Cinta & Kasih Sayang menurut Nietzsche
Oleh: Koko Wijayanto
Universitas Gadjah Mada
“Obat yang paling baik untuk menyembuhkan cinta adalah obat yang telah diketahui sepanjang zaman: membalas cinta.” – Friedrich Wilhelm Nietzsche[1]
Cuplikan pernyataan Nietzsche tentang “cinta” di atas adalah sebuah pengantar pada konsep pemikiran keharusan bertindak di mana kehidupan yang kita jalani selama ini seakan adalah kehidupan “berulang” yang terjadi selama-lamanya. Dengan kata lain, setiap momen yang terjadi dan telah kita jalani selama ini adalah salah satu bentuk dari “keberulangan abadi”. Tak lebih dari sebuah dongeng ataupun cerita belaka bagi banyak orang, Nietzsche tetap ngeyel untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang dapat dipercaya. Secara tak langsung, ia telah menggambarkan bahwa hal ini adalah “formula bagi keagungan umat manusia.”[2]
Penegasan yang romantik dan luar biasa ini sekaligus menghantarkan kita pada sebuah nasehat Nietzsche agar kita bisa menikmati hidup ini sampai pada tingkat kepenuhannya (puncak kepuasan). Di balik kesungguhan gagasan puitis yang dibuat oleh Nietzsche, faktual mengandung sebuah kekuatan istimewa—The Will to Power. Gagasan ini mengandung ungkapan klise “menjalani hidup sepenuhnya” dan membawa arti yang bermakna mendalam betapapun ambigunya kalimat itu.
Seniman yang juga penulis mashyur sekelas Kahlil Gibran pun menaruh hati dan mengagumi sosok Nietzsche. Hal ini tampak melalui tulisan-tulisan Gibran yang kerap menyinggung nama Nietzsche berikut Zarathustra (buah karya Nietzsche). Ia juga menyatakan, “Nietzsche bagiku adalah seorang dionysus yang bijaksana—sosok manusia unggul yang hidup di hutan—hutan dan ladang-ladang—sesosok makhluk agung yang menyenangi musik, tarian dan semua kesenangan.”[3] Sampai pada akhirnya Gibran juga menyatakan dalam salah satu tulisan surat yang ditujukan untuk kekasihnya “…sekarang aku akan pergi tidur dengan Zarathustra, dan kita kelak akan membacanya bersama…”.[4] Begitu kagumnya Kahlil Gibran, sampai-sampai ia tak luput menuliskan tentang Nietzsche dalam berbagai karyanya.
“Bahkan orang-orang yang paling berani pun jarang sekali memiliki ketegaran atas apa yang benar-benar mereka ketahui.”[5]
Jika kita masuk dalam ranah kebenaran seperti halnya yang telah Nietzsche gagaskan, kiranya sudah dapat dianggap mengilhami sebuah citra puitis. Gagasan ini juga mempunyai banyak makna di dalamnya agar dapat dipandang bukan semata-mata puisi sampah yang terbuang begitu saja. Sebuah ungkapan Nietzsche dapat dibenarkan dalam melihat fenomena yang terjadi pada ranah umum saat ini. Seperti halnya ganti-ganti pasangan, bila ditelisik akar permasalahannya terkadang disebabkan kurangnya perhatian ataupun “kasih sayang” yang diberikan oleh pasangan yang membuat “kejenuhan”, dan pada akhirnya mengganggu keharmonisan hubungan yang berujung pada “perpisahan”.
“Aku tak akan menipu, bahkan pada diriku sendiri.”[6] Itulah kata-kata Nietzsche yang secara tegas ia lontarkan dan tak lepas dari keyakinan bahwasanya kebenaranlah yang ia tonjolkan.
How about you…?
0 komentar:
Posting Komentar