Muatan Neoliberalisme dalam Kebijakan Pemerintah atas;
Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No. 4/2009),
Penanaman Modal (UU No. 25/2007) serta Sumber Daya Air
(UU No. 7/2004)
Oleh: Wahyu
Budi Nugroho
“Indonesia
akan menjadi korban pertama saya…”
(John Perkins,
Bandit Ekonomi)
Definisi dan Karakteristik Neoliberalisme
Neoliberalisme merupakan
revitalisasi konsep ekonomi liberalisme klasik yang runtuh pada dekade 1930-an akibat
“overproduksi”.[1]
Kegagalan penerapan konsep ekonomi keynesian (1950-an) dan neo-Keynesian (1970-an)
pascaperistiwa tersebut mendorong insiatif diterapkannya kembali konsep
liberalisme klasik yang kemudian lebih dikenal dengan istilah “neoliberalisme”.
Adapun karakteristik utama dari neoliberalisme antara lain; pasar bebas, perdagangan
bebas dan anti-intervensi negara dalam bidang perekonomian. Di sisi lain, beberapa
tokoh kunci yang berperan dalam kelahiran neoliberalisme pada dekade 1980-an
antara lain; Ronald Reagan, Margareth Thatcher, Friedrich von Hayek, Milton
Friedman dan Robert Nozick.[2]
Muatan Neoliberalisme dalam Kebijakan Pemerintah
atas Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No. 4 Tahun
2009)
Bagian Kesatu
- Umum -
Pasal 38
IUP[3]
diberikan kepada:
a. badan
usaha;
b. koperasi;
dan
c. perorangan.
Pasal 40
Ayat 6
IUP untuk
mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan
kepada pihak lain oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Bagian Ketiga
IUP Operasi Produksi
Pasal 46
Ayat 2
IUP
Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau
perseorangan atas hasil pelelangan WIUP[4]
mineral logam atau batubara yang telah mempunyai data hasil kajian studi
kelayakan.
Paragraf 2
Pertambangan Mineral Logam
Pasal 51
WIUP
mineral logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan
cara lelang.
Pasal 52
Ayat 2
Pada
wilayah yang diberikan IUP Eksplorasi mineral logam dapat diberikan IUP kepada
pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.
Paragraf 3
Pertambangan Mineral Bukan Logam
Pasal 54
WIUP
mineral bukan logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan
dengan cara permohonan wilayah kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud pada
Pasal 37.
Pasal 55
Ayat 2
Pada
wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dapat diberikan
IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
berbeda.
Paragraf 4
Pertambangan Batuan
Pasal 57
WIUP
bantuan diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara permohonan
wilayah kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 37.
Pasal 58
Ayat 2
Pada
wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan dapat diberikan IUP kepada
pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.
Bagian Kelima
Pertambangan Batubara
Pasal 60
WIUP
batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara
lelang.
Pasal 61
Ayat 2
Pada
wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batubara dapat diberikan IUP kepada
pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.
Bab X
Izin Usaha Pertambangan Khusus
Pasal 74
Ayat 7
IUPK[5]
untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat
diberikan kepada pihak lain oleh Menteri.
Pasal 75
Ayat 2
IUPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada badan usaha yang
berbadan hukum Indonesia, baik berupa badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, maupun badan usaha swasta.
Ayat 4
Badan
usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendapatkan IUPK
dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK[6].
Pokok Pikiran dalam Penjelasan UU No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
Ayat 2:
Pemerintah
selanjutnya memberikan kesempatan pada badan usaha yang berbadan hukum
Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan
pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi
daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya masing-masing.
Pembahasan
Muatan neoliberalisme dalam UU No. 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kiranya tampak melalui luasnya
akses yang diberikan pemerintah terhadap badan usaha (swasta) dan perseorangan.
Terlebih, akses terhadapnya diberikan melalui jalur “lelang”, hal tersebut tentunya
menguntungkan para pemodal besar—semakin besar modal yang dimiliki, semakin
besar pula kesempatan akses terhadap sumber daya mineral dan batubara dimiliki.
Di sisi lain, hal tersebut mengindikasikan pula betapa pemerintah lebih terpaku
pada “nilai tukar” ketimbang “nilai guna”. Dengan kata lain, suatu sumber daya yang
bisa jadi lebih berguna bagi masyarakat luas apabila dikelola secara mandiri
(lokal-nasional), pada akhirnya justru jatuh ke tangan swasta/asing akibat diberlakukannya
sistem lelang. Lebih jauh, beberapa pasal mengenai peralihan IUP (Izin Usaha
Pertambangan), faktual turut memperbesar kemungkinan jatuhnya pengelolaan
sumber daya mineral dan batubara ke tangan swasta/asing.
Muatan Neoliberalisme dalam Kebijakan Pemerintah
atas Penanaman Modal (UU No. 25 Tahun 2007)
Bab I
Ketentuan Umum
Pasal 1
Ayat 1
Penanaman
modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal
dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara
Republik Indonesia.
Ayat 3
Penanaman
modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah
negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang
menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal
dalam negeri.
Ayat 4
Penanam
modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang
dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.
Ayat 6
Penanam
modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau
pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.
Ayat 8
Modal
asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara
asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia
yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.
Pasal 8
Ayat 1
Penanam
modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh
penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bab X
Fasilitas Penanaman Modal
Pasal 18
Ayat 2
Fasilitas
penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat
diberikan pada penanam modal yang:
a. melakukan
perluasan usaha; atau
b. melakukan
penanaman modal baru.
Ayat 4
Bentuk
fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan (3) dapat
berupa:
a. pajak
penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat tertentu
terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu;
b. pembebasan
atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk
keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;
c. pembebasan
atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan
produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;
d. pembebasan
atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin
atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam
negeri selama jangka waktu tertentu;
e. penyusutan
atau amortisasi yang dipercepat; dan
f. keringanan
Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk usaha tertentu, pada wilayah atau
daerah atau kawasan tertentu.
Pasal 21
Selain
fasilitas sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan
pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk
memperoleh:
a. hak atas
tanah;
b. fasilitas
pelayanan keimigrasian; dan
c. fasilitas
perizinan impor.
Penjelasan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal;
Umum
(Paragraf 10):
Perekonomian
dunia ditandai oleh kompetisi antarbangsa yang semakin ketat sehingga kebijakan
penanaman modal harus didorong untuk menciptakan daya saing perekonomian
nasional guna mendorong integrasi perekonomian Indonesia menuju perekonomian
global. Perekonomian dunia juga diwarnai oleh adanya blok perdagangan, pasar
bersama, dan perjanjian perdagangan bebas yang didasarkan atas sinergi
kepentingan antarpihak atau antarnegara yang mengadakan perjanjian. Hal itu
juga terjadi dengan keterlibatan Indonesia dalam berbagai kerja sama
internasional yang terkait dengan penanaman modal, baik secara bilateral,
regional maupun multilateral (World Trade Organization/WTO), menimbulkan
berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan ditaati.
Pembahasan
Kiranya, beberapa cuplikan pasal
dalam Undang-undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 di atas jelas memberikan
peluang terhadap pemodal asing untuk masuk dan menanamkan modalnya di
Indonesia. Hal tersebut diperkuat pula dengan “pengakuan” pemerintah dalam
paragraf 10 penjelasan UU terkait sebagaimana telah dicantumkan di atas. Secara
substansial, UU No. 25 Tahun 2007 tetap menyiratkan muatan neoliberalisme dalam
Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 yang dibuat Orde Baru
meskipun UU terkait (UU No. 25/2007) diklaim sebagai revisi atasnya. Lebih
jauh, pemerintah menjadikan peningkatan daya saing perekonomian nasional
sebagai alasan integrasi dengan perekonomian global, namun hal tersebut menjadi
tak berarti apabila fundamental ekonomi nasional belumlah kuat mengingat fenomena
bubble economic ‘gelembung ekonomi’[7]
pada akhir dekade 1990-an rentan terjadi kembali selama pondasi ekonomi
nasional belum kuat.
Muatan Neoliberalisme dalam Kebijakan Pemerintah
atas Sumber Daya Air (UU No. 7 Tahun 2004)
Bab I
Ketentuan Umum
Pasal 9
Ayat 1
Hak guna
usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari
Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Ayat 2
Pemegang
hak guna usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain berdasarkan
persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
Bab IV
Pendayagunaan Sumber Daya Air
Pasal 40
Ayat 4
Koperasi,
badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan
sistem penyediaan air minum.
Pasal 49
Ayat 1
Pengusahaan
air untuk negara lain tidak diizinkan, kecuali apabila penyediaan air untuk
berbagai kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) telah dapat
terpenuhi.
Bab VI
Perencanaan
Pasal 62
Ayat 7
Rencana
pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai dirinci ke dalam program
yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air oleh instansi pemerintah, swasta,
dan masyarakat.
Penjelasan Pokok Pikiran UU No.7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air;
Ayat 10:
Pengusahaan
sumber daya air pada tempat tertentu dapat diberikan kepada badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah bukan pengelola sumber daya air, badan
usaha swasta dan/atau perseorangan berdasarkan rencana pengusahaan yang telah
disusun melalui konsultasi publik dan izin pengusahaan sumber daya air dari
pemerintah. Pengaturan mengenai pengusahaan sumber daya air dimaksudkan untuk
mengatur dan memberi alokasi air baku bagi kegiatan usaha tertentu. Pengusahaan
sumber daya air tersebut dapat berupa pengusahaan air baku sebagai bahan baku
produksi, sebagai salah satu media atau unsur utama dari kegiatan suatu usaha,
seperti perusahaan daerah air minum perusahaan air mineral, perusahaan minuman
dalam kemasan lainnya, pembangkit listrik tenaga air, olahraga arung jeram, dan
sebagai bahan pembantu proses produksi, seperti air untuk pendingin mesin (water cooling system) atau air untuk
pencucian hasil eksplorasi bahan tambang. Kegiatan pengusahaan dimaksud tidak termasuk
menguasai sumber airnya, tetapi hanya terbatas pada hak menggunakan air sesuai dengan
alokasi yang ditetapkan dan menggunakan sebagian sumber air untuk keperluan
bangunan sarana prasarana yang diperlukan misalnya pengusahaan bangunan sarana
prasarana pada situ. Pengusahaan sumber daya air tersebut dilaksanakan sesuai dengan
rambu-rambu sebagaimana diatur dalam norma, standar pedoman, manual (NSPM) yang
telah ditetapkan.
Pembahasan
Layaknya UU mengenai Pertambangan
Mineral dan Batubara serta Penanaman Modal, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air menyiratkan pula muatan neoliberalisme di dalamnya. Hal tersebut tampak
melalui jaminan yang diberikan pemerintah terhadap swasta/asing akan “hak guna
usaha air” di mana penyediaan air minum atau pendirian perusahaan air minum
kemasan termasuk di dalamnya. Apa yang menjadi kekhawatiran adalah, apabila di
kemudian hari berbagai sumber daya vital yang mempengaruhi hajat hidup
masyarakat luas—air terutama—justru dikuasai oleh pihak swasta/asing.
Kekhawatiran serupa setidaknya sempat tercermin dalam peristiwa Malari (Malam Lima Belas Januari) tahun 1974 di
mana kerusuhan massa terjadi sebagai respon atas begitu longgarnya kesempatan
yang diberikan pemerintah terhadap para investor asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia.[8]
Kesimpulan dan Penutup
Melalui berbagai uraian singkat yang
telah disajikan di atas, kiranya dapat ditilik secara eksplisit bahwa UU No. 4/2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 25/2007 tentang Penanaman
Modal serta UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air menyiratkan muatan
ekonomi-neoliberalisme di dalamnya. Hal tersebut mengingat baik ketiganya
memberikan peluang/akses yang luas terhadap swasta atau asing untuk turut andil
(mengambil bagian) di dalamnya. Secara tak langsung, hal terkait
mengindikasikan konstelasi ekonomi nasional yang berpijak pada “ekonomi pasar”
(baca: neoliberalisme).
*****
Referensi:
§
Website Kementerian Sekretariat Negara (http://www.setneg.go.id/),
diakses pada 7 Oktober 2011.
-
UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara:
-
UU Penanaman Modal:
-
UU Sumber Daya Air:
§
Ormerod, Paul. 1998. Matinya Ilmu Ekonomi Jilid 1: Dari Krisis ke Krisis. Jakarta:
Gramedia.
§ Adi, M. Ramdhan. 2005. Globalisasi Skenario Mutakhir Kapitalisme. Bogor: Al-Azhar Press.
§ Baswir, Revrisond. 2003. Pembangunan tanpa Perasaan. Jakarta: Elsam.
[1] Dikenal
dengan peristiwa Great Depression.
[2] Terkait
neoliberalisme, selengkapnya lihat Paul Ormerod, Matinya Ilmu Ekonomi Jilid 1: Dari Krisis ke Krisis, Gramedia,
Jakarta, 1998.
[3] IUP =
Izin Usaha Pertambangan.
[4] WIUP =
Wilayah Izin Usaha Pertambangan.
[5] IUPK =
Izin Usaha Pertambangan Khusus.
[6] WIUPK =
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus.
[7] M. Ramdhan Adi, Globalisasi
Skenario Mutakhir Kapitalisme, Al-Azhar Press, Bogor , 2005, h. 70. Fenomena “gelembung
ekonomi” di Indonesia pada akhir dekade 1990-an terjadi akibat banyaknya
investor asing menanamkan modal di dalam negeri namun dengan orientasi profit
jangka pendek, setelah profit mereka kantongi, dengan serta-merta mereka
menarik seluruh modalnya.
[8] Revrisond
Baswir, Pembangunan tanpa Perasaan, Elsam,
Jakarta, 2003, h. 2. Kerusuhan tersebut meletus bersamaan dengan kunjungan PM
Jepang, Kakuei Tanaka ke tanah air.
0 komentar:
Posting Komentar