"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Jumat, 11 Maret 2011

EKSISTENSIALISME JEAN PAUL SARTRE SEBAGAI SOLUSI ATAS “ONE DIMENSIONAL SOCIETY”

EKSISTENSIALISME JEAN PAUL SARTRE
SEBAGAI SOLUSI ATAS “ONE DIMENSIONAL SOCIETY”
By Wahyu Budi Nugroho
Frankfurt Schule
            Institut fur Socialforschung yang didirikan para intelektual Universitas Frankfurt atau yang kemudian lebih populer dengan sebutan Cafe Marx menjadi cikal bakal kelahiran Mahzab Frankfurt. Gerakan intelektual multidisipliner tersebut-dari ranah teologi hingga filsafat-memiliki kesamaan semangat intelektual yakni dalam upayanya mengembalikan tradisi kritis Marx yang mulai pudar, terlebih dengan munculnya pelembagaan marxisme dalam bentuk rezim komunis Soviet. Beberapa tokoh menonjol generasi pertama mahzab frankfurt antara lain Herbert Marcuse, Theodore Adorno, Max Horkhaimer-terkenal dengan Dialektika Pencerahan-berikut  Erich Fromm.[1]
            Teori kritis-berbeda dengan “teori sosial kritis”[2]-yang ditawarkan mahzab frankfurt pada hakekatnya merupakan perpaduan unik antara pemikiran Hegel, Marx dan Freud yang memiliki beragam perspektif dalam memaknai istilah “kritik”. Dalam hal ini, teoretisi kritis mahzab frankfurt dikenal luas dengan kerapnya kritik yang mereka lancarkan atas ideologi, positivisme, postmodernisme dan kehidupan masyarakat modern. Hal tersebut tak mengherankan mengingat tradisi emansipatoris ‘pembebasan’ yang mereka bawa. Di satu sisi, tradisi emansipatoris frankfurt schule tak pelak memunculkan “methodenstreit” atas kubu positivisme yang salah satunya diwakili Sir Karl Popper. Berseberangan dengan mahzab frankfurt, positivisme menganggap bahwa ilmu pengetahuan haruslah bebas nilai dan sekedar bertugas menjelaskan fenomena sosial.[3] Faktual, perdebatan antarkeduanya tak jua menjumpai titik temu  hingga kini.
            Namun demikian, dalam perkembangannya mahzab frankfurt mengalami kebuntuan dalam upayanya melakukan pembebasan masyarakat. Begitu juga, di satu sisi hubungan harmonisnya dengan gerakan mahasiswa yang dikenal dengan sebutan New Left ‘Kiri Baru’ harus berakhir pada tahun 1967 akibat penolakan atas prilaku anarkis mahasiswa guna menghancurkan tatanan sistem yang hipokrit.[4] Terkait dengan kebuntuan emansipatoris masyarakat frankfurt schule, hal tersebut begitu erat kaitannya dengan istilah one dimensional society cetusan Marcuse.
One Dimensional Society
            One dimensional society ‘masyarakat dengan kesadaran satu dimensi’ merupakan istilah yang digunakan Marcuse guna mempresentasikan “masyarakat yang lumpuh daya kritisnya”.[5] Penelaahan kita lebih dalam atas konsep one dimensional society tak dapat lepas dari catatan sejarah dan sepak terjang kapitalisme. Kapitalisme yang menurut Marx lahir pada abad 15 melalui pertumbuhan sejarah dan proses pengambilalihan yang juga menandai pergeseran “produksi untuk kegunaan” menjadi “produksi untuk pertukaran” faktual tak menemui kehancuran total seperti apa yang diprediksinya akibat overproduksi sirkuit modal (U-K-U-U¹-U²...).[6] Dalam hal ini, John Maynard Keynes melalui konsep wellfare state yang ditawarkannya didaulat sebagai dokter kapitalisme yang tengah sekarat di era 1930-an. Di satu sisi, ekonomi keynesian tak hanya berdampak pada selamatnya kapitalisme yang tengah dirundung masa-masa kritis, tetapi juga memunculkan kelas baru dalam masyarakat yakni kelas menengah (middle class) yang segera terintegrasi dalam sistem kapitalisme kemudian.[7]  
            Pada tahapan spat kapitalismus ‘kapitalisme lanjut’ kemampuan lebih dalam beradaptasi menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya. Berlalunya depresi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa-terutama setelah Perang Dunia II-mengiringi perubahan sepak terjang kapitalisme yang kental dengan eksploitasi semena-mena dan berbagai bentuk penindasan lainnya pada “kapitalisme yang humanis”. Kapitalisme dengan wajah humanis tak segan-segan memberikan jaminan kesehatan, asuransi, bonus akhir tahun dan sebagainya guna merangsang produktivitas. Pada tahapan ini, cara-cara eksploitatif telah ditinggalkan kapitalis dan sebagai gantinya ia memunculkan apa yang disebut dengan budaya massa atau budaya pop yang seolah-olah meleburkan pertentangan kelas di dalamnya. Logika kapitalisme pun telah berubah, ia tak lagi berpikir bagaimana memproduksi barang dengan biaya semurah mungkin melainkan memproduksi berbagai kebutuhan dengan penciptaan image ‘pencitraan’ melalui iklan-iklan.[8]
            Dalam kapitalisme lanjut nilai guna suatu komoditas tereduksi sedemikian rupa, dalam artian, suatu barang tidaklah menjadi populer dikarenakan kegunaannya melainkan terkait bagaimana komoditas tersebut diinterpretasikan, sebagai misal anak muda yang lebih memilih membelanjakan uangnya untuk membeli sepatu nike ketimbang sepatu cap cibaduyut karena dinilai lebih “gaul” dan sebagainya. Bagi Marcuse, masyarakat yang demikian lebih condong pada modus to have ‘memiliki’ ketimbang to be ‘menjadi’, sebagai misal, seseorang merasa telah mencapai kesuksesan bila memiliki rumah elite, mobil BMW, beberapa stel jas armani dan sebagainya, inilah esensi dari konesp one dimensional society yang dicetuskan Marcuse.[9]
Media Iklan dan Penciptaan “One Dimensional Society”
     Plesetan film James Bond, Die Another Day menjadi Buy Another Day kiranya cukup mempresentasikan bagaimana peran strategis media massa dalam upaya memasarkan dan mengkonstruksi image berbagai produk kapitalis. Seperti kita ketahui, dalam film tersebut James Bond menggunakan berbagai barang bermerk seperti jam tissot, jas armani dan mobil BMW, di satu sisi hal tersebut menunjukkan analisis Denzin terkait “sumpah” kapitalis yang bakal memasarkan berbagai produknya dengan cara yang tak diduga-duga masyarakat, singkatnya, Denzin melihat dua “muatan besar“ yang dibawa media massa baik cetak maupun elektronik yakni budaya perlawanan atau pemberontakan serta budaya konsumerisme.[10]
            Salah seorang sosiolog kenamaan Inggris, Anthony Giddens, berupaya meyakinkan bahwa saat ini kita hidup dalam era postmodern. Era tersebut, selain ditandai dengan dominannya peran sektor jasa-konsumsi-ketimbang produksi, terutama ditandai dengan berubahnya pola produksi manufaktur pada produksi informasi. Dengan demikian, hal tersebut berdampak pada “serangan bertubi-tubi informasi” pada individu atau masyarakat sehingga dapatlah dianalisis bahwa media memiliki peran sentral di era kontemporer, mereka yang menggenggam media “memiliki kuasa penuh guna menghinakan atau memuliakan suatu isu”.[11]
            Terkait dengan sentralnya peran media di era kontemporer, meskipun analisis Baudrillard menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap media-terutama di negara maju-telah jauh berkurang yakni terkait dengan pemberitaan isu-isu politik, namun tidak demikian halnya dengan peran media dalam penciptaan one dimensional society seperti apa yang telah disinggung sebelumnya. Dalam hal ini, Baudrillard melalui konsep hiper-Realitas yang dikemukakannya menemui fakta “efektifnya” serangan berbagai produk kapitalis pada masyarakat  melalui iklan-iklan yang ada meskipun sering kali hal tersebut di luar jangkauan logika.[12]
            Di satu sisi, selain berdampak pada terkonstruksinya “masyarakat dengan kesadaran tunggal”, berbagai iklan yang muncul dalam bentuk banner, plakat-plakat jalanan dan sebagainya faktual memunculkan pula apa yang disebut dengan “sampah visual”. Sampah visual merupakan kebiasaan kapitalis di mana upayanya “mencekoki” masyarakat dengan berbagai produk yang ditawarkan justru berdampak pada kelelahan visual dan pikiran masyarakat. Bisa jadi, masyarakat yang berlalu-lalang di jalanan terpesona dan menginginkan suatu produk namun tak dapat memilikinya karena tak mempunyai daya beli yang memadai. Di sisi lain, kelelahan visual dan pikiran masyarakat dapat pula menjangkiti namun bukan dikarenakan ketidakmampuan daya beli melainkan ketiadaan nilai guna komoditas tersebut baginya. Lebih jauhnya, penelaahan lebih dalam atas sampah visual menghantarkan kita pada terdistorsinya public sphere ‘ruang publik’.  Bagi Habermas, public sphere haruslah suatu ruang yang bebas dari distorsi, penindasan dan sejenisnya, yakni suatu ruang yang seyogyanya dapat digunakan masyarakat untuk membuang ampas-ampas, kotoran, stres, dan berbagai tekanan dalam pikirannya.[13] Kesemua hal tersebut, baik one dimensional society maupun sampah visual berikut terdistorsinya public sphere disadari atau tidak berdampak pada munculnya alienasi pada diri manusia.                   
Kegagalan Frankfurt Schule
Mengatasi “One Dimensional Society”
            Telah disinggung sebelumnya bahwa mahzab frankfurt mengalami kebuntuan dalam upaya emansipatoris masyarakat terkait penindasan laten dalam one dimensional society. Kegagalan frankfurt schule tersebut setidaknya disebabkan oleh beberapa hal, pertama, gerakan mahasiswa yang berubah anarkis dan tak mencerminkan peranannya sebaga agent of change, kedua, hubungan antara intelektual frankfurt dengan masyarakat-terutama kelas pekerja-lebih condong pada paradigma kerja yang bersifat subyek-obyek dan ketiga, kapitalisme yang telah terlalu jauh mencengkram kehidupan masyarakat-total cooptation of capitalism.[14]
            Terkait dengan paradigma kerja yang dominan dalam hubungan antara frankfurters dengan kelas pekerja, kesan yang timbul kemudian seolah menempatkan pekerja sebagai objek, di satu sisi hal tersebut dibuktikan dengan ketiadaan komunikasi yang dibangun sebelumnya antarkedua belah pihak, oleh karenanya Jurgen Habermas-generasi kedua mahzab frankfurt-berupaya melakukan revisi atasnya melalui paradigma komunikasi. Penyebab kedua yakni kooptasi total kapitalisme dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat mengakibatkan samarnya penindasan yang terjadi berikut teredamnya berbagai bentuk perlawanan atasnya. Sebagai misal, seorang pekerja dapat menggunakan pakaian bermerk atau pergi ke gedung bioskop yang sama layaknya si bos, dengan demikian hal tersebut berdampak pada kelas pekerja yang tak merasakan bentuk-bentuk penindasan kapitalisme terhadapnya. Di satu sisi, teredamnya berbagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme dapat dilihat melalui kooptasi celana jeans oleh kapitalis yang pada awalnya menjadi simbol perlawanan kaum hippies atasnya, begitu juga, dapat pula ditilik melalui fenomena t-shirt Marx, Che dan Lenin yang telah tersedia di butik-butik elit terdekat.[15]
            Harus diakui memang, kebuntuan mahzab frankfurt dalam upaya menghancurkan konstruksi “masyarakat dengan kesadaran tunggal” telah disusul dengan upaya keras Habermas merevisinya melalui Theory of Communicative Action,[16] namun tak dapat dipungkiri bahwa konsep tersebut masih juga belum memiliki praksis yang jelas hingga kini. Oleh karena itu, cukup bijak kiranya mempertimbangkan salah satu arus pemikiran besar yang sempat populer di era 1940-an hingga 1970-an yakni eksistensialisme mengingat kentalnya muatan kuasa agensi dalam mendobrak konstruksi maupun struktur sosial yang ada.
Eksistensialisme Jean Paul Sartre
            Cukup sulit memastikan kapan eksistensialisme untuk pertama kali lahir, namun banyak pihak meyakini berbagai pemikiran mengenai alienasi dan kesendirian manusia filsuf melankolis Denmark, Soren Kierkegaard sebagai awal kemunculan eksistensialisme. Di satu sisi, terdapat pula anggapan yang menyatakan Thus Spoke of Zarathustra karya filsuf anti-Pencerahan abad 19, Nietzsche yang mewartakan “kematian Allah” sebagai embrio filsafat tersebut. Apabila pengkajian lebih dalam atas eksistensialisme dilakukan, maka ditemui bahwa kemunculan filsafat tersebut pada hakekatnya merupakan suatu bentuk reaksi dan pemberontakan terhadap idealisme yang sekedar menempatkan manusia sebagai pengejawantahan ruh absolut berikut matrealisme yang sekedar menyederhanakan manusia sebagai materi.[17]       
Pada perkembangannya kemudian, munculah berbagai pemikir yang menamakan diri atau mewarisi tradisi pemikiran eksistensialisme baik bagi mereka yang tergolong theis maupun atheis. Berbagai tokoh eksistensialisme religius antara Karl Jaspers, Paul Tillich, Rodaf Batman, Gabriel Marcel, Nicolai Berdyaev dan Martin Buber, sedangkan mereka yang tergolong atheis seperti Martin Heidegger, Albert Camus, Dostoevsky, Maurice Ponty dan Jean Paul Sartre.[18]  
Diakui atau tidak, eksistensialisme sempat merajai dunia intelektual Eropa selama hampir tiga dekade lamanya. Dalam hal ini, Jean Paul Sartre (1905-1980) didaulat sebagai tokoh terpenting dalam arus pemikiran tersebut melalui eksemplar Being and Nothingness dan Existentialism and Humanism. Sartre, dalam Existentialism and Humanism (1946) mendefinisikan eksistensialisme sebagai aliran, ajaran atau pemahaman yang menempatkan “eksistensi mendahului esensi” (existence precedes essence). Secara singkat, apa yang dimaksud Sartre adalah sesuatu barulah dapat dimaknai ketika sesuatu tersebut “ada” terlebih dahulu, sebagai misal, Sartre mengatakan,

“…pertama-tama manusia ada, berhadapan dengan dirinya sendiri, terjun ke dalam dunia-dan barulah setelah itu ia mendefinisikan dirinya…Ia tidak akan menjadi ‘apa-apa’ sampai ia menjadikan hidupnya ‘apa-apa’…manusia adalah bukan apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri, itulah prinsip pertama eksistensialisme”.[19]

            Terdapat beberapa ide yang ditawarkan eksistensialisme Sartre, antara lain kebebasan dan pilihan, etre en soi dan etre pour soi, kesadaran reflektif dan nonreflektif, mauvaise foi, faktisitas serta other is hell. Kiranya dalam pembahasan ini beberapa di antara ide tersebut begitu potensial ditempatkan sebagai kunci guna melakukan dekonstruksi atas one dimensional society. Harus diakui memang, hal tersebut dapat terdengar sedikit menggelitik mengingat eksistensialisme yang sejak awal ditempatkan vis a vis frankfurt schule.[20]
Eksistensialisme Sartre Versus “One Dimensional Society”
            Eksistensialisme kerap dituduh sebagai filsafat kaum borjuis, namun keberadaan gelandangan, pengangguran serta kaum kumuh bantaran kota yang mengatasnamakan diri sebagai “eksistensialis” praktis menggugurkan seluruh anggapan tersebut.[21] Namun demikian, tuduhan yang dialamatkan padanya sebagai filasafat individualis dan antisosial memanglah tak dapat dipungkiri mengingat penajisannya pada orang lain sebagai “neraka”.[22] Meskipun berbagai pelabelan tersebut mewarnai catatan sejarah perjalanan eksistensialisme, namun seperti apa yang telah disinggung sebelumnya, ditemui beberapa muatan di dalamnya yang begitu potensial merevisi kebuntuan mahzab frankfurt dalam upaya emansipatoris “masyarakat dengan kesadaran tunggal”.    
Kebebasan dan Pilihan          
            Dalil utama eksistensialisme yakni “eksistensi mendahului esensi” bagi Sartre mengindikasikan ketiadaan tuhan, oleh karenanya kabar baik bagi manusia adalah keberadaannya yang bebas-sebebasnya di dunia ini bahkan menurutnya manusia adalah kebebasan itu sendiri.[23] Terlebih, dengan pernyataan Sartre bahwa pertama-tama manusia “ada” dan ia bukanlah “apa” atau “siapa” sebelum memaknai dirinya sendiri, tak ada kuasa bagi orang lain atau masyarakat memaknai dirinya karena pada hakekatnya keberadaannya adalah sui generic.  
Dengan tiadanya tuhan maka manusia tak memiliki patokan baku dalam penyusunan etika, nilai dan norma bagi dirinya, maka ia secara otonom memiliki pilihan bebas guna menentukan apa yang dianggapnya baik, dicita-citakan serta bagaimana seharusnya bertingkah laku. Dalam ranah spat kapitalismus, pemahaman yang demikian kiranya potensial menghindarkan individu pada bentuk-bentuk “pencekokan” nilai dan norma oleh para pemilik modal (baca: kapitalis). Dalil pertama eksistensialisme di atas faktual telah menunjukkan penolakan kerasnya atas one dimensional society yakni masyarakat yang terseragamkan oleh kapitalis, yang dengan demikian masing-masing individu lenyap keotentikannya. Dalam ranah praksis, sebagai misal, dalil tersebut mengisyaratkan ajakan pada masing-masing individu untuk tidak sekonyong-konyong mempercayai bahwa manusia yang utuh adalah mereka yang telah memiliki rumah elite, mobil BMW, beberapa stel jas armani, sepatu nike dan sebagainya layaknya apa yang dikonstruksikan kapitalis pada mereka melalui berabagai media iklan.
Etre En Soi & Etre Pour Soi
            Pemikiran Sartre dikenal pula sebagai bentuk ontologi radikal dengan oposisi biner di dalamnya-essay on phenomenological ontology. Hal tersebut tampak melalui upaya Sartre mendikotomikan segala sesuatu ke dalam etre en soi dan etre pour soi. Bagi Sartre, etre en soi ‘berada dalam dirinya’ merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan segala sesuatu yang tak memiliki kesadaran, sebagai misal kursi, meja dan bangunan. Berbagai benda tersebut faktual tak berkesadaran, dengan demikian tak memiliki tujuan atas eksistensinya, dengan kata lain tujuan keberadaannya sepenuhnya ditentukan oleh pihak lain. Namun demikian, etre en soi memiliki kelebihan yakni bahwa ia sempurna, ia tak memiliki celah atau kekosongan untuk dikritisi, ia sempurna sebagai kursi, meja, bangunan dan sebagainya.[24]
            Berseberangan dengan etre en soi, bagi Sartre etre pour soi merupakan segala sesuatu yang berkesadaran, dalam hal ini manusia itu sendiri. Kesadaran yang dimiliki manusia mau tak mau menuntutnya untuk memaknai dan menentukan tujuan hidupnya sendiri-bukannya ditentukan pihak lain. Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa etre pour soi memiliki kekurangan yakni celah dan kekosongan yang ditandai dengan selalu munculnya berbagai keinginan pada diri manusia.
            Menurut Sartre, pada hakekatnya manusia selalu ingin menjadi sempurna-tak memiliki celah dan kekosongan-serta tetap berkesadaran yakni etre en soi-etre pour soi, namun yang demikian hanyalah sifat tuhan semata. Oleh karena itu, secara tragis Sartre menyimpulkan bahwa, “human is useless passion!” (manusia adalah hasrat kesia-siaan!).[25]
            Terkait pengkajian atas one dimensional society, bila masing-masing individu  memahami eksistensinya sebagai useless passion ‘hasrat kesia-siaan’ kiranya hal tersebut bakal “menyadarkan” bahwa berjubel keinginan yang dimilikinya pada produk-produk kapitalis merupakan suatu hal yang sia-sia dan tak berkesudahan. Dengan demikian, human as useless passion diharapkan mampu meredam budaya konsumerisme di era kapitalisme lanjut, individu tak lagi terjebak pada konsumsi berdasarkan “gaya hidup” melainkan “kebutuhan hidup”.
Mauvaise Foi
            Mauvaise foi merupakan istilah yang digunakan Sartre guna menunjukkan seseorang dengan “keyakinan yang buruk”. Eksistensialisme Sartre memberikan dua pilihan besar dalam kehidupan manusia, yakni hidup secara otentik ataukah hidup dengan mauvaise foi ‘keyakinan buruk’.[26]
Bagi Sartre, seseorang dikatakan hidup secara otentik jika ia menolak segala aturan, hukum, nilai dan norma berikut berbagai bentuk streotipe dan pelabelan yang dikenakan padanya, dengan asumsi “hukum universal tak tertulis di langit sana”. Singkatnya, seseorang yang hidup otentik adalah mereka yang menyadari bahwa eksistensinya di dunia adalah bebas sebebas-bebasnya, bahkan kebebasan itu sendiri. Sebaliknya, menurut Sartre seseorang dapat dikatakan hidup dengan “keyakinan buruk” bila ia menganggap dirinya terikat oleh berbagai aturan dan hukum yang ada, dalam hal ini aturan dan hukum tuhan, nilai dan norma masyarakat, berbagai bentuk stereotipe dan pelabelan lainnya.    
Eksistensialisme Sartre yang dalam hal ini menganjurkan manusia untuk hidup secara otentik, di satu sisi memiliki signifikasi dalam upaya mendobrak berbagai konstruksi spat kapitalismus. Sebagai misal, seorang eksistensialis tak ambil pusing ketika ia dilabelkan “kuno” atau “tak gaul” karena tak menggunakan produk terbaru kapitalis, sang eksistensialis itu sendirilah yang memiliki kuasa penuh atas pemaknaan dan pelabelan atas dirinya. Secara singkat, ia memiliki pemaknaanya sendiri atas slogan-slogan “kuno” dan “tak gaul” tersebut-pemaknaan yang dilakukan melalui interpretasi pola pikirnya yang otonom.        
Other Is Hell
            Ide “other is hell” (orang lain adalah neraka) dalam eksistensialisme Sarte erat terkait dengan konsepnya mengenai faktisitas. Menurut Sartre faktisitas merupakan fakta-fakta yang tak dapat dihindari manusia, seperti time ‘waktu’, past ‘masa lalu’, place ‘tempat’ dan other ‘orang lain’. Terkait salah satu bentuk faktisitas berupa other ‘orang lain’ (liyan), Sartre menegaskan bahwa keberadaan liyan selalu mengancam eksistensi diri. Hal tersebut dikarenakan eksistensi liyan yang selalu mengobjekkan diri kita, oleh karenanya tak heran Sartre menajiskan orang lain sebagai “neraka”.[27]      
            Secara konkret hal di atas dapat dimisalkan dengan kesendirian saya di sebuah kelas, ketika hal tersebut tengah berlangsung maka semisal kursi, meja dan papan tulis menjadi objek saya-ataupun segala sesuatu yang berada pada jangkauan penglihatan saya. Namun, ketika orang lain datang di kelas tersebut, situasi berbalik di mana sayalah yang menjadi objek kemudian, saya tersipu malu, tertindas, orang tersebut telah merenggut dunia saya.
            Di era kontemporer, di mana totalisasi kapitalisme telah mencengkram berbagai sendi kehidupan masyarakat maka hal tersebut merupakan faktisitas. Melalui berbagai gelagatnya tampaklah jelas bahwa kapitalisme dan berbagai pihak yang telah terjerat maupun terintegrasi di dalamnya mengobjekkan indivisu di luar in group-nya. Mereka membuat konstruksi mengenai kebaikan, kecantikan, kemajuan, kecanggihan dan lain sebagainya. Dalam hal ini, individu yang tak memiliki kapasitas mental memadai dapat dipastikan dengan mudah terjerat ke dalam jaring “penyeragaman” kapitalis tersebut. Namun, tak demikian halnya dengan seorang eksistensialis, sebagai respon atas faktisitas tersebut ia akan segera mengalihkan perhatian, tak mengacuhkan dan merubah struktur tersebut sebagai “neraka”-oleh karenanya syarat dijauhi.
Kesimpulan dan Penutup
            Melalui berbagai uraian yang telah dijabarkan di atas dapatlah dianalisis bahwa kebuntuan frankfurt schule dalam upayanya melakukan emansipatoris masyarakat terkait latensi penindasan dalam one dimensional society memberikan secercah harapan bagi eksistensialisme Jean Paul Sartre guna merevisinya. Disadari atau tidak, hal tersebut disebabkan oleh beberapa pemikiran eksistensialisme Sartre yang memang cukup responsif dalam menanggapi fenomena one dimensional society layaknya kebebasan dan pilihan, etre en soi-etre pour soi, mauvaise foi, other is hell berikut faktisitas.  
Dengan demikian, menjadi pertimbangan bijak bagi kita memberi kesempatan pada eksistensialisme Jean Paul Sartre guna memecah kebuntuan dalam upaya melakukan dekontruksi atas one dimensional society. Kiranya paper yang singkat ini akan saya tutup dengan diktum terkenal Sartre,

Ketika anda memilih, berarti anda memilih untuk seluruh umat manusia..”

Daftar Pustaka


§  Sartre, Jean Paul. 1956. Being and Nothingness. New York: Philosophical Library.
§  Sartre, Jean Paul. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
§  Palmer, Donald D.  2003. Sartre Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
§  Muzairi, H. 2002. Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
§  Marx, Karl. 2004. Kapital (Buku I). Jakarta: Hasta Mitra.
§  Agger, Ben. 2006. Teori Sosial Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
§  Mierson, George. 2003. Heidegger, Habermas dan Telepon Genggam. Yogyakarta:  Jendela. 
§  Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
§  Hardiman, F. Budi. 1990. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius.
§  Icksan, Achmad. 1985. Mahasiswa dan Kebebasan Akdemik. Yogyakarta: Hanindita.




[1] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2006, h. 43-44.
[2] Teori sosial kritis merupakan persamaan asumsi dari berbagai teori Eropa yang memungkinkan untuk saling bersintesis, dengan demikian memiliki cakupan yang lebih luas ketimbang teori kritis. Selengkapnya lihat Ben Agger, Teori Sosial Kritis, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2006. h. 4.
[3] Terkait “methodenstreit” baca F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius, Yogyakarta, 1990, h. 26-29.
[4] Donny Gahral Adian, op. cit., h. 45 & M. Achmad Icksan, Mahasiswa dan Kebebasan Akdemik, Hanindita, Yogyakarta, 1985, h. 35.
[5] Donny Gahral Adian, op. cit., h. 194.
[6] Karl Marx, Kapital (Buku I), Hasta Mitra, Jakarta, 2004, h. 800-821.
[7] Ben Agger, op. cit., h. 164.
[8] Donny Gahral Adian, op. cit., h. 193.
[9] Ibid., h. 194.
[10] Ben Agger, op. cit., h. 351.
[11] Donny Gahral Adian, op. cit., h. 62-64.
[12] Ibid., h...
[13] Ibid., h. 61.
[14] Ibid., h. 195.
[15] Ibid., h. 59, 193 & 196.
[16] Ibid., h. 60 & George Mierson, Heidegger, Habermas dan Telepon Genggam, Jendela, Yogyakarta, 2003.
[17] H. Muzairi, Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 26-45 & Donald D. Palmer, Sartre Untuk Pemula, Kanisius, Yogyakarta, 2003, h. 19-20.
[18] H. Muzairi, op. cit., h. 52-53.
[19] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 40-41, 44-45.
[20] Ben Agger, op. cit., h. 188.
[21] Donald D. Palmer, op. cit., h...
[22] H. Muzairi, op. cit., h. 174-175.  
[23] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, New York, 1956, h. 179.
[24] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, h. 74, Donald D. Palmer, op. cit., h. 102-104 &  H. Muzairi, op. cit., h. 111-127.
[25] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, h. 615.
[26] Donald D. Palmer, op. cit., h. 78.
[27] H. Muzairi, op. cit., h. 174-175.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Mantap pak, tetapi Poper bukan dari frankfurt, ia dari lingkaran Wina....hehe

Wbn mengatakan...

yak betul mas/mbak anonim; coba dicermati lagi kalimatnya: "Di satu sisi, tradisi emansipatoris frankfurt schule tak pelak memunculkan 'methodenstreit' atas kubu positivisme yang salah satunya diwakili Sir Karl Popper".
tengkyu,
hehehe

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger