"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Sabtu, 12 Maret 2011

Pengantar Sosiologi I

PENGANTAR SOSIOLOGI I

Disusun oleh:
Wahyu Budi Nugroho


Bab I
Sejarah dan Perkembangan Sosiologi


Sekilas Sejarah Sosiologi
Disiplin sosiologi untuk pertama kali dicetuskan oleh seorang pemikir asal Perancis bernama Auguste Comte pada abad 19, tepatnya pada tahun 1839. Sebelumnya, Comte tidak menggunakan istilah sosiologi bagi ilmu yang baru digagasnya tersebut, namun ia menggunakan istilah “fisika sosial”. Berbagai pemikiran dan seluk-beluk mengenai fisika sosial tertuang dalam bukunya yang berjudul Cours de Philosophie Positive (Filsafat Positif).
Melalui fisika sosial, Comte berupaya menyusun sebuah ilmu mengenai masyarakat yang dapat diterapkan layaknya ilmu-ilmu eksakta (ilmu-ilmu alam). Artinya, ia mencita-citakan sebuah ilmu mengenai masyarakat yang dapat diterapkan secara “pasti”, mampu memprediksi atau meramalkan pergerakan berikut perkembangan masyarakat dari masa ke masa. Dengan kata lain, melalui fisika sosial, ia berupaya menciptakan hukum-hukum mengenai masyarakat. Buah pemikiran Comte mengenai hukum masyarakat yang begitu terkenal dalam Filsafat Positif adalah hukum atau teorinya mengenai perkembangan masyarakat yang dikenal dengan sebutan The Law of Human Progress (Hukum Perkembangan Manusia) atau The Law of Three Stages (Hukum Tiga Pentahapan). Menurutnya, masyarakat bergerak atau berkembang melalui serangkaian tahapan-tahapan berikut ini,
  1. Tahapan Teologis
  2. Tahapan Metafisika
  3. Tahapan Positif
Tahapan Teologis
            Tahapan teologis ditandai dengan kepercayaan masyarakat bahwa seluruh fenomena alam yang terjadi pada dasarnya berasal dari kekuatan supranatural layaknya ruh, dewa atau tuhan. Hal tersebut dapat dimisalkan dengan terjadinya hujan. Berpijak melalui pemikiran Comte, masyarakat primitif akan menganggap bahwa fenomena hujan sepenuhnya disebabkan oleh ruh leluhur, dewa atau tuhan. Kepercayaan masyarakat tersebut, sebagaimana dijelaskan Comte lebih lanjut, tanpa disertai bukti serta penjelasan-penjelasan ilmiah.
Tahapan Metafisika
            Pada tahapan metafisika, Comte menjelaskan terjadinya pembauran, percampuran atau penyatuan antara kepercayaan supranatural dengan penjelasan ilmiah dalam masyarakat. Pada masyarakat dalam tahapan metafisika, fenomena hujan dapat dijelaskan secara ilmiah (hujan berasal dari air di seluruh permukaan bumi yang menguap dan seterusnya), namun tetap terbesit keyakinan bahwa serangkaian kejadian tersebut disebabkan pula oleh tuhan.
Tahapan Positif
            Tahapan terakhir dalam perkembangan masyarakat menurut Comte adalah tahapan positif. Menurutnya, masyarakat dalam tahapan tersebut ditandai dengan pola pikir masyarakat yang sepenuhnya ilmiah di mana kepercayaan terhadap kekuatan supranatural seperti ruh leluhur, dewa-dewa dan tuhan telah ditinggalkan jauh-jauh. Dengan demikian, terkait terjadinya fenomena hujan, masyarakat dalam tahapan positif akan menganggapnya sebagai fenomena yang bersifat ilmiah semata.
            Namun, perlu dicatat kiranya, bahwa pengertian “filsafat positif” sebagaimana diutarakan Comte tidak serta-merta dapat diartikan sebagai “filsafat yang baik”. Filsafat positif yang dimaksudkan Comte menunjuk pada teori dengan tujuan menyusun fakta-fakta yang teramati, atau “berdasarkan fakta-fakta”. Dengan demikian, istilah positif dapat disamakan dengan istilah “fakta” atau “faktual” dalam filsafat positif Comte.
            Perubahan istilah fisika sosial pada “sosiologi” pada tahun 1839 dilakukan Comte mengingat ditemuinya salah seorang pakar fisika yang telah menggunakan istilah tersebut kala itu. Peran berikut kedudukan Comte sebagai pencetus disiplin sosiologi dan filsafat positif menyebabkannya mendapat gelar sebagai “bapak sosiologi” serta “bapak positivisme” di kemudian hari.
Sebab Utama Kelahiran Sosiologi
            Terlepas dari berbagai ide awal yang membentuk disiplin sosiologi di atas, kelahiran sosiologi terutama dilatarbelakangi oleh Revolusi Industri pada abad 19 yang membawa berbagai dampak negatif terhadap masyarakat. Sejak ditemukannya mesin uap oleh James Watt, dimulailah periode industrialisasi di Eropa. Penggunaan mesin-mesin pada berbagai pabrik yang ada di Eropa menyebabkan kian tingginya angka pengangguran yang kemudian berdampak pula pada kian banyaknya pemukiman kumuh serta meningkatnya angka kriminalitas. Sebab-sebab tersebutlah yang kemudian menjadi latar belakang utama kelahiran sosiologi. Suatu disiplin atau studi mengenai masyarakat yang bertujuan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri. 

Telisik Kehidupan Tokoh: Auguste Comte


            Meskipun di kemudian hari mendapat gelar sebagai bapak sosiologi dan bapak positivisme, Comte hidup sangat miskin, ia sempat pula mengalami gangguan jiwa (sakit jiwa) akibat begitu takutnya ia akan orang lain yang mencuri idenya mengenai studi masyarakat (fisika sosial/sosiologi). Setelah sembuh dari sakit jiwa yang dideritanya, Comte menikah dengan seorang pelacur dan menghabiskan sisa hidup bersamanya.

Studi Mengenai Masyarakat Sebelum Auguste Comte
            Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa Auguste Comte disebut sebagai perintis disiplin sosiologi atau studi mengenai masyarakat, namun demikian, apabila penelusuran sejarah mengenai studi masyarakat dilakukan, maka ditemui pula bahwa telah jauh-jauh hari hal tersebut dilakukan oleh beberapa pemikir sebelum Comte.
            Melalui buah karya yang berjudul Muqaddimah, Ibnu Khaldun melakukan kajian atas masyarakat Timur Tengah yang tersegregasi (terbagi) ke dalam berbagai suku bangsa dan kelompok. Kajian tersebut menyangkut ikatan kesukuan atau kelompok yang kerap diistilahkan dengan ashabiyyah, interaksi antar sesama anggota suku bangsa maupun antarsuku bangsa lainnya, berbagai bentuk kebudayaan, konsumsi sehari-hari dan berbagai dimensi sosial lainnya. Melalui berbagai kajian yang dilakukannya, belakangan Guru Besar Sosiologi Universitas Maryland Amerika Serikat, George Ritzer, mengakui Ibnu Khaldun sebagai sosiolog pertama di dunia.
            Di samping Khaldun, seorang pastur (profesor moral) asal Skotlandia yang kemudian lebih dikenal sebagai seorang ekonom, Adam Smith, menulis sebuah buku berjudul Theory of Moral Sentiments di mana di dalamnya ia mengupas dua jenis sentimen (keinginan/kemauan) dalam diri manusia yakni sentiment of ego (keinginan untuk memenuhi kepentingan diri sendiri) serta sentiment of fellow (keinginan untuk bergabung dengan masyarakat). Melalui kajiannya tersebut, banyak pula pihak yang menempatkannya sebagai perintis studi mengenai masyarakat.


Ide-ide Menarik
            Melalui kajiannya atas berbagai suku bangsa dalam keterkaitannya dengan kondisi geografis yang melingkupinya, Khaldun membuat beberapa kesimpulan yang menarik. Ia mengatakan bahwa suku-suku yang tinggal di gurun-gurun yang panas lebih pandai dan cerdas ketimbang mereka yang tinggal di pegunungan dingin dan sejuk. Hal tersebut dikarenakan hawa panas berikut konsumsi daging berbagai suku gurun yang mendorong mereka untuk terus berpikir dan bertindak. Di sisi lain, konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung cairan membuat suku-suku pegunungan malas untuk berpikir serta bertindak. Bagaimana dengan Anda? Bagaimanakah kondisi geografis tempat Anda tinggal dan dibesarkan?

Pengertian Sosiologi
            Secara etimologis (asal kata bahasa), sosiologi berasal dari dua kata, socius yang berasal dari bahasa Yunani dan berarti “perkawanan” serta logos yang berasal dari bahasa Latin dan berarti “berbicara mengenai”. Dengan demikian, secara “telanjang” sosiologi dapat diartikan dengan “berbicara mengenai perkawanan/pertemanan” yang kemudian secara umum diartikan sebagai studi atau kajian mengenai masyarakat.
            Dalam ranah akademik, ditemui begitu banyak definisi mengenai sosiologi yang dicetuskan oleh berbagai sosiolog dunia. Namun, satu di antara begitu banyak definisi sosiologi yang kerap diacu hadir melalui Walter and Crooks. Menurutnya, “Sociology is the systematic analysis of the structure of social behavior” (“Sosiologi adalah analisis sistematis terhadap struktur perilaku sosial”).
            Apabila penelaahan lebih dalam kita lakukan terhadap definisi sosiologi di atas, maka ditemui bahwa sosiologi memiliki empat sendi, antara lain,
1. Systematic (Sistematis)
Artinya sosiologi disusun berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang ada.
2. Analysis (Analisis)
            Kajian sosiologi bersifat ilmiah, memenuhi hukum kausalitas (sebab-akibat) dengan keyakinan fenomena atau gejala sosial tak terjadi secara sui generic (tiba-tiba/begitu saja), melainkan selalui ditemui proses di dalamnya.
3. Structure (Struktur)
            Sosiologi melakukan kajian pada sesuatu yang terjadi berulang-ulang, tidak pada suatu fenomena atau gejala sosial yang terjadi sekali saja karena bisa jadi hal tersebut sekedar “kesengajaan” semata. Kajian sosiologi haruslah fenomena yang terstruktur (berulang-ulang/terjadi lebih dari sekali).
4. Social Behavior (Perilaku Sosial)
            Studi sosiologi tertuju pada perilaku sosial dan bukannya perilaku individu.
            Melalui definisi yang dikemukakan Walter dan Crooks di atas, kiranya seluk-beluk berikut karakter dari disiplin sosiologi telah terdeskripsikan secara ringkas.
Perkembangan Sosiologi Pasca-Auguste Comte
            Sepeninggal Auguste Comte, sosiologi kian berkembang pesat, ditemui berbagai tokoh kajian mengenai masyarakat (sosiologi) layaknya Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim. Ketiga tokoh inilah yang kemudian “dibaptis” sebagai peletak awal teori-teori sosiologi. Jelas dan tegasnya, ketiga tokoh tersebut diakui sebagai para pemikir sosiologi dalam tataran “klasik”.
Karl Marx



Karl Marx lahir di Jerman pada tahun 1813, semasa muda ia melakukan studi pada banyak disiplin ilmu, dari sejarah, hukum, ekonomi hingga filsafat. Karya-karya yang dihasilkannya kemudian pun mencakup berbagai ranah disiplin ilmu. Hal tersebutlah yang kemudian menyebabkan Marx tak dapat sekedar dicap sebagai seorang sosiolog, ekonom atau sejarawan, melainkan “filsuf” lebih tepatnya. Marx merupakan seorang aktivis kenamaan kaum buruh, bahkan ia didaulat sebagai “nabi kaum buruh”. Melalui buah karyanya yang berjudul Das Kapital dan Manifesto Komunis, Marx memberikan landasan pergerakan bagi kaum buruh guna menentang kesewenang-wenangan kaum borjuis (majikan/pemilik modal/pemilik pabrik). Dalam hal ini, Marx memang meletakkan “ekonomi” sebagai perihal terpenting dalam kajiannya.
              Salah satu sumbangan penting Marx dalam sosiologi adalah teori kelas yang dicetuskannya. Menurut Marx, masyarakat selalu terpecah (tersekat) dalam kelas-kelas yang bertautan erat dengan status ekonomi, yakni kelas borjuis (ekonomi atas/majikan/pemilik modal) dengan kelas proletar (ekonomi bawah/buruh/tak bermodal). Dalam Das Kapital, nabi kaum buruh tersebut menegaskan bahwa kelas borjuis selalu berusaha melanggengkan kekuasaan dengan jalan apapun, bahkan dengan menggunakan legitimasi agama (gereja). Ajaran agama yang mengatakan bahwa kehidupan miskin di dunia merupakan takdir yang tak dapat diubah dan bakal menghasilkan surga di akherat kelak, dilihat Marx sebagai siasat kaum borjuis agar kaum buruh tidak melakukan perlawanan dan pemberontakan yang nantinya bakal mengancam kekuasaan. Oleh karenanya, Marx mengatakan bahwa “agama adalah candu”, artinya agama ibarat opium yang memberikan ketenangan serta kedamaian “palsu”.
            Marx melihat masyarakat dalam kaca mata konflik, masyarakat bukanlah suatu kumpulan individu yang harmonis, melainkan penuh dengan pergolakan dan intrik guna memperebutkan kekuasaan di dalamnya. Lebih jauh, dalam Das Kapital ia menegaskan bahwa sejarah umat manusia merupakan sejarah pertumpahan darah; konflik, kudeta, perang dan lain sejenisnya. Terkait ranah disiplin sosiologi, pemikiran Marx mengenai kelas sosial di atas pada gilirannya terangkum dalam sebentuk kajian mengenai stratifikasi sosial berikut melatarbelakangi munculnya teori konflik dalam sosiologi.
Max Weber[1]


Max Weber lahir di Jerman pada tahun 1864, ia tumbuh besar di keluarga serba berkecukupan di mana ayahnya menempati posisi prestisius dalam pemerintahan Jerman kala itu. Layaknya Marx, semasa muda Weber menggeluti berbagai disiplin ilmu, ia mempelajari hukum, ekonomi, sejarah, agama, sosiologi hingga filsafat. Karya-karyanya yang merambah berbagai disiplin ilmu di kemudian hari menyebabkannya dianugerahi gelar sebagai “genius universal”, suatu gelar terhormat yang sebelumnya dipegang oleh Aristoteles. Gelar tersebut disematkan pada mereka yang telah berhasil menyerap berbagai ilmu yang ada di zamannya.
Sumbangan Weber dalam disiplin sosiologi cukup besar, ia melakukan kajian terhadap organisasi, birokrasi, kelas sosial, pola pikir manusia modern berupa rasionalitas hingga kajian mengenai agama-agama dunia berikut pengaruhnya bagi para pemeluknya. Terdapat satu hal menarik dari Weber, meskipun ia dikenal sebagai seorang sosiolog, namun ia tak mengakui keberadaan masyarakat, “There is no thing such social”, tegasnya. Menurutnya, masyarakat tidaklah ada, yang ada hanyalah “kumpulan individu dengan kepentingannya masing-masing”. Dengan demikian, tegas Weber, objek studi sosiologi bukanlah masyarakat, melainkan lebih kepada person atau individu yang kemudian membentuk masyarakat. “Setiap individu memiliki karakter dan sifat yang begitu khas serta unik satu sama lain, dengan demikian ianya terlalu mustahil dileburkan ke dalam satu kesatuan yang dinamakan masyarakat”, pungkasnya.
Salah satu kajian penting dan juga merupakan sumbangan besar Weber dalam sosiologi adalah studinya mengenai berbagai bentuk pola pikir rasional (rasionalitas) pada individu maupun masyarakat yang kemudian mempengaruhi berbagai bentuk tindakan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, rasionalitas dapat diklasifikasikan ke dalam lima bentuk sebagai berikut,
1. Rasionalitas Formal
Pola pikir yang berbicara mengenai untung-rugi atas berbagai tindakan yang diambil.
Contoh: seorang pedagang yang menentukan harga barang-barang yang dijualnya guna mendapat keuntungan.
2. Rasionalitas Instrumental
            Pola pikir yang menunjuk pada efisiensi serta efektivitas dalam mencapai tujuan.
            Contoh: agar cepat sampai ke sekolah lebih memilih mengendari motor ketimbang sepeda kayuh.
3. Rasionalitas Nilai
            Pola pikir yang begitu dipengaruhi oleh perihal yang dianggap baik, sakral dan dicita-citakan.
            Contoh: tidak berbohong dan mencuri karena merupakan perbuatan dosa.
4. Rasionalitas Tradisional
            Pola pikir yang menuntut terjaganya pewarisan tindakan dari generasi ke generasi.
            Contoh: tradisi labuhan, upacara ngaben, dsb.
5. Rasionalitas  Afektif
            Pola pikir berikut tindakan yang begitu dipengaruhi oleh aspek afeksi atau perasaan.
            Contoh: seorang gadis yang berjingkrak-jingkrak kegirangan karena mendapatkan bunga dari teman prianya.

Emile Durkheim[2]


            Emile Durkheim lahir di Perancis pada tahun 1858. Berseberangan dengan Karl Marx, Durkheim melihat masyarakat dalam kaca mata penuh harmonis, ia mengandaikan masyarakat sebagai sebuah organ yang saling membutuhkan satu sama lain. Ketika satu organ sehat, maka keseluruhannya pun sehat, sebaliknya, ketika salah satu organ saja terganggu, maka keseluruhan organ pun bakal terganggu dan tak berjalan semestinya. Di satu sisi, pemikirannya pun bertentangan dengan Weber, jika Weber menganggap individu sebagai objek kajian sosiologi, maka Durkheim menganggap masyarakatlah objek kajian sosiologi yang sesungguhnya. Pemikiran Durkheim tersebut kerap diistilahkan dengan realisme sosial (masyarakat sebagai suatu hal yang nyata/fakta).
Sumbangan besar Durkheim dalam sosiologi adalah kajiannya mengenai perbedaan mendasar antara masyarakat primitif dengan masyarakat modern ditinjau melalui perspektif (sudut pandang) solidaritas di dalamnya. Menurutnya, terdapat dua bentuk solidaritas masyarakat, antara lain,
1. Solidaritas mekanik
            Solidaritas atau persatuan masyarakat yang disebabkan oleh kesamaan hal di dalamnya. Bentuk solidaritas ini dapat ditemui dalam masyarakat primitif atau tradisional (pedesaan).
            Contoh: masyarakat pedesaan yang disatukan oleh mata pencaharian yang sama yakni bertani; bersama-sama menanam dan memanen padi.
2. Solidaritas organik
            Solidaritas atau persatuan masyarakat yang disebabkan oleh berbagai hal berbeda di dalamnya. Solidaritas organik ditemui pada tatanan masyarakat modern (perkotaan).
            Contoh: seorang dokter membutuhkan keahlian seorang montir untuk memperbaiki kendaraannya dan begitu pula sebaliknya, seorang montir membutuhkan dokter ketika tengah sakit.
            Di samping kajiannya mengenai bentuk-bentuk solidaritas sosial, Durkheim melakukan studi pula atas fenomena bunuh diri dalam masyarakat berikut asal-mula kemunculan agama ditinjau melalui sudut pandang kebudayaan.

Telisik Kehidupan Tokoh: Karl Marx

       Marx dikenal sebagai salah seorang pemikir besar Eropa, ia memiliki metode belajar yang unik semasa hidupnya. Kerap, ia menjadi “orang tak berguna” selama dua hari; mabuk-mabukan, malas-malasan dan melakukan berbagai kegiatan tak berguna lainnya, namun untuk lima hari ke depan ia dapat belajar seperti orang “kesetanan”; terus membaca buku, menulis, bangun pukul delapan pagi dan baru tidur pukul dua pagi.
            Meskipun kala muda Marx hidup mewah karena keluarganya yang kaya, ketika tua ia hidup sangat miskin karena pola hidupnya yang boros dan gemar foya-foya. Sering, sepulangnya dari British Library Museum untuk membaca berbagai buku, ia marah-marah mendapati buku-bukunya yang hilang di rumah. Dengan enteng, Jenny, istrinya pun berkata,”Kuloakkan untuk makan beberapa hari ke depan...”.

Ide-ide Menarik
            Percayakah Anda bahwa roti yang terpajang di sebuah etalase supermarket akan berada di situ seterusnya, tergeletak hingga basi dan tak dapat dimakan serta menjadi barang yang tak berguna kemudian. Sebelum dapat diberikan dan dimakan, roti tersebut harus membuktikan kemampuan tukarnya (dapat menghasilkan uang), tak peduli di luar sana banyak orang kelaparan dan membutuhkan roti tersebut sebelum membusuk. Inilah yang dinamakan Marx sebagai alienasi nilai guna! (keterasingan kegunaan suatu barang). Para borjuis lebih memilih mencari profit (keuntungan) ketimbang memberi pada sesamanya yang kelaparan...

Berbagai Aliran Pemikiran dalam Sosiologi
            Sebagaimana telah dijabarkan dan diuraikan secara singkat sebelumnya, ternyata ditemui perbedaan pemikiran antara satu tokoh sosiologi dengan tokoh lainnya, dalam hal ini antara Emile Durkheim dengan Max Weber. Apabila Durkheim mengakui bahwa masyarakat adalah suatu kenyataan, fakta atau realitas serta menjadi objek kajian dalam sosiologi, maka tak demikian halnya dengan Weber, ia menganggap bahwa individulah yang nyata serta menjadi objek studi sosiologi.
            Dapatlah dipertegas kiranya, perdebatan di atas menunjuk pada permasalahan objek kajian dalam sosiologi: masyarakat ataukah individu. Perdebatan atau perbedaan objek kajian tersebutlah yang kemudian menyebabkan sosiolog asal Amerika Serikat, George Ritzer merumuskan berbagai aliran yang terdapat dalam sosiologi melalui bukunya The Multiple Paradigm of Sociology (Sosiologi Ilmu dengan Multi-Paradigma). Menurutnya, terdapat tiga aliran atau paradigma dalam sosiologi antara lain aliran fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial, berikut penjelasannya lebih lanjut.
Aliran Fakta Sosial
Tokoh               : Emile Durkheim
Objek Studi      : Masyarakat
Buku Acuan    : Suicide, The Rule of Sociology Methods
Teori                : Struktural Fungsionalisme (masyarakat sebagai organisme), konflik
Metode             : Kuantitatif (survey)
Aliran Definisi Sosial
Tokoh               : Max Weber
Objek Studi      : Individu
Buku Acuan     : The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism
Teori                 : Tindakan sosial
Metode             : Kualitatif
Aliran Perilaku Sosial
Tokoh               : B.F Skinner
Objek Studi   : Konsumsi individu (apa yang dimakan dan dipakai dalam                 keseharian)
Buku Acuan     : Beyond Freedom and Dignify
Teori                 : Behavioralisme (perilaku)
Metode             : Eksperimen
Berbagai aliran yang terdapat dalam disiplin sosiologi di atas tidaklah bijak jika dipandang sebagai ketidakmumpunan atau ketidakmatangan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu. Hal tersebut justru membuktikan sosiologi sebagai disiplin ilmu yang komprehensif (lengkap) di mana berbagai sudut pandang serta pemikiran tercakup di dalamnya.
Manfaat Sosiologi
            Teori adalah “ruh” ilmu sosial, namun amat disayangkan memang, banyak pihak menaruh streotipe pada teori dengan mendikotomikan atau memisahkannya dengan praktek (teori dengan praktek terpisah). Hal tersebut pada dasarnya tak dapat dibenarkan mengingat kemunculan suatu teori yang tidak terlepas dari praktek lapangan. Dengan kata lain, teori dihasilkan melalui praktek, apabila teori tak ada, maka praktek lapangan pun tak ada.
            Sosiologi, sebagai suatu disiplin ilmu yang lahir guna merespon terjadinya Revolusi Industri abad 19 diharapkan mampu menjelaskan berbagai sebab maupun akibat yang dibawa peristiwa tersebut. Jelas dan tegasnya, secara luas sosiologi berupaya merumuskan hukum-hukum atau teori-teori yang terjadi dalam masyarakat, sebagai misal, apa yang terjadi jika masyarakat dalam kondisi “A”, “B” atau “C” dan seterusnya. Setelah hal tersebut diketahui, maka langkah selanjutnya adalah menyusun sebuah proposisi semisal, “Jika masyarakat berada dalam kondisi A, maka akan terjadi ... akan berdampak...”. Hal tersebut kiranya dapat lebih dijelaskan melalui beberapa contoh berikut.
Bidang Pendidikan: “Siswa yang Benar-benar Menjadi Bodoh”
(Teori Pelabelan)
            Pernahkah suatu kali anda melihat seorang siswa yang dikatakan bodoh oleh gurunya akan benar-benar menjadi siswa yang bodoh setelahnya. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Sosiologi dapat menjelaskannya melalui teori pelabelan (labelling theory). Peristiwa di atas dapat menjadi objek kajian sosiologi mengingat terjadi interaksi sosial antara dua individu yakni antara guru dengan siswanya.
Seorang siswa justru akan menjadi benar-benar bodoh jika dikatakan demikian oleh gurunya dikarenakan sang siswa tersebut telah “dilabelkan” oleh gurunya. Sang siswa tidak memiliki kuasa atau daya untuk melepaskan label yang dilekatkan pada dirinya karena beberapa alasan; usia guru yang jauh lebih tua ketimbang siswa, anggapan umum bahwa guru lebih mengetahui ketimbang siswanya, keharusan umum bahwa guru wajib dihormati dan ditaati. Dengan demikian, apa yang terjadi pada siswa tersebut dapat dilukiskan dengan pribahasa “tanggung kepalang basah”, “karena saya telah dilabelkan bodoh, maka saya akan menjadi siswa yang sepenuhnya bodoh saja”.
Fenomena Sosial: “Yang Miskin Semakin Miskin, Sebaliknya yang Kaya” (Teori Sirkuit Modal)
            Kita sering mendengar atau membaca untaian kalimat “yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin, entah dalam media elektronik maupun cetak, atau melalui celotehan umum masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi tugas sosiologi untuk menjelaskan mengapa hal tersebut dapat terjadi. Salah seorang tokoh sosiologi sebagaimana telah dibahas sebelumnya, Karl Marx, mencetuskan sebuah teori yang dikenal dengan sebutan teori sirkuit modal guna menjelaskan konsep ekonomi yang diterapkan kaum miskin dan kaum kaya sehingga fenomena “miskin semakin miskin dan sebaliknya” dapat terjadi. Berikut penjabarannya,
  • Konsep/pola kehidupan ekonomi kaum miskin/proletar: K-U-K
  • Konsep/pola kehidupan ekonomi kaum kaya/borjuis: U-K-U-U1-U2-U3-....
Keterangan:
  • K= Komoditas
  • U= Uang
Menurut Marx, kaum miskin memiliki pola kehidupan ekonomi K-U-K di mana “K” adalah “komoditas” yakni segala sesuatu yang dibuat atau diproduksi untuk diperjual-belikan, sedangkan “U” adalah “uang”. Sebagai misal, seorang penjahit yang membuat pakaian untuk dijual berarti menciptakan suatu komoditas (K), kemudian ia menjual pakaian tersebut dan mendapatkan uang (U), setelahnya, dengan uang tersebut ia membeli berbagai barang kebutuhan sehari-hari seperti makanan, sabun, pasta gigi dan lain-lain, maka dengan sendirinya ia kembali pada komoditas (K). Menurut Marx, manusia dengan pola kehidupan ekonomi yang demikian sulit maju dan kaya, sebab uang yang tersisa untuk menabung begitu minim dan kecil. Dalam pandangan Robert T. Kiyosaki, orang-orang dengan kehidupan ekonomi layaknya di atas tengah mengikuti rat race ‘perlombaan tikus’, mereka menjalani siklus perputaran hidup yang tak membuat kehidupan mereka maju dan berkembang.
Sebaliknya dengan kaum miskin, kaum kaya memiliki pola kehidupan ekonomi U-K-U-U1-U2-U3-dan seterusnya. Sebagai misal, saya seorang borjuis dan memiliki banyak uang (U), saya gunakan uang tersebut untuk membeli sebuah villa (K), setelahnya saya menyewakan villa tersebut di mana saya mendapatkan uang darinya kemudian (U). Apabila uang yang saya dapatkan dari persewaan villa tersebut pada nantinya terkumpul lebih besar dari modal awal (uang awal) untuk membeli villa tersebut, maka “U” yang sebelumnya akan berubah pada “U1”. Apabila lama-kelamaan uang yang terkumpul kemudian jauh lebih besar dari “U1”, maka dengan sendirinya ia akan berubah menjadi “U2” dan seterusnya, “U3”, “U4”, ... Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya fenomena, “yang miskin semakin miskin dan sebaliknya, yang kaya semakin kaya”.
Fenomena Perselingkuhan (Teori Dyad dan Triad)
            Sosiologi tidak hanya berfungsi menjelaskan suatu persoalan yang bersifat besar atau dalam skala luas layaknya yang terjadi pada ranah sosial (kemasyarakatan), melainkan pula pada ranah yang begitu sempit dan kecil seperti hubungan intim (dekat) antara dua individu. George Simmel, seorang sosiolog asal Jerman melakukan penelitian hubungan interaksi antara dua individu dan dampaknya apabila individu ketiga memasuki hubungan tersebut.
            Simmel mengistilahkan hubungan dekat yang terjadi antara dua individu sebagai “dyad” sedangkan apabila hubungan tersebut berkembang menjadi hubungan antara tiga individu, maka ia menyebutnya dengan istilah “triad”. Menurut Simmel, hubungan dekat antara dua individu masih dimungkinkan, tetapi tidak demikian halnya dengan hubungan dekat antara tiga individu. Hal tersebut mengingat setiap individu yang memiliki karakter, sifat atau kepribadian yang berbeda dan unik satu sama lain, upaya untuk menyatukan dua kepribadian individu yang berbeda masih mungkin dilakukan, namun tidak demikian halnya dengan upaya penyatuan kepribadian tiga individu yang berbeda satu sama lain. Lebih jauh, apabila hal tersebut terjadi maka akan menyebabkan kerenggangan terhadap hubungan antara dua individu yang telah terjalin sebelumnya.
            Hal di atas dapat dimisalkan dengan renggangnya hubungan persahabatan, hubungan dekat antara dua lawan jenis bahkan pernikahan akibat hadirnya pihak ketiga dalam hubungan tersebut. Lebih jelasnya, hal tersebut dapat dijabarkan melalui skema berikut,
  • Sebelumnya, “A” telah menjalin hubungan dekat dengan “B”,
  • Kemudian, “A” menemukan beberapa kemiripan atau kecocokan dengan “C”,
  • Beberapa kemiripan atau kecocokan “A” terhadap “C” belum tentu sama halnya dialami “B” terhadap “C”,
  • Karena sifat alami manusia selalu ingin tahu dan tertarik bereksperimen dengan hal-hal baru, maka dari ke hari hubungan “A” dengan “C” pun kian dekat,
  • Hal tersebut pun berdampak pada kian renggangnya hubungan antara “A” dengan “B” sebelumnya.
Fenomena Konsumerisme Masyarakat (Teori “One Dimensional Society”)
            Pernahkah Anda berpikir, suatu perusahaan handphone (hp) terkemuka di dunia mengeluarkan satu seri (produk) baru hp, kemudian tiba-tiba seluruh dunia mengamini dan menganggap produk tersebut bagus serta wajib dimiliki? Satu perusahaan, satu seri baru hp dan seluruh orang di dunia terpengaruh, bayangkan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal tersebut dikarenakan perusahaan hp tersebut menciptakan konstruksi (iklan) di tengah masyarakat bahwa, “Anda yang tak memakai hp ini, ketinggalan jaman. Anda yang tak memakai hp ini, kuno”. Mereka yang “termakan” dan dengan segera membeli produk tersebut diistilahkan Herbert Marcuse, ilmuwan sosial asal Jerman, dengan one dimensional society atau masyarakat dengan kesadaran tunggal (kesadaran satu dimensi) di mana kesadaran yang mereka miliki berasal (diciptakan) oleh perusahaan-perusahaan besar dunia. Masyarakat dengan kesadaran satu dimensi adalah mereka yang membeli produk bukan berdasarkan “kebutuhan hidup”, melainkan “gaya hidup”.
            Di sisi lain, terdapat pula seorang sosiolog bernama Denzin yang melakukan kajian terhadap peran media elektronik mapun cetak dalam upaya menyuntikkan jiwa konsumerisme. Ia mengatakan bahwa berbagai perusahaan besar dunia telah “bersumpah” bakal memasarkan berbagai produknya bahkan dengan cara-cara yang tak diduga masyarakat. Menurut Denzin, hal tersebut dapat dicontohkan melalui film James Bond berjudul Die Another Day (Mati Di Lain Hari) yang diplesetkannya menjadi Buy Another Day (Membeli Di Lain Hari). Apabila Anda mencermati dengan seksama, maka Anda akan menemukan bahwa semua barang yang digunakan James Bond merupakan barang-barang bermerek, dari jam tangan bermerek Tissot, jas bermerek Armani hingga mobil yang bermerek BMW. Disadari atau tidak, hal tersebut merupakan upaya korporasi (perusahaan-perusahaan besar borjuis) menyuntikkan jiwa konsumerisme dengan cara yang tak disadari masyarakat di mana kemudian bakal berdampak pada munculnya one dimensional society sebagaimana diistilahkan Marcuse.
            Berbagai uraian berikut penjabaran singkat di atas merupakan “segelintir” contoh saja manfaat disiplin sosiologi dalam menjelaskan berbagai fenomena atau gejala sosial yang melanda atau dialami masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak berbagai contoh lain yang begitu menarik dan menggelitik pemikiran kritis kita. Dengan demikian, dapatlah dilihat bahwa sosiologi bukanlah suatu disiplin yang “mengawang-awang”, yang dengan demikian terpisah begitu saja dalam kehidupan sehari-hari.

Ide-ide Menarik
            Sadarkah anda bahwa iklan shampo antiketombe memiliki implikasi yang luas bagi masyarakat? Mereka yang berketombe dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat. 

Sosiologi Sebagai Sarana “Pembebasan” Masyarakat
            Pada perkembangannya, muncul insiatif dari berbagai sosiolog dunia untuk menempatkan sosiologi tak hanya sebagai sarana menjelaskan berikut mendeskripsikan berbagai persoalan sosial, melainkan pula terjun langsung dan melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat guna menciptakan situasi dan kondisi sosial yang lebih baik.
            Pada awalnya, argumen di atas disampaikan oleh Karl Marx yang begitu prihatin akan kehidupan kaum buruh dan berupaya keras membebaskan mereka dari kesewenang-wenangan eksploitasi yang dilakukan kaum borjuis. Nantinya, buah pemikiran Marx tersebut mengalami perkembangan pesat di tangan para intelektual sosial seperti Herbert Marcuse, Theodor Adorno dan Max Hokheimer yang tergabung dalam Mahzab/Aliran Frankfurt.
            Dengan demikian, dapatlah dilihat bahwa dalam perkembangannya kemudian sosiologi tak menjadi ilmu yang sekedar menjelaskan permasalahan masyarakat, melainkan pula menjadi suatu disiplin ilmu yang dapat dijadikan “alat” atau “media” guna membebaskan berikut memperjuangkan masyarakat agar keluar dari permasalahan yang dihadapinya dan menuju pada situasi serta kondisi hidup yang lebih baik. Itulah mengapa para aktivis sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lain sebagainya menggemari disiplin ini.
Metode Penelitian dalam Sosiologi
            Dalam sosiologi, metode penelitian merupakan “cara” atau “langkah” untuk mengungkap, memperdalam atau menemukan suatu fenomena sosial atau permasalahan sosial. Metode penelitian merupakan perihal penting bagi setiap sosiolog, karena melalui hal tersebutlah berbagai permasalahan sosial dapat dijelaskan dan dicarikan solusinya kemudian. Subab ini akan membahas lebih lanjut berbagai metode penelitian yang terdapat dalam sosiologi, antara lain metode kuantitatif dan kualitatif.
Metode Kuantitatif
            Dalam sosiologi, metode kuantitatif kerap diidentikan dengan metode survey, hal tersebut tak menjadi soal. Istilah “kuantitatif” yang berasal dari kata “kuantitas” secara sederhana dapat diartikan sebagai “hitungan” atau “angka”. Metode ini berupaya menyederhanakan berbagai persoalan masyarakat ke dalam angka-angka dengan media berupa questioner (lembar pertanyaan). Adapun upaya memperoleh informasi masyarakat (responden/pihak yang diteliti) melalui questioner dapat dilakukan dengan dua cara, peneliti menyerahkannya langsung pada responden atau peneliti mendiktekan questioner tersebut kepada responden. Satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengisian questioner adalah keharusan responden menjawab seluruh pertanyaan dalam questioner, apabila satu saja pertanyaan terlewati atau “lowong”, maka hasil penelitian kuantitatif/survey dapat dikatakan tidak valid atau tidak memenuhi persyaratan. Metode ini biasa digunakan bagi penelitian dengan cakupan permasalahan yang begitu luas dan melibatkan banyak pihak yang diteliti, semisal penelitian mengenai pertumbuhan penduduk, pendapatan perkapita masyarakat, banyaknya pengangguran, angka kematian ibu melahirkan di suatu daerah dan lain sebagainya. Hasil akhir dari penelitian kuantitaif adalah bagan, statistik berikut grafik di mana “angka-angka” bermain di dalamnya.


Metode Kualitatif
            Berbeda halnya dengan metode kuantitatif, metode kualitatif lebih menekankan “kualitas” ketimbang hitungan dan angka-angka. Apa yang dimaksud dengan kualitas di sini adalah sesuatu yang “abstrak”, “tak kasat mata” dan tak dapat sekedar disederhanakan atau diukur ke dalam angka-angka, umumnya terkait motivasi atau latar belakang seseorang dalam melakukan suatu tindakan. Cara memperoleh informasi dalam metode ini dilakukan melalui wawancara atau interview. Dalam proses wawancara, peneliti wajib berempati atau menempatkan diri sebagaimana situasi dan kondisi yang dialami responden. Penelitian ini umumnya digunakan dalam studi kasus, dalam ranah yang spesifik (tak luas) dan sekedar melibatkan sedikit responden, ditujukan bagi berbagai fenomena “langka” dan “tak umum” yang terjadi di masyarakat seperti penelitian mengenai seseorang yang melakukan pembunuhan berantai atau seseorang yang gemar melakukan pelecehan seksual. Satu hal yang patut diperhatikan dalam penelitian ini adalah, peneliti wajib menuliskan berbagai pernyataan responden tanpa merubah atau merombaknya sedikitpun. Hasil akhir dari penelitian ini berupa deskripsi atau ekplanasi terhadap suatu persoalan.


Ide-ide Pokok
  • Auguste Comte merupakan pencetus disiplin sosiologi.
  • Sosiologi lahir sebagai respon atas Revolusi Industri abad 19 yang membawa berbagai dampak negatif bagi masyarakat.
  • Beberapa tokoh yang berperan penting dalam perkembangan sosiologi pasca-Auguste Comte adalah Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim.
  • Sosiologi terbagi ke dalam tiga aliran pemikiran, antara lain fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial.
  • Sosiologi berfungsi untuk menjelaskan berikut memecahkan persoalan dalam masyarakat.
  • Metode penelitian yang digunakan dalam sosiologi adalah metode penelitian kuantitatif dan kualitatif.



[1] Terkait pembahasan mengenai “tindakan sosial”.
[2] Terkait pembahasan mengenai “solidaritas sosial”. 

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger