"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Sabtu, 12 Maret 2011

DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI

DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI
By Wahyu Budi Nugroho
Pengertian Demokrasi
            Secara etimologis, istilah demokrasi berasal dari dua kata, yakni demos dan kratein. Demos berarti “rakyat”, sedang kratein dapat diterjemahkan sebagai “pemerintahan”, dengan demikian, secara telanjang demokrasi dapat diartikan sebagai “pemerintahan rakyat”. Pada perkembangannya, ditemui beberapa definisi dari demokrasi―banyak bahkan―Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah, “sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat”, Nelson Mandela menyatakan bahwa demokrasi adalah, “ketika orang ingin berbicara, ia dapat berbicara”, sedang Guru Besar Fakultas Filsafat UGM, Prof. Dr. Damardjati Supadjar menegaskan bahwa demokrasi adalah, “vox dei, vox populei”, atau “mendengar suara tuhan, di balik suara rakyat”.
Sekilas Sejarah Demokrasi
            Catatan sejarah menunjukkan, bentuk pemerintahan demokrasi telah ditemui pada 500 SM di Yunani Kuno. Namun, sistem pemerintahan demokrasi yang berlaku kala itu jauh berbeda dengan sistem pemerintahan demokrasi sebagaimana kita kenal saat ini. Demokrasi pada masa Yunani Kuno bersifat “langsung” mengingat suatu polis (negara-kota) yang sekedar berpenduduk sekitar tiga ratus hingga empat ratus jiwa. Hal tersebut begitu berbeda bilamana dibandingkan dengan realitas demokrasi saat ini di mana pada umumnya suatu negara berpenduduk belasan hingga puluhan juta jiwa sehingga bentuk pemerintahan demokrasi yang berlaku kemudian bersifat “tak langsung”―demokrasi perwakilan.
            Di samping perbedaan mekanisme di atas, faktual sistem demokrasi pada era Yunani Kuno kental pula dengan nuansa diskriminasi. Hal tersebut tampak melalui tak dipenuhinya hak pemberian suara pemilu bagi wanita dan golongan pendatang. Pada gilirannya, sistem pemerintahan demokrasi muksa bersamaan dengan keruntuhan peradaban Yunani Kuno yang segera digantikan oleh peradaban Romawi Kuno dengan bentuk pemerintahan diktatorial-nya.

Lahirnya Demokrasi Modern
Feodalisme
            Berbicara mengenai kelahiran demokrasi modern, tak dapat lepas dari pengkajian sekitar sistem pemerintahan feodal―feodalisme. Secara ringkas, sistem pemerintahan feodal dapat diartikan sebagai sistem pemerintahan yang dikuasai atau dijalankan oleh kaum bangsawan―aristokrat. Dengan demikian, bentuk pemerintahan yang berlangsung bersifat oligarki dan turun-temurun (dinasti). Dalam feodalisme, ascribed status menjadi penentu utama relasi sosial individu dalam masyarakat. Apa yang berlaku di dalamnya adalah “who”―keturunan―dan bukannya ”what”―prestasi.
            Ekses dari bentuk pemerintahan feodal ialah kesewenang-wenangan kaum bangsawan terhadap rakyat jelata, kerap bahkan, berbagai tindakan tersebut memperoleh legitimasi lembaga gereja sehingga yang lebih tampak kemudian adalah “persekongkolan” yang terjadi antara kaum bangsawan dengan gereja. Menanggapi lembaga gereja yang korup, Lord Acton, seorang bangsawan yang bersimpati atas penderitaan rakyat mencetuskan sebuah ungkapan yang populer di kemudian hari, “Power tend to corrupt, and absolutes power, corrupts absolutely” (“Kekuasaan cenderung pada korupsi, dan dalam kekuasaan yang absolut, korupsi jelas terjadi”). Lain halnya dengan Acton, Adam Smith, seorang moralis dan ekonom kenamaan Skotlandia, merespon besarnya pajak dan upeti yang dibebankan raja sehingga menghambat kemajuan ekonomi rakyat dengan mencetuskan laissez faire ‘pasar bebas’, hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya “liberalisme ekonomi”, suatu bentuk tata niaga yang bebas dari campur tangan negara.
            Harus diakui memang, tak semua dari kaum bangsawan menindas dan menyengsarakan rakyat, sebagai misal Raja Arthur yang mampu menegakkan keadilan dalam masyarakat Inggris berikut Louis XIV dengan diktum l’tat cest moi ‘negara adalah aku’ yang berhasil menyejahterakan rakyat Perancis. Namun kiranya, jumlah dari mereka yang populis sekedar segelintir saja ketimbang mereka yang despostis dan tiranis, lembaran kelam sejarah mencatat nama-nama layaknya George V, Victor Emmanuel III, Tsar Nicholas, Franz Fredinand, Friedrich Wilhelm dan lain “sejenisnya”. Serangkaian hal tersebutlah yang kemudian kian memantapkan kedudukan demokrasi sebagai sistem pemerintahan alternatif pengganti feodalisme―demokrasi: “pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat”.
Renaissance
            Pada ranah yang berlainan, peristiwa akbar renaissance ‘pencerahan’ Eropa yang terjadi pada abad 15-18 berperan pula atas kelahiran sistem pemerintahan demokrasi modern. Sebagaimana asal-mula terminusnya, renaissance yang berarti reborn atau “kelahiran kembali”, merupakan momen besar dalam upaya mengembalikan kebudayaan Yunani Kuno di mana sistem pemerintahan demokrasi termasuk di dalamnya.
Kemenangan AS dalam Perang Dunia II
            Pada gilirannya, kemenangan Amerika Serikat (AS) pada Perang Dunia II (1939-1945) menjadikan negara tersebut sebagai corong baru peradaban dunia. Hal ini berdampak pada kian naiknya pamor demokrasi yang memang telah diusung AS sejak tahun 1776 melalui declaration of independence dan declaration of human rights. Di samping memang, kesuksesan AS dan Uni Soviet (US)―sekutu―“menghajar” negara-negara dengan sistem pemerintahan fasis yang otoritarian―Jerman, Italia, Spanyol dan Jepang.
Demokrasi: Milik Siapa?
            Pasca-Perang Dunia II, tepatnya setelah sistem monarki dan fasisme terhempas, dunia memasuki babak baru persaingan politik―world order. Persaingan tersebut terjadi antara negara-negara yang muncul sebagai pemenang dalam Perang Dunia II yakni AS dan US. Perebutan hagemoni dunia antara keduanya kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Perang Dingin” (Cold War).
            Faktual, dalam Perang Dingin sistem pemerintahan demokrasi digunakan oleh kedua kubu yang berseteru, Blok Barat pimpinan AS yang kerap dicap sebagai negara-negara kapitalis dan Blok Timur pimpinan US yang dikukuhkan sebagai negara-negara komunis. Dalam hal ini, dapatlah ditilik bahwa sistem pemerintahan demokrasi digunakan oleh dua ideologi yang saling bertentangan: kapitalisme versus komunisme. Hanya saja, konsep demokrasi yang digunakan oleh kedua belah pihak memiliki perbedaan dalam tataran eklektis, bilamana demokrasi AS berbentuk “demokrasi liberal”, sedang dalam US bercorak “sosial demokrasi”. Penelisikkan lebih jauh terhadap kedua ideologi di atas akan menghasilkan pemetaan sebagai berikut,

  • Kapitalisme
Sistem Sosial    : Liberalisme
Sistem Politik    : Demokrasi Liberal
Sistem Ekonomi            : Laissez Faire
Landasan          : Declaration of Independence and Human Rights, Du Contract Social, Two
                          Treatise on Government

  • Komunisme
Sistem Sosial    : Dialektika Sosial
Sistem Politik    : Sosial Demokrasi
Sistem Ekonomi            : Paissez Faire
Landasan          : Matrealisme Historis dan Dialektis, Negara dan Revolusi by Lenin.

            Dalam demokrasi liberal, kebebasan untuk berekspresi, berpendapat serta berekonomi dijamin sepenuhnya melalui ketiadaan campur tangan berikut kontrol negara. Sedang, dalam sosial demokrasi kebebasan untuk berekspresi, berpendapat serta berekonomi diatur sedemikian rupa oleh negara―ingat sistem pemerintahan “diktator proletariat”―guna menjaga “jalannya revolusi” dan mewujudkan masyarakat yang egaliter, ”sama rasa, sama rata”. Dengan demikian, dapatlah ditelisik lebih jauh bahwa AS menjadikan sistem pemerintahan demokrasi sebagai “jalan” sekaligus “tujuan”, sedangkan US sekedar menjadikannya sebagai “tujuan”. Asumsi yang demikian jelas memungkinkan terjadinya distorsi atas demokrasi itu sendiri, semisal penggunaan instrumen kekerasan dengan argumen, “guna mewujudkan demokrasi”.  
Demokrasi dalam Praktek
            Kiranya, muatan demokrasi yang begitu “baik” yakni pemerintahan atau kedaulatan “dari, oleh dan untuk rakyat”, menyebabkannya dianut oleh banyak konstruksi ideologi. Meskipun harus diakui memang, kerap kali implementasi atasnya justru bertentangan dan sama sekali tak demokratis. Hal tersebut tampak melalui implementasi sosial demokrasi dalam pemerintahan Stalin dan Mao Tse Tung yang justru menumpahkan banyak darah tak berdosa, atau di Indonesia sendiri ditemui pada pemerintahan “Demokrasi Terpimpin” ala Soekarno berikut “Demokrasi Pancasila” Smililing General Soeharto.
Demokratisasi
            “Demokratisasi” menunjuk pada usaha atau proses pen-demokrasi-an seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berakhirnya Perang Dingin yang berekses pada kejatuhan rezim komunis Soviet di awal dekade 1990-an kerap dianggap banyak pihak sebagai pemicu munculnya arus atau gelombang demokratisasi terbesar sepanjang sejarah demokrasi. Francis Fukuyama dalam buah karya monumentalnya, The End of History and The Last Man, berkata, “…ia (demokrasi) menaklukkan ideologi-ideologi pesaingnya seperti monarki turun-temurun, fasisme dan baru-baru ini komunisme”. Begitu pula Samuel P. Huntington dalam The Third Wave yang menegaskan bahwa kejatuhan komunisme dunia sebagai momentum kelahiran kembali demokrasi secara utuh―pure.[1]   
            Fukuyama mencatat, bila pada dekade 1950-an hingga 1960-an hampir setengah dari negara di dunia berdiri di atas rezim komunisme yang otoriter, maka kini mayoritas negara di dunia menggunakan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, “Saat ini, tak ada sistem pemerintahan yang dianggap paling baik kecuali demokrasi”, pungkasnya kurang-lebih. Berikut catatan Fukuyama mengenai rangkaian transisi berbagai rezim “menuju demokrasi” yang melanda dunia,

Tahun
Transisi Demokrasi
1980
Restorasi pemerintahan melalui pemilu yang demokratis di Peru setelah dua belas tahun lamanya berada di bawah kekuasaan militer.
1982
Perang Malvinas mempercepat runtuhnya junta militer Argentina berikut melahirkan pemerintahan Alfonsin yang terpilih secara demokratis.
1983
Mundurnya rezim militer di Uruguay.
1984
Jatuhnya rezim militer di Brazil.
1986
Pemerintahan diktator Marcos-Filipina digulingkan, digantikan oleh Corazon Aquino dengan dukungan massa yang kuat.
1987
Jendral Chun di Korea Selatan meletakkan jabatan dan mengizinkan terpilihnya Roh Tae Woo sebagai presiden.  
1988
Pasca-Kematian Chian Ching Kuo, berbagai isu mengenai demokratisasi kian menyerua di Taiwan, hingga pada akhirnya pemerintahan otoriter Burma mampu dipukul oleh gerakan pro-Demokrasi.
1989
Pemerintahan Komunis Soviet Gorbachev mendeklarasikan glasnost dan perestorika yang sekaligus menandai berakhirnya rezim komunis-Soviet sejak berdirinya di tahun 1917.
1990
Pemerintahan minoritas kulit putih F. W De Klerk membebaskan Nelson Mandela dan mencabut politik apartheid.

Di Nikaragua, pemerintahan Sandinista berkoalisi dengan Violetta Chamoro dalam sebuah pemilu yang bebas.

Kuba dan Guyana merupakan satu-satunya negara di kawasan Barat Amerika Latin yang tak mengizinkan tergelarnya pemilu secara bebas dan layak.
 (Francis Fukuyama 2004:36-37)

Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia
            Gelombang demokrasi berikut demokratisasi di Indonesia dapatlah dikatakan mulai muncul ke permukaan pada akhir dekade 1990-an melalui peristiwa Reformasi Indonesia yang terjadi pada 21 Mei 1998. Peristiwa tersebut setidaknya menghasilkan beberapa konsensus politik yang antara lain,
  • Mengakhiri 32 tahun kekuasaan otoriter rezim Orde Baru Soeharto.
  • Mencabut dwifungsi ABRI.
  • Menyelenggarakan pemilu sesegera mungkin.
Saat―dan beberapa waktu setelah―peristiwa reformasi di atas berlangsung (1998-1999), masyarakat Indonesia mengalami anomie, dan sebagaimana masa transisi pada umumnya, masyarakat Indonesia dilingkupi serba “ketidakpastian”. Dalam hal ini, pemilu tahun 1999 merupakan penentu: akankah kembali pada format pemerintahan yang lampau ataukah menuju pada format pemerintahan yang baru.
Konstelasi Sosial & Politik Indonesia pra-Demokratisasi
Orde Baru
  • Proses politik berlangsung secara tertutup―tak transparan―dan sekedar melibatkan inner circle kekuasaan (nepotisme) sehingga masyarakat tak memiliki peran pengawasan berikut partisipasi atasnya.
  • Kebijakan floating mass sebagai upaya melakukan pelucutan politik (depolitisasi). Hal tersebut tampak melalui dibentuknya “wadah tunggal” organisasi profesi serta organisasi kepentingan lainnya, termasuk tindakan penggembosan partai-partai yang ada (Pasal-pasal KUHP, UU No. 8/1985 tentang keormasan, Inpres No. 15/1970 tantang Tata Cara Pembentukan UU dan PP).
  • Penggunaan instrumen kekerasan terhadap individu atau kolektif yang berseberangan dengan pemerintah (UU No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi).
  • Dll.
Orde Lama
§  Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk sentralisasi kekuasaan dan sistem pemerintahan diktatorial.
§  Konsensus mengenai pengangkatan “presiden seumur hidup” sebagai bentuk kristalisasi kekuasaan.
§  Pemberangusan berbagai partai yang berseberangan dengan pemerintah, semisal pembubaran Masyumi.
§  Penggunaan instrumen kekerasan terhadap individu atau kolektif yang berseberangan dengan pemerintah (UU No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi), layaknya yang terjadi pada penangkapan Mochtar Lubis serta pembubaran Manifesto Kebudayaan/Manikebu.
§  Pidato presiden sebagai bentuk Manifesto Politik (Manipol) berikut Garis Besar Halauan Negara (GBHN)―dalam pandangan Mahzab Frankfurt diistilahkan dengan Regime of Significant.
§  Dll.
Ancaman Demokrasi & Demokratisasi
            Faktual, meskipun demokrasi menjadi sistem pemerintahan yang paling banyak dianut dan diadopsi di era kontemporer, beberapa pakar politik tetap menemui ancaman resistensi atasnya. Samuel P. Huntington misalnya, menegaskan bahwa berbagai peradaban besar lain di dunia tidaklah telah tiada begitu saja, melainkan tengah tertidur pulas dan sewaktu-waktu dapat bangkit merubah keadaan. Dalam hal ini, ia menekankan fundamentalisme Islam berikut confusionisme China sebagai ancaman terhadap sistem pemerintahan demokrasi. Senada dengan Huntington, Francis Fukuyama menemui ancaman akan eksistensi demokrasi pada fundamentalisme agama. Secara tegas, ia menempatkan fundamentalisme Islam serta ortodoksi Yahudi sebagai ancaman atasnya. Menurutnya, hal tersebut mengingat masing-masing dari kedua pemahaman terkait memiliki konstruksi atas sistem pemerintahannya sendiri. Melalui titik tolak yang berbeda―non-Ideologis―Amartya Sen melihat ancaman atas demokrasi hadir melalui taraf ekonomi rakyat yang belum mumpuni sehingga besar kemungkinan menyebabkan terjadinya money politic dalam proses demokrasi. Hal tersebut sebagaimana kita ketahui bersama, bakal menyebabkan demokrasi yang berlangsung sekedar berada pada tataran prosedural, bukannya substansial.


Daftar Pustaka
§  Budiardjo, Miriam. 1983. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia.
§  Budiman, Arif, dkk. 2000. Harapan dan Kecemasan Menatap Arah Reformasi Indonesia. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
§  Fukuyama, Francis. 2004. The End of History and The Last Man. Yogyakarta: Qalam.
§  Hasyim, Mustofa W. 2000. Jejak Luka Politik dan Budaya. Yogyakarta: LPSAS PROSPEK.
§  Huntington, Samuel P. 2006. Benturan Antarperadaban. Yogyakarta: Qalam.
§  Nuswantoro. 2001. Daniel Bell: Matinya Ideologi. Magelang: Indonesiatera.








[1] Samuel P. Huntington mengidentifikasi terjadinya tiga gelombang demokratisasi dalam sejarah. Gelombang pertama terjadi antara tahun 1828-1926, gelombang kedua pada tahun 1943-1962 dan gelombang ketiga demokratisasi terjadi sejak tahun 1974. Menurutnya, gelombang demokratisasi akan selalu datang dan berulang berikut membawa lebih banyak negara menjadi demokratis.   

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger