Meninjau Kembali Kritik Weber atas Islam
Oleh:
Wahyu Budi Nugroho
Dalam kajiannya mengenai berbagai
agama besar dunia, Weber memberikan komentar yang cukup “pedas” terhadap Islam.
Secara ekplisit, ia menyatakan bahwa Islam merupakan religion of warrior ‘agama prajurit perang’ di satu sisi, dan
“agama antidunia” (baca: agama akhirat) di sisi lain. Pandangan Weber tersebut
setidaknya disebabkan oleh dua hal yang saling berseberangan dalam Islam, yakni
kentalnya dimensi sensualitas[1]
berikut duniawi[2]
yang bernegasi dengan dimensi “sufistik” di dalamnya. Apabila penelaahan
seksama terhadap berbagai karya Weber mengenai Islam dilakukan, maka tampaklah
jelas bahwa ia mengasosiasikan Islam dengan berbagai hal yang bersifat barbar
dan primitif.
Anggapan pertama Weber, yakni kentalnya
dimensi sensualitas dan duniawi dalam Islam, menurutnya hal tersebut disebabkan
oleh penetrasi agama—Islam—dalam kehidupan politik (Schroeder, 2002: 84). Ia
mengatakan bahwa muatan sosial-ekonomi yang terdapat dalam Al-Quran mengalami
penafsiran kembali melalui gagasan jihad
(perang suci) berupa pencarian lahan-lahan baru (baca: ekspansi). Hal
tersebutlah yang kemudian mentransformasi Islam sebagai “agama prajurit
nasional Arab” (Swedberg, 1998: 142; Turner, 2005: 227-228).[3]
Bagi Weber, berbagai ekspansi yang dilakukan prajurit Islam tidaklah dilatarbelakangi
oleh motif agamis—terutama dakwah—melainkan lebih pada hasrat untuk memperoleh “harta
rampasan perang”.
Sensualitas, sebagaimana yang
dimaksudkan Weber, mewujud pada besarnya hasrat prajurit Islam terhadap para
wanita (janda) yang ditinggal mati para prajurit lawan dalam perang, “Wanita merupakan salah satu bentuk harta
rampasan perang yang sah”, demikian pungkasnya kurang-lebih. Sedangkan, dimensi
duniawi yang juga secara spesifik disebutnya sebagai bentuk “kemewahan personal”
dalam Islam, ditunjukkan oleh kesenangan para muslim untuk tampil mewah di
hadapan publik, hal tersebut dimisalkan Weber dengan kegemaran orang-orang
muslim mengenakan pakaian mahal, wewangian beraroma tajam, berikut cukuran
jenggot yang rapi, di mana kesemuanya ditempatkan sebagai salah satu bentuk ibadah
dan kesalehan tersendiri (Turner, 2005: 228-229).
Pada ranah yang berlainan, sisi
kontradiktif Islam sebagai agama anti-Duniawi dinyatakan Weber sebagai konsekuensi
logis dari dimensi sufistik yang termuat di dalamnya. Berbeda halnya dengan sifat
dan corak pemikiran “kasta” prajurit, para sufi dicirikan dengan sikapnya yang
pasif dan apatis terhadap berbagai persoalan duniawi, mereka sekedar
berorientasi pada hal-hal yang bersifat
eskatalogis dan ke-ukhrawi-an
(akhirat). Tentunya, hal tersebut berimplikasi pula pada pelanggengan kekuasaan
yang dimiliki sultan (raja) mengingat ketidaktertarikan para sufi terhadap
beragam isu politik yang tengah hangat dibicarakan. Di sisi lain, Weber turut mengutarakan
bahwa para sufi gemar melakukan “pemborosan”, semisal membiayai pembangunan makam
orang-orang yang dianggap suci serta menggelar beragam bentuk perayaan sufi
yang menelan biaya besar (Turner, 2005: 239).
Tak pelak, serangkaian argumen yang
dikemukakan Weber di atas membuatnya melakukan penyangkalan akan Islam sebagai
agama keselamatan. Namun, perihal yang lebih penting lagi adalah berbagai hasil
kajiannya dalam kacamata sosiologis. Bagi Weber, kedua karakteristik Islam yang
disebutnya—duniawi dan antiduniawi—menegaskan bahwa agama tersebut tak memiliki
potensi bagi tumbuh-kembangnya nilai-nilai (embrio) kapitalisme. Dengan kata
lain, Weber menilai Islam sebagai agama yang kontra-Progresifitas atau anti-Kemajuan.[4]
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, kentalnya dimensi “irasionalitas”
dalam Islam berupa kemewahan personal yang ditunjukkan kelas prajurit, atau apatisme-duniawi
berikut pemborosan yang tak rasional sebagaimana dilakukan kaum sufi, dinilai
Weber tak sesuai dengan spirit “asketisme” yang nantinya bakal melahirkan
cikal-bakal kapitalisme (Swedberg, 1998: 143; Turner, 2005: 19).
“Asketisme”, sebagaimana yang
dimaksudkan Weber, merupakan pola hidup sederhana dan tak berlebihan yang
dilandasi oleh nilai-nilai transendensi. Dalam The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism, Weber (2006: 50) mengilustrasikannya
sebagai berikut,
“Mereka menghindari pamer dan pengeluaran yang tidak
perlu, maupun kenikmatan yang disadarinya dari kekuasaannya, dan malu dengan
tanda-tanda luar dari pengakuan sosial yang dia terima.”
Lebih jauh, Weber menyatakan bahwa semangat
asketisme di atas merupakan salah satu esensi doktrin calvinisme—etika
protestan—yang melahirkan tatanan masyarakat kapitalis Eropa di kemudian hari. Adapun
butir-butir ajaran John Calvin—calvinisime—antara lain; bekerja keras,
melakukan penghematan total, serta mengutamakan rasionalitas sebagai
pertimbangan untung-rugi tindakan yang diambil. Kesemua ajaran Calvin tersebut dipayungi
oleh konstruksi “kerja sebagai calling”
atau “bekerja sebagai panggilan Tuhan” sebagaimana diutarakan Martin Luther
(Weber, 2006: 61). Apabila kita menyimak berbagai uraian di atas secara
seksama, maka tampaklah jelas pertentangannya yang demikian kentara dengan pola
hidup umat muslim yang penuh dengan kemewahan personal berikut pemborosan-irasional
layaknya ungkap Weber.
Faktual, beragam argumen Weber mengenai Islam
di atas menuai penolakan keras seorang sosiolog kenamaan Inggris (Birmingham),
Bryan S. Turner. Tanpa segan, Turner menuduh Weber sebagai seorang orientalis,
yakni mereka-para intelektual Barat yang berbagai karyanya tak lepas dari sentimen
“Perang Salib”. Hal tersebut mengingat kentalnya muatan “kebencian” Weber dalam
ulasannya mengenai Islam. Pertama, Turner menyatakan bahwa kajian para
intelektual Barat mengenai Islam didasarkan pada referensi yang terbatas berikut
telah mengalami “kejenuhan”. Kedua, senada dengan Schroeder, Turner mengatakan
bahwa Weber tak menekuni Islam secara mendalam, dengan demikian, wajar bilamana
banyak sisi mengenainya yang terlewatkan. Perihal yang terpenting lagi adalah, Turner
menegaskan bahwa Weber merupakan satu-satunya ilmuwan sosial yang mengingkari
metodenya sendiri—verstehende—dalam
kajiannya mengenai Islam (Turner, 2005: 39).[5]
Terkait anggapan Weber mengenai
Islam sebagai “agama prajurit perang”, Turner mengemukakan bahwa hal tersebut
justru menunjukkan kentalnya dimensi rasionalitas dalam Islam. Pengklasifikasian
prajurit Islam ke dalam prajurit profesional, semi-Profesional, kavaleri, dan
lain sebagainya menunjukkan eksistensi birokrasi-rasional yang telah mapan—ditemuinya
spesialisasi (Turner, 2005: 209). Pada ranah yang berlainan, Karen Armstrong
dalam eksemplarnya, Perang Suci, mengatakan
bahwa bentuk-bentuk penaklukkan melalui pedang atau kekerasan merupakan suatu
hal yang lumrah di Abad Pertengahan, baik Islam, Kristen maupun kekuatan-kekuatan
lainnya di masa itu menggunakan cara yang sama dalam menyebarkan pengaruhnya
(Armstrong, 2004: 364).
Di sisi lain, Turner turut
memaparkan bahwa pesatnya perkembangan dunia perdagangan dan industri Islam di Abad
Pertengahan merupakan bukti telah eksisnya nilai-nilai kapitalisme dalam agama
yang dibawa Nabi Muhammad tersebut. Tercatat, perdagangan Islam berupa
komoditas rempah-rempah, wewangian, perhiasan, logam mulia berikut berbagai hewan
cagar budaya—kala itu dianggap sebagai barang mewah—mengalami kemajuaan pesat
pada periode-periode di atas. Begitu pula dengan aktivitas perindustrian Islam
berupa sabun, kerajinan besi maupun tembikar, dan terutama tekstil. Adapun
puncak dari kegiatan industri Islam terjadi di Spanyol dengan ditemuinya
aktivitas penambangan tembaga terbuka serta beragam mineral lainnya. Malahan, dalam dunia perdagangan, umat
Islam kala itu telah melakukan “pembukuan ganda” berikut memperluas jaringan lembaga-lembaga
bursa dan keuangan. Tak pelak, fenomena tersebut menyebabkan Turner mengamini pendapat Maxim Rodinson bahwa kapitalisme-rasional
sebagaimana termaktub dalam pengertian “weberian” sesungguhnya telah ditemui
dalam konstelasi masyarakat Islam Abad Pertengahan (Turner, 2005: 206-207).
Secara tak langsung, fakta di atas turut
membuktikan bahwa dimensi asketisme dalam Islam sedikit-banyak menemui
kemiripannya dengan calvinisme—bekerja keras, berhemat dan mengutamakan
rasionalitas. Terlebih dengan menilik serangkaian ajaran Islam—Quran dan
Hadist—semisal; Tuhan tak akan merubah
nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut merubah nasibnya sendiri, berteberanlah di muka bumi untuk mencari
rezeki Tuhan setelah menunaikan shalat, sesungguhnya
pemboros adalah teman setan, tangan
di atas lebih baik ketimbang tangan di bawah, beribadahlah seolah esok meninggal dan bekerjalah seolah hidup selama-lamanya,
serta berbagai ajaran Islam lainnya yang menyiratkan kemiripannya dengan ketiga
butir etika Calvin di atas. Dengan demikian, tak ada alasan bagi Weber guna
menyebut Islam sebagai agama irasional.
Selanjutnya, klasifikasi besar Weber
mengenai muslim ke dalam dua ragam: prajurit dan sufi, yang mana kesemuanya tak
memungkinkan bagi lahirnya tradisi literati
‘penulis/ilmuwan’ dalam Islam (Schroeder, 2002: 85), terkesan terlampau men-simplifikasi
Islam. Pasalnya, Weber seolah menutup mata dengan keberadaan ilmuwan-ilmuwan
besar Islam semisal Ibn Khaldun, Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan lain sebagainya. Terkait
hal tersebut, dalam kunjungan singkatnya ke Jurusan Sosiologi-UGM beberapa
tahun lalu (2009), seorang pakar filsafat berkebangsaan Iran, Dr. Seyyed Ahmad
Fazeli, mengemukakan bahwa sesungguhnya pemahaman sufi terpecah ke dalam banyak
aliran, dan beberapa intelektual Islam terkemuka layaknya Ibn Sina serta Ibn
Rusyd pun faktual dapat ditasbihkan sebagai
seorang sufi. Penjelasan Dr. Fazeli tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya
pemahaman sufi tak selalu dapat diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat pasif,
mistik berikut irasional (baca: antiduniawi).[6]
Melalui berbagai uraian singkat di
atas, kiranya dapat disimpulkan secara tegas bahwa faktual kajian Weber
mengenai Islam tak lagi menemui relevansinya di era kontemporer. Hal tersebut
berpijak pada argumen Turner mengenai dimensi rasionalitas yang justru dibawa kaum
ksatria (prajurit) dan pedagang muslim berikut menunjukkan eksistensi nilai-nilai
kapitalisme-rasional dalam masyarakat Islam Abad Pertengahan. Demikian pula, penjelasan
Dr. Fazeli mengenai beragamnya aliran pemahaman dalam sufi yang secara tak
langsung turut mengamini pendapat
Turner dan Schroeder akan “terbatasnya” pengetahuan Weber mengenai Islam.
*****
Referensi;
- Armstrong, Karen, 2004, Perang Suci, Serambi Ilmu Semesta.
- Partanto, Pius A & M. Dahlan A. Barry, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Arkola.
- Schroeder, Ralph, 2002, Max Weber tentang Hagemoni Sistem Kepercayaan, Kanisius.
- Swedberg, Richard, 1998, Max Weber and the Idea of Economic Sociology, Princeton University Press.
- Turner, Bryan S, 2005, Menggugat Sosiologi Sekuler: Studi Analisis atas Sosiologi Weber, Suluh Press.
- Weber, Max, 2006, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Pustaka Pelajar.
- Kuliah Umum Dr. Seyyed Ahmad Fazeli mengenai “Filsafat dan Ilmu-ilmu Sosial-Humaniora” di Jurusan Sosiologi-UGM tahun 2009, moderator: Dr. M. Supraja.
∞
[1] Dalam Kamus Ilmiah Populer, kata “sensual” yang membentuk istilah
“sensualitas” didefinisikan sebagai: berdasarkan hawa nafsu; mudah melepaskan;
menggoda hawa nafsu. Lebih jauh, lihat Pius A. Partanto & M. Dahlan Al
Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arloka,
Surabaya, 1994, h. 702.
[2] Secara spesifik, Weber menyebutnya
sebagai “kemewahan personal”.
[3] Dalam naskah asli, “…however, Islam developed into the national
religion of Arabic warriors with a strong feudal ethic”.
[4] Hal terkait wajar kiranya mengingat
Weber menempatkan kapitalisme sebagai perihal positif dalam tahapan sejarah
perkembangan masyarakat, yakni sebagai indikasi mulai berkembangnya pola pikir
“rasional” di dalamnya. Argumen tersebut berseberangan dengan Marx yang
menganggap kapitalisme sebagai perihal “irasional”.
[5] Hal ini ditengarai oleh kerapnya
Weber melakukan justifikasi terhadap Islam, sedang verstehende sendiri merupakan metode yang menolak bentuk-bentuk
justifikasi atas beragam realitas yang tampak di permukaan, dengan asumsi,
seluruh individu/masyarakat adalah “rasional”.
[6] Penjelasan tersebut merupakan buah
pertanyaan penulis pada Dr. Seyyed Ahmad Fazeli mengenai runtuhnya kekhalifahan
Islam akibat berkembangnya pemahaman sufi yang antiduniawi.
13 komentar:
sip gan ..salam kenal ..
salam kenal gan ..
thanks bro, salam kenal juga ;)
wah bahasannya berat sekali ini kawan, semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT -amin :D
amin ya Rabbal alamiin :)
Kunci keberhasilan adalah menanamkan kebiasaan sepanjang hidup Anda untuk melakukan hal - hal yang Anda takuti.
tetap semangat tinggi untuk jalani hari ini ya gan ! ditunggu kunjungannya :D
mas makasih tulisannya cukup baik untuk bahan kuliah sosiologi agama, terutama sosok weber, aku izin ngopi lho ya?
jadi bung, secara sosiologis Islam dapat dibaca sebagai kapitalisme tanpa riba?
Bagaimana kedekatan islam sendiri dengan sosialisme semisal yang pernah ditulis Oemar Said Tjokroaminoto, meski SI awalnya SDI. Dagang.
Blognya sangat bermanfaat, tabik.
p. mahmud: terima kasih pak, jikalau kesulitan mengcopy silakan hub sy, nanti sy kirim via email tulisannya dlm bentuk pdf.
p. andra: sebetulnya baik dimensi kapitalisme maupun sosialisme ada dalam islam.
subhanallah
wah berat nih pembahasannya.. :D
trica: amien
jelly: ya dibikin enteng aja, hehe
Salam Hangat,
Wahyu BN :)
terimakasih ..tulisan ini sangat membantu dalam mengerjakan tugas tugas saya
Posting Komentar