Chapter III: Economic and Employment Changes
Fragmenting
Societies?
A Comparative Analysis of Regional and Urban Development
By David C. Thorns
Sebentuk Review Oleh:
Wahyu Budi Nugroho
“Does this represent as some have suggested
a movement towards a post-industrial society?”
(Thorns)
Chapter
terkait—Perubahan Ekonomi dan Lapangan
Pekerjaan—membahas mengenai perbandingan perubahan struktur ekonomi berikut
ketenagakerjaan yang terjadi baik pada negara New Zealand, Australia[1]
maupun Inggris selama empat dasawarsa pasca-Perang Dunia II. Thorns mengambil
sampel ketiga negara tersebut mengingat baik ketiganya menerapkan efisiensi
modal bagi produksi manufaktur (p. 56). Lebih jauh, disebabkan ketiga negara tersebut
berbasiskan pada industrialisasi skala masif, Thorns mengajukan sebuah
pertanyaan: “Mungkinkah deindustrialisasi
dan restrukturasi tenaga kerja menjadi sebuah keniscayaan?”. Dengan kata
lain, mungkinkah ketiga negara di atas memasuki era posindustrial, dan bilamana
hal tersebut benar-benar terjadi, apa sajakah konsekuensi yang mungkin hadir
kemudian? (p. 60).
Berdasarkan
data yang diperoleh Thorns melalui Allen dan Massey (1988), Inggris misalnya,
kecenderungan terjadinya deindustrialisasi agaknya menjadi sebuah keniscayaan.
Pasalnya, pada pertengahan tahun 1980-an jumlah tenaga kerja yang terserap pada
sektor jasa mencapai 65% setelah sebelumnya hingga pertengahan dekade 1960-an
kecenderungan tersebut tak tampak (p.61). Layaknya Inggris, hanya saja berjalan
setengah dekade lebih lambat, kecenderungan deindustralisasi di Australia mulai
tampak pada tahun 1970-an. Pada periode pascaperang (1947-1954), sektor
manufaktur (nonjasa) menyerap sekitar 40% tenaga kerja, dan hal tersebut
berangsur-angsur menurun sejak dekade 1970-an di mana pada tahun 1976 menjadi
35%, tahun 1981: 33%, sedang tahun 1986 sekedar menyisakan 30% (p. 63). Di New
Zealand, tren penurunan sektor manufaktur mulai tampak pada pertengahan dekade 1960-an—sama
halnya dengan Inggris. Setelah pada tahun 1966 angkatan kerja di sektor manufaktur
mencapai angka 48%, pada tahun 1971 turun menjadi 45%, tahun 1976: 42% dan
tahun 1981: 40% (p. 64). Adapun ragam sektor jasa ketiga negara yang begitu
banyak menyerap tenaga kerja adalah; kesehatan, pendidikan, retail, perhotelan
dan katering (p. 61).
Menurut
Thorns, gejala yang melanda ketiga negara di atas disebabkan oleh kejenuhan
sektor industri yang tak lagi mampu menyerap angkatan kerja (p.66). Kiranya, hal
terkait senada dengan kritik Revrisond Baswir atas konsep pembangunan ekonomi-neoliberalisme.
Dalam keyakinan neoliberalisme, kesejahteraan masyarakat bakal terwujud melalui
industrialisasi skala masif, yakni dengan mengharapkan terwujudnya skema trickle down efect ‘efek rambatan’.
Namun faktual, tolak ukur dari kesuksesan industrialisasi ialah semakin
berkurangnya penggunaan tenaga manusia akibat terjadinya “mekanisasi”. Dengan
demikian, dapat dimaklumi jika dari waktu ke waktu sektor industri justru kian
kecil menyerap tenaga kerja.[2]
Lebih
jauh, Thorns mengaitkan pula analisisnya akan kelesuan sektor industri sebagai
akibat terjadinya economic boom ‘ledakan
ekonomi’ di era 1970-an hingga 1980-an sehingga berbagai negara di atas syarat melakukan
restrukturasi modal (p. 74). Economic
boom sebagaimana dijelaskan Paul Ormerod, terjadi apabila mesin industri
berada dalam kondisi terbaiknya dan memberikan surplus produksi. Fenomena
tersebut memang memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun
sekedar bersifat temporal. Efek domino yang terjadi kemudian adalah; harga barang
jatuh di pasaran bahkan sebagian besar tak laku, pemilik perusahaan merugi
berikut tak mampu menggaji para pekerja, pada akhirnya perusahaan pun melakukan
efisiensi—bahkan “gulung tikar”—sehingga terjadilah pemutusan hubungan kerja
besar-besaran.[3]
Dalam
penelitian yang dilakukannya, Thorns menemukan bahwa proses deindustrialisasi
yang terjadi pada ketiga negara di atas dibarengi dengan fenomena meningkatnya part-time worker ‘pekerja paruh waktu’, menguatnya
isu gender dan rasial, serta kian melemahnya serikat kerja di mana keempat hal
tersebut saling berhubungan satu sama lain (p. 61).
Di
Australia, peningkatan signifikan pekerja paruh waktu tampak pada tahun 1985, sektor
tersebut menyerap 18% dari total angkatan kerja setelah pada periode 1983-1985
mengalami peningkatan sebesar 6% per tahun (p. 67). Dalam sudut pandang bisnis,
langkah tersebut sengaja diambil guna melakukan efiesiensi dan efektifitas perusahaan:
pekerja yang dikontrak berikut penyesuaian kebutuhan perusahaan secara
asidental (p. 63). Di sisi lain, fenomena peningkatan pekerja paruh waktu
tersebut bukannya tanpa persoalan sama sekali, faktual tenaga kerja wanita
lebih banyak terserap dalam sektor tersebut ketimbang pria, di sinilah
pengkajian Thorns bergeser pada isu gender. Bagi para pemilik perusahaan jasa, pekerja
wanita dengan kesibukan sampingan mengurus anak dan suami di rumah, dianggap
sesuai bagi bentuk pekerjaan paruh waktu (p. 77).
Di
Inggris, setelah sebelumnya sektor industri tekstil menyerap tenaga kerja
wanita terbanyak, pada dekade 1960-an mulai mengalami resesi dan membuat
sekitar 50,000 tenaga kerja wanita kehilangan pekerjaannya, jumlah tersebut nyaris
mencapai prosentase 50% dari keseluruhan angkatan kerja wanita pada sektor terkait.
Di sisi lain, industri kapal dan manufaktur baja yang menjadi sektor penyerap tenaga
kerja pria terbanyak, pun mengalami
resesi dan menyebabkan sekitar 85,000 tenaga kerja pria kehilangan
pekerjaannya. Beberapa periode kemudian, sektor jasa tampak menyerap tenaga
kerja yang ada, namun jumlah tenaga kerja wanita tampak lebih dominan ketimbang
pria. Tercatat, di sektor distribusi, tenaga kerja wanita mencapai angka 187,000;
sedangkan pria sekedar 59,000; untuk sektor administrasi publik, jumlah pekerja
wanita mencapai angka 76,000; sedangkan pria 63,000 (p.78).
Sedikit
berbeda dengan Inggris, pada periode yang sama di New Zealand terjadi
peningkatan penggunaan tenaga kerja wanita, hanya saja bukan pada pekerjaan
paruh waktu melainkan full-time workforce
‘tenaga kerja penuh waktu’, dan pada dekade 1980-an jumlah tersebut terus
meningkat hingga 34,3% (p. 82). Satu hal yang menarik adalah, dalam beberapa
sektor spesifik layaknya pemerintahan, komunitas dan pelayanan sosial,[4]
jumlah pekerja pria menjadi dominan di dalamnya, setelah sebelumnya berbagai
sektor terkait didominasi oleh pekerja wanita. Namun demikian, perihal yang
masih menjadi persoalan pelik adalah, tetap ditemuinya kesenjangan yang besar
antara upah pekerja pria dengan wanita—pria diupah lebih besar.
Di
Australia, prosentase peningkatan pekerja wanita pada sektor jasa memiliki
kecenderungan yang sama sebagaimana terjadi di Inggris dan New Zealand. Hingga
akhir tahun 1980-an, jumlah pekerja wanita pada sektor jasa mencapai prosentase
61%, sedang pria 34,7%. Beberapa sektor yang menyerap tenaga kerja wanita terbanyak
antara lain; komunitas, personalia dan jasa rekreasi. Namun, persoalan akut
yang juga mendera Australia adalah masih ter-marginalkan-nya pekerja wanita
ketimbang pria (p. 86).
Di
samping permasalahan gender, kajian Thorns turut merambah pula pada persoalan rasial
(etnis) ketenagakerjaan. Melalui data yang diperoleh, Thorns mengemukakan
terjadinya peningkatan diversitas etnis yang signifikan selama empat dekade
pascaperang (1945-1990). Hal tersebut tak lain disebabkan oleh gelombang
migrasi warga kulit berwarna ke tiga negara di atas. Dikatakan, setelahnya
mereka terjebak dalam segmentasi kelas pekerja yang kaku dan menempati “kasta
terbawah” dari struktur ketenagakerjaan. Persoalan yang muncul kemudian adalah,
baik buruh kulit berwarna yang trampil maupun tak trampil terklasifikasi dalam
kelas yang sama. Hal tersebut berakibat pada diskriminasi kedudukan maupun upah
yang diterima kemudian (p. 86-87).
Diakui
atau tidak, berbagai persoalan mengenai fragmentasi buruh di atas faktual membuktikan
“ketumpulan” analisis Marx guna menjelaskan fenomena terkait dewasa ini. Sebagaimana
kita ketahui, analisis Marx atas konflik antarburuh sekedar menemui bentuknya
sebagai vis a vis antara “buruh
dengan kesadaran yang benar” (true
conciousness) atas “buruh dengan kesadaran palsu” (false conciousness). Pengkajian Marx mengenainya tak sedikitpun mempertimbangkan
aspek konflik bermuatan gender maupun rasial antar sesama buruh. Belakangan, kajian
tersebut menjadi perhatian salah seorang pemikir cultural studies-Inggris, Stuart Hall, yang kemudian menelurkan
konsep politik identitas (representasi), dilatarbelakangi oleh pengamatannya atas
“terpinggirkannya” warga/buruh kulit hitam di Inggris.[5]
Lebih
jauh, Thorns menjelaskan bahwa implikasi dari sekian banyak persoalan ketenagakerjaan
di atas berdampak pada kian melemahnya serikat pekerja. Kiranya, hal tersebut
merupakan konsekuensi logis dari banyaknya fragmentasi (baca: perpecahan) dalam
struktur ketenagakerjaan: pekerja paruh waktu-penuh waktu, persoalan gender
(pria-wanita) dan pekerja kulit berwarna. Data menunjukkan, di tahun 1970-an, para
buruh yang tergabung dalam serikat pekerja mencapai prosentase 55%, kemudian
jumlah tersebut menurun hingga 45% di tahun 1980-an. Berpijak melalui fenomena
tersebut, Thorns mengemukakan mungkinnya terjadi pula proses “deradikalisasi” pada
serikat pekerja (p. 66). Tak pelak, analisis tersebut mengamini argumen Ralf Dahrendorf atas terjadinya “dekomposisi
tenaga kerja” pada dunia per-buruh-an dewasa ini—di samping “dekomposisi modal”.[6]
Melalui
serangkaian uraian di atas, kiranya dapat ditilik secara eksplisit bahwa fenomena
deindustrialisasi merupakan suatu keniscayaan yang melanda baik pada negara Inggris,
Australia maupun New Zealand dewasa ini. Secara tak langsung, hal tersebut
menghantarkan ketiga negara di atas pada era masyarakat posindustrial, yakni
era di mana sektor jasa lebih berperan (baca: dominan) ketimbang sektor
industri. Lebih jauh, implikasi yang hadir bersamaan dengannya adalah kian
ter-fragmentasi-nya tenaga kerja yang kemudian berdampak signifikan terhadap
kian melemahnya serikat pekerja.
*****
Referensi;
Primer:
§ Thorns,
David C. 1992. Fragmenting Societies: A
Comparative Analysis of Regional and Urban Development. London & New
York: Routledge.
Sekunder:
§ Baswir,
Revrisond. 2003. Pembangunan tanpa
Perasaan. Jakarta: Elsam.
§ Ormerod,
Paul. 1999. Matinya Ilmu Ekonomi Jilid 2:
Menuju Ilmu Ekonomi Baru. Jakarta: Gramedia.
§ Barker,
Chris. 2009. Cultural Studies.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
§ Poloma,
Margaret M. Sosiologi Kontemporer.
Jakarta: Rajawali Pers.
[1] Diandaikan
terpisah dengan Inggris, terlepas dari bentuknya sebagai negara persemakmuran (…in contrast to Britain).
[2] Revrisond
Baswir, Pembangunan tanpa Perasaan,
Elsam, Jakarta, 2003, h. 26-29.
[3] Paul
Ormerod, Matinya Ilmu Ekonomi Jilid 2:
Menuju Ilmu Ekonomi Baru, Gramedia, Jakarta, 1999, h. 24-25 & 34.
[4] Pekerjaan
paruh waktu.
[5] Chris
Barker, Cultural Studies, Kreasi
Wacana, Yogyakarta, 2009, h. 219-221.
[6] Margaret
M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Rajawali
Pers, Jakarta, 2010, h. 132. Dijelaskan bahwa, buruh tak lagi menjadi kesatuan
kelompok yang homogen.
0 komentar:
Posting Komentar