"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Kamis, 17 Maret 2011

“KAPITALISME RELIGIUS” SEBAGAI ALTERNATIF PENGENTASAN KEMISKINAN

“KAPITALISME RELIGIUS” 
SEBAGAI ALTERNATIF PENGENTASAN KEMISKINAN
MENINJAU KEMBALI TESIS ETIKA PROTESTAN 
DAN SPIRIT KAPITALISME-WEBER
Oleh: Wahyu Budi Nugroho


“…bahwa kerja dalam aspek panggilan merupakan suatu tugas yang digariskan tuhan.”     (Weber) 
Pendahuluan
            Terminus kapitalisme sebagaimana kita kenal, kerap menuai streotipe masyarakat luas. Kapitalisme kerap diidentikkan dengan penindasan, eksploitasi semena-mena berikut segala bentuk ketidakadilan lainnya. Beberapa versi mengenai asal-mula kelahiran kapitalisme pun muncul, sebagian berpendapat bahwa era bercocok tanam manusia primitif menjadi tonggak awal kemunculannya, beberapa pihak menyangkal, terutama kaum marxis ortodoks yang keukuh dengan pendiriannya bahwa kapitalisme lahir pasca abad 15 di mana kala itu terjadi pergeseran antara produksi untuk kegunaan menjadi produksi untuk pertukaran.[1] Dalam ranah berlainan, sebagian pemikir berpendapat bahwa kapitalisme berakar dari kelahiran sekularisme Eropa, sebagian yang lain menganggap eksemplar Adam Smith, The Wealth of Nations sebagai “bidan” kelahirannya, begitu pula pihak-pihak yang menegaskan bahwa revolusi industri menjadi “ibu” kapitalisme. Dalam diskursus intelektual ini, kita dapat melihat betapa The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism karya Weber tak mendapat tempat yang semestinya—begitu kontras dengan predikat Genius Universal yang disandang pencetusnya.[2]  
            Dalam paper yang singkat ini, penulis tidak akan melakukan justifikasi terkait kebenaran versi-versi tertentu kelahiran kapitalisme atau senada dengan Friedmann, Samuelson serta Solow yang “mengagungkan” kapitalisme sebagai “jembatan emas” menuju kesejahteraan masyarakat. Dalam keterbatasan kapasitas yang penulis miliki, setidaknya penulis berupaya melakukan peninjauan ulang terhadap karya Weber, The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism ‘Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme’ yang agaknya terlupakan dalam penelisikan embrio-embrio kapitalisme. Bisa jadi, ketidakrampungan karya ini karena wafatnya Weber yang tiba-tiba menjadi salah satu penyebab semakin kecilnya animo ilmuwan-ilmuwan sosial mengangkat karya ini,[3] atau dalam keadaan tesis yang belum “khatam” tersebut telah kita jumpai dekonstruksi-dekonstruksi terhadapnya, seperti yang salah satunya hadir melalui sosiolog kenamaan Bryan S. Turner dengan karyanya, Sosiologi Islam.[4]  
            Namun demikian, terlepas dari itu semua, kita perlu memberikan aplaus pada Anthony Giddens yang dengan teliti melakukan pengkajian ulang terhadap karya “bapak-bapak” Sosiologi peletak dasar teori sosiologi modern—Marx, Weber dan Durkheim—yang terangkum dalam buku apiknya, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern[5]  sehingga memungkinkannya menjadi ‘batu loncatan’ bagi pelajar ilmu-ilmu sosial awam yang hendak melangkah lebih lanjut pada karya-karya original ketiga tokoh di atas karena memang tulisan-tulisan tokoh tersebut— terutama Marx dan Weber—bersentuhan dengan tradisi penulisan Hegelian Jerman yang “angkuh” dan sulit dimengerti.  
            Hal ini menarik bagi penulis mengingat luasnya konstruksi pemikiran yang mempertentangkan kapitalisme dengan berbagai ajaran agama, bahkan dalam bentuknya yang ekstrem di Amerika Latin, kita menjumpai bentuk pergerakkan yang dikenal dengan nama Teologi Pembebasan, atau upaya intelektual-intelektual muda Indonesia kontemporer sendiri dengan Sosialisme Religius-nya,[6] kesemuanya merupakan isyarat dikotomi antara agama atau religiusitas dengan kapitalisme. Di tengah meluasnya anggapan ini, penulis mencoba melakukan peninjauan ulang terkait relevan-tidaknya pemikiran-pemikiran tersebut, dalam hal ini, kiranya penulis mengingatkan kembali muatan-muatan religius perspektif Weber dalam kapitalisme yang kemudian mengalami pendistorsian yang sedemikian hebatnya.
Kemenangan Kapitalisme?
Pada akhir 1980-an muncul “buku besar” karya tokoh kenamaan Amerika, Francis Fukuyama berjudul The End of History and The Last Man. Buku ini pada intinya menjelaskan kemenangan Demokrasi Liberal yang berada dalam tatanan sistem Kapitalisme.[7] Dengan kata lain, Fukuyama hendak menegaskan bahwa Kapitalisme merupakan satu-satunya ideologi yang mampu bertahan serta lolos dalam “seleksi alam” atau sejarah. Kapitalisme yang melewati kekakuan feodalisme, kapitalisme yang menembus kebekuan gereja abad pertengahan serta kapitalisme yang menjawab problem ekonomi sosialisme, kesemuanya menurut Fukuyama, menjadi penegas sekali lagi atas “kemenangan besar” kapitalisme sekaligus penutup ideologi-ideologi lain yang ada di dunia. Di satu sisi, momen kemunculan buku Fukuyama—akhir dekade 1980-an—dengan demikian dapat dianggap sebagai “perayaan” kapitalisme atas kebangkrutan rezim Komunis Soviet.[8]   
Ada Apa dengan Kapitalisme?
            Ekonom-ekonom Barat seperti Friedmann, Rostow, Samuelson dan Solow yang jelas “mengamini” kapitalisme sebagai jalan mewujudkan kesejahteraan masyarakat memiliki alasan tersendiri mengapa hal tersebut dapat terwujud. Satu kata kunci yang tampaknya tak dapat lepas dari analisis kita mengenai hal tersebut adalah trickle down effect ‘efek rambatan’, konsep terkait menjelaskan bahwa kesejahteraan dengan sendirinya akan terwujud apabila terjadi pembangunan skala besar (baca: industrialisasi skala masif), tegasnya melalui sebuah ilustrasi: semakin besar roti yang dibuat, maka semakin besar pula bagian-bagian roti tersebut yang dapat diberikan. Namun kemudian, terbukti bahwa konsep ini tak berjalan dengan semestinya, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut, namun sebelum menyentuh ranah terkait, menjadi praktis bagi kita untuk terlebih dulu memahami bagaimana kapitalis mendapatkan kekayaannya, mengingat aspek ini sekaligus menjelaskan penyebab gagalnya mekanisme trickle down effect.  
            Setidaknya, terdapat beberapa kata kunci dalam upaya menelisik akumulasi modal kapitalis, antara lain; alienasi nilai guna, nilai lebih serta sirkuit modal. Ketiga hal tersebut senyatanya telah menyimpang sedari etika awal protestan. Seorang pendeta protestan, John Calvin sempat berkata pada jamaahnya bahwa untuk beribadah kepada Tuhan kita harus melakukan tiga hal: Pertama, bekerja keras; Kedua, melakukan penghematan total, dan ketiga, mengutamakan rasionalitas, dalam artian menimbang untung-rugi terkait konsekuensi tindakan yang diambil.[9] Namun, tak hanya itu saja, lanjut Calvin, perilaku hidup asketik juga menjadi syarat mutlak menjadi seorang protestan, prilaku hidup asketik dalam hal ini berarti hidup secara alim, sederhana dan ‘rajin’ bersedekah.[10]    
            Suatu fakta yang cukup mengejutkan kita temui, Weber dalam tesis Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme mengangkat seorang tokoh bernama John Wesley yang secara gamblang berkata bahwa sikap hidup asketik akan memunculkan kekayaan bila dilakukan oleh siapa saja, ketakutan Wesley pula dalam hal ini apabila kekayaan seseorang meningkat maka dikhawatirkan esensi agama akan merosot pada proporsi yang sama.[11] Dapat kita cermati bahwa apa yang ditakutkan Wesley tampaknya menjadi kenyataan tak lama kemudian, bahkan tetap berlanjut hingga kini. Dalam melihat realitas ini, Weber memunculkan istilah auri sacra fames ‘rakus untuk mendapatkan emas’,[12] yakni suatu istilah guna menggambarkan pergeseran nilai-nilai asketik pada nilai-nilai hedonis penganut protestanisme. Berdasarkan hal tersebut, tampaklah jelas bahwa sistem ekonomi kapitalis yang saat ini eksis telah melenceng jauh dari pakem awalnya. Bentuk-bentuk tradisi asketik yang mulai meredup seiring tergantikannya dengan nilai-nilai hedonis hingga hari ini kiranya, kian membenarkan anggapan kaum agamis, marxis maupun marxian bahwa sistem tersebut benar-benar menjelma menjadi “monster” yang tak kenal lelah melakukan eksploitasi dan penindasan pada kaum marginal.
            Dengan demikian, dalam paper yang singkat ini penulis berupaya menawarkan sebuah paradigma baru di mana “penghancuran” terhadap sistem kapitalisme atau perombakan terhadapnya dengan menambahkan muatan ide-ide lain seperti sosialisme maupun religius pada dasarnya tidak diperlukan, apa yang seharusnya kita lakukan cukup mengembalikan kapitalisme pada pakem awal yang mendasari kemunculannya, yakni semangat asketik religius protestan itu sendiri.[13] Suatu istilah baru kemudian yang penulis kira cukup menjadi pembeda dengan bentuk kapitalisme sebelumnya yakni Kapitalisme Religius—kapitalisme yang berupaya melakukan oto-Pembaharuan dalam dirinya dalam bentuk “pemurnian” atau “pengembalian” etika protestan yang pada mula mendasarinya.     
Relevansi Kapitalisme Religius
            Pada penghujung abad 20 terbit buku karya Anthony Giddens berjudul The Third Way ‘Jalan Ketiga’, buku ‘pamflet’ ini memuat sebuah ide penggabungan antara kapitalisme dengan sosialisme. Giddens dengan jelas memaparkan kegagalan beruntun kapitalisme dengan krisis ekonomi berkalanya, di satu sisi ia juga menegaskan bahwa sosialisme akan tetap eksis bila kemiskinan tetap eksis pula di dunia ini. Pemikiran Giddens menemui wujudnya yang konkret dalam konsepnya mengenai strukturasi-agensi, di mana agen-agen sosialis harus dimasukkan dalam struktur-struktur kapitalis guna mempengaruhi berbagai kebijakan publik yang tercetus kemudian. Jika kita mengenal istilah “kiri” yang identik dengan kaum sosialis serta kontrol negara, sedangkan “kanan” identik dengan pasar bebas-kapitalis, maka konsepsi yang tercetus dari pemikiran Giddens dikenal dengan istilah center-left ‘kiri-tengah’.[14]
            Namun demikian, Jalan Ketiga Giddens—pada dasarnya merupakan  revitalisasi konsep Jalan Ketiga yang telah muncul sebelumnya—sejak “digodoknya” konsep tersebut hingga hari ini belum jua menemui hasilnya yang signifikan, apa yang selalu kita temui di lapangan adalah ketimpangan yang terjadi antara dua konsepsi “besar” tersebut. Di lain pihak, muncul pula begitu banyak prasangka terhadap Giddens sebagai “komprador” kapitalis karena pujian atas konsep Green Capitalism Thatcer yang dilayangkan Giddens.[15] Berbagai fakta tersebutlah yang kemudian tampaknya “mengecilkan” konsepsi Jalan Ketiga yang diusung Giddens sendiri.
            Dapatlah kita analisis, berbagai keterangan yang telah disajikan di atas agaknya kian memperkuat kapitalisme religius sebagai alternatif baru pengentasan kemiskinan dalam tingkat ekonomi mikro, makro maupun global. Seperti kita ketahui, sosialisme sebagai jalan pertama telah mengalami kebangkrutannya yang mengenaskan di akhir dekade 80-an, jalan kedua yang terejawantahkan dalam kapitalisme tak pelak memberikan masyarakat krisis ekonomi periodik, sedangkan jalan ketiga, gabungan sosialisme dan kapitalisme, masih saja dirundung ketimpangan dalam aspek praksis. Di samping itu, konsepsi kreatif sosialisme religius (jalan keempat) intelektual muda kontemporer Indonesia hingga saat ini belum juga menemukan wujudnya yang konkret.[16] Oleh karena itu, menjadi urgen bagi kita melihat peluang-peluang yang muncul seiringan dengan mencuatnya ide kapitalisme religius—boleh jadi kita namakan sebagai Jalan Kelima—sebuah konsep dengan bangunan religius yang memenuhi berbagai sendi kebutuhan manusia baik dalam aspek jasmani maupun rohani hingga kemudian mengalami pendistorsiannya yang begitu hebat, saat ini tinggal menunggu usaha bagi revitalisasinya dalam konteks pemurnian serta penemuan kembali sendi-sendi dasar etika protestan hingga terwujudnya kembali perilaku hidup asketik.   
             



*****



[1] Lihat Karl Marx, Kapital (Buku I), Hasta Mitra, Jakarta, 2004, h. 800-821 & Anthony Brewer, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Teplok, Jakarta, 1999, h. 121-123 & David Smith-Phil Evans, Das Kapital Untuk Pemula, Resist Book, Yogyakarta, 2004, h. 34, 89-112.  
[2] Baca Dennis Wrong (Ed.), Max Weber: Sebuah Khazanah, Ikon, Yogyakarta, 2003, h. 191.  
[3] Baca Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, h. xxiv.  
[4] Lihat Bryan S. Turner, Menggugat Sosiologi Sekuler, Suluh Press, Yogyakarta, 2005.
[5] Lihat Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI-Press, Jakarta, 1986.
[6] Baca Muhidin M. Dahlan (Editor), Sosialisme Religius, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, h. vii-xxix & 186.  
[7] Demokrasi dalam tatanan Sosialisme-Komunis adalah “sosial-demokrasi”.
[8] Lihat Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Qalam, Yogyakarta, 2004, h. 1-17.
[9] Baca Sunyoto Usman, Sosiologi: Sejarah, teori dan Metodologi, Cired, Yogyaklarta, 2004, h. 43-44.  
[10] Max Weber, op. cit., h. 159-198.  
[11] Ibid., h. 186-187.  
[12] Ibid., h. 31.  
[13] Dengan demikian kita tidak perlu menyertakan muatan transendensi dalam kapitalisme karena pada awalnya inti kapitalisme adalah nilai-nilai religiusitas itu sendiri.  
[14] Lihat Anthony Giddens, The Third Way, Gramedia, Jakarta, 1999.
[15] Ibid., h. 16 & Muhidin M. Dahlan (Editor), op. cit., h. xv & 41.
[16] Ibid., h. xxiii.    

Rabu, 16 Maret 2011

Bangku Kelas: Sebuah Penindasan?

Bangku Kelas: Sebuah Penindasan?
Oleh: Wahyu Budi Nugroho


Menjaring Muatan Ideologi melalui Sosiologi Interpretatif
“Ideologi tersebar di sekitar kita!”, demikian sekiranya pungkas para pemikir Mahzab Frankfurt semisal Marcuse, Adorno dan kawan-kawan. Pasca kejayaan fasisme Eropa, bersamaan dengan menguatnya rezim komunisme Soviet, para pemikir Frankfurt Schule ‘Mahzab Frankfurt’ mampu mendudukkan ideologi sebagai suatu “kepalsuan”, pembodohan massal, atau tegasnya, “ sebentuk tipuan picik”.
Menurut mereka, ideologi sengaja diciptakan penguasa dengan sederet kepentingan yang menyertainya: cita-cita fuhrer akan Third Reich mencirikan bentuknya sebagai positivisme, dengan demikian, ia adalah bualan belaka mengingat musykil-nya empirisme-prediktif dalam pandangan pemikir Frankfurt. Oleh karenanya, begitu pula dengan berbagai pidato Hitler di saentaro Jermanbualan belaka.
Dalam perspektif antropologi politik, kebudayaan ajeg mengalami ketegangan dengan dimensi kemanusiaan. Diskursus yang berlangsung di dalamnya adalah, apakah kebudayaan diciptakan oleh manusia, ataukah sebaliknya?. Faktual, dalam ranah politik, kerap kali berbagai upacara besar yang digelar (eksibisi pasukan dan persenjataan) ditujukan guna meyakinkan (baca: menghipnotis) massa akan kekuatan pemerintahnya yang “tak terkalahkan”.
Guna menelanjangi berbagai selubung kepalsuan di atas, para pemikir Frankfurt menelurkan sebentuk konsep bernama “sosiologi interpretatif” yang tergabung dalam tataran pemahaman kritis. Menurut mereka, sosiologi interpretatif berfungsi menafsirkan pola-pola komunikasi antara pihak dominan dengan dormant yang tentunya tak luput dari muatan ideologi-ideologi. Dalam hal ini, dapatlah ditilik bahwa selebaran jalanan berikut informasi yang dirilis pemerintah melalui berbagai media yang ada sekedar menemui bentuknya sebagai ideologi semata, yakni ideologi pelanggengan kekuasaan.


Dalam perkembangannya, sosiologi interpretatif Mahzab Frankfurt tak sekedar ditujukan bagi penelisikan berbagai muatan ideologi dalam konstelasi sosial-politik penguasa dengan rakyatnya, melainkan pula dalam ranah kebudayaan (materi maupun imateri), tentunya tetap dengan mempertahankan aspek emansipatoris (pembebasan) yang selalu diusungnya. Dalam hal ini, kajian Walter Benjamin mengenai ideologi yang mewujud dalam benda-benda kebudayaan kiranya dapat merepresentasikan hal terkait.
Ideologi dalam Benda-benda Budaya
Sebagaimana untaian kalimat yang telah diutarakan di atas, “Ideologi tersebar di sekitar kita!”, apakah kita sadar bahwa jalanan yang kerap kita lalui tak lagi netral dan penuh dengan pretensi-pretensi? Hadirnya beragam baliho dan banner di pinggiran jalan faktual mengandung ideologi: ideologi candu dan konsumerisme (iklan rokok, produk-produk konsumtif, dsb.).  
Begitu pula, sering kali kita tak sadar bahwa bangku kelas pun memuat ideologi. Apabila kita tilik, umumnya bangku kelas—khususnya bangku kuliah—memiliki papan menulis di bagian kanan. Hal tersebut faktual memuat ideologi, yakni “ideologi normal” dan “tak normal/abnormal”. Seakan, mereka yang menulis dengan tangan kanan adalah normal, sedangkan mereka yang “kidal” (menulis dengan tangan kiri) adalah tak normal. Eksistensi bangku kelas dengan papan menulis di bagian kanan jelas menyulitkan mereka—mahasiswa—yang menulis dengan tangan kiri. Melalui hemat perspektif kritis, kondisi emansipatoris kelas dapat diwujudkan dengan ketersediaan beberapa bangku kelas dengan papan menulis di bagian kiri guna mengakomodasi mereka yang kidal.

*****

Senin, 14 Maret 2011

Pseudo Ideologi Pancasila: Mengapa Terjadi?

Pseudo Ideologi Pancasila: Mengapa Terjadi?
Oleh: Wahyu Budi Nugroho


            Pancasila untuk pertama kali lahir melalui pidato Soekarno 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Soekarno mengemukakan 5 butir pedoman kehidupan bangsa yang mulanya disebut dengan “panca dharma” (lima kewajiban), namun atas masukan Muhammad Yamin, panca dharma dirubah menjadi pancasila yakni kebangsaan Indonesia, prikemanusiaan, mufakat, kesejahteraan sosial dan ketuhanan.[1] Di satu sisi, apabila penelusuruan lebih jauh terkait latar belakang pemikiran Soekarno dilakukan maka ditemui bahwa sejak muda alam pemikirannya dibentuk oleh Islam, Nasionalisme dan Marxisme, bahkan artikel pertama Soekarno yang diterbitkan pada surat kabar “Fikiran Rakyat” berjudul hal yang sama.[2] Pemikiran Islam ia dapatkan ketika tinggal bersama keluarga HOS Cokroaminoto yang tergabung dalam organisasi Muhammadiyah, nasionalisme ia dapatkan melalui pendidikannya di sekolah, sedangkan marxisme ia dapatkan melalui Alimin.[3]  
            Pada perkembangannya, Soekarno yang kemudian didaulat sebagai presiden RI setelah Indonesia merdeka, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ia menggeser landasan kehidupan bangsa-pancasila-menjadi NASAKOM atau Nasionalis, Agamis dan Komunis yang pada dasarnya merupakan wujud kentara atau spesifik pancasila. Penerimaan pancasila atas komunisme bukannya tanpa alasan sama sekali, Soekarno sempat menegaskan hakekat pancasila yang dapat diperas menjadi “trisila” yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan, tak hanya sampai di situ, menurutnya pancasila dapat diperas kembali menjadi “ekasila” yakni gotong-royong,[4] dengan demikian inti dari pancasila bukanlah transendensi melainkan gotong-royong.
            Di satu sisi, pengejawantahan pancasila melalui NASAKOM tampak melalui sila pertama yang mewakili agamis, sila kedua mempresentasikan marxisme yakni humanisme terkait masyarakat tanpa kelas, sila ketiga mengisyaratkan nasionalisme,[5] sila keempat terkait nilai-nilai demokrasi yang dimiliki baik Islam maupun Komunis serta sila kelima mengisyaratkan komunisme terkait ekonomi sama rasa-sama rata. Lebih jelasnya, skema perbandingan ideologi[6] syarat disertakan guna mempermudah pemahaman atas pancasila sebagai pseudo ideologi.

                                    Islam
Sistem sosial                : syariah
Sistem ekonomi             : syariah
Sistem politik                : khilafah
Landasan                      : Al-Quran dan As-Sunnah
                                    Sosialisme-Komunis
Sistem sosial                : dialektika
Sistem ekonomi             : sosialisme, sama rasa-sama rata
Sistem politik                : sosial demokrasi, diktator proletariat
Landasan                      : Matrealisme Dialektis dan Matrealisme Historis
                                    Kapitalisme
Sistem sosial                : sekuler, liberal
Sistem ekonomi             : kapitalisme, liberalisme ekonomi, pasar bebas
Sistem politik                : demokrasi liberal, nation-state, national interest
Landasan                      : Du Contract Social, Two Treatise On Governance, The Inquiry To The Nature and Causes of The Wealth of Nations

            Melalui skema penjabaran ideologi di atas tampaklah jelas muatan pseudo dalam pancasila, ianya merupakan konstruksi berbagai ideologi yang ada, bahkan kapitalisme-terkait nasionalisme. Dalam hal ini kita melihat kemiripan pola pikir eklektik “comot sana, comot sini” Soekarno layaknya Sun Yat Sen melalui San Min Chu I atau The Three People Principles yakni Nasionalisme, Sosialisme dan Demokrasi.[7] Upaya menggabungkan berbagai konsep yang pada hakekatnya saling bertentangan sedemikian rupa jelas berimplikasi pada kekacauan nilai dan pemahaman.    
            Di sisi lain yang tak kalah mengejutkan, terdapat analisis Abdullah Pattani terkait pancasila yang dipengaruhi Qhams Qanunlima sila’ dalam organisasi yahudi “Freemansonry” yakni monotheisme kultural, kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi dan sosialisme. Di satu sisi, Soekarno sendiri pernah berkata, “Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, ‘jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia’. Dalam hal ini Pattani menegaskan bahwa A. Baars, guru Soekarno adalah seorang yahudi pengikut freemansonry.[8]  
            Tak hanya berkutat pada pancasila sebagai pseudo ideologi, etika dan praksisnya dalam kehidupan nyata pun masih dipertanyakan hingga kini. Dalam hal ini, beberapa prilaku Soekarno menjadi tanda tanya besar penerapan pancasila, gonta-ganti istri tanpa merasa risih menceraikan istri sebelumnya, berjanji pada Daud Breuh dan mengingkari serta menghardik dalam pertemuan internasional dengan berkata, “go to hell with your aid!” pada IMF. Dengan demikian, di samping statusnya sebagai pseudo ideologi, pancasila pun praktis tak memiliki praksis dan implementasi etika yang jelas. Beberapa hal tersebutlah yang kiranya turut menciptakan samarnya penilaian pancasila dalam memandang permasalahan pornografi dan pornoaksi sehingga menciptakan “dualisme”.
Kesimpulan dan Penutup
            “Sejarah Indonesia belum tuntas”, itulah sekelumit kalimat yang kiranya menjadi garis besar kesimpulan kami. Melalui Restorasi Meiji, sejarah Jepang telah berakhir dan tuntas, begitu pula Jerman dengan deutchland uber alles, atau Amerika Serikat dengan Declaration of Independences dan Declaration of Human Rights, lain halnya Indonesia dengan pancasila mengingat perdebatan atas “tujuh kata” yang dihilangkan dalam Piagam Jakarta masih juga menuai pro dan kontra hingga kini. Kemunculan Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah dan Imamah (JI) dan lain sebagainya tak pelak merupakan representasi atas ketidakpuasan beberapa elemen masyarakat terhadap pancasila.
            Dengan demikian, guna melepaskan label “pseudo ideologi” pada pancasila setidaknya diperlukan renegosiasi dan reinterpretasi atasnya berikut sebagai jalan keluar implementasi etika dan praksis yang tak jelas. Hal tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan membentuk konvensi nasional yang melibatkan berbagai elemen masyarakat guna merumuskan kesepakatan atau konsensus tunggal interpretasi serta praksis atas pancasila. Dengan terwujudnya konvensi berikut orientasi tersurat di dalamnya diharapkan pancasila kian tegas dan jelas memberi arahan serta solusi-bukannya dualisme-bagi setiap problematika yang dihadapi bangsa Indonesia.   



[1] Teks pidato dapat dilihat dalam Iman Toto K. Rahardjo dan Herdianto WK, Bung Karno dan Tata Dunia Baru, Grasindo, Jakarta, 2001, h. 7-28.
[2] Ir. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Djilid I, Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1965, h. 1-23.
[3] Purwadi, Sejarah Perjuangan Presiden Soekarno, Buana Pustaka, Yogyakarta, 2004, h. 107 & Bob Hering, Soekarno : Bapak Indonesia Merdeka, Hasta Mitra, Jakarta, 2003, h.100.
[4] Kholid O. Santosa, Jejak-Jejak Sang Pejuang Pemberontak, Segaarsy, Bandung, 2006, h. 40.
[5] Konsep nasionalisme merupakan bagian dari konsep politik kapitalisme.
[6] Perbandingan ideologi dapat dilihat dalam Nuswantoro, Daniel Bell: Matinya Ideologi, Indonesiatera, Magelang, 2001 & Muhidin M. Dahlan (Editor), Sosialisme Religius, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002. 
[7] Iman Toto K. Rahardjo dan Herdianto WK, loc. cit.
[8] Muhammad Thalib dan Irfan S. Awwas, Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila, Wihdah Press, Yogyakarta, 1999, h. xvii.

Minggu, 13 Maret 2011

DAFTAR LEMBAGA SOSIAL MASYARAKAT (LSM)/NON-GOVERNMENT ORGANIZATION (NGO) BERDASARKAN KATEGORINYA

DAFTAR LEMBAGA SOSIAL MASYARAKAT (LSM)/
NON-GOVERNMENT ORGANIZATION (NGO) BERDASARKAN KATEGORINYA
Penyusun: Wahyu Budi Nugroho


No
Orientasi LSM
Contoh
1.
Lingkungan
Greenpeace, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Indonesia Hijau (YIH), Himpunan Untuk Kelestaraian Lingkungan Hidup (HUKLI), Yayasan Pendidikan Kelestarian Alam.
2.
Pertanahan
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA)
3.
Perlindungan Konsumen
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
4.
Pemberdayaan Wanita
Women In Development (WID), Women and Development (WAD), Gender and Development (GAD), Gender Mainstreaming (GM).
5.
Etnis Minoritas
Foker LSM Papua
6.
Masyarakat Adat
Yayasan Merah Putih (YMP), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro (OPANT), Aliansi Masyarakat Adat Sulawesi Tengah (AMASUTA).
7.
Difabel
Mitra Netra Jakarta, Yayasan Anak-Anak Tuna Klaten (YAAT), Front Anti-Diskriminasi, Pusat Studi Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga


Review: MONEY AND THE MARKET By Mark Granovetter

Review:
MONEY AND THE MARKET
By Mark Granovetter
CHAPTER V: "The Sociology of Economic Life"
THE MARKET FROM A HUMANIST POINT OF VIEW

            
      Dalam bab ini terdapat beberapa hal substansial yang dikaji lebih mendalam, antara lain kedudukan manusia sebagai makhluk individu ataukah sosial, kritik atas konsep homo economicus, konsep potlatch serta ide-ide mengenai ekonomi pasar-laissez faire. Beberapa tokoh sentral yang terlibat dalam pembahasan tersebut antara lain Malinowski, Mauss dan Polanyi.
            Perbincangan mengenai manusia sebagai mahkluk individu ataukah sosial memunculkan berbagai hal mendasar yang tetap saja menjadi perdebatan hingga kini. Secara tidak langsung, hal tersebut menghantarkan kita pada legal-tidaknya “pemilikan pribadi”. Dalam ranah ini, terdapat dua istilah yang dipertentangkan satu sama lain yakni ius in personam dengan ius in rem. Sebagai misal, seseorang yang pergi merantau ke suatu tempat untuk bekerja menemui lingkup lingkungan yang begitu individualis atau ius in rem, namun permasalahan muncul ketika ia kembali ke daerah asal dan mau-tidak mau harus menyerahkan semua barang yang telah dengan jerih payah kerja dibelinya pada seseorang di desa yang memintanya begitu saja. Peristiwa tersebut menunjukkan pertentangan konstruksi sosial yang terjadi antara dua tempat yang berbeda, antara ius in personam “vis a vis” ius in rem.[1]
            Pendiri “Antropologi Ekonomi Modern”, terutama Mauss yang juga merupakan  kemenakan Durkheim, menanggapi masalah di atas dengan konsep potlatch yang ditawarkannya. Potlatch yang kental dengan altruisme berbicara mengenai konsep memberi antara sesama manusia, ianya begitu berbeda dengan logika ekonomi yang kental dengan “balas jasa langsung”. Menurutnya, potlatch bakal menghasilkan sesuatu pula bagi kita, hanya saja tak terlepas dari variabel situasi dan waktu, atau singkatnya, dalam potlatch manusia tak langsung mendapat balasan dari apa yang telah diberikannya melainkan “balasan pada suatu hari nanti”.[2]
Namun demikian, secara singkat pula, konsep potlatch mendapat tantangan keras dari Derrida, menurutnya memberi tanpa mengharap kembali adalah sesuatu yang tak mungkin, bahkan ucapan “terima kasih” yang telah kita dengar dalam aktivitas tersebut telah menggugurkan konsep “memberi” itu sendiri, sedang bagi Derrida, apa yang dinamakan “pemberian” harus diikuti dengan melupakan, tanpa mengharap sesuatu sekalipun.[3] Secara tidak langsung, perdebatan di atas mengundang kritik Malinowski atas konsep homo economicus, yakni manusia sebagai mahkluk ekonomi yang diartikan dengan segala tindakan yang dilakukannya tak lepas dari kerangka ekonomi, untung-rugi. Bagi Malinowski homo economicus tidaklah bersifat universal.[4]   
Seperti kita ketahui bahwa konsep homo economicus-lawan dari altruisme-merupakan “ruh” dari liberalisme ekonomi atau ekonomi pasar bebas, hal inilah yang kemudian menghantarkan kita pada pemikiran-pemikiran Polanyi dalam The Great Transformation. Polanyi memberikan penekanan tajam pada perekonomian suatu negara yang didasarkan atas pasar bebas, ia tak luput pula menyoroti begaimana seratus tahun ketenangan Eropa (1815-1914) berbuah pada Perang Dunia I yang mengerikan.[5] Namun demikian, seperti halnya Malinowski dan Mauss apa yang lebih penting lagi baginya adalah sorotan atas depresi ekonomi dunia yang terjadi pada akhir 1920-an akibat kapitalisme-terulang kembali pada krisis ekonomi 1990-an.[6] Meskipun secara umum peristiwa tersebut diakibatkan oleh overproduksi kapitalis, namun faktual peristiwa tersebut juga membuktikan ketidakmerataan ekonomi yang menjadi endemik kapitalisme. Ketidakmerataan ekonomi tersebut dijelaskan dengan apik oleh Marx melalui konsep formulasi atau sirkuit modal kapitalis M-C-M (atau U-K-U), dalam hal ini “M” adalah “modal” atau “uang”, sedangkan “C” ialah “komoditas” atau “barang”.[7] 
Glorious Revolution pada 1688 yang digawangi kelas menengah Inggris tak pelak berjasa menghantarkan ekonomi pasar menjadi sentral kehidupan masyarakat.[8] Namun demikian, gerakan tersebut bukannya tanpa dampak sama sekali, faktual seabrek masalah menjadi momok bagi individu dan masyarakat kemudian. Beberapa hal urgen yang menjadi duri tatanan sosial kemudian semisal segregasi kehidupan pasar dengan rumah (pemisahan antara tempat kerja dan rumah),[9] anomie kekaburan antara hal-hal personal maupun impersonal yang berdampak pada krisis legitimasi pemerintahan modern[10] serta penggunaan buruh perempuan dan anak-anak dengan upah rendah[11]-yang kesemuanya dapat dicap sebagai bentuk dehumanisasi.[12]   
            Namun demikian, terdapat beberapa solusi yang ditawarkan guna mengatasi berbagai masalah di atas, antara lain dengan membentuk “core competences” yakni spesialis firma yang khusus menangani masalah buruh atau pekerja. Melalui firma tersebut pekerja dapat menikmati jaminan kerja, tunjangan kesehatan dan berbagai keuntungan lainnya.[13] Praktek tersebut telah diterapkan di Jepang melalui saling komitmen antara pekerja dengan perusahaan dan terbukti berhasil,[14] begitu juga dengan apa yang dilakukan Henry Ford yang tak hanya “mempercantik” mobil tetapi juga memberi makan dan pakaian bagi pekerjanya.[15] Di satu sisi, revolusi komunikasi berupa “teleworking” turut andil meringankan masalah segregasi antara rumah dengan tempat kerja yakni bagaimana seorang pekerja dapat menggarap pekerjaan di rumahnya sendiri.[16]   







[1] Money and the Market, h. 183.
[2] Ibid., h. 186, 192-194. 
[3] Haryatmoko, “Kutukan Logika Ekonomi: Tak Mungkin Memberi Tanpa Mengharap Kembali”, Basis No. 11-12, Tahun ke-54, November-Desember 2005, h. 9-10.
[4] Ibid., h. 190.
[5] Ibid., h. 197.
[6] Ibid., h. 186.
[7] Ibid., h. 199.
[8] Ibid., h. 184, 212.
[9] Ibid., h. 210, 214, 223.  
[10] Ibid., h. 208, 210.
[11] Ibid., h. 215.
[12] Ibid., h. 222.
[13] Ibid., h. 225.
[14] Ibid., h. 223.
[15] Ibid., h. 224.
[16] Ibid., 226. 

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger