Jumat, 21 Agustus 2015

ALIENASI

ALIENASI*


Wahyu Budi Nugroho

“Homo sum; humani nil a me alienium puto.”
[“Aku manusia; tak ada manusia lain yang asing bagiku.”]
(Publius Terentius Afer)

Istilah Alienasi
Jika Socrates dan Plato berkata bahwa filsafat bermula dari kekaguman dan keheranan, maka dapatlah dikata pula jika filsafat berasal dari alienasi. Kekaguman atas obyek lain, manusia lain, atau pada diri sendiri; bisa jadi tentang bagaimana tubuh bekerja; secara tidak langsung menimbulkan jarak antara diri dengan yang lain atau pada diri sendiri, dan ini merupakan bentuk keterasingan. Dalam ranah kebahasaan kita, kata “alien” telah menjadi prokem yang biasa digunakan dalam keseharian. Alien berarti “asing”, dan kata ini biasanya diasosiakan dengan “makhluk asing” yang berasal dari planet lain, dunia antah-berantah sana; yang melakukan penjelajahan luar angkasa dengan UFO (Unidentified Flying Object), dan turun ke bumi dengan seberkas cahaya sorot layaknya Mr. Bean. Dalam ranah kebahasaan lain, istilah alienasi kerap pula disandingkan—atau dikaitkan—dengan kata entfremdung, verfremdung, verfremdungseffekt (v-effekt), entausserung, atau yang lebih lekat dengan tata kebahasaan kita: alienum yang berasal dari bahasa Latin. Adalah F.W Hegel sebagai sosok paling berjasa yang memperkenalkan berikut mempopulerkan terminus alienasi dalam ranah filsafat. Tanpanya, alienasi takkan menjadi arus pengkajian penting dan tersendiri dalam filsafat—seperti istilah “denyut” yang diperkenalkan Baruch de Spinoza berabad-abad silam yang kini menjadi tema penting dalam pemikiran Mahzab Autonomia besutan Antonio Negri dan Michael Hardt (penulis Das Kapital abad 20). Dalam kamus filsafat Hegel, istilah alienasi sendiri sesungguhnya sama pentingnya dengan istilah “dialektika”; ihwal yang urung begitu disadari banyak pihak.

“Peristiwa” Alienasi
Sebagai sebuah fenomena yang tertuliskan—bukan istilah—alienasi telah muncul dalam kesadaran Heraclitus: “Saya mencari diri sendiri”, ucapnya. Begitu pula, karya filsafat kanon The Republic dari Plato yang ditengarai lahir dari keterasingan penulisnya; yakni keterasingan Plato dari tata moral dan politik Yunani kala itu sehingga ia menuliskan ide-ide tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan sebuah negara (polis/negara-kota). Tampaknya, refleksi Plato menghantarnya pada konsep alienasi terdini manusia: “Raga atau tubuh (soma) adalah kuburan jiwa (sema). Jiwa terkubur dalam raga, oleh karenanya, hidup adalah keterasingan panjang”, kurang-lebih ucapnya. Sebentuk pernyataan bahwa sebelum manusia hadir ke dunia dan terasing oleh konstelasi masyarakatnya, ia terlebih dahulu terasing dari tubuhnya. Pernyataan apik serupa juga hadir dari filsuf eksistensialis asal Denmark kemudian, Soren Aebey Kierkegaard: “Aku menempelkan jariku pada eksistensiku—tak ada baunya. Dimanakah aku? Benda apa yang dinamakan dunia ini? Siapa yang memancingku pada benda ini, dan meninggalkanku di sini? Siapakah aku? Bagaimana aku bisa berada di dunia? Mengapa tak dibicarakan dulu denganku?”.

Setelahnya, terma seputar alienasi memang akrab dalam pengkajian eksistensialisme serta marxisme—tak ada arus pemikiran lain yang paling serius mengangkat tema alienasi selain keduanya. Dalam marxisme, sudah tentu Hegel memberi pengaruh yang sangat kuat pada Marx. Istilah alienasi dipinjam Marx sebagaimana dirinya meminjam dan merekonstruksi konsep dialektika dari Hegel (tesis-antitesis-sintesis). Sementara, Hegel pun menelurkan konsep alienasi lewat pembacaan seksamanya atas Plato. Jika Hegel mendaulat alienasi sebagai “ide-ide yang belum terwujud atau belum termanifestasi sebagaimana mestinya”—ingat diktum Hegel: ide yang berkembang dalam ruang adalah alam; ide yang berkembang dalam waktu adalah sejarah—maka, Marx menjadikannya konkret lewat penegasan bahwa alienasi merupakan “kejadian nyata” yang dialami manusia, dan sepenuhnya berproses di alam materi(al), bukannya alam idea(l) bercampur material seperti diungkapkan Hegel. Pemikiran Hegel masih begitu lekat dengan konsep forma Plato, bahwa suatu “produk” baik sebagai barang ataupun apa pun; selalu menemui wujudnya sebagai penjelmaan sekunder dari produk asli yang paripurna (sempurna)—sementara yang sempurna itu hanya ada di alam ide, dan manusia selalu berusaha mewujudkannya meski itu tak mungkin; inilah alienasi yang dimaksudkan Hegel.

Alienasi dalam Marxisme
Marx—Marx Muda terutama—memandang alienasi sebagai kondisi riil yang dihadapi sekaligus “tak dimaui” manusia, sebentuk kejadian yang tak diharapkan namun sarat diterima. Marx mendaulat alienasi terbesar (umat) manusia terjadi pada sekitar abad 14-15, yakni ketika “sekelompok orang kuat” (baca: bangsawan) merenggut tanah-tanah yang dimiliki para petani subsisten dan kemudian menempatkan mereka secara paksa dalam pabrik-pabrik yang diciptakannya. Bagi Marx, saat-saat tersebut menandai alienasi terbesar dalam sejarah umat manusia mengingat untuk pertama kalinya manusia dipisahkan langsung dari alat produksinya. Masa-masa yang diistilahkan Marx sebagai “periode pertumbuhan sejarah dan proses pengambilalihan” ini sekaligus menandai perubahan tata masyarakat sedari primitif menuju feodal-kapitalis dalam konsepsi sosiologis Marx—terutama Marx Tua.

Lebih jauh, penelisikan Marx atas alienasi berlanjut pada kondisi ex-Petani subsisten—sekarang kita menyebutnya “buruh”—dalam pabrik-pabrik yang diciptakan feodal-kapitalis. Setidaknya, Marx mengidentifikasi adanya beberapa gejala alienasi yang didera buruh, antara lain; alienasi buruh di tempat kerja, alienasi buruh dengan sesama buruh, alienasi buruh dengan produk yang dihasilkannya, alienasi buruh terhadap potensi dirinya, serta alienasi beragama pada buruh. Lebih jelasnya, lihat tabel paparan di bawah ini.


Bersambung…

* Sedianya tulisan ini saya persiapkan sebagai tulisan perpisahan dengan kota Jogja, tapi dikarenakan serangkai kesibukan yang tak terhindarkan saat hendak bertolak ke Denpasar; saya pun terpaksa berhutang beberapa subbab pada tulisan ini.

Jogja, 22 Agustus 2015.

2 komentar: