DEFERTILISASI
LAHAN INDONESIA
SEBAGAI
DAMPAK DITERAPKANNYA REVOLUSI HIJAU
MENILIK
APLIKASI DAN IMPLIKASI REVOLUSI HIJAU DI INDONESIA
MELALUI
PERSPEKTIF KONSTRUKSI SOSIAL
Oleh:
Wahyu Budi Nugroho
“The Green Revolution in Indonesia delivered more rice
but also brought social and ecological problems…”
(Greg
Fanslow)
Pendahuluan
“Feeding the world’s growing population”,
itulah optimisme yang hadir bersamaan dengan diterapkannya Revolusi Hijau di
saentaro dunia pada dekade 1960-an. Istilah Revolusi Hijau sendiri untuk
pertama kalinya diperkenalkan oleh William S. Gaud pada tahun 1968—salah
seorang staf U.S. Agency for
International Development (USAID)—guna merayakan keberhasilan rekayasa
varietas gandum dan beras yang disinyalir bakal menggelorakan revolusi pemenuhan
kebutuhan pangan seluruh umat manusia di dunia (Hazell, 2003).
Di
Indonesia, konsep Revolusi Hijau yang utamanya dicirikan dengan modernisasi
pertanian atau penggunaan teknologi modern dalam kegiatan bercocok tanam
semisal pupuk kimia dan pestisida, faktual telah berupaya diterapkan
pemerintahan Soekarno melalui “Rencana Kasimo”, namun terbatasnya anggaran
negara kala itu menyebabkan rencana tersebut gagal di tengah jalan. Pada perkembangannya,
konsep Revolusi Hijau barulah dapat diimplementasikan secara optimal di era
pemerintahan Soeharto (Orde Baru), yakni termanifestasikan melalui kian
mantapnya program Bimas[1]
berikut semboyannya yang terkenal: “Panca Usaha Tani” (Both dan McCawley, 1986:
31-32).
Namun
demikian, implementasi Revolusi Hijau di era Soeharto tak sekedar menghasilkan
efek tonik, melainkan pula efek “toxic”. Hal tersebut setidaknya tampak melalui
kejenuhan tanah akibat “pemerkosaan” pupuk pabrik[2]
dalam menghasilkan zat hara serta munculnya berbagai hama yang lebih tangguh
akibat mutasi yang terjadi dengan pestisida. Di satu sisi, terdapat pula backwash effect yang harus dibayar mahal
dalam aspek sosial-ekonomi, yakni ketergantungan masyarakat petani terhadap
berbagai komoditas industri pertanian.
Kiranya,
berbagai persoalan di ataslah yang membuat penulis tertarik lebih jauh untuk membahasnya
dalam pengkajian terkait, yakni penelaahan terhadap berbagai bentuk aplikasi
dan implikasi dari Revolusi Hijau-Indonesia di kemudian hari. Adapun perspektif
atau “pisau bedah analisis” yang penulis gunakan dalam pengkajian terkait
adalah “konstruksi sosial”.
Sekilas
Revolusi Hijau
Revolusi
Hijau untuk pertama kali tercetus di Meksiko ketika pakar agronomi asal Amerika
Serikat, Norman Borlaug, berupaya membawa konsep pertanian modern Amerika
Serikat ke Meksiko guna merubah konstelasi pangan dan pertanian di negara
tersebut: sedari negara pengimpor gandum, menjadi negara pengekspor gandum,
setidaknya dalam kurun waktu dua dekade. Tak hanya itu saja, melalui
laboratoriumnya yang bertempat di Meksiko dan pendanaan yang diperolehnya
melalui Rockefeller Foundation,
Borlaug pun berhasil menciptakan varietas baru gandum dan beras.
Setelahnya,
Borlaug tak sekedar mempromosikan varietas baru temuannya, melainkan pula mempromosikan
idenya mengenai penggunaan pupuk kimia dan skema irigasi modern. Tak pelak, metode
baru dalam bercocok tanam yang diperkenalkannya mampu melipatgandakan panen gandum
di Meksiko pada dekade 1960-an. Segera setelahnya, metode Borlaug pun digunakan
di Pakistan, Turki, Afghanistan dan berbagai negara dunia lainnya. Guna
menghargai jasanya dalam memerangi kelaparan dunia, Borlaug pun diganjar hadiah
nobel perdamaian pada tahun 1970 (Whaley, 2010: 44).
Di
sisi lain, keberhasilan Borlaug dinilai banyak kalangan telah menggugurkan
tesis Thomas Robert Malthus yang menyatakan
bahwa perkembangan penduduk sesuai dengan deret ukur sedangkan pertumbuhan
persediaan pangan sesuai dengan deret hitung. Namun demikian, perlu diingat bahwa Revolusi Hijau bukanlah sebentuk
kemajuan IPTEK yang sama sekali bebas kepentingan, faktual istilah Revolusi
Hijau kerap dilawankan dengan istilah “Revolusi Merah” di mana pada
dekade 1950-an hingga 1960-an hampir separuh dari rezim di dunia
mengatasnamakan diri berpijak di atas nilai-nilai marxisme (Wardaya, 2003: 3).
Sekilas
Konstelasi Pangan Dunia Pra-Revolusi Hijau
Banyak
pakar dunia
sepakat bahwa dekade 1950-1965 merupakan
periode “kegagalan pertanian”. Hal tersebut tampak melalui penurunan signifikan
laju pertumbuhan pangan di negara-negara maju dan berkembang. Di Inggris, laju
kenaikan hasil padi-padian hanya mencapai 0,2% per tahun, untuk Amerika Serikat
laju kenaikan rata-rata hasil padi-padian sekedar mencapai 1,5% per tahun,
sedangkan di India laju pertumbuhan produktivitas pangan berkisar 1,6% per
tahun. Di sisi lain, Uni Soviet, sebagai negara “superpower” kala itu—era
Perang Dingin—kian memupuskan harapan terselamatkannya pangan dunia akibat
kegagalan besar panen yang dideritanya (Mubyarto, 1981: 1-4; Brown, 1982: 41).
Aplikasi
dan Implikasi Revolusi Hijau di Indonesia
Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, penerapan Revolusi Hijau di era Orde Baru tampak
melalui digalakkannya program Bimas berikut Panca Usaha Tani yang antara lain
berisi: (1) Penggunaan bibit unggul; (2) Pemupukan; (3) Pemberantasan hama dan
penyakit; (4) Pengairan; (5) Perbaikan dalam cara bercocok tanam. Namun
demikian, program yang dipelopori para ilmuwan IPB berikut memperoleh dukungan
penuh pemerintah tersebut dirasa cukup kaku, kekakuan tersebut tampak melalui keharusan
petani untuk menanam tanaman sebagaimana diinstruksikan pemerintah, program
Bimas jagung pada tahun 1971 di Yogyakarta menjadi salah satu contohnya
(Mubyarto, 1979: 193-194). Tak hanya itu saja, bahkan mereka—para petani—yang tanpa segan menolak instruksi pemerintah, bakal segera dilabelkan sebagai “PKI” (Fanslow,
2007: 35).
Berbagai
bentuk “pemaksaan” di atas agaknya dilatarbelakangi oleh keyakinan Orde Baru
bahwa kepercayaan rakyat terhadap pemerintah berikut terciptanya stabilitas sosial-politik
nasional dapat diwujudkan dengan pemenuhan kebutuhan pangan rakyat (Revrisond
Baswir, 2003: 54). Oleh karenanya, pemerintah pun menggalakkan penggunaan
berbagai teknologi pertanian modern guna mendongkrak produktivitas pangan.
Terkait hal tersebut, Fanslow (2007) mengatakan, “People who had relied on traditional belief systems and local
knowledge to direct their crop management were thrust into the modern world.” [“Orang-orang
(para petani) yang telah mengandalkan sistem kepercayaan tradisional dan
pengetahuan lokal dalam mengelola pertanian mereka, didorong untuk menggunakan
metode pertanian dunia modern.”].
Harus
diakui memang, penerapan Panca Usaha Tani mampu meningkatan hampir seluruh
produktivitas subsektor dalam sektor pertanian. Tercatat, komoditas kapas mengalami
laju peningkatan produksi hingga 126% pada tahun 1974, komoditas beras sebesar 6%,
sedangkan palawija dan tanaman holtikultura masing-masing mengalami laju
peningkatan sebesar 15%. Bersamaan dengannya, penggunaan pupuk kimia, pestisida
berikut alat-alat pengolahan padi pun mengalami laju peningkatan signifikan. Pada
tahun 1974, penggunaan pupuk kimia mengalami peningkatan sebesar 3% (339 ribu
ton), sedangkan penggunaan pestisida dengan jenis “insektisida” dan “rodentisida”
masing-masing mengalami peningkatan sebesar 7% dan 119% dibandingkan tahun 1972.
Begitu pula, dalam periode 1973-1974, penggunaan alat pengolahan padi meningkat
sebesar 21%, yakni sedari 23.974 buah di tahun 1973, menjadi 28.952 buah di
tahun 1974 (Mubyarto, 1979: 192-193).
Sebagaimana kita ketahui, puncak dari berbagai capaian
sukses pertanian Indonesia di atas adalah terwujudnya swasembada beras pada
tahun 1984-1986. Tercatat, antara tahun 1980-1986 laju peningkatan produksi
beras Indonesia rata-rata mencapai 7,1% per tahun. Namun demikian, laju peningkatan
tersebut tak berlangsung lama, pasca tahun 1986 produksi beras berangsur-angsur
turun, dan pada akhir tahun 1988 pemerintah harus dihadapkan pada pilihan sulit
untuk melakukan impor beras dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan domestik
(Booth, 1992: 172).
Di satu sisi, perihal lain yang patut menjadi
perhatian dalam penerapan Revolusi Hijau di Indonesia adalah berbagai implikasi
yang hadir kemudian akibat digunakannya teknologi pertanian modern terutama pupuk
kimia (pabrik) dan pestisida. Goeswono Soepardi (2000) mengatakan bahwa
penggunaan pupuk pabrik untuk merangsang lahan dalam menghasilkan zat hara
secara terus-menerus mengakibatkan terjadinya “kejenuhan lahan”. Hal tersebut
kemudian berdampak pada tak optimalnya kemampuan lahan dalam menghasilkan tanaman
pangan. Begitu pula, penggunaan pestisida dalam pemberantasan hama faktual
justru mengakibatkan munculnya berbagai hama yang kian tangguh akibat mutasi
yang terjadi dengan senyawa kimia. Itulah mengapa, tegas Soepardi, pada Dies Natalis
IPB ke-37 tahun 2000, para petani menuntut pertanggungjawaban para intelektual IPB
mengingat Revolusi Hijau yang dulu mereka gemborkan
justru menyengsarakan nasib mereka saat ini.
Fanslow (2007) dalam penelitiannya di Kota Batu, Malang-Jawa
Timur, mengatakan bahwa Revolusi Hijau memang memberikan kelimpahruahan beras
bagi bangsa Indonesia, tetapi juga membawa permasalahan sosial dan ekologi di
mana hampir empat dekade setelahnya tetap mempengaruhi kehidupan masyarakat—dan
hingga kini belum ditemui solusi atasnya. Menurut Fanslow, kasus pencemaran akibat
pupuk pabrik dan pestisida di Kota Batu dapat menggambarkan banyak kasus serupa
yang terjadi pada berbagai daerah pedesaan lainnya di Pulau Jawa. Dalam
penelitiannya, Fanslow menemukan bahwa berkurangnya produktivitas lahan pertanian
secara drastis di Kota Batu disebabkan oleh residu pupuk kimia dan pestisida
yang mencemari air permukaan. Tak pelak, defertilisasi lahan yang terjadi
menyebabkan banyak masyarakat Kota Batu kini beralih profesi pada industri
rumah tangga semisal besi dan baja—aktivitas ekonomi yang justru kian “memperkeruh”
tingkat pencemaran lingkungan.
Mengetahui persoalan di atas, U.S Agency for International Development’s Environmental Service
Program membentuk komunitas lokal yang disebut dengan “Fokal Masra” guna
mengevaluasi berbagai permasalahan lingkungan yang ada di Kota Batu. Dalam
agendanya, Fokal Masra turut didampingi Yayasan IDEP, NGO lokal yang berbasis
di Bali dan bergerak dalam bidang suistainable
development. Yayasan IDEP membantu Fokal Masra dalam membangun wastewater garden ‘taman air limbah’
guna melakukan penyulingan air yang tercemar sehingga nantinya dapat dimanfaatkan
dalam aktivitas keseharian masyarakat Kota Batu (Fanslow, 2007: 36).
Terkait penggunaan pestisida, di samping menyebabkan munculnya
beragam hama yang kian tangguh, faktual turut membunuh berbagai serangga atau
hewan yang dibutuhkan dalam pertanian, semisal cacing untuk menggemburkan
tanah. Namun demikian, perihal yang lebih urgen lagi adalah, rusaknya rantai
makanan alam akibat turut terbunuhnya hewan predator sehingga memungkinkan terjadinya
serangan hama berikut gagal panen yang lebih besar ketimbang sebelumnya
(Fanslow, 2007: 37).
Aplikasi
dan Implikasi Revolusi Hijau di Indonesia dalam Perspektif Konstruksi Sosial
Sekilas Konstruksi Sosial
Menurut
Pettenger (2007), perspektif konstruksi sosial memiliki dua elemen utama, yakni
power ‘kekuatan’ dan knowledge ‘pengetahuan’. Asumsi yang
berupaya dibangun perspektif ini adalah, di dalam masyarakat terdapat berbagai
kekuatan yang bersifat material ‘kebendaan‘
dan ideational ‘gagasan’ di mana baik
keduanya memfasilitasi berikut memberikan energi pada agen dan struktur untuk
menjadi mimbar dari proses sosial. Lebih jauh, perspektif konstruksi sosial meyakini
bahwa berbagai aktor yang terdapat dalam masyarakat memiliki pengetahuan serta kemampuan
untuk memberikan respon sekaligus stimulan terhadap perubahan sosial. Namun
demikian, perlu diingat bahwa setiap tindakan aktor dalam masyarakat tidaklah
bebas kepentingan, oleh karenanya aktor dapat bertindak berbeda dalam satu peristiwa
yang sama.
Melalui
definisi konstruksi sosial di atas, setidaknya terdapat tiga poin penting yang
dapat kita petik: Pertama, perspektif
konstruksi sosial menekankan pada faktor material
dan ideational; Kedua, memperhatikan eksistensi dualitas
agen dan struktur di mana aktor dapat berperan sebagai agen, sedangkan struktur
adalah lingkungan sosial yang melingkupi kehidupan para aktor dengan nilai,
norma dan discourse ‘wacana’ di
dalamnya; Ketiga, perspektif
konstruksi sosial menekankan pada proses sosial, yakni bekerjanya aspek material dan ideational di dalamnya. Aspek material
menyangkut segala sesuatu yang kasat mata dan dapat ditelisik berbagai indikatornya,
sedangkan ideational adalah perihal
yang tak kasat mata semisal gagasan atau wacana. Dalam hal ini, baik keduanya dapat
ditempatkan dalam hubungan respirokal atau timbal-balik dan saling mempengaruhi
satu sama lain.
Revolusi Hijau-Indonesia dalam Perspektif Konstruksi
Sosial
Menilik
uraian singkat mengenai perspektif konstruksi sosial di atas, kiranya dapat
dipetakan secara jelas bahwa terdapat dua aktor utama dalam Revolusi Hijau,
yakni pemerintah dan para intelektual IPB. Di satu sisi, aspek material yang terdapat di dalamnya
adalah Revolusi Hijau itu sendiri mengingat bentuknya sebagai peristiwa yang
kasat mata, bahkan merupakan fenomena global. Melihat berbagai catatan sukses
yang telah ditorehkan Revolusi Hijau dunia, kiranya timbul gagasan atau wacana
dari pemerintah berikut intelektual untuk menerapkannya pula di tanah air. Di
sini, aspek material dari Revolusi
Hijau bergeser pada ideational
mengingat lahirnya gagasan berikut wacana atasnya. Di sisi lain, hal tersebut
menunjukkan pula kemampuan aktor—pemerintah dan intelektual—dalam memberikan
respon terhadap peristiwa (realitas) yang terjadi di hadapannya. Tak pelak,
keduanya pun dapat ditempatkan sebagai “agen” mengingat keterwakilan identitas
yang diusungnya masing-masing: “pemerintah dan kaum intelektual”.
Dalam
upaya mewacanakan Revolusi Hijau di Indonesia, baik pemerintah maupun kaum
intelektual dapat menyampaikan seabrek
perihal positif yang termuat di dalamnya pada masyarakat petani, meskipun
berbagai “kepentingan terselebung” syarat ditemui pula di dalamnya. Sebagai
misal, pemerintah dan kaum intelektual dapat mengatakan betapa Revolusi Hijau
dapat meningkatkan produktivitas pertanian yang dengan demikian bakal berimplikasi
positif terhadap kesejahteraan petani, pun
Revolusi Hijau yang ditasbihkan sebagai usaha bersama mengatasi kelaparan yang
oleh karenanya merupakan sebentuk “usaha mulia”. Melalui hal tersebut, Revolusi
Hijau kembali menemui bentuknya sebagai perihal material mengingat eksistensinya yang terbingkai (baca:
terlegitimasi) secara apik oleh nilai dan norma sosial (struktur sosial), yakni
sebentuk usaha guna mencapai bonum
publikum ‘kebahagiaan bersama’[3].
Lebih jauh, transformasi pertanian yang terjadi di Indonesia pasca penerapan
Revolusi Hijau baik dari segi kuantitas teknologi modern yang digunakan dalam
bercocok tanam maupun panen yang dihasilkan, faktual menunjukkan kemampuan
aktor dalam memberikan stimulan terhadap lingkungannya, yakni mendorong
terciptanya perubahan sosial.
Namun
demikian, apabila kita berupaya mencermati lebih dalam serangkaian wacana mengenai
Revolusi Hijau yang dilontarkan pemerintah, maka ditemui bahwa ianya begitu
kental dengan muatan klaim atas “kemajuan”. Seolah, pemerintah hendak
mengatakan bahwa kini konsep pertanian tradisional “tidak baik”, sedang konsep
pertanian modernlah yang baik. Tak hanya itu saja, pemerintah pun menyodorkan serangkaian
fakta mengenai catatan keberhasilan Revolusi Hijau dunia guna memperkuat
argumennya. Tak pelak, hal tersebut menunjukkan karakteristik wacana
sebagaimana ungkap Wiener (1981), yakni pengguliran isu dengan memperlihatkan
kebenaran berikut membangun dukungan. Di sisi lain, turut berpartisipasinya para
ilmuwan IPB dalam program Revolusi Hijau-Indonesia dapat ditempatkan sebagai pelegitimasi
atas wacana yang dilontarkan pemerintah—ditemuinya “persetujuan” kaum
intelektual.
Lebih
jauh, penelaahan atas Revolusi Hijau patut dilayangkan pula pada berbagai
muatan tersembunyi atau kepentingan terselubung yang terdapat di dalamnya. Sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, pemerintah menyajikan rentetan perihal positif akan
penerapannya di tanah air, namun sebagaimana ungkap Mubyarto, penggunaan pupuk
kimia, pestisida dan teknologi pertanian modern secara berlebih sama artinya
dengan diperlukannya modal lebih guna membiayainya, dan hal tersebut menyebabkan
tak terhindarkannya pinjaman luar negeri (hutang) oleh pemerintah. Sebagaimana
kita ketahui, karakteristik pemerintahan Orde Baru yang kental dengan praktek korupsi
memungkinkan sebagian dari pinjaman tersebut sekedar menjadi “proyek rente”
dari segelintir elit pemerintahan.[4]
Begitu pula, ditemuinya kepentingan terselubung pihak asing guna menguasai
perekonomian Indonesia, sebagaimana ucap Revrisond Baswir (2003) bahwa saat ini
perusahaan penyelia teknologi pertanian modern asal Jepang, Sygenta dan Magenta
menguasai (baca: memonopoli) pasar komoditas pertanian di Indonesia, sedang
para petani pribumi telah dibuat demikian tergantung olehnya akibat penerapan Revolusi
Hijau beberapa dekade lalu.
Ditilik
melalui aspek kepentingan politis, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya pula
bahwa terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat merupakan modal bagi pemerintah guna
membangun kepercayaan rakyat berikut menciptakan stabilitas sosial-politik
nasional—termasuk menghalau gelora “Revolusi Merah” di tanah air. Di satu sisi,
kepentingan asing pun dapat pula bermain di dalamnya, yakni dengan menjadikan
Indonesia sebagai “lumbung pangan” dari berbagai negara maju yang mendukung
penerapan Revolusi Hijau. Hal terkait kiranya senada dengan keyakinan para teoretisi
sistem dunia semisal Immanuel Wallerstein, Arghiri Emmanuel dan Samir Amin
bahwa negara berkuasa berupaya mempertahankan pola hubungan kolonial dengan
negara pinggiran di mana nilai lebih dari negara-negara pinggiran yang
ditempatkan sebagai penghasil komoditas pangan, dapat tersedot sedemikian rupa oleh
negara-negara berkuasa dengan corak produksi teknologi modern—komoditas elektronik.
Esensi dari kesemua hal tersebut adalah pertukaran yang tak seimbang antara
negara berkuasa dengan negara pinggiran (Setiawan, 1999: 74-75).
Menilik
berbagai muatan terselubung dari Revolusi Hijau di atas, kiranya dapat pula
dikatakan bahwa pemerintah telah melakukan manipulasi nilai dan norma sosial
guna meluluskan berbagai kepentingannya pada masyarakat petani. Dengan kata
lain, seolah pemerintah berbicara mengatasnamakan kepentingan masyarakat luas,
khususnya masyarakat petani, namun sesungguhnya sekedar mewakili kepentingannya
sendiri. Tak pelak, hal tersebut turut mencirikan salah satu karakteristik dari
wacana, yakni manipulasi nilai dan norma sosial.
Lebih
jauh, berbagai dampak negatif dari penerapan Revolusi Hijau-Indonesia yang
hadir kemudian menunjukkan upaya pemerintah dalam membangun konstruksi (pandangan)
masyarakat bahwa alam adalah perihal taken
for granted yang dengan demikian bebas dimanipulasi ataupun direkayasa demi
alasan “kebaikan umat manusia”. Hal tersebutlah yang kemudian berdampak pada
terjadinya degradasi lingkungan—defertilisasi lahan pertanian—akibat penerapan
teknologi rekayasa modern dalam Revolusi Hijau. Menurut Herbert Marcuse (dalam
Agger, 2006: 175-179), eksploitasi secara semena-mena yang dilakukan manusia terhadap
alam disebabkan oleh konstruksi yang sekedar menempatkan alam sebagai other ‘liyan’ atau obyek semata. Bagi
Marcuse, upaya “penyelamatan” atas alam hanya dapat dilakukan dengan
menempatkannya sebagai subyek layaknya manusia.
Kesimpulan
dan Penutup
Melalui
berbagai uraian singkat di atas, kiranya dapat ditelisik secara ekplisit bahwa perspektif
konstruksi sosial dalam menelaah aplikasi berikut implikasi dari konsep Revolusi
Hijau di Indonesia menunjukkan berbagai kepentingan ekonomi dan politik yang
termuat di dalamnya. Beberapa di antaranya seperti masuknya modal asing ke
tanah air serta upaya pemerintah dalam menciptakan stabilitas sosial-politik
nasional. Dalam perspektif hubungan internasional, Revolusi Hijau dapat
ditempatkan sebagai upaya asing guna mempengaruhi perekonomian Indonesia
berikut menjadikan tanah air sebagai “lumbung pangan” negara-negara maju. Pada
ranah yang berlainan, defertilisasi lahan sebagai dampak negatif diterapkannya
Revolusi Hijau menunjukkan upaya pemerintah dalam membangun konstruksi masyarakat
bahwa alam merupakan perihal yang bebas dieksploitasi berikut dimanipulasi demi
kebaikan manusia.
*****
Referensi:
Buku
§ Agger, Ben, 2006, Teori
Sosial Kritis, Kreasi Wacana.
§ Baswir, Revrisond, 2002, Pembangunan Tanpa Perasaan, Elsam.
§ Booth, Anne, dan McCawley, Peter, 1986, Ekonomi Orde Baru, LP3ES.
§ Booth, Anne, 1992, The
Oil Boom and After: Indonesian Economic Policy and Performance in the Soeharto
Era, Oxford University Press.
§ Mubyarto, 1979, Pengantar
Ekonomi Pertanian, LP3ES.
§ Mubyarto, 1981, Teori
Ekonomi dan Penerapannya di Asia, Gramedia.
§ Setiawan, Bonnie, 1999, Peralihan Kapitalisme di Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar.
§ Wardaya, Baskara T, 2003, Marx Muda, Buku Baik.
Jurnal
- Hazell,
Peter B.R, 2003, Green Revolution, Curse or Blessing?: IFPRI, http://www.ifpri.org/sites/default/files/pubs/pubs/ib/ib11.pdf
diakses pada tanggal 12 November 2011.
- Fanslow,
Greg, 2007, Prosperity, Pollution, and The Green Revolution, Rice Today, January-March, pp.
34-39.
§ Whaley,
Floyd, 2010, Digging into the Green Revolution, Development Asia, April-June, pp. 44-45.
Artikel
§ Soepardi, Goeswono, 2000, Revolusi Hijau Mengecewakan Petani?, Kompas 16 Oktober 2000.
[1] Program Bimas atau “Bimbingan
Massal” telah ditemui semenjak era Soekarno, namun baru memiliki kelembagaan
yang mantap di era Soeharto, yakni dengan partisipasi aktif para mahasiswa
Fakultas Pertanian Universitas Indonesia—kemudian berubah nama menjadi Institut
Pertanian Bogor.
[2] Seperti urea, TS, ZA, NPK, Ponska
dan lain sebagainya.
[3] Istilah yang digunakan Aristoteles
guna menunjukkan tujuan negara dan masyarakat.
[4] Sebagai misal kasus raibnya APBN
hingga mencapai angka 30% di era Orde Baru.
0 komentar:
Posting Komentar