Tipe-tipe Bunuh Diri
Bunuh Diri dalam Kajian Sosiologis
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Bagaimana pandangan sosiologis atas tradisi masyarakat India yang mensyaratkan istri turut mati bersama suaminya? Bagaimana pandangan sosiologis mengenai prajurit yang mengorbankan dirinya (baca: membunuh dirinya) demi menyelamatkan prajurit-prajurit lainnya? Simak pembahasannya berikut ini.
Salah seorang sosiolog asal Perancis, Emile Durkheim, memiliki perhatian khusus terhadap fenomena bunuh diri (suicide) yang dianggapnya merupakan salah satu bentuk fenomena sosial. Lebih jauh, ia membagi tipe-tipe bunuh diri ke dalam beberapa klasifikasi sebagai berikut.
Bunuh Diri akibat Lemahnya Integrasi Sosial
Dalam pengkajian terkait, Durkheim membandingkan fenomena bunuh diri antara pemeluk agama Yahudi, Katolik dan Protestan. Pengkajiannya menemukan bahwa, meskipun ketiga agama tersebut melarang tindakan bunuh diri, faktual tingkat bunuh diri tertinggi ditemui pada pemeluk agama Protestan. Hal tersebut dikarenakan rendahnya integrasi sosial antarumat Protestan.
Dalam tipe bunuh diri klasifikasi terkait, lemahnya integrasi sosial menyebabkan individu menanggung sendiri permasalahan atau beban hidup yang dihadapinya. Tidak ada tempat berbagi (sharing) karena masyarakat dan keluarga semakin bersifat individualistik.
Fenomena terbaru dewasa ini kiranya dapat ditemui di Swiss. Tradisi masyarakat setempat yang mengharuskan anak berusia 17 tahun ke atas telah mandiri—keluar dari rumah, mencari kerja dan tempat tinggal sendiri—tak pelak menyebabkan tingginya angka depresi dan bunuh diri generasi muda di sana. Bahkan, terdapat sebuah jembatan yang secara khusus dijaga oleh polisi karena kerap digunakan pemuda/i Swiss untuk melakukan aksi bunuh diri (Ully: 2011).
Bunuh Diri akibat Kuatnya Integrasi Sosial
Sebaliknya dengan tipe bunuh diri pertama, tipe bunuh diri terkait disebabkan oleh integrasi sosial yang malah terlampau kuat. Dalam tipe ini, individu serasa begitu dikekang oleh masyarakatnya, ia serasa dikuasai penuh oleh lingkungan sosialnya sehingga menciptakan tekanan (stres/depresi) yang demikian hebat baginya. Dalam klasifikasi ini, tindak bunuh diri masih dibagi dalam beberapa tipe, antara lain;
Bunuh Diri akibat Kewajiban
Pada tipe ini, seseorang dikatakan kehilangan kehormatannya apabila gagal melaksanakan suatu tugas. Sebagai misal, kapten kapal Titanic yang memilih untuk turut tenggelam bersama kapalnya, mengingat justru ketika ia selamat, ia akan dicemooh banyak orang di sisa hidupnya. Misal lain adalah seorang janda di India yang melakukan tindakan bunuh diri untuk “menemani” suaminya yang mati. Dikarenakan hal tersebut telah menjadi norma dalam masyarakat, maka apabila ia tak melakukannya, bakal dicemooh nantinya.
Bunuh Diri akibat Dukungan Masyarakat
Dalam tipe ini, seseorang melakukan bunuh diri bukan dikarenakan kewajiban yang memaksa, melainkan optional ‘pilihan’ dan didukung oleh masyarakat. Dengan kata lain, suatu tindakan bunuh diri yang bakal menuai penghargaan dan penghormatan masyarakat. Sebagai misal ditemui pada seorang prajurit yang mengorbankan dirinya di medan perang untuk menyelamatkan prajurit-prajurit lainnya. Begitu pula, harakiri yang dilakukan prajurit Jepang untuk membela pemimpinnya.
Bunuh Diri akibat Kepuasan Diri
Menurut Durkheim, tak ada penjelasan ilmiah untuk tindakan bunuh diri terkait. Tegas dan jelasnya, individu sekedar merasa puas dan bangga untuk mempertontonkan tindakan bunuh dirinya di hadapan publik. Hal tersebut juga bukan dikarenakan kewajiban atau dorongan/tuntutan masyarakatnya.
*****
Referensi:
- Samuel, Hanneman. 2010. Emile Durkheim: Riwayat, Pemikiran dan Warisan Bapak Sosiologi Modern. Jakarta: Kepik Ungu.
- Wawancara dengan Primaully Wulandari, WNI yang tinggal di Swiss. Juni, 2011.
0 komentar:
Posting Komentar