"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Jumat, 11 Maret 2011

"DUEL HABITUS" dalam Pro-Kontra Pornografi dan Pornoaksi

“DUEL HABITUS“ DALAM PRO-KONTRA PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
MENINJAU PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU
ATAS PRO-KONTRA PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
Oleh: Wahyu Budi Nugroho


Pendahuluan
            Disetujuinya Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang untuk pertama kalinya diajukan melalui surat Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 287 tahun 2001 tentang pornografi dan pornoaksi pada Rapat Paripurna Pengesahan RUU APP DPR tanggal 30 Oktober 2008 menandai akhir diskursus panjang sekitar pro dan kontra masalah tersebut pada tataran legislatif (perumus kebijakan),[1] meski harus diakui memang terdapat dua fraksi menyatakan penolakannya atas pengesahan RUU tersebut dan melakukan walk out dari persidangan yakni Fraksi PDIP dan PDS.[2] Perlu dicatat, pengajuan dan pengesahan RUU tersebut pada dasarnya dimotivasi oleh keberadaan UU sejenis sebelumnya yang faktual tak berlaku efektif bagi pelanggarnya, yakni Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951 yang mengatur pornografi dan pornoaksi dalam Buku Kedua KUHP Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan serta Buku Ketiga Bab VI tentang Pelanggaran Kesusilaan.[3]   
Ketua Pansus RUU APP, Balkan Kaplale tampak sumringah dengan pengesahan RUU ini, menurutnya, pengesahan RUU yang paling lama pembahasannya di dunia dan tak kurang kontrovesial ini telah ditunggu-tunggu masyarakat, ia menambahkan bahwa dukungan penuh masyarakat diterimanya melalui pesan singkat yang setuju akan pengesahan ini, "Bayangkan, ada 6.013 SMS yang masuk ke handphone saya, sampai hp saya jebol. Dari 6.013 itu, hanya 20 SMS yang keras menolak, selebihnya menyatakan OK", ungkapnya berapi-api.[4] Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa perdebatan yang terjadi antara polarisasi kedua kubu di atas tak hanya berhenti pada ranah tersebut, faktual perdebatan sengit masih kerap terjadi antara mereka yang mengamini maupun menolak UU tersebut dalam ranah akademik, berbagai organisasi kemasyarakatan, asosiasi dan komunitas bahkan satuan public sphere terkecil layaknya “angkringan“.
Dalam paper singkat ini penulis berupaya menjauhkan pengkajian dari jebakan-jebakan yang potensial menghanyutkan pada dramatisasi pro-kontra sekitar masalah pornografi dan pornoaksi yang tak berkesudahan dan tak berkualitas dengan keberpihakan pada salah satu kubu. Oleh karenanya, pencarian jalan tengah atau solusi guna menjembatani kedua belah pihak yang tengah bertikai lebih diupayakan dalam analisis ini. Dengan demikian, bisa jadi muatan positivisme yang bebas nilai dan “eksplanatif“ lebih kental dalam setiap pergulatan kalimat serta paragraf di dalamnya.[5] Di satu sisi, konsep “habitus“ Pierre Bourdieu berupaya penulis gunakan sebagai pisau bedah yang diharapkan mampu lebih dalam menelisik maupun memetakan perseteruan yang terjadi antara kedua belah pihak pro-kontra sekitar isu pornografi dan pornoaksi yang kemudian diharapkan mampu dicarikan jalan tengah atau solusi bagi keduanya.
Sekilas Habitus Pierre Bourdieu
            Terlalu sukar-bahkan tak mungkin-mengkategorikan Pierre Bourdieu sebagai salah seorang pakar bidang tertentu dalam ilmu-ilmu sosial karena kajiannya yang begitu luas mencakup ranah etnografi, seni, sastra, pendidikan, bahasa, selera kultural dan televisi. Tak heran, banyak orang mengidentifikasi jebolan Ecole Normale Superieure ini sebagai sosiolog, antropolog, budayawan atau bahkan sejarawan sebelum ia menegaskan diri sebagai etnolog, “Saya mengira saya adalah seorang filsuf, dan butuh waktu yang lama bagi saya untuk mengakui sendiri bahwa saya telah menjadi seorang etnolog“, ungkapnya.[6]
            Semasa hidupnya Bourdieu disibukkan “proyek besar“ terkait hubungan antara struktur subyektif dan obyektif yakni sebuah pertanyaan atas posisi individu dalam masyarakat dan sebaliknya,[7] “Tujuan saya adalah mengembalikan aktor ke kehidupan nyata yang telah lenyap di tangan Levi Strauss dan strukturalis lainnya, terutama Althusser.“ (Bourdieu, dikutip dalam George Ritzer-Douglas J. Goodman, 2006:518)[8] Penelaahan seksamanya dalam proyek tersebutlah yang kemudian menghasilkan konsep “habitus“ seperti apa yang kita kenal dan bakal digunakan dalam pembahasan ini.    
            Menurut Bourdieu habitus adalah,

...suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktek-praktek yang terstruktur dan terpadu secara objektif. (Bourdieu, dikutip dalam Richard Harker [et al.]  2005:13)[9]

Baginya, habitus melakukan praktek kerja secara sadar maupun tak sadar yang salah satunya tampak melalui gerakan tubuh yang kerap dianggap remeh orang, dari cara makan, bicara, berjalan hingga membuang ingus yang kesemuanya terkait erat dengan pembagian kerja berikut prihal dominasi-dormant.[10] Secara singkat dan sederhana habitus dijelaskan George Ritzer sebagai “struktur mental atau kognitif“ yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Dalam hal ini, aktor dibekali seperangkat sistem nilai, norma dan pengetahuan di lingkungan manapun ia berada, seperangkat sistem (baca: modal) tersebutlah yang nantinya berguna untuk “menghadapi dunia“. Dengan demikian, habitus bersifat “diciptakan dan menciptakan“, atau dengan kata lain “struktur yang menstruktur“ (structuring structure).[11]
Namun demikian, bagi sebagian pihak penjelasan mengenai habitus lebih tampak sebagai strukturalisme atau konstruktivisme Geertz yang memang lebih memadai.[12] Apabila peninjauan ulang atasnya kita lakukan maka hal tersebut bukannya tanpa alasan mengingat samarnya konsep habitus Bourdieu dengan kedua mahzab di atas-bahkan-dengan dialektika George Herbert Mead. Tokoh kawakan interaksionisme simbolik tersebut menelurkan prinsip dialektika di mana menurutnya individu mampu menciptakan masyarakat dan sebaliknya masyarakat pun mampu menciptakan individu.[13]           
Dalam kehidupan sehari-hari habitus dapat dimisalkan dengan seorang intelektual yang diangkat menjadi pimpinan suatu organisasi namun ditemui beberapa pihak yang menyanksikannya, kesanksian tersebut dapat diandaikan sebagai bentuk penolakan atas seperangkat sistem atau modal yang dimiliki sang pemimpin. Bisa jadi, modal yang dimilikinya tak mencukupi dan tak sesuai atau resisten dengan beberapa anggota lainnya, entah dalam dimensi sosial, kultural bahkan ekonomi. Secara singkat, praksis di atas dirumuskan dengan (habitus x modal) + ranah = praktek.[14]    
Di satu sisi, beberapa pihak mengakui habitus sebagai konsep yang menarik mengingat jangkauannya yang luas, tak hanya mencakup atau menjembatani kesenjangan antara struktur dengan agensi, tetapi juga antara teori dengan praktek, borjuis dengan proletar serta pendukung mode lama dengan mode baru dan sebagainya.[15]
Pornografi dan Pornoaksi; Sejarah Singkat dan Kontroversi Definisi
            “Batasan yang tak jelas“, itulah salah satu argumen yang kerap menjadi senjata berbagai pihak anti-RUU APP. Apabila upaya guna memahami pengertian pornografi dan pornoaksi kita lakukan-meskipun ala kadarnya-maka ditemui bahwa term tersebut berasal dari bahasa Yunani “porne“ yang artinya pelacur, sedangkan “graphein“ berarti ungkapan. Alkisah, pada abad 4 SM terdapat seorang wanita cantik Yunani bernama Phryne asal Thespiae yang kerjanya sekedar bersenang-senang dengan banyak lelaki. Apa yang menjadi kebiasaan Phryne tersebut dikenal dengan istilah hataerai, berbeda dengan porne yang berarti pelacur bayaran dan istilah “isteri“ sebagai wanita yang dapat dipercaya mengurus rumah tangga dan menjalankan fungsi reproduksi. Pada suatu waktu, Phryne dituduh mengkorupsi berbagai jejaka Athena, dalam sebuah persidangan, pembelanya, Hyperides meminta Phryne berdiri di suatu tempat di mana setiap orang yang hadir dalam persidangan dapat melihatnya, dimintalah Phryne oleh Hyperides menanggalkan pakaiannya satu-persatu hingga tampak keindahan tubuhnya yang molek, segera setelahnya ia dibebaskan dari tuntutan pengadilan. Apa yang dilakukan Phryne tersebut diyakini sebagai bentuk streap-tease show pertama kalinya dalam sejarah umat manusia.[16] Dengan demikian, dapatlah dianalisis bahwa alkisah Phyrne asal Thespiae, Yunani berikut segala bentuk tindakannya menjadi asal mula dari istilah pornografi dan pornoaksi.     
            Namun demikian, harus diakui memang bahwa penelusuran kita atas sejarah istilah pornografi dan pornoaksi yang saling terkait tersebut tidaklah ujug-ujug menghantarkan pada pemahaman definisi kedua kata tersebut pada tataran universal dan shahih, oleh karenanya sebelum melangkah lebih jauh dalam pembahasan tersebut ada baiknya menilik kembali berbagai definisi yang telah dikemukakan beberapa pakar. Menurut Donald A. Down pornografi mengacu pada segala bentuk karya seni berikut literatur mengenai seks atau segala yang bertemakan seks (Donald A. Down, dikutip dalam Lutfan Muntaqo 2006:12).[17] Di satu sisi, pornografi bagi Johan Suban Tukan ialah penyajian seks secara terisolir dalam bentuk tulisan, gambar, foto, film, video, kaset, pertunjukkan, pementasan, dan kata-kata ucapan dengan maksud merangsang nafsu birahi (Johan Suban Tukan dikutip dalam Lutfan Muntaqo 2006:13),[18] senada ungkap Neng Djubaedah. Apabila upaya seksama dilakukan dalam mencermati kedua definisi pornografi dan pornoaksi di atas dilakukan maka terdapat satu hal substansial terkait definisi yang menyertakan pornografi dan pornoaksi sebagai pemicu nafsu syahwat seperti apa yang dikemukakan Johan Suban Tukan dan Neng Djubaedah ataukah layaknya Donald A. Down yang tak menyertakan hal tersebut dalam pendefinisiannya. Hal inilah yang kiranya bakal menghantarkan kita pada pembahasan lebih lanjut terkait latensi “duel habitus“ antara kubu pro dan kontra dalam menanggapi masalah pornografi dan pornoaksi.
Duel Habitus          
            Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa habitus mengacu pada-bentuk-bentuk praktek nilai, norma, budaya dan pengetahuan seseorang dalam suatu atmosfer lingkungan tertentu hingga diyakini sebagai praktek kebenaran oleh individu atau kolektif tersebut, begitu pula pengkajian kita mengenai berbagai pihak yang setuju ataupun mereka yang menolak UU pornografi dan pornoaksi begitu kental terkait faktor-faktor sosial-budaya, religi, pendidikan, politik serta ekonomi individu maupun kolektif.[19]
            Dalam hal ini RUU APP yang untuk pertama kalinya diajukan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan memperoleh dukungan mayoritas elemen keagamaan masyarakat, terutama Islam selayaknya memiliki-dengan meminjam istilah Weber-“rasionalitas nilai“ atas penentuan sikap demikian. Bagi muslim prihal pornografi dan pornoaksi tercantum dalam beberapa surat dan ayat kitab suci Al-Quran antara lain, Al-Isra:32 terkait larangan mendekati zina, An-Nur:30-31 mengenai pergaulan, kehormatan dan batas aurat serta Al-Ahzab:59 terkait batas-batas aurat mu’minah berikut Al-Maidah:2 mengenai keharusan tolong-menolong dalam kebaikan dan sebaliknya dalam kemungkaran.[20] Melalui berbagai landasan tersebut, tampaklah jelas batasan pornografi dan pornoaksi dalam Islam. Terlebih, pengajuan dan pengesahan RUU tersebut pada dasarnya dimotivasi oleh keberadaan UU sejenis sebelumnya yang faktual tak berlaku efektif bagi pelanggarnya, yakni Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951 yang mengatur pornografi dan pornoaksi dalam Buku Kedua KUHP Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan serta Buku Ketiga Bab VI tentang Pelanggaran Kesusilaan.[21]
            Pada tataran ini, penelaahan kita atas habitus menemui relevansinya dalam penelitian yang dilakukan Burhan Bungin dengan sampel usia remaja. Perolehan atas 5,25% responden remaja  yang sangat aktif menjalankan ajaran agama, 46,25% aktif dan 45,50% sisanya terkadang, keseluruhan dari 97% remaja-remaja di atas mencerminkan situasi keagamaan dalam hidupnya. Di satu sisi, 92,50% responden di antaranya berasal dari keluarga harmonis dan saat penelitian berlangsung 83,25% mayoritas responden tinggal bersama orang tua, kesemua hal di atas tampak mempengaruhi pandangan atas pornografi dan pornoaksi di mana mayoritas responden penelitian menolak prilaku tersebut.[22]
            Namun demikian, pada tahapan lebih lanjut bisa jadi aktif-tidaknya seseorang dalam menjalankan ajaran agama tak memiliki pengaruh signifikan atas orientasi prilaku seks terkait pornografi dan pornoaksi, hal yang demikian wajar kita jumpai pada entitas keagamaan berhalauan liberal yang lebih doyan bicara kontekstual ketimbang tekstual. Dapatlah dianalisis bahwa dalam ranah ini kontrasnya perspektif dibandingkan mereka yang kerap dicap “fundamental“ begitu tampak. Dengan demikian, sudah semestinya kita menginsyafi bahwa persoalan yang terjadi demikian ruwetnya, pornografi dan pornoaksi tak sesederhana berkutat pada prihal pro ataukah kontra melainkan menyangkut mereka pihak-pihak yang setuju ataukah tidak dengan penerapan “syariah“.  
            Kubu pro syariah menganggap hukum-hukum Allah merupakan satu-satunya solusi atas krisis multidimensional bangsa baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Anggapan tersebut tak lepas dari romantisme sejarah kejayaan Islam masa lampau serta-seperti apa yang telah disinggung sebelumnya-adanya nilai-nilai yang dipegang teguh melampaui asas manfaat. Beberapa contoh organisasi tersebut antara lain Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), Jamaah dan Imamah (JI), Hizbut Tahrir (HT), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Pelajar Islam Indonesia (PII) dan sebagainya. Semua gerakan di atas, terkecuali PII memiliki metode kaderisasi dan pendidikan tersendiri berupa halaqah atau liqo[23]. Secara singkat, layaknya Aristoteles, kelompok ini menganggap bahwa transendensi merupakan ultimate value ’nilai tertinggi’ dalam kehidupan.
            Berseberangan dengan mereka yang menganggap nilai-nilai transendensi sebagai ultimate value, berbagai kelompok kontra UU APP serta syariah yang kerap dijuluki sebagai golongan “sekuler-liberal“ mengajukan beberapa argumen terkait pluralisme kultur, kebebasan beragama dalam artian hubungan dengan nilai-nilai transendensi harusnya tak dibawa pada ranah publik dan terutama prihal kebebasan berekspresi dalam ranah seni berikut literatur mengacu pada UU No. 40/1999 Tentang Pers.[24] Keberadaan UU tersebut tak dapat dipungkiri melahirkan “dualitas“ tak berkesudahan, yakni kebebasan pers yang telah sekian lama didambakan diikuti dengan ketidakjelasan batas-batas kebebasan pers itu sendiri yang faktual kerap menimbulkan polemik baru.  
            Pada dasarnya pola pikir dikotomis agama dalam kehidupan merupakan warisan sejarah renaissance Eropa abad 15-18, Nietzsche, salah seorang filsuf antipencerahan abad 19, berkata dalam Thus Spoke of Zarathustra, “Allah telah mati“, apa yang dimaksudkan Nietzsche adalah, ketika abad 15 hingga 16 pembicaraan mengenai teosentris masih nyaring terdengar, berbeda halnya pada abad 17 dan 18 di mana pembicaraan mengenai antroposentris telah jauh menggeser teosentris, di sinilah kematian tuhan pungkasnya yakni ketika manusia beralih dari iman ke ilmu pengetahuan modern yang ilmiah-rasional serta positivistik.[25] Diakui atau tidak, pola pikir yang demikian dilanggengkan oleh berbagai institusi pendidikan modern, dan perlu ditegaskan kiranya bukan menjadi hak kita menentukan benar-salah dalam hal ini.    
            Seperti apa yang telah disinggung sebelumnya bahwa penolakan atas UU APP tak hanya menyangkut “privatisasi“ agama melainkan pula pluralisme kultur dan kebebasan berekspresi dalam seni berikut literatur. Lebih jelasnya, dalam ranah pluralisme golongan kontra mengajukan objection pada semisal kultur Suku Asmat Papua dan Suku Dayak Kalimantan yang mengenakan “pakaian kebesaran adat“ berupa koteka,[26] sedang dalam ranah seni serta literarur, seperti apa yang telah disinggung sebelumnya terkait “kematian tuhan“, hukum-Nya kini “terbatas“ mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Namun, di samping semua hal di atas terdapat satu faktor penting lain yang tak dapat diremehkan begitu saja yakni konstelasi suatu pemerintahan.
            Reformasi pada akhir dekade 1990-an tanpa disertai konsep dan postulat yang jelas menghantarkan Indonesia pada euforia demokrasi. Pada era ini dengan melihat sekitar diskursus pornografi dan pornoaksi yang terjadi, Indonesia lebih tampak sebagai prototipe dari clash of civilization–Samuel Huntington-antara mereka yang dipengaruhi norma dan nilai Barat versus golongan fundamental yang menghendaki diterapkannya hukum-hukum tuhan di muka bumi.[27] Dalam hal ini posisi pemerintah (faktor politik)  begitu penting mengingat, semisal penerapan syariah Islam di Nanggroe Aceh Darussalam berikut batasan serta konstruksi mengenai pergaulan dan aurat secara tak langsung membentuk pemahaman serupa bagi warganya,[28] meski tak dipungkiri memang beberapa pelanggaran masih juga terjadi.  
Doxa Sebagai Solusi?
            Uraian singkat sebelumnya telah menunjukkan bagaimana masing-masing pihak pro-kontra pornografi dan pornoaksi bersikukuh dengan argumennya seolah jalan temu antarkeduanya mustahil tercapai. Bila sebelumnya penelaahan atas benturan tersebut telah dilakukan melalui konsep habitus Bourdieu, kiranya ditemui pula konsep “doxa“ darinya memiliki kemungkinan memecahkan kebuntuan ini.
Bagi Bourdieu, doxa terbentuk melalui keseluruhan sistem klasifikasi yang menerapkan berbagai batasan kesadaran sekaligus menghasilkan kesalahpengenalan atas kearbitreran (keberubahan konstan) sistem, yakni dengan tujuan penyesuaian mental dengan struktur objektif.[29] Dengan kata lain, doxa dapat pula disebut sebagai “lompatan habitus“. Namun demikian, harus diakui memang “kemunculan asali“ atau causa prima  doxa sendiri masih juga dipertanyakan, apakah ia lahir melalui orisinalitas individu yang dengan demikian lekat dengan pemahaman Epicurus dan Sartre mengenai otonomi manusia, ataukah doxa merupakan pengejawantahan takdir tuhan yang dengan demikian kental dengan perspektif Zeno, Plato dan Hegel-diskusi dalam hal ini masih juga berlangsung.   
            Di satu sisi, lompatan habitus inilah yang kiranya menjadi titik cerah kemungkinan dua kubu pro-kontra pornografi dan pornoaksi dicarikan jalan tengah-dijembatani. Dalam hal ini, penerapan doxa bakal menuntut transformasi aktif masing-masing pihak yang bertikai, kelompok fundamental “dipaksa“ keluar sejenak dari kerangkai besinya, begitu pula sebaliknya dengan golongan sekuler-liberal. Hal tersebut dapat berlaku entah melalui “pembenahan kesadaran“ atau “pengurangan serta pereduksian tuntutan“ masing-masing pihak sehingga konstruksi dialektika mampu  mendamaikan keduanya. Dengan kata lain, “keluarnya“ masing-masing pihak dari habitusnya diharapkan mampu membentuk habitus baru yang lebih akomodatif, yakni “struktur mental dan kognitif baru“ yang diharapkan mampu mengatasi kesenjangan, menjembatani serta merangkul semua pihak.        
Kesimpulan dan Penutup
             Melalui berbagai penjabaran di atas, dapatlah dianalisis bahwa pendidikan yang memiliki andil mewariskan habitus cukup berperan dalam polemik sekitar pro-kontra pornografi dan pornoaksi yang terjadi-terkait pula dengan pro-kontra penerapan syariah. Golongan yang mengamini penerapan UU APP faktual tumbuh dalam keluarga agamis, begitu pula dengan berbagai organisasi pendukung yang memiliki bentuk-bentuk metode pendidikan layaknya halaqah dan liqo. Di sisi lain, berbagai kelompok anti-UU APP umumnya hadir melalui kalangan intelektual, akademisi jebolan institusi pendidikan modern semisal universitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai sekulerisme, pluralisme, konstruktivisme berikut relativisme. Dengan demikian, tak berlebihan bila perdebatan dan pertentangan yang terjadi antarkedua golongan tersebut diistilahkan dengan “duel habitus“ yakni dua “struktur yang menstruktur“ yang saling berhadapan satu sama lain guna “menghadapi satu dunia“-terjadi dalam satu ranah.   
            Namun demikian, pemikiran Bourdieu terkait doxa memberi kemungkinan ditemuinya jalan tengah bagi masing-masing pihak berseteru, yakni melalui tuntutan transformasi aktif guna sejenak keluar dari habitus kedua belah pihak demi terciptanya  habitus baru yang lebih akomodatif, “satu struktur yang menstruktur untuk menghadapi dunia yang sama“. Kiranya demikian analisis sekitar pro-kontra pornografi dan pornoaksi melalui konsep habitus Pierre Bourdieu disusun...


¥

Buku
§  Djubaedah, Neng. 2004. Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam. Bogor: Kencana.
§  Muntaqo, Lutfan. 2006. Porno; Definisi dan Kontroversi. Yogyakarta: Jagad Pustaka. 
§  Hardiman, F. Budi. 1990. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius. 
§  Harker (et al.), Richard. 2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Yogyakarta: Jalasutra.
§  Ritzer, George-Goodman, Douglas J. 2006. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.  
§  Zeitlin, Irving M. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
§  Bungin, Burhan. 2005. Pornomedia. Jakarta: Kencana. 
§  Deleuze, Gilles. 2002. Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Ikon.
§  Huntington, Samuel P. 2006. Benturan Antarperadaban. Yogyakarta: Qalam.

Internet
§  Ani, PDI-P dan PDS “Walk Out”, http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/30/11001348/PDIP.dan.PDS.WO
§  Ing, Balkan Kaplale Terima 6.013 SMS, http://kompas.co.id/read/xml/2008/10/28/18221583/balkan.kaplale.terima.6.013.sms




[1] RUU APP yang diajukan Komisi Fatwa MUI dapat dilihat dalam Neng Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, Kencana, Bogor, 2004, h. 367-386.   
[2] Ani, PDI-P dan PDS “Walk Out”, http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/30/11001348/PDIP.dan.PDS.WO
[3] Neng Djubaedah, op. cit., h. 21 & Lutfan Muntaqo, Porno; Definisi dan Kontroversi, Jagad Pustaka, Yogyakarta, 2006, h. 7.  
[4] Ing, Balkan Kaplale Terima 6.013 SMS, http://kompas.co.id/read/xml/2008/10/28/18221583/balkan.kaplale.terima.6.013.sms
[5] Sekilas positivisme dapat dilihat dalam F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius, Yogyakarta, 1990, h. 23-26.  
[6] Richard Harker (et al.), (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, Jalasutra, Yogyakarta, 2005, h. vii-x.
[7] Ibid., h. xv.
[8] George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2006, h. 518.
[9] Richard Harker (et al.), op. cit., h. 13.
[10] Loc. cit.   
[11] George Ritzer-Douglas J. Goodman, op. cit., h. 522.
[12] Loc. cit.
[13] Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, h. 338.
[14] Richard Harker (et al.), op. cit., h. xx-xxi.
[15] George Ritzer-Douglas J. Goodman, op. cit., h.528, 530.
[16] Neng Djubaedah, op. cit., h. 138.
[17] Lutfan Muntaqo, op. cit., h. 12.
[18] Ibid., h. 13.
[19] Ibid., h. 15-28.
[20] Neng Djubaedah, op. cit., h. 130.
[21] Ibid., h. 21 & Lutfan Muntaqo, op. cit., h. 7.  
[22] Burhan Bungin, Pornomedia, Kencana, Jakarta, 2005, h. 208.  
[23] Halaqah atau liqo merupakan bentuk pengkajian masalah agama, sosial, politik, ekonomi dan budaya dalam ranah Islam-Ideologis yang umumnya dilakukan rutin satu kali dalam seminggu.   
[24] Lutfan Muntaqo, op. cit., h. 1, 62-63, 78.
[25] Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, Ikon, Yogyakarta, 2002, h. 214-220.
[26] Lutfan Muntaqo, op. cit., h. 16.
[27] Selengkapnya baca Samuel P. Huntington, Benturan Antarperadaban, Qalam, Yogyakarta, 2006.
[28] Lutfan Muntaqo, op. cit., h. 22-23.
[29] Richard Harker (et al.), op. cit., h. 20 & 32.  

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger