"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Sabtu, 12 Maret 2011

“THE SECRET” DALAM KRITIK FILSAFAT KLASIK HINGGA FILSAFAT ABAD 20

“THE SECRET” DALAM KRITIK FILSAFAT KLASIK HINGGA FILSAFAT ABAD 20
KRITIK ATAS KRITIK YANG KRITIKAL PADA “THE SECRET”
Oleh: Wahyu Budi Nugroho


Pendahuluan       
Seperti kita ketahui, The Secret, sebuah buku ber-Genre pengembangan diri dan inspirasional karya Rhonda Byrne menuai sambutan hangat dari masyarakat luas, sejak diluncurkannya pada pertengahan tahun 2006, hingga hari ini, telah terjual sebanyak 3.750.000 eksemplar, begitu juga yang tersaji dalam bentuk DVD  telah terjual sebanyak 2.000.000 copy dan audiobook yang telah mencapai angka penjualan 400.000 copy serta telah diterjemahkan dalam 24 bahasa.[1] Hal di atas, tak pelak menempatkan sang penulis, Rhonda Byrne-mantan produser televisi Australia-dalam  jajaran 100 orang paling berpengaruh tahun 2007 versi majalah Time.[2]  
Di balik kesuksesannya, The Secret tak lepas pula dari berbagai kritik pihak-pihak tertentu, umumnya berbagai kritik yang hadir berasal dari mereka yang tampak memproklamirkan diri sebagai “pembela agama”, hal ini tak mengherankan mengingat kentalnya muatan panteisme[3] dalam buku karangan Rhonda Byrne tersebut. Begitu juga, dalam paper yang singkat ini penulis berupaya melakukan kritik atas buku tersebut, namun kritik yang hendak disusun kiranya tidak didasarkan pada nilai-nilai agama, agaknya berbagai pemikiran filsuf-filsuf klasik hingga filsuf abad 20 yang bagi penulis cukup potensial menjadi pisau bedah dalam upaya tersebut-selain orisinalitas berpikir penulis sendiri tentunya. Meskipun kemungkinan pembahasan akan tampak asumtif, namun penulis akan mencoba menunjukkan adanya kesatuan logika berkait hal tersebut. 
Berbagai Kritik
Antara Pencipta Makna dan Penerima Makna
            Apa yang menjadi pijakan awal Rhonda Byrne adalah sebuah batu emerald yang bertuliskan ”Seperti di atas, begitu juga di bawah. Seperti di dalam, begitu juga di luar”.[4] Batu tersebut disinyalir telah ada sejak 3000 SM, namun apabila kita cermati, bagaimana latar belakang pembuatan batu itu serta konteks situasi dan kondisi ketika batu tersebut dibuat tidak dijelaskan secara detail, sehingga kita menemukan dasar berpijak yang sangat lemah pada Rhonda Byrne terkait apa yang terukir dalam batu tersebut benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksudkan Rhonda atau tidak, hal yang lazim terjadi ialah kemungkinan perbedaan interpretasi antara “pencipta makna” dengan “penerima makna”,[5] dalam hal ini bisa jadi antara si pembuat batu emerald dengan Rhonda. Persoalan akan menjadi lain dan cenderung dapat ditolerir bila Rhonda-yang dalam kapasitasnya sebagai makhluk otonom-memang sengaja secara searah menginterpretasikan kalimat pada ukiran batu tersebut guna memperkuat konsep yang ditemukannya.
Penjelasan yang Terlalu Dini
            Seperti apa yang kita amati, porsi dan ruang penjelasan Rhonda terhadap hukum tarik-menarik dapatlah dikatakan sangat minim, kemudian secara tiba-tiba kita dibawa pada kehidupan manusia modern yang dengan jurus “rahasia” mampu dengan mudah mendapatkan segala yang diinginkannya. Penjelasan tersebut terkesan terburu-buru, pasalnya, pada rentang waktu antara 3000 SM hingga memasuki era manusia modern terlalu banyak filosofi-filosofi kehidupan yang terlewatkan-yang bahkan hingga saat ini masih menjadi pertanyaan mendasar dalam diri manusia baik sebagai subyek otonom maupun subyek kolektif.
            Tradisi intelektual bios-Theoretikos[6] pra-Filsafat Yunani terlewatkan, tetapi apa yang seharusnya menjadi perhatian kita yang lebih penting lagi adalah perdebatan klasik antara Epicurus dan Zeno terkait eksistensi manusia sebagai makhluk otonom ataukah sui generic. Epicurus yang mengatakan bahwa tindakan manusia adalah bebas “sebebas-bebasnya”, sesuai dengan kehendak yang ia miliki, selanjutnya melahirkan tradisi pemikiran epicurisme, sebaliknya Zeno yang menegaskan bahwa tindakan manusia tidak bebas, melainkan telah digerakkan atau “diskenario” tuhan, sehingga ketika seseorang berbicara, sesungguhnya tuhanlah yang berbicara, begitu juga ketika orang tersebut melakukan berbagai aktivitas lain, dari sinilah tradisi pemikiran riwaqqisme terbentuk.[7]
            Hingga saat ini, perdebatan klasik antara epicurisme dengan riwaqqisme belumlah menemui titik temu sehingga memang sangat disayangkan ketika Rhonda dan kawan-kawan “filsuf” dalam The Secret tidak melakukan pengkajian terhadap perdebatan tersebut atau paling tidak sedikit memberikan pandangannya. Hal ini sangat urgen mengingat bagi mereka yang berdiri di belakang pemahaman riwaqqisme (Zeno), berbagai argumen dan motivasi seperti apa yang tertuang dalam The Secret menjadi tidak berarti atau omong kosong belaka. Harusnya, apabila Rhonda dan kawan-kawan berupaya menyadarkan potensi besar yang dimiliki setiap manusia, saran dan solusi yang membangun terhadap perdebatan di atas syarat disertakan.      
Kurangnya pembahasan Rhonda dan kawan-kawan mengenai aspek ini menempatkan The Secret dalam oposisi biner, dengan demikian argumen mendasar yang dikemukakan Dr. Joe Vitale bahwa dengan pikiran kita menjadi pencipta bagi diri sendiri dan alam semesta,[8] dapat dipertentangkan dengan idealisme Hegel-yang saat ini dipopulerkan Fukuyama.[9] Hegel menekankan adanya tiga komponen besar, yakni ide, alam dan ruh, baginya, ide yang berkembang dalam waktu adalah sejarah. Tokoh-tokoh besar seperti Julius Caesar, Napoleon, Bismarck, Lenin, dll. seperti yang kita kenal, dalam pandangannya bukanlah pencipta sejarah melainkan eksekutor dari sejarah. Menurut Hegel, ide yang ada pada diri manusia tidaklah otonom, di satu sisi ia adalah pengejawantahan takdir tuhan, sehingga jalannya sejarah telah ditentukan tuhan sedang tokoh-tokoh seperti yang telah disebutkan di atas hanyalah aktor yang menjalankan, tidak ada kuasa bagi suatu kelompok atau perseorangan bertindak sebagai aktor tanpa pilihan adikodrati.[10]  
Konsep Berpikir    
            Bentuk kesalahan fatal lain yang gamblang kita temukan dalam The Secret adalah panjang-lebarnya penekanan pentingnya kegiatan berpikir yang kemudian termonitoring oleh perasaan atau emosi dalam literatur tersebut, namun diikuti dengan nihilnya penjelasan mengenai kegiatan berpikir itu sendiri.[11] Hal ini menjadi sangat penting mengingat kesalahan sedikit saja dalam hakekat berpikir berdampak fatal bagi pemahaman. Bagi penganut idealisme berpikir selalu diawali dengan ide, hal inilah yang kemudian terwujud dalam materi, realitas ataupun masalah, sebaliknya bagi penganut matrealisme, berpikir selalu diawali dengan materi, realitas maupun masalah terlebih dahulu, barulah kemudian terwujud dalam pemikiran atau ide-ide.[12] Di samping kedua konsep tersebut, Taqiyuddin an-Nabhani juga berupaya mendefinisikan dan menjelaskan maksud dari kegiatan berpikir, baginya berpikir adalah pertemuan antara empat komponen, antara lain fakta atau benda, indra, otak dan informasi sebelumnya, ketika satu saja komponen tidak terpenuhi maka kegiatan berpikir tidak dapat berlangsung.[13]   
Faktual, The Secret tidak pernah menegaskan keberadaan mereka di antara berbagai konsep berpikir di atas, ide ataukah realitas yang menjadi causa prima. Hal ini penting, sebab  apabila kita telisik lebih jauh akan ditemui hasil berbeda terkait orientasi utama pada pencitraan-pencitraan positif dibandingkan motivasi matrealistik, orientasi pertama cenderung menghantarkan kita pada nilai-nilai kemanusiaan yang hendak membebaskan dirinya menjadi tuhan-seperti apa yang diungkap dalam transformasi idealisme ke matrealisme Feurbach,[14] sedangkan orientasi kedua mengalihkan kita pada kecenderungan kapitalistik yang egois atau apa yang disebut Weber dengan auri sacra fames ‘rakus untuk mendapatkan emas’.[15]  
Namun demikian, ketidaktegasan The Secret dalam mendikotomikan tuhan dengan semesta memungkinkan kedua orientasi tersebut bermuara pada satu hal yakni “aku” sebagai satu-satunya yang ada.[16] Bukan hanya motivasi-motivasi matrealistik tetapi juga motivasi penciptaan ide positif yang menjembatani kecenderungan antroposentris di atas,  penciptaan tersebut dalam segmen-segmen tertentu menghantarkan manusia pada lahirnya Nietzsche-Nietzsche baru di mana segala tindakan selalu dalam kerangka will to power berikut pembenaran kematian tuhan, sehingga tuhan yang tersisa hanyalah ia sendiri-manusia yang meyakini kekuatan pikirannya mampu mewujudkan segala sesuatu.[17]
            Dalam beberapa kesempatan, The Secret sempat mengemukakan bahwa fisika kuantum menjadi landasan mereka dalam mencerna diri dan alam semesta. Faktual, fisika  kuantum yang untuk pertama kali diajukan fisikawan Jerman, Max Plank dan kemudian dipopulerkan Einstein serta Hawking justru menjerumuskan eksakta ‘kepastian’ dalam ketidakpastian tak berujung, terlebih fisika kuantum hingga saat ini barulah mencapai tataran teori atau selebihnya postulat dan bukannya aksioma[18], dengan demikian sangatlah rapuh apabila law of attraction bersandar pada fisika kuantum. Di sisi lain, penerapan teori kuantum justru mengindikasikan adanya kontradiksi dalam law of attraction.  
Dalam salah satu chapter, Jack Canfield menceritakan bagaimana ia mendapatkan rumah dan mobil mewah serta segala kebutuhan tersier yang dahulu didambakannya,[19] dalam kuantum semesta adalah segala sesuatu yang dicapai indra manusia yang dengan demikian prinsip emanasi[20] berlaku disini yakni segala sesuatu tidaklah berada di depan mata manusia- mengada dengan sendirinya-melainkan berada dalam otak yang gelap, sehingga dapatlah dikatakan bahwa rumah dan mobil mewah yang dimiliki Canfield sama sekali semu karena semuanya tak lebih dari pancaran gelombang semata.   
Kepalsuan tersebut kian diperkuat dengan pernyataan John Assaraf, “Masalahnya adalah kebanyakan orang memikirkan apa yang tidak mereka inginkan, dan mereka bertanya-tanya mengapa hal-hal yang tidak mereka inginkan itu terus bermunculan”,[21] dapat dianalisis bahwa suatu kejadian yang tidak diinginkan tetaplah terjadi, apa yang dikehendaki hanyalah untuk tidak memikirkan kejadian tersebut, perlu diingat sekali lagi, faktual kejadian yang tidak diinginkan tersebut benar-benar terjadi. Dengan demikian, sepercik kesimpulan yang dapat kita ambil adalah segala kesenangan duniawi yang diidam-idamkan berbagai tokoh dalam The Secret hanyalah kepalsuan belaka, pada akhirnya tak berlebihan bila kata “rahasia” yang dimaksudkan dapat diartikan sebagai “rahasia mencapai segala kepalsuan”.  
Proses Penciptaan Sebagai Buah Ketidaksadaran
            James Ray dan Jack Canfield mengatakan pada kita bahwa penggunaan rahasia demi terkabulnya segala permintaan memiliki beberapa langkah yang wajib dilalui antara lain, permintaan, kepercayaan dan penerimaan yang keseluruhannya disebut dengan “proses penciptaan”, uniknya, dalam aspek penerimaan, manusia selalu dituntut untuk meyakini bahwa ia akan menerima apa yang dimintanya, ketika orang tersebut sedikit saja merasa tidak yakin dengan terkabulnya permintaan atau merasa putus asa, lanjut Ray, maka permintaannya akan semakin jauh dari kenyataan, intinya orang harus terus berada dalam kepura-puraan “akan atau telah” menerima permintaannya, yang menjadi pertanyaan adalah, sampai kapan orang harus berada dalam keyakinan kosong tersebut. Penjelasan mengenai kapan suatu permintaan terwujud pun terkesan sangat picik yakni permintaan kecil yang membutuhkan waktu singkat, sedangkan permintaan besar membutuhkan waktu agak lama,[22] kemungkinan terjadi sebaliknya tidak dipertimbangkan di sini, sebab jika dipertimbangkan maka tidak ada bedanya pengaruh kekuatan pikiran dengan lazimnya kehidupan sehari-hari tanpa law of attraction.     
Dalam psikonalisa Freud, langkah-langkah penciptaan yang dilakukan banyak orang dalam The Secret merupakan gejala neurotis yang muncul akibat sisa-sisa dan simbol-simbol ingatan dari pengalaman tertentu yang telah mengakibatkan trauma,[23] dalam hal ini ketidakmampuan seseorang memiliki atas barang yang ia inginkan dahulu, entah ketika masih anak-anak, ramaja bahkan telah dewasa. Lebih jauhnya, definisi Freud mengenai mimipi akan sedikit membantu kita memahami proses penciptaan dalam The Secret, bagi Freud, impian adalah suatu pemenuhan tersembunyi dari suatu keinginan yang ditekan atau diabaikan yang selanjutnya bertransformasi menjadi keinginan-tak sadar.[24] Melalui  penelitiannya, Freud yakin bahwa “yang tidak sadar” muncul dalam lelucon, kesalahan maupun salah berkata. Kiranya dapat kita rumuskan bahwa apa yang dilakukan orang-orang dalam The Secret dalam proses penciptaan berupa permintaan, kepercayaan dan penerimaan tak lebih dari lelucon belaka, hal ini diperkuat dengan berbagai ilustrasi lelucon yang terdapat dalam film The Secret itu sendiri. Sedangkan konsep tuhan dan semesta, bagi Freud adalah bentuk “pemanis” karena manusia tidak mampu menghadapi insting di luar dirinya, lebih jelasnya adalah konsep numinous yang ditelurkan Jung, yakni perasaan terhadap sesuatu yang mengatasi, sesuatu di luar sana, sesuatu adikodrati.[25]     
            Lain halnya dengan Freud, bagi Sartre manusia selalu memiliki dua opsi, hidup dengan autentik atau dengan kepercayaan buruk mauvais foi ‘penipuan diri’. Ketika kita percaya dengan berbagai bentuk hukum, entah berasal dari tuhan, alam maupun manusia maka kita berada pada kepercayaan buruk, dalam hal ini esensi mendahului eksistensi-ide terlebih dahulu kemudian kenyataan. Di sisi lain, ketika kita menolak berbagai hukum yang ada dan kemudian seutuhnya bebas memilih nilai berikut cara hidup barulah dikatakan kita hidup dengan autentik, dalam hal ini eksistensi mendahului esensi-kenyataan terlebih dahulu kemudian ide-ide. Mengapa demikian, hal ini sederhana saja disampaikan filsuf-filsuf eksistensialisme seperti Kierkegaard, Heidegger maupun Sartre bahwa tidak ada hukum moral yang tertulis di dalam struktur semesta, manusia bebas memilih apa yang hendak mereka kerjakan dan hendak menjadi apa mereka.[26]  
Kebebasan dalam perspektif Sartre sangatlah berbeda dengan kebebasan yang tertuang dalam law of attraction The Secret sebab faktual law of attraction pun tidaklah bebas, terikat oleh sesuatu, yakni afirmasi mutlak yang bakal menghasilkan afirmasi, tidak diperkenankan afirmasi menghasilkan negasi atau negasi menghasilkan afirmasi-tertetapkan syarat afirmasi menghasilkan afirmasi. Lain halnya dalam eksistensialisme, untuk mendapat apa yang diinginkan, manusia tidak harus mengeluarkan energi positif melainkan juga dapat terwujud melalui energi negatif.       
Kesimpulan dan Penutup  
            Berbagai kritik yang telah dipaparkan penulis tak pelak hanyalah sebagian kecil saja dari banyaknya aspek yang terdapat dalam buku The Secret karya Rhonda Byrne dan kawan-kawan. Penulis sepenuhnya sadar bahwa keterbatasan pengetahuan dan tumpulnya daya analisis yang praktis membuat paparan kritik ini sama sekali tidak berkualitas.   
Namun demikian, dengan kehati-hatian yang teramat sangat, penulis hendak menyimpulkan bahwa pertama, The Secret karya Rhonda Byrne dan kawan-kawan merupakan bukti sekali lagi atas kemenangan epicurisme, yakni pengukuhan atas antroposentrisme, kedua, fisika kuantum yang menjadi epistimologi law of atrraction justru “membunuh” law of attraction itu sendiri, yakni pengungkapan atas prinsip-prinsip emanasi. Kiranya demikian kritik atas The Secret karya Rhonda Byrne disusun.  



Garis Besar Kritik dan Tokoh yang Dilibatkan:

Antara Pencipta Makna dan Penerima Makna :
-          Schleiermacher
-          Dilthey
Penjelasan yang Terlalu Dini:
-          Epicurus
-          Zeno
-          Hegel
Konsep Berpikir:
-          Taqiyuddin an-Nabhani
-          Feurbach
-          Nietzsche
-          Plotinus
Proses Penciptaan Sebagai Buah Ketidaksadaran:
-          Freud
-          Jung
-          Sartre





[1] Anonim, The World Is Waking Up To The Law Of Attraction, http://thesecret.rahasiahidup.com/
[3] Lihat F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004, h. 47. Panteisme merupakan pemahaman yang memandang alam semesta identik dengan Allah (tuhan adalah alam itu sendiri), salah satu tokoh terkenal dalam pemahaman ini adalah Baruch de Spinoza (1632-1677).  
[4] Lihat Rhonda Byrne, The Secret, Gramedia, Jakarta, 2008, halaman pembuka buku.
[5] Lihat Anton Bakker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990, h. 48. Ditekankan oleh Schleiermacher dan Dilthey bahwa pembaca harus ‘masuk’ dalam zaman serta pengalaman pengarang dahulu; ia harus merekonstruksi situasi dan perkembangan zaman pada waktu suatu karya dimunculkan dan hal tersebut tidak mungkin.  
[6] Lihat F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius, Yogyakarta, 1990, h. 19. Bios-Theoretikos adalah tradisi intelektual pra-Filsafat Yunani di mana antara teori dan praksis memiliki pertautan yang erat.  
[7] Lihat Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Kanisius, Yogyakarta, 1980, h. 54-60 & A. Said Aqil Humam, Penjelasan Menyeluruh Tentang Qadha dan Qadar, Al-Azhar, Bogor, 2004, h. 1-5.   
[8] Rhonda Byrne, op. cit., h. 12.
[9] Lihat Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Qalam, Yogyakarta, 2004, h. 1-17.
[10] Baca Hegel, Nalar Dalam Sejarah, Teraju, Jakarta, 2005, h. xix-xlvi.
[11] Rhonda Byrne, op. cit., h. 1-50.  
[12] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 65 (perdebatan mengenai meja).
[13] Lihat Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, HTI Press, Jakarta, 2006, h. 66.  
[14] Lihat Linda Smith & William Raeper, Ide-Ide, Kanisius, Yogyakarta, 2000, h. 89-93 & F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 228-229.   
[15] Baca Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, h. 31.
[16] Oleh Rhonda dan kawan-kawan semesta dijadikan sebagai orientasi pikiran pada banyak momen (bentuk tradisi panteisme), namun pada momen berlainan tuhan yang menempati posisi tersebut, hal ini tampak dengan pengacuan yang tiba-tiba pada Markus 21:22 dan Markus 11:24. Prihal  terpenting yakni suatu kejadian kunci dalam cerita ini adalah seorang gay yang dalam standar moralitas “berbagai tuhan yang ada” merupakan bentuk penyimpangan, faktual semesta justru membelanya.  
Hal di atas dalam logika mantik, jelas akan menghasilkan konklusi yang menyatakan bahwa alamlah yang menjadi tuhan, tak hanya berhenti di situ, ucapan terkenal Bacon yang diadopsi The Secret yakni, knowledge is power ‘pengetahuan adalah kuasa’, dalam arti apabila kita mengetahui dan menguasai hukum-hukum alam maka ia dapat kita taklukkan (manusia mempelajari hukum alam dalam rangka menaklukannya), sekali lagi, apabila logika mantik kita gunakan dalam hal ini, maka tampak gamblang akan dinyatakan kemudian bahwa manusia adalah tuhan itu sendiri. Kewaspadaan kita terhadap tuhan yang menjadi manusia dan manusia yang menjadi tuhan dapat ditelisik melalui konsep Hobbes, Hume, Freud dan Fromm tentang manusia.   
Saya pikir, inilah pencapaian tertinggi saya dalam kritik atas The Secret, pemecahan terhadap dualitas tuhan dan alam pada akhirnya tetap mengarah pada nilai-nilai antroposentris di mana sekali lagi manusia dituhankan, buku The Secret dengan segala kapasitas intelektualnya saya anggap sekali lagi sebagai kemenangan atas epicurisme.   
[17] Lihat Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, Ikon, Yogyakarta, 2002, h. 214-220 & Paul Strathern, 90 Menit Bersama Nietzsche, Erlangga, Jakarta, 2001, h. 48-51.   
[18] Lihat Oesman Arif, Ilmu Logika, Bina Ilmu, Surabaya, 1978, h. 19. Aksioma adalah kebenaran yang tak membutuhkan pembuktian, merupakan bentuk patokan dasar atau prinsip bagi ilmu pengetahuan.  
[19] Rhonda Byrne, op. cit., h. 47.
[20] Harun Hadiwijono, op. cit., h. 66-69. Dalam filsafat Plotinus, ‘Berasal’ memunculkan konsep gerak menurun yang disebut “emanasi”, sedangkan ‘kembali’ memunculkan gerak menaik yang disebut “remanasi”.  
[21] Rhonda Byrne, op. cit., h. 14.
[22] Ibid., h. 51-76.
[23] Baca Sigmund Freud, Memperkenalkan Psikonalisa, Gramedia, jakarta, 1987, h. 10 & Linda Smith-William Raeper, op. cit., h. 96.
[24] Ibid., h. 97. Hal ini sesuai dengan pandangan Jung mengenai segi tak sadar personal (Ibid., h. 101)
[25] Ibid., h. 100.   
[26] Ibid., h. 85 & Harun Hadiwijono, op. cit., h. 157-164. 

2 komentar:

Prima Santhi Tours mengatakan...

Apapun dasar kritik yang anda lontarkan....setelah saya menerapkan prinsip-prinsip dalam the secret, terutama buku sekuelnya the Magic sy memang mengalami keajaiban-keajaiban kecil, yang bagi orang lain mungkin diangggap hanya sebagai kebetulan saja...

Wbn mengatakan...

memang, cuma manusia yang bermain dadu; Tuhan tidak.

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger