ALIENASI*
Wahyu Budi Nugroho
“Homo sum; humani nil a me alienium puto.”
[“Aku manusia; tak ada manusia
lain yang asing bagiku.”]
(Publius Terentius Afer)
Istilah Alienasi
Jika Socrates dan
Plato berkata bahwa filsafat bermula dari kekaguman dan keheranan, maka
dapatlah dikata pula jika filsafat berasal dari alienasi. Kekaguman atas obyek lain, manusia lain, atau pada diri
sendiri; bisa jadi tentang bagaimana tubuh bekerja; secara tidak langsung
menimbulkan jarak antara diri dengan yang lain atau pada diri sendiri, dan ini
merupakan bentuk keterasingan. Dalam ranah kebahasaan kita, kata “alien” telah
menjadi prokem yang biasa digunakan dalam keseharian. Alien berarti “asing”, dan kata ini biasanya diasosiakan dengan
“makhluk asing” yang berasal dari planet lain, dunia antah-berantah sana; yang melakukan
penjelajahan luar angkasa dengan UFO (Unidentified
Flying Object), dan turun ke bumi dengan seberkas cahaya sorot layaknya Mr.
Bean. Dalam ranah kebahasaan lain, istilah alienasi kerap pula disandingkan—atau
dikaitkan—dengan kata entfremdung, verfremdung, verfremdungseffekt (v-effekt),
entausserung, atau yang lebih lekat dengan
tata kebahasaan kita: alienum yang
berasal dari bahasa Latin. Adalah F.W
Hegel sebagai sosok paling berjasa yang memperkenalkan berikut mempopulerkan
terminus alienasi dalam ranah filsafat. Tanpanya, alienasi takkan menjadi arus
pengkajian penting dan tersendiri dalam filsafat—seperti istilah “denyut” yang
diperkenalkan Baruch de Spinoza berabad-abad silam yang kini menjadi tema
penting dalam pemikiran Mahzab Autonomia besutan Antonio Negri dan Michael
Hardt (penulis Das Kapital abad 20).
Dalam kamus filsafat Hegel, istilah alienasi sendiri sesungguhnya sama
pentingnya dengan istilah “dialektika”; ihwal yang urung begitu disadari banyak
pihak.
“Peristiwa” Alienasi
Sebagai sebuah
fenomena yang tertuliskan—bukan istilah—alienasi telah muncul dalam kesadaran
Heraclitus: “Saya mencari diri sendiri”,
ucapnya. Begitu pula, karya filsafat kanon The
Republic dari Plato yang ditengarai lahir dari keterasingan penulisnya; yakni
keterasingan Plato dari tata moral dan politik Yunani kala itu sehingga ia
menuliskan ide-ide tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan sebuah
negara (polis/negara-kota). Tampaknya, refleksi Plato menghantarnya pada konsep
alienasi terdini manusia: “Raga atau
tubuh (soma) adalah kuburan jiwa (sema). Jiwa terkubur dalam raga, oleh
karenanya, hidup adalah keterasingan panjang”, kurang-lebih ucapnya. Sebentuk
pernyataan bahwa sebelum manusia hadir ke dunia dan terasing oleh konstelasi masyarakatnya,
ia terlebih dahulu terasing dari tubuhnya. Pernyataan apik serupa juga hadir
dari filsuf eksistensialis asal Denmark kemudian, Soren Aebey Kierkegaard: “Aku menempelkan jariku pada eksistensiku—tak
ada baunya. Dimanakah aku? Benda apa yang dinamakan dunia ini? Siapa yang
memancingku pada benda ini, dan meninggalkanku di sini? Siapakah aku? Bagaimana
aku bisa berada di dunia? Mengapa tak dibicarakan dulu denganku?”.
Setelahnya, terma
seputar alienasi memang akrab dalam pengkajian eksistensialisme serta marxisme—tak
ada arus pemikiran lain yang paling serius mengangkat tema alienasi selain
keduanya. Dalam marxisme, sudah tentu Hegel memberi pengaruh yang sangat kuat
pada Marx. Istilah alienasi dipinjam Marx sebagaimana dirinya meminjam dan
merekonstruksi konsep dialektika dari Hegel (tesis-antitesis-sintesis).
Sementara, Hegel pun menelurkan konsep alienasi lewat pembacaan seksamanya atas
Plato. Jika Hegel mendaulat alienasi sebagai “ide-ide yang belum terwujud atau
belum termanifestasi sebagaimana mestinya”—ingat diktum Hegel: ide yang berkembang dalam ruang adalah alam;
ide yang berkembang dalam waktu adalah sejarah—maka, Marx menjadikannya
konkret lewat penegasan bahwa alienasi merupakan “kejadian nyata” yang dialami
manusia, dan sepenuhnya berproses di alam materi(al), bukannya alam idea(l)
bercampur material seperti diungkapkan Hegel. Pemikiran Hegel masih begitu
lekat dengan konsep forma Plato, bahwa suatu “produk” baik sebagai barang ataupun
apa pun; selalu menemui wujudnya sebagai penjelmaan sekunder dari produk asli
yang paripurna (sempurna)—sementara yang sempurna itu hanya ada di alam ide,
dan manusia selalu berusaha mewujudkannya meski itu tak mungkin; inilah
alienasi yang dimaksudkan Hegel.
Alienasi dalam Marxisme
Marx—Marx Muda
terutama—memandang alienasi sebagai kondisi riil yang dihadapi sekaligus “tak
dimaui” manusia, sebentuk kejadian yang tak diharapkan namun sarat diterima.
Marx mendaulat alienasi terbesar (umat) manusia terjadi pada sekitar abad 14-15,
yakni ketika “sekelompok orang kuat” (baca: bangsawan) merenggut tanah-tanah
yang dimiliki para petani subsisten dan kemudian menempatkan mereka secara
paksa dalam pabrik-pabrik yang diciptakannya. Bagi Marx, saat-saat tersebut
menandai alienasi terbesar dalam sejarah umat manusia mengingat untuk pertama
kalinya manusia dipisahkan langsung dari alat produksinya. Masa-masa yang
diistilahkan Marx sebagai “periode pertumbuhan sejarah dan proses
pengambilalihan” ini sekaligus menandai perubahan tata masyarakat sedari
primitif menuju feodal-kapitalis dalam konsepsi sosiologis Marx—terutama Marx
Tua.
Lebih jauh,
penelisikan Marx atas alienasi berlanjut pada kondisi ex-Petani subsisten—sekarang
kita menyebutnya “buruh”—dalam pabrik-pabrik yang diciptakan feodal-kapitalis.
Setidaknya, Marx mengidentifikasi adanya beberapa gejala alienasi yang didera
buruh, antara lain; alienasi buruh di tempat kerja, alienasi buruh dengan
sesama buruh, alienasi buruh dengan produk yang dihasilkannya, alienasi buruh
terhadap potensi dirinya, serta alienasi beragama pada buruh. Lebih jelasnya, lihat
tabel paparan di bawah ini.
Bersambung…
* Sedianya tulisan ini
saya persiapkan sebagai tulisan perpisahan dengan kota Jogja, tapi dikarenakan
serangkai kesibukan yang tak terhindarkan saat hendak bertolak ke Denpasar;
saya pun terpaksa berhutang beberapa subbab pada tulisan ini.
Jogja, 22 Agustus 2015.
2 komentar:
Saya tunggu lanjutannya pak hehe
saya tunggu tulisanmu, hehe
Posting Komentar