"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Kamis, 21 Juli 2011

II: EPISTEMOLOGI FILSAFAT EKSISTENSIALISME JEAN PAUL SARTRE

II
EPISTEMOLOGI
FILSAFAT EKSISTENSIALISME JEAN PAUL SARTRE
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos


“...kesadaran adalah pusaran kemungkinan.”
(Sartre)

            Epistemologi merupakan salah satu elemen penting dalam suatu bangunan ilmu pengetahuan, ideologi atau konstruksi pemahaman tertentu di samping ontologi dan aksiologi. Terminus epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti “pengetahuan”.[1] Di satu sisi, Michel Foucault memaknai episteme sebagai, “total set relasi-relasi yang menyatukan pada satu periode tertentu, yakni sebentuk ‘diskursif’ ilmu pengetahuan dan berbagai sistem formal yang selalu berubah dari masa ke masa”. Dalam ranah filsafat, epistemologi sendiri kerap didefinisikan sebagai, “berbagai bentuk metode untuk memperoleh pengetahuan”.[2] Terkait hal tersebut, Linda Smith dan William Raeper menjelaskan bahwa eksistensi epistemologi yang “mustahil” dipisahkan dari ontologi serta aksiologi di mana kesemua hal tersebut merupakan bagian penting dari suatu bangunan ilmu pengetahuan tercetus melalui dialog antara Socrates dan Plato. Hal tersebut dipaparkan sebagai berikut,[3]
            Apa manfaat pengetahuan tersebut?                    (Aksiologi)
            Bagaimana mendapat pengetahuan tersebut?       (Epistemologi)
            Apa saja yang ingin diketahui?                            (Ontologi)
            Dalam pembahasan epistemologi filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre sebagaimana akan dipaparkan lebih lanjut, pengertian epistemologi digunakan dalam dua bentuk, yakni epistemologi sebagai, “metode yang digunakan Sartre dalam merumuskan eksistensialisme” serta epistemologi sebagai, “kerangka berpikir dalam eksistensialisme”. Apa yang dimaksudkan dalam pengertian kedua (epistemologi sebagai kerangka berpikir) adalah, berbagai kerangka konseptual (baca: ide-ide kunci) yang andil dalam mengkonstruksi dan menyusun filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Dengan kata lain, merupakan berbagai ide pokok atau “instrumen” eksistensialisme dalam upaya menjelaskan, memahami serta “menghadapi” dunia. Dengan demikian, “epistemologi sebagai kerangka berpikir” dalam eksistensialisme Sartre merupakan kelanjutan dari metode awal dalam eksistensialisme yang telah mengalami perombakan dan “pengemasan” sedemikian rupa oleh Jean Paul Sartre.
Selayang Pandang Fenomenologi: “Ilmu Tanpa Prasangka”
            Fenomenologi merupakan salah satu bentuk epistemologi yang cukup menonjol dalam filsafat, pada ranah disiplin sosiologi pemahaman tersebut terklasifikasikan dalam tataran mikro-Sosiologi melalui beberapa tokohnya semisal Peter Berger dan Alfred Schutz.[4] Istilah “fenomenologi” berasal dari bahasa Yunani, fenomenon yang artinya, “sesuatu yang tampak”, sementara penganut fenomenologi meng-interpretasikan-nya sebagai, “apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri”, atau “penampakkan sebagaimana adanya”, yakni “segala sesuatu yang benar-benar jelas di hadapan kita”.[5]
            Metode fenomenologi yang hadir pada paruh akhir abad kesembilan belas dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938), seorang intelektual asal Prosswitz (Moravia) yang mulanya mempelajari ilmu-ilmu eksakta dan kemudian beralih pada studi filsafat. Melalui fenomenologi, Husserl berupaya memecahkan persoalan besar berupa, “relasi antara kesadaran manusia dengan berbagai obyek di sekitarnya yang lahir melalui pengamatan”. Tak dapat dipungkiri bahwa hingga kini istilah fenomenologi  belum menemui bentuknya yang jelas dan tegas.[6] Namun demikian, guna menghindari samarnya pengkajian sekitar fenomenologi, kiranya perlu dicatat satu pengertian pemahaman tersebut yang kerap digunakan, yakni “sebentuk metode berpikir yang begitu teliti dengan berbagai kekhasannya tersendiri”.[7] “Ketelitian” dan “kekhasan” yang dimaksud adalah, bagaimana metode tersebut berupaya memahami dunia melalui perspektif sang aktor, suatu pemahaman subyektif di mana peneliti menempatkan diri sebagaimana sang aktor (pihak yang diteliti) memandang dunianya.
            Berpijak pada definisi fenomenologi di atas, konsepsi Max Weber mengenai segala bentuk tindakan yang bersifat “rasional” menemui relevansinya, entah tindakan tersebut terklasifikasikan dalam bentuk rasionalitas formal, rasionalitas instrumental, rasionalitas nilai, rasionalitas tradisional ataukah rasionalitas afektif. Hal tersebut mengingat aktor yang dalam hal ini ditempatkan sebagai “subyek”, di-duduk-kan sebagai sumber pengetahuan (informasi)— “pemegang otoritas pengetahuan”.
Sebagai misal, ketika peneliti bertanya pada seorang Yahudi perihal kaum Ibrani yang tak mengkonsumsi daging babi, kemudian sang Yahudi menjawab bahwa “Yahwe” melarang kaum Ibrani mengkonsumsinya, faktual berbagai persepsi pun tetaplah terbuka—memiliki kemungkinan—untuk ditulis sang peneliti. Dalam laporan penelitiannya, ia dapat menulis bahwa kaum Yahudi tak mengkonsumsi daging babi dikarenakan menemui kesulitan dalam men-ternakkan-nya, daging babi tidak enak rasanya, atau ia benar-benar menulis sebagaimana dinyatakan seorang Yahudi tersebut bahwa agama mereka mengharamkan daging babi. Apabila jawaban pertama atau kedua yang dituliskan sang peneliti dalam laporannya (jawaban yang tidak diucapkan informan), maka hal tersebut bukanlah fenomenologi disebabkan sang peneliti telah memasukkan “penilaiannya” serta melakukan “justifikasi” secara sepihak atasnya. Metode fenomenologi benar-benar berlaku dalam penelitian di atas apabila dalam laporannya sang peneliti menuliskan sebagaimana dinyatakan seorang Yahudi tersebut, dan apabila peninjauan melalui takaran “rasionalitas” Weber dilakukan, maka ditemui bahwa tindakan yang dilakukan sang Yahudi tersebut terklasifikasikan dalam bentuk “rasionalitas nilai”, yakni terkait sesuatu yang dianggap baik, benar, dianut serta dipegang teguh atau diperjuangkan oleh sang aktor—dalam bahasa Aristoteles: ultimate value ‘nilai tertinggi’.
Penerapan fenomenologi Husserl tak hanya mencakup berbagai hal abstrak sebagaimana terklasifikasikan dalam berbagai bentuk rasionalitas Weber di atas,[8] melainkan pula berbagai hal konkret yang “menampakkan dirinya” secara “jelas” dan “nyata” di sekeliling kita, sebagai misal suatu pencitraan—katakanlah lukisan—yang terkadang menuai beragam penilaian oleh berbagai orang yang berbeda-beda. Namun demikian, sebelum fenomenologi diterapkan, Husserl mengajukan sebuah prasyarat di mana “keberadaan diri” haruslah “eksis” atau diketahui terlebih dahulu. Berpijak melalui hal tersebut, kita beranjak pada satu konsep penting dalam fenomenologi yang disebutkan Husserl sebagai epoche.
 Istilah epoche berasal dari bahasa Yunani yang berarti “penangguhan”, istilah tersebut digunakan Husserl dalam fenomenologi guna merepresentasikan “tanda kurung” atau “penangguhan fenomenologis” dalam rangka menghilangkan berbagai asumsi yang ada.[9] Terkait upaya penemuan “eksistensi diri”, epoche difungsikan guna melakukan penangguhan “aku yang empiris”, setelah “aku yang empiris” ditangguhkan atau diberi “tanda kurung”, maka yang tersisa adalah “aku yang murni”. Entitas “aku yang murni” tersebutlah yang merupakan sebentuk “transendental” di mana mengatasi segala pengalaman, pada taraf tersebutlah “dasar” yang “pasti” terbentuk dan “tidak terbantahkan”.[10]
Apabila penelisikan lebih jauh dilakukan, maka konsepsi Husserl di atas menemui pertautannya dengan proyek besar Rene Descartes dalam upaya meletakkan “aksioma” pada filsafat, hanya saja dengan orientasi yang berbeda mengingat Descartes merupakan salah seorang pemikir mahzab rasionalisme—seorang rasionalis. Descartes, filsuf kenamaan Perancis sekaligus pelopor renaissance ‘pencerahan’ Eropa abad 15-18 yang membawa masyarakat pada pendewaan atas rasio, akal atau budi mendiktumkan cogito ergo sum ‘saya berpikir maka saya ada’. Melalui diktum tersebut, Descartes berupaya menegaskan bahwa yang “eksis” (“ada”) di dunia ini hanyalah “aku”, “aku yang sedang berpikir”, “aku yang sedang meragu”, ia mengajukan suatu tesis bahwa, “Bagaimana bila segala sesuatu yang kulihat di dunia ini merupakan ‘tipuan’ iblis genius malignus?”.[11]
            Kembali pada ranah fenomenologi Edmund Husserl, menurutnya setelah keberadaan “aku yang murni” diketahui maka tahapan selanjutnya adalah reduksion ‘reduksi’ atau ‘penyaringan’. Husserl membagi reduksi dalam tiga bentuk, antara lain reduksi fenomenologis, reduksi eiditis serta reduksi transendental. Reduksi fenomenologis dimaksudkan guna melakukan “penyaringan” berbagai pengalaman sehingga fenomena dalam wujud semurni-murninya pun diperoleh, reduksi eiditis merupakan penempatan “tanda kurung” segala sesuatu yang tidak terklasifikasikan ke dalam eidos ‘inti’ atau ‘hakekat', dalam tahapan ini berbagai persepsi, asumsi, tradisi, ideologi atau aksioma mengenai suatu obyek ditangguhkan terlebih dahulu. Tahap terakhir adalah reduksi transendental, tahapan terkait merupakan sebentuk upaya guna melakukan penangguhan pada segala eksistensi dan sesuatu yang tidak memiliki hubungan timbal-balik dengan kesadaran murni, melalui tahapan inilah pemaknaan diberikan secara bebas oleh subyek kepada obyek. Dengan demikian, melalui tiga pentahapan fenomenologi Husserl di atas, suatu obyek memiliki kepastian tersampaikan pada subyek. Dengan kata lain, fenomenologi diterapkan dalam kesadaan murni berikut tindakan sang subyek.[12]
            Berbagai pemikiran Husserl yang terangkum dalam sebentuk filsafat atau metode berpikir fenomenologi di atas pada hakekatnya merupakan bentuk penolakannya atas “positivisme” dan “naturalisme” yang dinilainya menimbulkan “krisis ilmu pengetahuan” disebabkan ketidakmampuannya mempertimbangkan perihal “nilai” dan “makna” dalam ilmu pengetahuan.[13] Dengan demikian, apabila upaya meringkas dan merangkum filsafat fenomenologi Edmund Husserl dilakukan, maka ditemui bentuknya sebagai perjuangan atas “pengembalian”, “pemulihan” dan “pemuliaan” nilai serta makna dalam  ilmu pengetahuan.

Fenomenologi sebagai Epistemologi
Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre
             Tak dapat dipungkiri bahwa fenomenologi menempati kedudukan urgen bahkan “sentral” dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Dalam hal ini, Sartre mengakui betapa besar pengaruh fenomenologi Edmund Husserl dalam pemikiran filsafatnya, “Fenomenologi Husserl dengan gemilang membuka jalan untuk mengadakan studi-studi tentang kesadaran dengan bertolak dari titik nol, tanpa asumsi-asumsi, tanpa hipotesis-hipotesis, dan tanpa teori-teori prafenomenologis”, demikian pungkasnya.[14] Tegas dan jelasnya, fenomenologi merupakan “metode” atau “teknik” dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Lebih jauh, Sartre menekan pula beberapa arti penting fenomenologi Husserl; pertama, perlunya menempatkan kesadaran sebagai dasar penyelidikan filsafat dan kedua, pentinganya filsafat untuk kembali pada realitasnya sendiri.
            Ketertarikan Sartre terhadap fenomenologi dimulai ketika salah seorang rekannya, Raymond Aron berkata pada Sartre dalam pertemuan di sebuah cafe, “Kau tahu sahabat kecilku, apabila kau seorang fenomenolog, kau dapat berbicara mengenai minuman ini dan itulah filsafat”. Keterkesanan Sartre bahwa ia dapat berfilsafat mengenai segelas birnya melalui fenomenologi tersebutlah yang kemudian menyebabkannya pergi ke Berlin pada September 1933 untuk mempelajari filsafat fenomenologi Edmund Husserl. Pada perkembangannya, berbagai pemikiran Sartre mengenai fenomenologi tertuang dalam dua buah eksemplar filsafat berjudul The Psychology of the Imagination (1936) dan Transcendence of the Ego (1937) serta sebuah novel deskriptif fenomenologi-nya, Nausea (1938).[15]
            Dalam Transcendence of the Ego ‘Transendensi Ego’, Sartre secara keras menolak konsep kejiwaan freudian di mana menurut pemahaman tersebut “kesadaran tidaklah ada pada diri manusia”, melainkan “ketidaksadaran”. Jelas dan tegasnya, Sartre menolak konsep Freud mengenai determinisme libido, nafsu berikut emosi pada diri manusia yang “tak menguntungkan” bagi kesadaran berikut mereduksi kebebasan manusia. Bagi Sartre, kesadaran merupakan “spontanitas impersonal” yang lahir melalui ex-Nihilo, yakni “perihal” yang diciptakan melalui “ketiadaan”.[16] Mengapa demikian, Sartre membuktikan hal tersebut melalui sebuah kalimat yang berbunyi, “Aku sadar akan diriku”, apabila kita mencermati untaian kalimat tersebut maka ditemui dua “aku” di dalamnya, antara “aku” pertama dan “aku” kedua terdapat jarak, suatu rentang, jarak atau rentang tersebutlah yang didaulat Sartre sebagai kekosongan dan ketiadaan—dalam bahasa Sartre: La Neant.[17]  
            Namun demikian, tambahnya pula, justru melalui ketiadaan tersebutlah manusia aktif bertindak—“pendinamisasian manusia” ala Drijakara. Menurut Sartre, kekosongan tersebut menciptakan pilihan-pilihan bebas atau berbagai kemungkinan tindakan bagi manusia sehingga pada akhirnya ia memperoleh kesimpulan bahwa, “kesadaran adalah pusaran kemungkinan”. Dengan demikian, tegas Sartre, manusia merupakan, “suatu proses penciptaan diri tanpa henti”, ia tak kuasa mengelak dari spontanitas atau kebebasannya sendiri—kebebasan untuk memilih. “Pusaran kemungkinan memperlihatkan bahwa kita benar-benar bebas, kebebasan yang sangat besar, dan Anda dibuat takut olehnya”, tegas Sartre.[18]
            Berpijak melalui analisis di atas, Sartre berupaya menjabarkan berbagai argumen penolakannya atas Freud, ia menegaskan bahwa baik emosi dalam bentuknya sebagai libido ataupun nafsu merupakan suatu “perilaku yang bertujuan”, berlandaskan pada berbagai “harapan” serta “motif” tertentu. Lebih jauh, Sartre menjelaskan bahwa emosi memiliki makna karena berlandaskan pada pilihan-pilihan bebas, ianya “bukan” merupakan peristiwa “pasif” dalam kesadaran, melainkan “menurunkan” (mengejawantahkan) kesadaran secara spontan.[19]
            Di sisi lain, belum cukup Sartre melayangkan kritiknya terhadap Freud, begitu pula tak luput pada guru fenomenologi-nya, Edmund Husserl. Meskipun Sartre begitu menghormati Husserl, namun dalam ranah tertentu ia secara tegas menolak beberapa sendi pemikirannya. Beberapa di antara penolakan Sartre atas fenomenologi Husserl adalah konsepsinya mengenai reduksi transendental (fenomenologi transendental) serta kesadaran akan penemuan “aku murni” yang menyiratkan kemiripannya dengan cogito cartesian.[20]
Menurut Sartre, fenomenologi transendental justru mengembalikan bentuknya pada pola pikir “idealisme” di mana “alam idea” yang abstrak berperan dominan di dalamnya, hal tersebut dinilainya kian menjauhkan filsafat dari “realitas”. Sebagai bentuk respon dan penolakannya, Sartre mencetuskan “fenomenologi realistik” di mana menurutnya bukanlah “transendental” melainkan “eksistensial” subyeklah yang berperan dalam pemaknaan dunia.[21] Dengan kata lain, Sartre hendak mengatakan bahwa pemaknaan subyek atas dunia sepenuhnya berlangsung dalam proses yang riil (nyata) serta konkret, bukan alam idea sebagaimana dinyatakan Husserl. Hal tersebut diistilahkan pula oleh Sartre sebagai “psikoanalisis eksistensial” di mana konsep mengenai “faktisitas” berperan penting di dalamnya.[22] Sartre mendeskripsikan secara apik pemahaman tersebut dalam novelnya yang berjudul Nausea melalui seorang tokoh bernama “Roquentin”. Berikut beberapa cuplikannya,

“Roquentin sedang berada dalam trem listrik. Ia menatap ke luar jendela yang ada di hadapannya. Tiba-tiba ia bingung ketika yang terlihat bergerak adalah bangunan-bangunan di luar trem dan bukan trem itu sendiri.”

            Pada kesempatan lain, Roquentin tengah bersantai di taman sembari mengamati akar pohon di hadapannya, ia pun berkomentar,

“...saya duduk, membungkuk ke depan ... sendirian di depan benda hitam bertutul-tutul, benar-benar buas ... membuat saya ketakutan.”

Berpijak pada pemikiran Sartre mengenai fenomenologi realistik di atas, yakni sebentuk upaya guna memecahkan persoalan hubungan antara “ada subyektif” dengan “ada obyektif” atau keberadaan individu dengan berbagai hal konkret di sekitarnya, Sartre tiba pada suatu konklusi penting dan mendasar yang mensyaratkan bahwa, “segala sesuatu barulah dapat dimaknai ketika segala sesuatu tersebut ada (eksis) terlebih dahulu”. Melalui konklusi tersebut ia merumuskan sebuah dalil yang mana kelak menjadi landas-dasar filsafat eksistensialisme-nya yang berbunyi, “eksistensi mendahului esensi”.[23]
            Argumen penolakan kedua Sartre atas pemikiran Husserl terkait konsepnya mengenai “aku murni” atau “kesadaran akan aku yang sesungguhnya” yang lebih memiripkannya dengan diktum Descartes, cogito ergo sum ‘saya berpikir maka saya ada’. Menurut Sartre, penemuan akan diri yang sesungguhnya, yakni diri yang benar-benar “eksis” tidak cukup melalui ikhtiar “penangguhan” Husserl maupun metode “kesangsian” Descartes. Melalui pembacaan ulangnya atas kesadaran, fenomenologi Sartre menemui konklusi yang berbeda dengan fenomenologi Husserl.
            Menurut Sartre, setelah kesadaran diri sebagaimana diungkapkan Husserl dan Descartes ditemukan, hal tersebut menghantarkan pada kesadaran akan diri yang terpecah ke dalam dua bentuk, yakni kesadaran diri yang bersifat “reflektif” dan kesadaran diri yang bersifat “nonreflektif”. “Kesadaran reflektif” mensyaratkan kesadaran akan dirinya sebagai subyek, sedangkan “kesadaran nonreflektif” menunjuk pada kesadaran diri akan suatu objek dan “mengenyahkan” eksistensinya sebagai subyek.[24]
Dalam Transcendence of the Ego, Sartre menjelaskan kedua konsep di atas melalui seorang tokoh yang terpaku dan terpesona pada pemandangan yang dilihatnya di sepanjang jalan, suatu waktu ia melihat ke arah trem yang tengah melaju, mendadak kemudian ia sadar telah melewatkan trem yang hendak ditumpanginya. Sartre menjelaskan bahwa ketika tokoh tersebut terpaku dan terpesona pada pemandangan di sepanjang jalan maka kesadaran yang tengah menghinggapi dirinya merupakan “kesadaran nonreflektif”. Hal tersebut mengingat berbagai pemadangan di sepanjang jalan yang memenuhi pikirannya hingga tak memberikan tempat bagi dirinya sendiri, ia lebih terpaku pada “objek” ketimbang pada dirinya sendiri sebagai “subyek”, dengan tegas Sartre mengatakan bahwa ia telah “mengenyahkan dirinya sendiri”. Di satu sisi, ketika tokoh tersebut sadar, “Aku telah melewatkan trem tersebut!”, maka kesadaran yang tengah memenuhi dirinya merupakan “kesadaran reflektif”, yakni kesadaran akan dirinya sendiri, kesadaran bahwa ia telah mengembalikan dirinya sebagai subyek setelah terpaku pada berbagai objek, kesadaran bahwa ia telah melewatkan trem tersebut.[25]
Di samping penjelasannya dalam Transcendence of the Ego, Sartre menguraikan pula konsep kesadaran reflektif dan nonreflektif dalam eksemplar Being and Nothingness melalui seorang tokoh bernama “Pierre”. Suatu kali, Pierre memiliki temu janji dengan salah seorang teman di sebuah cafe, ketika Pierre tiba, dengan segera ia mencari temannya, ia “menyapu” dan mengalihkan pandangannya pada setiap orang yang sedang berada dalam cafe tersebut. Pada satu periode waktu, ia menyadari bahwa teman yang memiliki temu janji dengannya tak hadir di tempat itu, kemudian ia berkata pada diri sendiri, “Aku ditipu!”. Ketika Pierre tiba dan berupaya “menyapukan” pandangannya ke seluruh ruangan untuk mencari temannya, maka kesadaran Pierre kala itu bersifat “nonreflektif”, tegas Sartre. Namun, ketika ia sadar bahwa temannya tak hadir dan berkata bahwa “ia telah ditipu”, maka dengan segera kesadaran yang melingkupinya bersifat “reflektif”.[26]
Dengan demikian, dapatlah dianalisis bahwa ikhtiar Sartre dalam memecahkan persoalan antara “ada subyektif” dengan “ada obyektif (keberadaan individu dengan keberadaan berbagai hal di sekitarnya) melalui fenomenologi menemui buah konklusi yang berbeda atas Edmund Husserl dan Rene Descartes. Secara tak langsung, Sartre pun me-“radikal”-kan cogito cartesian di mana diri yang berpikir atau meragu faktual belum tentu ditemui eksistensinya. Diakui atau tidak, melalui ikhtiarnya, Sartre berhasil membawa konsep kesadaran manusia “selangkah lebih maju” atas para pemikir—filsuf—sebelumnya.

Dalil Eksistensialisme sebagai Epistemologi
            Sebagaimana telah diuraikan dan dijelaskan sebelumnya bahwa “fenomenologi realistik” Sartre bermuara pada suatu dalil yang berbunyi, “eksistensi mendahului esensi” di mana segala hal barulah dapat dimaknai ketika kesemua hal tersebut “eksis” atau “ada” terlebih dahulu. “Eksistensi”, sebagaimana dimaksudkan Sartre dan filsafat pada umumnya, syarat memenuhi dimensi ruang dan waktu.[27] Apa yang dimaksudkan adalah, segala sesuatu yang bereksistensi pastilah nyata, sebagai misal, buku bersampul emas dalam mimpi memiliki sifat ada, namun tidak nyata dan tidak bereksistensi. Dalam hal ini, perbedaan mendasar antara Sartre dan pandangan filsafat secara umum mengenai eksistensi adalah aspek emosional yang termuat di dalamnya, apabila pandangan filsafat secara umum tak mengakui keberadaan emosi sebagai salah satu elemen dalam eksistensi, maka tak demikian halnya dengan Sartre. Menurut Sartre, seseorang yang mengepalkan tangan pada orang lain pastilah berkaitan dengan kondisi emosional, suatu tangan yang mengepal tak mungkin tanpa sebab dan maksud begitu saja.[28] Lebih jauh, dalam eksistensialisme, Sartre mengatakan bahwa ketika seseorang merasa terkucil, terasing, gelisah dan muak maka ia telah menjadi seorang eksistensialis.[29] Berbagai kondisi emosional tersebut menurut Sartre menunjukkan keutuhan manusia dalam berbagai aspeknya: “matrealisme” maupun “idealisme”.
            Dalam menguraikan persamaan argumennya atas konsep eksistensi yang berlaku secara umum dalam filsafat, Sartre mengumpamakan dua buah ilustrasi, ilustrasi pertama adalah gambar burung camar, dan ilustrasi kedua adalah gambar burung camar yang “ada”. Sartre menegaskan bahwa tak ditemui perbedaan antara keduanya, oleh karenanya ia menyimpulkan bahwa eksistensi atau berada haruslah konkret, “Berada tidak dapat dipikirkan, berada hanya dapat dialami”, pungkasnya.[30]
             Sebaliknya dengan “eksistensi”, “esensi” merupakan perihal yang abstrak. Dalam ranah filsafat, esensi merupakan “hakekat”, secara ringkas esensi merupakan inti pemikiran yang mana bersifat abstrak dan hanya dapat ditemui dalam alam idea.[31] Sebagai misal, surga dan neraka, apakah surga dan neraka benar-benar ada, kita tidaklah tahu kebenarannya, namun kita memiliki pemikiran mengenai keduanya, hal tersebutlah yang diistilahkan dengan esensi. Lebih jauh, esensi disebutkan pula sebagai definisi akan suatu hal, ide mengenai suatu hal, sifat dasar, fungsi atau “program” atas sesuatu.[32] Dalam hal ini, dapatlah dirumuskan bahwa segala sesuatu yang bereksistensi pastilah beresensi, namun segala sesuatu yang beresensi belum tentu bereksistensi.[33]
            Sebagaimana telah ditegaskan dan dijelaskan sebelumnya bahwa dalil landas-dasar utama eksistensialisme adalah “eksistensi mendahului esensi”, dengan kata lain seorang eksistensialis menurut Sartre, adalah mereka yang meyakini ke-shahih-an dalil di atas.[34] Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pula bahwa dalil tersebut menyatakan bahwa segala sesuatu barulah dapat dimaknai ketika segala sesuatu tersebut “ada” terlebih dahulu. Terkait hal tersebut, Sartre memisalkan keberadaan Tuhan, karena Tuhan belumlah terbukti keberadaannya atau eksistensinya, maka Ia tidaklah dapat dimaknai, lebih jauh ia menegaskan bahwa, “Tuhan adalah konsep ‘orang lain’ yang ditarik hingga ke batas”.[35]
            Di satu sisi, kiranya perlu pula mencermati konsep eksistensi Bertrand Russel yang kian memperjelas pemahaman Sartre mengenai eksistensi. Menurut Russel, kita kerap salah menggunakan kata “ada” dan “berada”, ketika kita mengatakan bahwa pensil itu “ada”, pada hakekatnya kita barulah sampai pada “tahap pemikiran bahwa pensil tersebut ada”. Namun, apabila suatu hari kita menemukan suatu benda sebagaimana kita maksudkan dengan pensil, maka barulah dapat dikatakan bahwa “pensil tersebut benar-benar ada”. Begitu pula halnya dengan Tuhan, ketika kita mengatakan bahwa “Tuhan itu ada”, pada hakekatnya kita baru pada “tahapan memiliki ide bahwa “Tuhan itu ada”. Namun, karena kita belum menjumpai, bertemu atau membuktikan bahwa Tuhan tersebut ada, maka dapatlah dikatakan bahwa “Tuhan belumlah benar-benar ada”.[36] Apabila penelusuran lebih jauh atasnya dilakukan, maka ditemui bahwa berbagai konsep mengenai eksistensi di atas menjadi tesis (baca: argumen) “atheisme” eksistensialisme Sartre. Terkait hal tersebut, Sartre menegaskan, “Existentialism is nothing else than an attempt to draw all the consequences of a coherent atheistic position” (“Eksistensialisme merupakan suatu usaha guna melanjutkan konsekuensi dari posisi ateistis yang koheren”).[37]
            Terkait keyakinan akan dalil eksistensialisme Sartre di atas, kiranya perlu diandaikan perspektif yang berseberangan guna menguji dan menjelaskannya lebih lanjut, yakni bilamana dalil tersebut dirombak sedemikian rupa dan berbunyi menjadi, “esensi mendahului eksistensi”. Apabila hal tersebut diasumsikan, maka ditemui bahwa segala sesuatu telah ditentukan hakekatnya, maknanya, definisi, ide, sifat dasar, fungsi atau programnya sebelum diciptakan atau diwujudkan keberadaannya. Sebagai misal, seorang pandai besi yang menciptakan sebuah golok, maka ketika golok tersebut selesai dibuat (terwujud keberadaanya), ia (golok) tak dapat menolak makna, tugas atau fungsi yang telah dilekatkan padanya yakni guna menebas pohon dan lain sebagainya.
            Terkait hal di atas dan hubungannya dengan manusia, Sartre mengatakan, “Tidak ada hakekat dari manusia karena tidak ada Tuhan yang menciptakannya”.[38] Namun, bisa jadi, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimanapun juga entitas individu terlahir melalui serangkaian proses reproduksi entitas-entitas individu sebelumnya, sehingga bagaimana dalil eksistensialisme dapat berlaku apabila, katakanlah, ditemui orang tua yang jauh-jauh hari telah mengharapkan anaknya menjadi sebagaimana yang diharapkannya. Menurut Sartre, hal tersebut tak berlaku mengingat kedudukan manusia sebagai etre pour soi ‘berada bagi dirinya’ dan bukannya etre en soi ‘berada dalam dirinya’, hal tersebut akan diuraikan lebih jauh dalam pembahasan nanti.[39]
            Di sisi lain, perlu dipaparkan pula kiranya, di samping eksistensialisme Sartre secara ekplisit menolak idealisme yang kental dengan pengutamaan esensi dan berbagai bentuk abstraksi alam idea, namun demikian corak pemikiran Sartre atas eksistensialisme tak dapat ujug-ujug “diklaim” pada bentuk pemahaman matrealisme. Hal tersebut mengingat eksistensialisme Sartre sendiri yang ditempatkan sebagai bentuk respon dan penolakannya atas pola pikir idealisme serta matrealisme dalam memandang manusia. Menurut Sartre, idealisme jelas mengekang kebebasan manusia mengingat diktum terkenalnya, “Sejarah adalah ide (ruh absolut) yang berkembang dalam waktu”. Lebih jauh, diktum tersebut meyakini bahwa ide yang ada dalam manusia tidaklah otonom, di satu sisi ia merupakan pengejawantahan takdir tuhan, sehingga jalannya sejarah telah ditentukan oleh Tuhan, sedang tak ada kuasa bagi aktor-aktor yang terlibat di dalamnya tanpa pilihan adikodrati.[40]
            Terkait matrealisme, Sartre menganggap pemahaman tersebut terlampau menyederhanakan manusia sebagai “mesin” atau “materi” yang tak memiliki pikiran serta perasaan. Sebagai misal, pemahaman Feurebach atas perasaan dan pengalaman manusia yang sekedar dianggapnya sebagai gejala “biologis-organis” sehingga manusia tak ubahnya seperti “mesin”. Begitu pula dengan pola pikir matrealisme yang kerap menjadikan manusia sebagai “objek”, bahkan menempatkannya dalam “ekonomi determinan” semata sebagaimana keduanya dijumpai dalam pemikiran Marx tua.
Melalui berbagai pemaparan di atas, dapatlah ditilik dan ditegaskan sekali lagi bahwa eksistensialisme merupakan suatu pemahaman yang menempatkan “eksistensi atau keberadaan manusia sebagai yang utama”. Apabila penelusuran lebih jauh atasnya dilakukan, maka ditemui bahwa dalil “agung” eksistensialisme tersebut kemudian “menurunkan” berbagai konsep yang mana terkerangka pula dalam bentuknya sebagai “epistemologi eksistensialisme Jean Paul Sartre”. Berbagai konsep turunan dalil eksistensialisme tersebut antara lain “kebebasan”, “pilihan bebas”, “absurditas”, etre en soi-etre pour soi, “kesadaran reflektif-nonreflektif”, mauvaise foi, “objektivasi” (other is hell) serta “faktisitas”.

Kerangka Konseptual Eksistensialisme Jean Paul Sartre
sebagai Epistemologi[41]
Kebebasan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa eksistensialisme “mengkeramatkan” dalil “eksistensi mendahului esensi”, bagi Sartre hal tersebut mengimplikasikan “ketiadaan Tuhan”. Karena Tuhan tidaklah ada, maka kabar baik bagi manusia adalah keberadaannya yang bebas “sebebas-bebasnya” di dunia ini, bahkan menurutnya manusia adalah kebebasan itu sendiri.[42] Namun demikian, ketiadaan tuhan tidaklah serta-merta membawa kebaikan penuh bagi manusia. Permasalahan muncul ketika eksistensialisme sendiri menghendaki manusia memaknai diri dan tak dimaknai orang lain serta lingkungan sebagai konsekuensi atas “kesadaran diri” yang dimiliki.[43]
Dalam hal ini, karena Tuhan tidak ada, maka manusia pun menemui kesulitan dalam upaya menyusun patokan nilai, norma dan etika bagi “dirinya sendiri”. Manusia dengan segala keterbatasan dan kapasitasnya dipaksa menyusun tatanan moral, etika serta tujuan hidup bagi dirinya sendiri sebagai konsekuensi ketiadaan tuhan, terkait hal ini Sartre mengatakan, “Je suis condamned a etre libre!” (“Aku dikutuk untuk bebas!”) dan segalanya bagi Sartre—hidup tanpa patokan norma dan nilai berikut tujuan yang jelas—adalah perihal yang nausea ‘memuakkan’.[44]
Pilihan Bebas & Absurditas
Ketiadaan Tuhan bagi Sartre berimplikasi pula pada kebebasan manusia menentukan pilihan hidup. Perihal menarik yang kiranya patut menjadi perhatian lebih adalah absurditas yang muncul melalui ketidakmampuan manusia menyusun tujuan hidupnya sendiri menghantarkan pada “kematian” (baca: bunuh diri) sebagai salah satu pilihan bebas hidup yang tak dianggap tabu dalam eksistensialisme. Dengan demikian, melalui indikator sederhana pengukuran epistemologi berupa; pemaknaan asal kehidupan, tujuan kehidupan dan kematian, dengan tegas dan lugas seorang eksistensialis bakal mengatakan bahwa kesemuanya adalah absurd![45]
            “Bunuh diri” sebagai pengejawantahan kebebasan pilihan hidup eksistensialisme salah satunya tampak dalam buah karya Albert Camus, Mite Sisifus yang menceritakan seorang manusia bernama “Sisifus”—mitologi Yunani—yang dikenai hukuman para dewa untuk membawa sebuah batu besar ke puncak bukit dan setelah mencapainya, batu besar tersebut digelindingkan kembali oleh para dewa ke kaki bukit dan Sisifus diharuskan melakukan hal yang sama; membawanya kembali ke puncak bukit, dilemparkan kembali oleh para dewa, demikian secara terus-menerus dan berulang-ulang. Dalam hal ini, Camus menengarai, jika hidup tak lagi bermakna, maka apakah tetap layak untuk dijalani, dengan kata lain Camus mengajak mereka yang telah kehilangan makna hidup untuk melakukan tindakan “bunuh diri”.[46] Terkait pilihan bebas tersebut, Sartre menambahkan sebuah premis, “Ketika anda memilih, berarti anda memilih untuk seluruh umat manusia”.[47]      
Etre En Soi & Etre Pour Soi
            Eksistensialisme Sartre dikenal pula sebagai bentuk “ontologi radikal” dengan “oposisi biner” di dalamnya—essay on phenomenological ontology. Oposisi biner tersebut tampak melalui pembagian Sartre akan segala hal menjadi etre en soi ‘berada dalam dirinya’ dan etre pour soi ‘berada bagi dirinya’. Menurut Sartre, etre en soi adalah segala sesuatu yang tak memiliki kesadaran, tak mampu menyusun tujuan hidupnya sendiri, tujuan keberadaannya sepenuhnya ditentukan oleh eksistensi lain. Etre en soi dapat dimisalkan dengan sebuah meja, kursi, bangunan dan sebagainya. Namun demikian, meskipun etre en soi tak memiliki kesadaran tetapi ianya adalah sempurna, sempurna sebagai kursi, meja, bangunan dan sebagainya. Ia tak memiliki celah untuk dikritisi, ia tak memiliki kekosongan yang memunculkan keinginan-keinginan, di sinilah kelebihan etre en soi.[48]
            Berseberangan dengan etre en soi, etre pour soi adalah segala sesuatu yang memiliki kesadaran, dalam hal ini manusia itu sendiri. Dengan kesadaran tersebut manusia mampu menyusun tujuan hidupnya, memaknai diri sendiri sesuai kehendaknya, bahkan memaknai pihak lain. Namun demikian, di satu sisi etre pour soi pun memiliki kekurangan yakni celah yang dimilikinya berikut keinginan-keinginan yang menandakan ajegnya kekosongan.[49]
            Menurut Sartre, pada hakekatnya manusia selalu ingin menjadi sempurna—tak memiliki celah dan kekosongan—namun, di satu sisi, ia tetap ingin memiliki kesadaran, dengan demikian ia hendak menjadi “etre en soi-etre pour soi”, namun yang demikian hanyalah sifat Tuhan semata, oleh karena itu kesimpulan fenomenal Sartre atas manusia adalah, “Man is useless passion!” (“Manusia adalah hasrat kesia-siaan!”).[50]    
Kesadaran Reflektif & Nonreflektif
            Seperti apa yang telah diuraikan sebelumnya bahwa eksistensialisme Sartre turut berbicara mengenai kesadaran, lebih lanjut, kesadaran dalam eksistensialisme Sartre terbagi dalam dua bentuk yakni “kesadaran reflektif” dan “kesadaran nonreflektif”. Kesadaran reflektif adalah kesadaran akan eksistensi dan kehadiran diri, sedangkan kesadaran nonreflektif adalah kesadaran akan eksistensi berikut kehadiran individu atau objek lain.[51] Bagi Sartre, kesadaran pastilah “dikotomis”, tak ditemui jalan guna menggabungkan reflektif dan nonreflektif, antara yang satu dengan yang lain selalu saling “mengenyahkan”.
Otentitas & Mauvaise Foi
            “Mauvaise foi” adalah istilah yang digunakan Sartre guna menunjuk “keyakinan yang buruk” pada manusia. Menurut Sartre, hanya terdapat dua pilihan bagi manusia, yakni hidup secara “otentik” atau hidup dengan “keyakinan yang buruk”. Bagi Sartre, seseorang hidup secara “otentik” bilamana meyakini sepenuhnya bahwa dirinya “benar-benar bebas”, tidak terikat oleh aturan Tuhan dan berbagai hukum yang ada. Sebaliknya dengan mereka yang hidup dengan mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’, merasa terikat oleh aturan Tuhan dan berbagai hukum yang ada, termasuk di dalamnya bentuk-bentuk streotipe dan “pelabelan” tertentu.[52] 
Other Is Hell
            “Other is hell” (“Orang lain adalah neraka”) merupakan salah satu ide yang ditawarkan eksistensialisme Sartre. Bagi Sartre, “Penajisan” orang lain sebagai “neraka” dikarenakan eksistensinya yang selalu “mengobjekkan” diri kita. Hal tersebut dapat terjadi mengingat aspek “kesadaran” (etre pour soi) yang dimiliki pula oleh individu lain layaknya diri kita sehingga tak khayal berpotensi membentuk “penilaian” ataupun “menstruktur” eksistensi kita.[53]
            Hal di atas dapat dimisalkan dengan kesendirian kita di sebuah kelas, ketika hal tersebut tengah berlangsung, maka semisal kursi, meja dan papan tulis menjadi “objek” kita—ataupun segala sesuatu yang berada pada jangkauan penglihatan kita. Namun, ketika orang lain datang di kelas tersebut, situasi berbalik di mana kitalah yang menjadi objeknya kemudian, kita tersipu malu, tertindas, orang tersebut telah merenggut dunia kita. 
            Ide “other is hell” yang ditawarkan eksistensialisme tak heran memunculkan anggapan “miris” terkait eksistensialisme sebagai “filsafat antisosial”,” individualis” maupun “borjuis”. Namun demikian, hal tersebut memang diakui Sartre sebagai inti “konsep sosial” (filsafat sosial) yang ditawarkan eksistensialisme. Apabila penelaahan lebih jauh kita lakukan atas eksistensialisme, maka ditemui bahwa kesendirian, keterkucilan, kesedihan, alienasi menjadi tema sentral dalam karya-karya berbagai tokoh eksistensialis.
Faktisitas
            Faktisitas merupakan pemikiran Sartre dalam eksistensialisme atas “fakta-fakta” yang tak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Fakta tersebut sebagaimana penjelasannya lebih lanjut, tidaklah dapat “ditiadakan”, namun mampu sedemikian rupa “dilupakan”, “diolah” atau “dimanipulasi”. Beberapa misal faktisitas menurut Sartre seperti other ‘orang lain’, death ‘maut’, place ‘tempat’, time ‘waktu’ dan environment ‘lingkungan’.[54] Pada gilirannya, faktisitas menempati posisi “sentral” dalam konsep Sartre mengenai “psikoanalisis eksistensial”, yakni sebentuk metode—“terapi”—psikologis guna menemukan “proyek diri”.




[1] Linda Smith & William Raeper, Ide-Ide, Kanisius, Yogyakarta, 2000, h. 10.
[2] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2006, h. 85.
[3] Linda Smith & William Raeper, op. cit., h. 12.
[4] Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, h. 259.
[5] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1995, h. 140.
[6] Irving M. Zeitlin, op. cit., h. 208.
[7] Harun Hadiwijono, op. cit., h. 140.
[8] Dalam bahasa Weber diistilahkan dengan verstehen yakni “melihat di belakang dari yang tampak di depan”.
[9] Donald D. Palmer, Sartre Untuk Pemula, Kanisius, Yogyakarta, 2007, h. 35.
[10] Harun Hadiwijono, op. cit., h. 144.
[11] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004, h. 38.
[12] Harun Hadiwijono, loc. cit.
[13] Zainal Abidin, Filsafat Manusia, Rosda, Bandung, 2003, h. 142-143.
[14] Ibid., h. 171.
[15] Donald D. Palmer, op. cit., h. 8-9
[16] Jean Paul Sartre, The Transcendence of the Ego, Farrar, Strauss & Giroux, New York, 1957, h. 98.
[17] Harun Hadiwijono, op. cit., h. 160.
[18] Jean Paul Sartre, The Transcendence of the Ego, h. 100.
[19] Jean Paul Sartre, loc. cit.
[20] Zainal Abidin, op. cit., h. 183.
[21] Ibid., h. 150.
[22] Kita memutuskan untuk memaknai atau menentukan suatu fenomena tidaklah dikarenakan alam idea, melainkan lebih pada realitas yang kita saksikan itu sendiri.
[23] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 40-41, 44-45.
[24] Donald D. Palmer, op. cit., 38-39.
[25] Donald D. Palmer, loc. cit.
[26] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Washington Square Press, New York, 1992, h. 41.
[27] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996, h. 50.
[28] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, New York, 1956, h. 351.
[29] Donald D. Palmer, op. cit., h.
[30] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Washington Square Press, h. 129.
[31] Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 51.
[32] Donald D. Palmer, op. cit., h. 21.
[33] Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 52.
[34] Di satu sisi, Sartre mengatakan pula bahwa cukup seseorang merasa malu, nervous, terasing dan terkucil maka ia telah menjadi “eksistensialis”.
[35] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Washington Square Press, h. 385.
[36] Linda Smith & William Raeper, op. cit., h. 45.
[37] Jean Paul Sartre, Existentialism and Human Emotions, Philosophical Library, New York, 1948, h. 51.
[38] Donald D. Palmer, op. cit., h. 25.
[39] Manusia sebagai etre pour soi menunjuk pada dirinya yang “berkesadaran”. Oleh karenanya, ia diharuskan menentukan makna berikut tujuan hidupnya sendiri.
[40] Hegel, Nalar Dalam Sejarah, Teraju, Jakarta, 2005, h. xix-xlvi.
[41] Beberapa konsep dalam subbab ini telah disinggung dan dijelaskan secara acak dalam pembahasan sebelumnya. Dalam subbab terkait, penjelasan dan pemaparan ulang dilakukan guna membentuk pemahaman yang sistematis atas berbagai konsep pokok (ide-ide kunci) yang termuat dalam eksistensialisme Jean Paul Sartre.
[42] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, New York, 1956, h. 179.
[43] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, h. 44-45.
[44] Jean Paul Sartre, Nausea, New Directions, New York, 1964, h. 172-180.
[45] Ibid., h. 180.
[46] Selengkapnya lihat Albert Camus, Mite Sisifus, Gramedia, Jakarta, 1999.
[47] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Washington Square Press, h. 707.
[48] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, h. 74.
[49] Ibid., h. 222-223.
[50] Ibid., h. 615.
[51] Donald D. Palmer, op. cit., 38-39.
[52] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Washington Square Press, h. 97-108.
[53] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, h. 275.
[54] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Washington Square Press, h. 68-73.

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger