"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Kamis, 16 Juni 2011

Sekilas tentang Absurditas

Sekilas tentang Absurditas
Absurditas dalam Pandangan Eksistensialisme Sartre dan Camus

Oleh: Wahyu Budi Nugroho

Sartre & Camus

          “Absurditas” adalah suatu terminus yang kerap digunakan para filsuf eksistensialis guna menggambarkan betapa “anehnya” kehidupan di dunia ini...

*****

Dimensi absurditas atau ketidakbermaknaan hidup dalam eksistensialisme Sartre ditunjukkan melalui eksistensi manusia sebagai kehendak untuk menjadi Tuhan. Secara tegas, ia berkata, “To be man means to reach toward being God. Or if you prefer, man fundamentally is the desire to be God.” [“Menjadi manusia berarti adalah upaya untuk menjadi Tuhan. Atau jika kau lebih menyukainya, secara mendasar manusia adalah kehendak untuk menjadi Tuhan.”].[1] Hal tersebut dimungkinkan dikarenakan eksistensi manusia sebagai pour soi yang selalu memiliki celah atau kekurangan berupa ajeg-nya kehendak atau keinginan dalam diri sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya: “The existence of desire as a human fact is sufficient to prove that human reality is lack.”.

Oleh karenanya, di samping “berada dalam dirinya” (pour soi atau being for itself), sesungguhnya manusia juga hendak menjadi en soi (being in itself) “berada dalam dirinya” yang sempurna berikut tanpa celah. Namun eksistensi yang demikian, etre pour soi sekaligus etre en soi, hanyalah menjadi sifat Tuhan semata. Oleh karenanya, Sartre kemudian menyatakan keberadaan manusia di dunia tidak lebih sebagai useless passion ‘hasrat kesia-siaan’.

“Each human reality is at the same time direct project to metamorphose its own For-itself into an In-itself ... Every human reality is a passion in that it projects losing itself so as to found being and by the same stroke to constitute the In-itself which escapes contigency by being its own foundation, the Ens causa sui, which religion call God … But the idea of God is contradictory and we lose ourselves in vain. Man is useless passion”.[2]

[“Setiap realitas manusia pada waktu yang bersamaan memiliki proyek untuk merubah karakter “berada bagi dirinya” menjadi “berada dalam dirinya” … Setiap realitas manusia merupakan hasrat pada proyek untuk melenyapkan “berada bagi dirinya” namun tetap berkesadaran dan pada waktu bersamaan menemukan dirinya sebagai “berada dalam dirinya” yang tidak memiliki pondasi kesadaran, suatu penyebab utama, di mana dalam agama disebut sebagai Tuhan … Namun ide mengenai Tuhan bertentangan—dengan sifat manusia—dan kita akan selalu menemukan diri kita dalam kegagalan. Manusia adalah hasrat kesia-siaan.”]
 
            Dimensi lain absurditas kehidupan dalam pandangan Sartre adalah ketiadaan alasan dan tujuan dari terciptanya benda-benda. “Dunia dan benda-benda yang membentuknya adalah benda-benda yang ada tanpa alasan maupun tujuan. Tidak tercipta, tanpa alasan untuk hidup, mereka sekedar ada”, ucap Sartre.[3] Lebih jauh, karena dunia ini tidak memiliki alasan untuk ada, maka Sartre menyebutnya sebagai “Yang Absurd”. Begitu pula keberadaan manusia bagi Sartre, pada awalnya manusia hanyalah sebuah benda, ia—manusia—benar-benar akan menjadi manusia sejati manakala telah memilih moralitas yang diinginkannya secara bebas. Melalui kebebasan menentukan diri, maka ia telah membentuk hakekatnya sendiri, atau dengan kata lain, “menciptakan dirinya sendiri”.[4] Ia tak lagi menjadi sebuah benda yang tanpa makna dan tujuan (absurd).

            Perihal lain yang menunjukkan dimensi ketidakbermaknaan hidup dalam pandangan eksistensialisme Sartre adalah tidak tabunya tindakan bunuh diri sebagai salah satu bentuk pilihan bebas kehidupan manusia. Meskipun memang, kajian yang lebih seksama atasnya akan lebih banyak ditemui dalam eksistensialisme Albert Camus, di mana melalui eksemplarnya, Mite Sisifus, Camus mengambil misal salah satu mitologi Yunani mengenai Sisifus yang dihukum para dewa untuk mendorong batu ke puncak bukit, kemudian digelindingkan kembali, setelahnya Sisifus harus mendorongnya kembali, dan demikian seterusnya. Menyitir ungkapan Dostoyevsky, Camus berkata, “Jika hidup sudah tidak bermakna layaknya Sisifus, pantaskah untuk tetap dijalani?”.[5]

Bagi Camus, absurditas kehidupan tidak hadir dengan sendirinya, ia hadir-menyerua melalui rutinitas yang selalu dilakoni manusia. Pada awalnya, manusia merasa apa yang dilakukannya begitu berharga dan bermakna, namun lambat-laun, setelah ia melakukannya secara terus-menerus dan berulang-ulang, timbul kejenuhan pada dirinya. Kejenuhan ini, apabila terus berlanjut, nantinya bakal melahirkan absurditas. Satu hal penting yang kiranya tidak patut diluputkan dalam pengkajian tersebut adalah setiap usaha manusia yang akan selalu berhadapan dengan “dinding-dinding absurditas”, yakni kematian dari manusia itu sendiri. Dalam Mite Sisifus, Camus berkata,

“Semua kehidupan manusia beserta hasratnya yang hangat, aktivitasnya dengan berbagai prestasi, semua keindahan yang telah ia saksikan, semua cinta yang telah ia berikan dan terima, semua akan berakhir dengan kematian. Setiap peristiwa dan setiap detik yang ia jalani semakin mendekatkannya pada kematian. Bayang-bayang kematian bisa muncul melalui apa saja: Ia adalah bagian dari semua kesenangan kita, ia tunjukkan kesia-siaan dari aktivitas kita. Inilah perasaan absurd itu.”[6]

Lain halnya dengan Camus yang cenderung menjadikan tindakan bunuh diri sebagai solusi mengatasi absurditas kehidupan, bagi Sartre salah satu pilihan moderat (baca: aman) yang dapat diambil guna mengatasi absurditas kehidupan adalah dengan melakukan penciptaan diri yang terus-menerus dan berulang-ulang.[7] Hal tersebut terlebih berarti melakukan pemaknaan di setiap situasi dan kondisi yang berbeda.



[1] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, New York, 1956, p. 566.
[2] Ibid., h. 615.
            [3] Ibid., h. Ixv-Ixix.
            [4] Ibid., h. 560.
[5] Lihat Albert Camus, Mite Sisifus, Gramedia, Jakarta, 1999.
[6] Ibid., h. 15.
[7] Jean Paul Sartre, op. cit., h. 464.


Referensi:

  • Sartre, Jean Paul. 1956. Being and Nothingness. New York: Philosophical Library.
  • Camus, Albert. 1999. Mite Sisifus. Jakarta: Gramedia.           

6 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya suka dengan blog anda bung.. Mantap :) Bisa untuk bahan bacaan singkat sebelum lebih mendalami kajian teori tertentu :)

Wbn mengatakan...

thanks Bung, buat Anda blog ini dibuat :)

Anonim mengatakan...

setiap filsuf existensialis punya caranya sendiri dalam menghadapi absurditas hidup. Ada yang menyarankan bunuh diri, ada yang mencoba memaknai setiao situasi, ada yang melakukan penyerahan diri total, dll.. keren blognya bang, karena saya juga suka dengan existensialise.. hehehe

Unknown mengatakan...

blog ini memperkaya khasanah pemikiran sosiologi. Congrats dan terus berkarya

Unknown mengatakan...

Camus tidak menyarankan untuk bunuh diri bang, menurut saya dia lebih menyarankan untuk minum kopi

stenote mengatakan...

Saya juga menyukai Albert Camus, dia pernah bilang:" Saya banyak meluangkan waktu di saat musim panas di pantai populer Les Sablettes di Algeria. Saya hidup melarat di masa kecil namun juga dengan semacam kesenangan lahiriah, dengan berenang, sinar matahari, pasir dan sepakbola. Saya lelaki Mediterranean, dengan badan sehat yang menyembah keindahan dan badan seperti orang Yunani kuno. "

Saya mencoba menulis blog tentang dia, semoga anda suka:
http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/08/wawancara-dengan-albert.html

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger