“Ketika Anda Memilih,
Anda Memilih untuk Seluruh Umat Manusia!”
Anda Memilih untuk Seluruh Umat Manusia!”
Kalimat di atas merupakan salah satu pernyataan terkenal yang terlontar
dari mulut seorang filsuf eksistensialis kenamaan Perancis, Jean Paul Sartre. Terpikirkankah oleh anda bagaimana pernyataan di atas menjadi mungkin? Jawabnya mudah saja,
simak uraian di bawah ini.
Pilihan Hitler Selepas Gagal dalam
Kudeta Pertamanya
Faktual, sebelum Adolf Hitler menduduki tampuk kekuasaan tertinggi Jerman
pada tahun 1933 dan menyandang gelar Fuhrer
‘Bapak Bangsa’, ia sempat mencoba melakukan kudeta, namun kudeta pertamanya
harus berakhir dengan kegagalan. Seketika, pasukan pemerintah—pasukan
Presiden Paul von Hidenberg—mengepung rumah tempatnya bersembunyi. Kala itu,
sempat terlintas dalam benak Hitler untuk melakukan bunuh diri, bahkan moncong pistol
genggam telah diarahkannya tepat ke pelipis, namun sesaat kemudian istri
salah seorang kolega Hitler memohon padanya agar tak melakukan tindakan konyol tersebut,
wanita itu memohon sembari bersimpuh dan menitihkan air mata. Melihatnya,
Hitler pun luluh dan mengurungkan niatnya. Ia pun memilih untuk melanjutkan
hidupnya.
Dapatlah ditilik, apa dampak yang muncul kemudian akibat pilihan Hitler untuk
melanjutkan hidupnya? Perang Dunia II terjadi, tragedi holocaust berlangsung, tegas dan jelasnya, tak kurang dari 50 juta
jiwa meregang nyawa akibat kebijakan perang dan genosida yang dicetuskan Hitler.
Sekonyong-konyong, rentetan peristiwa tersebut pun menjadi monumen kejahatan kemanusiaan
terbesar sepanjang sejarah perjalanan umat manusia. Tak pelak, hal tersebut membuktikan
betapa pilihan yang dibuat individu berdampak pada seluruh umat manusia.
Dibalik “Tragedi Soekarno”
Dalam karya Bob Hering, Soekarno:
Bapak Indonesia Merdeka, terdapat satu subbab yang secara khusus membahas perihal
“tragedi Soekarno”. Di situ, Hering menjelaskan bahwa selama menjalani masa
tahanannya yang panjang di Penjara Soekamiskin, terdapat satu periode di mana
Soekarno sempat terpikir untuk “undur diri” dari perjuangan politiknya meraih
kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahkan, Soekarno sempat mengutarakan niatnya
tersebut dengan menulis surat pada gubernur jenderal Belanda yang berkuasa kala
itu. Di dalam suratnya, Soekarno mengemukakan permohonan maafnya atas segala
pergerakan yang telah dilakukannya, ia juga merendah dengan mengatakan bahwa
dirinya sekedar manusia biasa yang juga bisa rindu dengan istri dan keluarganya
di rumah. Momen-momen tersebutlah yang diistilahkan Hering sebagai “tragedi
Soekarno”.
Dapatlah ditilik pula, apa jadinya jika Soekarno Muda benar-benar
memilih untuk hengkang dari dunia politik tanah air dalam upayanya meraih
kemerdekaan nasional, bisa jadi bangsa Indonesia tak merdeka di tahun 1945,
bahkan proses untuk mencapainya dapat berlangsung jauh lebih lama, semisal
Afrika Selatan yang baru memperoleh kemerdekaannya di awal dekade 1990-an. Sekali
lagi, hal ini membuktikan betapa pilihan yang dibuat individu berdampak pada seluruh
umat manusia.
Oleh karenanya, berpikirlah besar
mulai sekarang!
*****
Referensi:
§
Sartre,
Jean Paul. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
§
Hering,
Bob. 2003. Soekarno: Bapak Indonesia Merdeka. Jakarta: Hasta Mitra.
§
Movie, Hitler: The Rise of Evil (2003), Christian
Duguay.
2 komentar:
tulisan yang mendidik... ditunggu tokoh lainnya ya...
salam,
Stylish Generation
terima kasih mbak tia, salam juga.
Posting Komentar