. Jangan menangis, ssssh,”.
Parangku menjulang, mengetahui pasti tempatnya mendarat: leher anak itu. Dan,
dengan sekejap tebasan, kepala anak itu jatuh menggelinding seperti bola kecil
yang biasa digunakan anak-anak kampung sini bermain saban sore.
Tugasku belum rampung, aku bertanggung jawab penuh
atas nasib tiga mayat yang menggeletak tak tentu tempat ini, juga kebersihan
rumah mereka, hehe. Satu per satu mereka kuseret ke kebun belakang, kulumuri
bensin, dan kusulut dengan korek yang kutemu di meja makan. Mereka sirna
mengabu dengan benda-bendanya sendiri. Nyaring suara adzan Magrib yang berkumandang
dari langgar terdekat seolah menghantar kepergian mereka menjumpa Tuhannya. Oh,
romantis nian momen ini, satu keluarga terbang menuju surga…, mahasuci Engkau ya
Tuhan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar