Kebangkitan
BRIC’s dan Stagnasi Perekonomian Indonesia
Oleh:
Wahyu Budi Nugroho
“Indonesia
akan menjadi korban pertama saya…”
(John Perkins)
Pendahuluan
Pada
tahun 2005, dunia dikejutkan dengan perkembangan pesat perekonomian empat
negara berkembang, yakni Brazil, Rusia, India dan Cina—kemudian disebut sebagai
BRIC’s. Pendapatan ekonomi keempat negara berkembang tersebut mampu mencapai setengah
dari total pendapatan negara-negara maju yang tergabung dalam G6 (Watson, 2007).
Dua tahun sebelumnya, Goldman Sachs—jurnal
ekonomi global—telah memproyeksikan bahwa dalam beberapa dekade ke depan, rata-rata
pertumbuhan ekonomi Brazil yang mencapai angka 3,6% per tahun bakal melampaui
perekonomian Italia di tahun 2025, Perancis di tahun 2031, serta Inggris dan
Jerman di tahun 2036. Di sisi lain, Cina dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi 3,5%
per tahun berikut didukung dengan tingginya tingkat investasi, jumlah tenaga
kerja yang besar serta fundamental ekonomi yang mantap, bakal menjadi kekuatan
terbesar ekonomi dunia di tahun 2041. Tak ketinggalan, perekonomian India diprediksi
bakal melampaui Jepang di tahun 2032, sedangkan Rusia bakal melampaui Italia di
tahun 2018, Perancis di tahun 2024, serta Inggris dan Jerman di tahun 2027-2028
(Wilson & Purushothaman, 2003: 10).
Menilik
kenyataan di atas, kiranya satu pertanyaan yang muncul kemudian adalah, “Mengapa Indonesia tak mampu mengikuti jejak
pesatnya kemajuan ekonomi keempat negara berkembang di atas?”. Harus diakui
memang, tak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Namun, apabila kita melihat konstelasi
perekonomian Indonesia beberapa dekade lalu, di mana pada era Oil Boom (1974-1982) pertumbuhan ekonomi
Indonesia sempat mencapai angka 7,8% (Baswir, 2003: 86); seharusnya kini
Indonesia mampu tergabung dalam BRIC’s—melampauinya bahkan—tapi kenyataannya
tidak. Kiranya, berbagai hal tersebutlah yang menyebabkan kami tertarik lebih
jauh untuk membahasnya dalam pengkajian terkait, yakni penelaahan seksama atas berbagai
faktor yang menyebabkan ketidakmampuan perekonomian Indonesia berkembang
sepesat negara-negara BRIC’s di atas.
Resep
Keberhasilan BRIC’s
Wilson
dan Purushothaman (2003: 13) setidaknya memetakan empat hal yang menjadi kunci
kebangkitan ekonomi BRIC’s, antara lain; stabilitas makro-Ekonomi, efisiensi institusi,
keterbukaan dan pendidikan. Stabilitas makro-Ekonomi negara-negara
BRIC’s ditunjukkan melalui peningkatan saving
‘simpanan/tabungan’ dan investasi, di sisi lain mereka turut menjaga keseimbangan
harga berbagai komoditas di pasaran dengan tingkat upah di dalam negeri. Efisiensi
institusi BRIC’s tampak dalam aspek sistem legal, fungsionalisasi pasar,
berfungsinya sistem kesehatan dan pendidikan, berjalannya institusi finansial,
serta sehatnya birokrasi pemerintahan. Asumsi yang berupaya dibangun adalah, institusi
yang buruk bakal berimplikasi pula pada rendahnya tingkat investasi dan simpanan.
Lebih jauh, keterbukaan diyakini BRIC’s mampu menyediakan akses yang lebih luas
terhadap pasar berikut masuknya teknologi modern. Cina misalkan, dalam beberapa
dekade terakhir negara tersebut mampu melakukan alih-teknologi berikut
melakukan ekspansi pasar skala masif. Aspek terakhir yakni pendidikan, berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan, faktual terdapat korelasi positif antara
tingginya rata-rata tingkat pendidikan masyarakat suatu negara dengan tingginya
tingkat produktivitas negara tersebut. Dalam hal ini, rata-rata tingkat
pendidikan yang tinggi di suatu negara menunjukkan pula ketersediaan tenaga
kerja yang trampil di negara tersebut.
Pada
ranah yang berlainan, Harold James (2008: 41), profesor sejarah perdagangan
dunia pada Princeton University, mengatakan bahwa keberhasilan BRIC’s dalam
memajukan perekonomiannya disebabkan oleh pemerintahannya yang fleksibel dan
mampu beradaptasi secara cepat terhadap perubahan konstelasi pasar dunia. Hal
tersebut tampak melalui cepatnya penyesuaian mereka dalam merumuskan suatu kebijakan
publik, pembebasan pasar tenaga kerja, penciptaan iklim kompetisi yang solid,
serta memfasilitasi peralihan atau merger bisnis lintas negara. Diakui atau
tidak, serangkaian strategi tersebut faktual merupakan bentuk pengadopsian negara-negara
BRIC’s terhadap konsep ekonomi-politik berbagai negara kecil yang fleksibel. Di
satu sisi, bentuk negara mereka yang besar secara geopolitik memberikan keuntungan
tersendiri berupa posisi tawar-menawar yang tinggi terhadap negara lain, hal tersebut
berperan pula dalam meminimalisir kepentingan asing di dalam negeri. Sebagaimana
kita ketahui, negara dengan struktur geopolitik yang luas memiliki beragam
sumberdaya yang dibutuhkan bagi berbagai kegiatan industri—bargaining position. Singkat kata, James menegaskan bahwa kunci
keberhasilan BRIC’s terletak pada kemampuan mereka dalam mengelaborasi kedua strategi
di atas.
Hambatan
Kemajuan Ekonomi Indonesia
Berpijak
melalui kerangka “resep mujarab” yang diterapkan negara-negara BRIC’s di atas, kiranya
terdapat beberapa alasan yang menyebabkan terhambatnya kemajuan perekonomian Indonesia.
Berbicara masalah investasi dan simpanan negara, agaknya faktor utama yang menghambat
Indonesia dalam sektor tersebut adalah terlanjur menggunungnya hutang luar
negeri Indonesia. Tercatat, hingga kini akumulasi hutang luar negeri Indonesia
telah mencapai 1.744 Trilyun Rupiah (DJPU, Agustus 2011), hal tersebut jelas
membuat investasi dan simpanan skala masif menjadi perihal yang musykil bagi negara,
setiap tahun APBN syarat menanggung besarnya bunga dari kisaran angka hutang di
atas. Sebagaimana diutarakan Revrisond Baswir (2003: 152), catatan hutang luar
negeri Indonesia telah dimulai semenjak awal berdirinya Orde Baru, yakni pada periode
yang diistilahkannya sebagai “masa pemulihan ekonomi” (1966-1973). Dalam
periode-periode tersebut, Presidium Kabinet pada awal Oktober 1966 menyetujui
kerja sama pemerintah Indonesia dengan International
Monetary Fund (IMF), selang satu-dua tahun kemudian (1967-1968) pemerintah
mencanangkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN). Melalui kebijakan PMA tersebutlah negara mengalami
kerugian jangka panjang akibat deviden
profit yang tak seimbang, sedang upaya guna melakukan deregulasi atasnya menjadi
demikian sulit mengingat kontrak kerja dikemas dalam bentuk perjanjian
internasional—semisal kasus Freeport.
Dalam
segi institusi pemerintahan, Indonesia pun memiliki rapor merah. Sebagaimana hasil
survey yang dipublikasikan oleh Transparency
Indonesia, birokrasi Indonesia didaulat sebagai birokrasi terkorup di Asia
Pasifik. Hal tersebut jelas membuat investor asing maupun dalam negeri sedikit-banyak
enggan menanamkan modalnya di tanah air. Agaknya, korupnya birokrasi Indonesia
berbanding lurus dengan panjangnya rantai birokrasi yang harus dilalui guna
memperoleh legalisasi—patologi birokrasi. Dalam hal keterbukaan, faktual Indonesia
telah lama menerapkannya, namun permasalahan akut yang hadir kemudian adalah tak
disertainya proses alih-teknologi di dalamnya. Di sisi lain, keterbukaan yang
ada sekedar menjadi gerbang masuknya beragam produk asing di tanah air. Dalam
hal pendidikan, terdapat pula keprihatinan mendalam yang menyertainya, tercatat
jumlah pengangguran terdidik di Indonesia (sarjana) mencapai angka lima juta
jiwa. Membengkaknya jumlah tersebut disebabkan oleh struktur ketenagakerjaan
yang tak menguntungkan. Sebagaimana kita ketahui, privatisasi berikut penjualan
saham skala besar pada pihak swasta menyebabkan terjadinya perampingan tenaga
kerja, bahkan sistem kontrak yang begitu merugikan pekerja—outsourcing.[1]
Tak pelak, hal tersebutlah yang menyebabkan tenaga kerja terdidik semakin hari semakin
sulit terserap dalam pasar kerja (sektor formal). Di satu sisi, hal terkait
turut menunjukkan betapa logika ekonomi jauh lebih berperan ketimbang logika
pemberdayaan human capital dalam menyelesaikan
berbagai persoalan bisnis (baca: perusahaan).
Ditinjau
melalui perspektif Harold James, agaknya Indonesia telah menjadi negara yang
cukup fleksibel dalam perumusan kebijakan pasar global. Hal tersebut tampak
dengan cepatnya respon pemerintah dalam merumuskan kebijakan atau undang-undang
yang sejalan dengan semangat globalisasi. Namun demikian, satu hal yang patut
disayangkan adalah nihilnya posisi tawar-menawar Indonesia dalam setiap kontrak
karya yang dibuat meskipun secara geopolitik Indonesia tergolong dalam negara
yang besar. Diakui atau tidak, hal tersebutlah yang seolah sekedar menempatkan
para elit pemerintahan sebagai komprador (kepanjangan tangan) kepentingan asing
di tanah air. Dengan demikian, tak berlebihan pula jika dikatakan bahwa
berbagai rumusan kebijakan berikut undang-undang yang dibuat pemerintah sekedar
menjadi pengejawantah “hasrat libidinal” pihak asing.
Kesimpulan
dan Penutup
Melalui
berbagai uraian dan penjabaran singkat di atas, kiranya dapat ditelisik secara ekplisit
berbagai faktor yang menyebabkan ketidakmampuan perekonomian Indonesia
berkembang sepesat negara-negara BRIC’s. Beberapa di antara faktor tersebut seperti;
hutang luar negeri yang terlampau besar, berbagai kontrak kerja yang merugikan tanah
air, ketidakmampuan pemerintah dalam melakukan alih-teknologi berikut
membendung masifnya beragam produk asing di dalam negeri, serta posisi
tawar-menawar Indonesia yang masih rendah ketimbang pihak asing dalam setiap
kontrak karya yang dibuat.
*****
Referensi:
- § Baswir, Revrisond, 2003, Pembangunan Tanpa Perasaan, Elsam.
- § James, Harold, 2008, The Rise of the BRIC’s: And the new logic in international politics, The International Economy, Summer 2008, pp. 41.
- § Watson, Lord, 2007, Balancing Globalisation, OECD Forum Note, Paris, 22 May 2007.
- § Wilson, D, & Purushothaman, R, Dreaming With BRIC’s: The Path to 2050, Global Paper No. 99, 1st October 2003, pp. 10-13.
[1] Bahkan tren berbagai perusahaan
swasta dewasa ini cenderung melakukan perekrutan karyawan lulusan diploma
dengan alasan efisiensi—upah yang lebih rendah.
0 komentar:
Posting Komentar