"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Sabtu, 12 Maret 2011

KRITIK ATAS PEMBANGUNAN EKONOMI ORDE BARU

KRITIK ATAS PEMBANGUNAN EKONOMI ORDE BARU
TUMBUH DENGAN KEMISKINAN
Oleh: Wahyu Budi Nugroho


Pembangunan Ekonomi
            Kalimat “pembangunan ekonomi” perlu kita bedakan dari kalimat “pertumbuhan ekonomi” dan “perkembangan ekonomi” supaya jelas makna yang terkandung pada tiap-tiap kalimat tersebut serta meminimalisir kerancuan interpretasi. Menurut Soemitro Djojohadikusumo, kalimat “perkembangan ekonomi” menunjuk pada dinamika ekonomi dalam pandangan mahzab klasik, kalimat “pertumbuhan ekonomi” menunjuk pada dinamika ekonomi dalam bingkai mahzab neoklasik dan neokeynes, sedangkan kalimat “pembangunan ekonomi” menunjuk pada permasalahan ekonomi yang dihadapi negara-negara sedang berkembang.[1]      
Model-Model Pembangunan Ekonomi
            Model atau strategi pembangunan ekonomi secara umum diartikan sebagai sebuah pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan pembangunan, yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat. Revrisond Baswir menekankan adanya dua “strategi besar” pembangunan ekonomi dunia yaitu model strukturalis dan model neoklasik. Model atau strategi strukturalis menekankan perubahan struktur, sistem, berbagai kelembagaan atau institusi sosial yang ada di masyarakat serta kehidupan demokrasi di dalamnya sebelum pembangunan ekonomi dilaksanakan dengan harapan terminimalisirnya pihak-pihak yang dirugikan dalam pembangunan ekonomi.[2] Strategi ini antara lain dipopulerkan oleh Raul Prebisch, C. Furtando dan Dos Santos.[3] Sebaliknya, strategi neoklasik yang diusung oleh Hicks, Samuelson, Johnson-dan terutama Milton Friedmann, mengatakan bahwa kesejahteraan sosial secara otomatis akan didapat ketika terjadi pembangunan besar-besaran melalui industrialisasi, yakni mengharapkan apa yang mereka sebut dengan trickle down effect ‘efek rambatan’.[4]   
Kelahiran Orde Baru
            Orde Baru muncul sebagai respon atas penyelewangan ideologis dan kegagalan ekonomi Orde Lama. Penyelewengan ideologis terkait hubungan yang lebih condong pada Blok Timur, hal ini terbukti dengan pembagian negara-negara dunia oleh Soekarno menjadi Oldefo dan Nefo serta pembentukan poros Jakarta-Peking-Pyongyang.[5] Kegagalan ekonomi Orde Lama bagi banyak orang identik dengan kegagalan program “ekonomi berdikari” Soekarno yang dicetuskan melalui Dekon tahun 1963.[6] Soekarno yang di dalamnya menekankan pentingnya stand by own feet dengan menghujat IMF, “Go to hell with your aid!”-pada akhirnya konsep tersebut (ekonomi berdikari) dianggap banyak orang sebagai program yang utopis dan berakhir bersamaan dengan kejatuhan Soekarno pada tahun 1966.   
Istilah “Orde Baru” untuk pertama kali muncul sejak diselenggarakannya Seminar ke-II TNI/AD di SESKOAD Bandung pada tanggal 25-31 bulan Agustus 1966, ketika negara masih terlibat dalam konflik dualisme antara Soekarno dengan Soeharto. Istilah Orde Baru digunakan sebagai garis demarkasi rezim dan sikap mental dengan Orde Lama. Orde Baru, secara normatif adalah suatu tata politik dan tata ekonomi yang berlandaskan Pancasila, UUD 1945 serta mempunyai perincian idiil dan operasionil dalam ketetapan MPRS Sidang Umum yang ke-IV.[7]   
Di sisi lain, Orde Baru dalam kaca mata A. Umar Said, faktual adalah sebuah rezim yang dibangun dan dijalankan oleh kekuatan militer, bertindak otoriter, korup serta mengorbankan jutaan nyawa manusia dalam berdirinya. Argumen ini tidak mengherankan mengingat keterlibatan Orde Baru dalam pembantaian simpatisan PKI pasca gestok, pemenjaraan ratusan ribu orang tak bersalah, [8] penculikan aktivis-aktivis, peristiwa Aceh, Irian Jaya, Haur Koneng, Tanjung Priok, penyerbuan kantor PDI pada tanggal 27 Juli 1996, dll. [9]     
Model Pambangunan Ekonomi Orde Baru
            Dari dua strategi besar pembangunan ekonomi yang ada, tampaknya Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto lebih cenderung pada model ekonomi neoklasik, hal tersebut dilatarbelakangi oleh, pertama, keinginan mengejar ketertinggalan ekonomi dari negara-negara dunia pertama akibat kejatuhan ekonomi pemerintahan Soekarno di mana produksi dan investasi berbagai sektor menunjukkan kemunduran sejak tahun 1950[10] serta nilai hutang luar negeri yang telah mencapai lebih dari US$2 milyar dan berdampak pada laju inflasi 50% per bulan,[11] kedua, fakta dari suksesnya program Marshall Plan dalam rekonstruksi Eropa pasca Perang Dunia II. Dua alasan tesebutlah yang kemudian juga menjadi pembenaran Orde Baru guna “mengkebiri” hak-hak politik rakyat, yakni lebih mendahulukan fokus pembangunan pada pembenahan ekonomi ketimbang aspek politik.     
            Pada awalnya, kebijakan industrialisasi dicetuskan oleh Soemitro pada 1950-an, yakni industrialisasi pada tingkat kecil, menengah dan besar. Tampaknya, ketika beliau menjabat sebagai menteri perdagangan di era Orde Baru (1968-1973), idenya tentang industrialisasi benar-benar diwujudkan. Dalam riwayatnya, Soemitro memperoleh gelar Doktor dari Netherlands School of Economics, Rotterdam, 1943, sehingga tak mengherankan apabila dalam bahasa Mubyarto dan Revrisond Baswir beliau dianggap sebagai “ekonom terjajah”, yakni mereka yang telah terkooptasi atau terkungkung pada romantisme neoklasik.[12] Para ekonom terjajah lain yang memegang kemudi kebijakan Orde Baru semisal Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, M Sadli, Emil Salim dan Soebroto-khusus mereka sering disebut dengan nama “mafia berkeley”.[13]  
            Dalam menganalisis konsep pembangunan ekonomi Orde Baru semenjak tahun 1966 hingga 1998 (kurang-lebih 32 tahun), akan lebih jelas dan ringkas dengan membaginya dalam beberapa periode, antara lain periode pemulihan ekonomi (1966-1973), periode oil boom (1974-1982) dan periode liberalisasi ekonomi (1982-1997). Tiap-tiap periode atau tahapan tersebut memiliki ciri dan karakteristiknya masing-masing sehingga sistematisasi pemahaman konsep pembangunan ekonomi Orde Baru akan lebih mudah terbentuk.    
Pemulihan Ekonomi (1966-1973)
            Masalah ekonomi Orde Lama merupakan beban berat yang diwariskan pada Orde Baru, segera setelah menggantikan kedudukan Orde Lama, Orde Baru pada tahun 1967 mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA), diikuti dengan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN) pada tahun 1968. Dua kebijakan tersebut pada intinya memberikan peluang lebih luas bagi pemodal baik dari luar negeri maupun dalam negeri untuk berinvestasi di Indonesia, inilah era di mana industrialisasi Orde Baru dimulai.    
Dalam beberapa kurun waktu setelah dikeluarkannya kebijakan investasi di atas, tak dapat dipungkiri memang-terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Sektor pertanian memiliki laju pertumbuhan rata-rata naik dari 1,4% per tahun selama lima tahun pertama dasawarsa 1960-an menjadi 3,8% dalam tahun-tahun sesudahnya sampai tahun 1971, dan menjadi 3,7% selama periode 1971-1977. Tetapi setelah dasawarsa sesudah tahun 1965 bagian GDP yang berasal dari sektor pertanian turun dari 52% menjadi 35%, sedangkan bagian GDP yang berasal dari sektor pertambangan telah melonjak dari 3,7% menjadi 12%. Bagian dari sektor pembangunan juga menunjukkan kenaikan besar, tetapi bagian dari sektor-sektor lain (industri, perdagangan dan pengangkutan) menunjukkan kenaikan yang relatif lebih lambat.[14] Pada tahun 1970-1977 tercatat saham sektor industri dalam GDP meningkat dari 9% menjadi 12%, namun pertumbuhan ini diikuti pula dengan penurunan saham sektor pertanian dan meningkat tajamnya harga minyak dunia.[15]
Perubahan dramatis terjadi pada tingkat investasi. Pengeluaran investasi naik dari 5% GDP tahun 1966 menjadi 20% dalam tahun 1973. Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya boom dalam pembangunan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Di samping itu, pembangunan juga mencakup sektor irigasi, pelistrikan, pengangkutan dan komunikasi.[16] Terjadinya boom bukannya tanpa efek atau respon apapun, akibat kebijakan yang tak kunjung direvisi ini, pada tanggal 14 Januari tahun 1974, bertepatan dengan kunjungan PM Jepang, Kakuei Tanaka terjadi peristiwa yang sering disebut dengan nama MALARI atau Malam Lima Belas Januari, suatu bentuk demonstrasi dan tindakan anarki besar-besaran yang dilakukan kalangan intelektual serta mahasiswa guna memprotes begitu longgarnya kesempatan investasi yang diberikan pemerintahan Soeharto terhadap pemodal-pemodal asing karena dikhawatirkan dapat menguasai berbagai sektor penting yang berkaitan dengan hajat hidup masyarakat luas.[17]      
            Faktual kemudian, terbukti bahwa kebijakan neoklasik melalui industrialisasi skala besar yang diterapkan Orde Baru menjadi momok bagi bangsa Indonesia. Kembali  menilik pada analisis Revrisond Baswir, menurut beliau, tolak ukur kesuksesan industrialisasi dapat dilihat melalui efektifitas dan efisiensi produktivitas, apa yang dimaksudkan adalah, industrialisasi yang berhasil dapat diklaim ketika terjadi “mekanisasi”, artinya dengan proposisi, semakin sedikit tenaga manusia yang digunakan dan semakin banyak mesin yang menggantikan pekerjaan tersebut, maka industrialisasi dapat dikatakan sukses. Sehingga faktual, dari waktu ke waktu lapangan  kerja dalam sektor industri kian sempit, jumlah tenaga kerja Indonesia yang meledak, pada akhirnya tidak mampu tertampung lagi dalam sektor ini sehingga terpaksa dialihkan pada sektor pertanian.[18]
Problem urgen yang dihadapi, semakin tahun jumlah lahan yang tersedia bagi kegiatan bercocok tanam kian sempit sehingga pendapatan masyarakat pun kian minim, inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia sulit keluar dari kubangan kemiskinan serta julukan “masyarakat agraris”.[19] Kian minimnya lapangan kerja dalam industrialisasi Orde Baru ditegaskan pula oleh Prof. Mubyarto di mana neoklasik sangat sesuai bagi efisiensi namun tidak bagi pemerataan. [20]     
Oil Boom (1974-1982)
            Dalam periode oil boom kekayaan negara begitu melimpah akibat melonjaknya harga minyak dunia, periode ini dapat pula dikatakan sebagai periode kejayaan Orde Baru di mana pertamina memiliki peran sentral di dalamnya.[21] Tercatat, tahun 1973 produksi minyak Indonesia mencapai angka 1,3 juta barel per hari (bph) dan harga minyak berkisar sekitar US$8 dengan jumlah penduduk 120 juta jiwa, awal 1980-an produksi nasional mencapai 1,5 juta bph dan harga minyak berkisar sekitar US$15 dengan jumlah penduduk 150 juta jiwa, kondisi yang  demikian menyebabkan sektor minyak memiliki kontribusi sebesar  62%-67% pada pendapatan negara.[22] Dalam era ini pula, di mana pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8 %-pemerintah berupaya mengembangkan industri substitusi impor yang diharap dapat menggantikan penempatan angkatan kerja dalam sektor pertanian.     
            Pembangunan yang mengarah pada tujuan-tujuan sosial seperti perluasan kesempatan kerja, distribusi pendapatan, perbaikan struktur pasar, pembangunan daerah, transmigrasi, partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam pembangunan dan perhatian pada sektor pendidikan serta kesehatan sangat ketara dalam periode ini. Pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri hampir tiga kali lipat, membangun 15.000 sumber air dan 30.000 jamban umum di pedesaan serta melakukan pendanaan yang cukup besar pula bagi program pekerjaan umum di kabupaten dan desa-yang salah satunya diwujudkan melalui peraturan pemerintah No.10 terkait  dorongan bagi pengusaha berbakat.[23]     
            Namun demikian, deretan catatan emas pembangunan di atas bukannya tanpa cacat sama sekali, faktual, prilaku korupsi menunjukkan peningkatan secara signifikan pula. Bangkrutnmya Pertamina pada tahun 1975-1976 menyisakan hutang sebesar US$10 milyar, banyaknya protes yang disuarakan mahasiswa dengan turun ke jalan-memaksa Soeharto membentuk Komisi IV Pemberantasan Korupsi dengan M. Hatta sebagai penasehat. Namun, komisi tersebut tidak pernah berjalan sebagaimana mestinya, semisal di tahun 1990 ketika M. Yusuf melakukan pemeriksaan APBN 1988/1989, berbagai penyimpangan yang ditemukannya tidak pernah dipublikasikan pemerintah kepada masyarakat, di tahun-tahun selanjutnya korupsi kian subur menjangkiti Orde Baru.[24]   
            Periode oil boom pada awalnya memang meminimalisir ketimpangan ekonomi, namun setelah periode ini berlalu kesenjangan ekonomi antara desa dengan kota, antargolongan pendapatan dan antardaerah serta kemiskinan pada akhirnya justru meningkat tajam. Hal ini membuktikan bahwa konsepsi trilogi pembangunan Orde Baru berupa pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas-praktis hanyalah “narasi agung” yang tak pernah terwujud. Di samping itu, kekuasaan Soeharto yang “tak tergantikan” berikut deretan catatan korupsi yang menyertainya kian membenarkan argumen Lord Acton, “Power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”.      
Liberalisasi Ekonomi (1982-1997)
            Sukses Thatcer dan Reagan meraih tampuk kekuasaan pada akhir 1970-an menghantarkan neoliberalisme ke permukaan, sistem ekonomi ini dapat pula dikatakan sebagai revitalisasi liberalisme ekonomi klasik setelah keterpurukannya dalam Great Depression tahun 1930-an.[25] Dalam neoliberalisme, manusia ditempatkan sebagai homo economicus, artinya setiap aktivitas yang dilakukannya selalu dalam kerangka finansial. Sebagai contoh, seorang guru yang mengajar muridnya dapat dikatakan sedang mengakumulasi modal, begitu juga dengan seorang pemuka agama yang berceramah di depan umatnya dapat pula dikatakan sedang mengakumulasi modal, dll.  Konstelasi ekonomi internasional yang demikian tampaknya berimplikasi pula pada pemerintahan Orde Baru, sejak tahun 1982-di mana resesi ekonomi terjadi akibat jatuhnya harga minyak sekaligus mengakhiri periode oil boom, liberalisme ekonomi menjadi kebijakan Orde Baru yang lebih tampak kemudian.        
            Liberalisasi ekonomi yang dilakukan pemerintahan Soeharto antara lain dapat dilihat dalam sektor industri, pertanian dan pangan. Liberalisasi ekonomi pada sektor industri menunjuk pada kebijakan pemerintah yang lebih condong pada pemodal dalam menunjang keuntungan produksinya yakni dengan dikeluarkannya UU No.25 Tahun 1997 yang antara lain berisi tentang kontrol terhadap mogok kerja yang dilakukan buruh serta penunggalan organisasi buruh, dapat dianalisis bahwa kesejahteraan buruh dalam hal ini ditentukan oleh kekuatan pemodal.[26] Upah mereka yang sangat murah dijadikan perangsang guna menarik investor asing ke Indonesia. Inilah yang disebut Hartojo Wignjowijoto sebagai sistem ekonomi “mafioso” atau dalam bahasa Didik J. Rachbini disebut dengan “kapitalisme primitif” yang dihasilkan dari perkawinan konsep ekonomi neoklasik yang sangat liberal dengan rezim yang otoriter.[27]    
            Dalam sektor pertanian, liberalisasi tampak pada kebijakan investasi asing Orde Baru dalam hal pupuk kimia dan pestisida. Revolusi Hijau yang dilakukan Orde Baru sejak 1970-an memang menghantarkan Indonesia pada negara swasembada beras, namun ada harga mahal yang harus dibayar setelahnya. Ketergantungan sektor pertanian pada basis teknologi revolusi industri berupa pupuk kimia dan pestisida menjadi momok kemudian. Tahun 1995, kebijakan pemerintah mengurangi subsidi sektor pertanian membuat petani kian merana, terlebih kebijakan Orde Baru yang meliberalisasi perdagangan akibat tekanan WTO. Kebijakan tersebut mengakibatkan masuknya investasi asing dalam bidang pertanian, pada akhirnya sektor pupuk kimia dan pestisida dikuasai oleh korporasi transnasional raksasa seperti Monsanto dan Syngenta. Dampaknya kemudian, petani dirugikan akibat patokan harga yang terlalu tinggi dari perusahaan-perusahaan raksasa tersebut.[28]          
Liberalisasi ekonomi tampak pula dalam kebijakan pemerintah terhadap tepung terigu melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No.81 Tahun 1992 yang memberi kewenangan mutlak bagi PT Bogasari Flour Mills untuk mengimpor dan menggiling tepung terigu dalam negeri. Melalui kebijakan tersebut praktis PT Bogasari Flour Mills yang dimiliki Liem Sio Liong dan Sudwikatmono menguasai mayoritas tata niaga tepung terigu atau dengan kata lain telah memegang monopoli atas komoditas tersebut. Tidak hanya itu, PT Bogasari Flour Mills juga memiliki kekuatan melakukan diversifikasi pada industri hilir yakni produksi makanan cepat saji dan makanan kecil dengan bahan baku tepung terigu melalui PT Indofood Sukses Makmur. Akibat penguasaan industri hulu hingga hilir tersebut, harga terigu dan produk turunannya yang kemudian ditetapkan dengan semena-mena pada akhirnya merugikan akses masyarakat terhadap komoditas pangan tersebut.[29]   
          




[1] Lihat Soemitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi : Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1994, h. 7-8.  
[2] Lihat Revrisond Baswir, Pembangunan Tanpa Perasaan, Elsam, Jakarta, 2002, h. 26.
[3] Lihat Kevin P. Clements, Teori-Teori Pembangunan Dari Kiri ke Kanan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, h. 38.
[4] Ibid., h. 22 & Revrisond Baswir loc. cit.
[5] Baca pidato Bung Karno dalam Iman Toto K. Rahardjo-Herdianto WK, Bung Karno dan Tata Dunia Baru, Jakarta, 2001, h. 290-297.   
[6] Baca pidato Bung Karno dalam Iman Toto K. Rahardjo-Herdianto WK, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari, Grasindo, Jakarta, 2001, h. 245-261.
[7] Lihat Ismaun. Tinjauan Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, Carya Remadja, Bandung, 1978, h. 29, dikutip dari A. H. Nasution, Ketetapan-Ketetapan MPRS Tonggak Konstitusionil Orde Baru, C. V. Pantjuran Tudjuh, Jakarta, 1966, h. 22-23.
[8] Sebagai pertimbangan, baca Peter Dale Scott, CIA dan Penggulingan Soekarno, LAI, Yogyakarta, 2004.
[9] A. Umar Said, Jangan Jelek-Jelekkan Terus Orde Baru, http://kontak.club.fr/Jangan%20jelek-jelekkan%20terus%20Orde%20Baru.htm
[10] Lihat Anne Booth-Peter Mc Cawley (ed), Ekonomi Orde Baru, LP3ES, Jakarta, 1986, h. 1.
[11] Revrisond Baswir, op. cit., h. 2.
[12] Lihat Soemitro Djojohadikusomo, Perdagangan dan Industri dalam Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1985 dan Revrisond Baswir, Ekonom Terjajah, http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=203108&kat_id=15&kat_id1=&kat_id2=
[13] A. Nugraha & A. Iskandar, Mafia Berkeley dan Lahirnya Sistem Ekonomi Mafioso, http://unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=109&coid=2&caid=2
[14] Anne Booth-Peter Mc Cawley (ed), op. cit., h. 4-7.
[15] Ibid., h. 82.
[16] Ibid., h. 7.   
[17] Revrisond Baswir, op. cit., h. 2.
[18] Ibid., h. 25-30.
[19] Ibid., h. 25-30.
[20] Mubyarto, Ekonomi Kerakyatan Dalam Era Globalisasi, http://www.ekonomirakyat.org/edisi_7/artikel_1.htm (eknm krkytn di era glbisasi)
[21] Masyarakat Transparansi Indonesia, Anatomi Korupsi di Indonesia dan Upaya Pemberantasannya, http://www.ppatk.go.id/content.php?s_sid=28 
[22] Dirgo D. Purbo, Efisiensi Energi, http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1104525079&7
[23] Anonim, Kuwait Memberi Uang Rakyatnya, http://caninews.com/hot_issues/article.php?article_id=131
[24] Anonim, Korupsi Dalam Dimensi Sejarah Indonesia, http://thamrin.wordpress.com/2006/07/14/korupsi-dalam-dimensi-sejarah-indonesia-bagian-ketiga/
[25] Lihat Paul Ormerod, Matinya Ilmu Ekonomi Jilid 1: Dari Krisis ke Krisis, Kepustakaan Gramedia Populer, 1998, h. 130-171.
[26] Revrisond Baswir, op. cit., h. 48.
[27] A. Iskandar, Sejarah Kelam Sistem Ekonomi Mafioso di Indonesia, http://unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=172&coid=2&caid=2
[28] Tejo Pramono, Berjuang Dari Kelaparan Menuju Swasembada Beras, http://www.fspi.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=161&Itemid=38
[29] Revrisond Baswir, op. cit., h. 68-71.    

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger