OCCUPY WALL STREET SEBAGAI MOMENTUM
PENGUATAN
KEMBALI “GERAKAN SOSIAL BARU”
MENILIK
LATAR BELAKANG, PROSES SERTA IMPLIKASI
“OCCUPY
WALL STREET” DALAM PERSPEKTIF DAN ANALISIS SOSIOLOGIS
Oleh:
Wahyu Budi Nugroho
“We’re sick and tired of one injustice after another.
We want human dignity back again.”
(Spanish
Indignados, #How to Camp)
Pendahuluan
Beberapa
bulan lalu, tepatnya pada tanggal 17 September 2011 di Amerika Serikat, terjadi
peristiwa yang tak pernah diduga sebelumnya oleh khalayak luas—bahkan akademisi,
politisi dan ekonom sekalipun—yakni pendudukan Wall Street oleh massa (Occupy
Wall Street/OWS). Setidaknya, dua ribu orang bergabung dalam gerakan tersebut,
secara umum, mereka menyuarakan penolakan keras atas campur tangan para korporat
dalam proses (kehidupan) politik pemerintahan Amerika Serikat. Aksi massa tersebut
terkonsentrasi di Taman Zuccotti, tepat berada di sebelah utara (depan) gedung New York Stock Exchange. Seseorang yang
diketahui bernama Lupe Fiasco menyumbangkan lima puluh tenda guna mendukung
aksi pendudukan tersebut (Occupy Journal, 2011: 3). Segera setelahnya, aksi
massa dengan slogannya yang terkenal, “We
are the 99%!” [“Kami adalah 99%!”]
tersebut pun berubah menjadi gerakan massa yang mendunia.
Kiranya,
peristiwa di atas dapat didaulat sebagai momentum penguatan kembali “gerakan
sosial baru” (GSB) pasca hadirnya World
Social Forum ‘Forum Sosial Dunia’ (FSD) di Porto Alegre, Brazil pada tahun
2000. Memang, FSD sebagai “tandingan” World
Economic Forum ‘Forum Ekonomi Dunia’ (FED) telah banyak melahirkan aksi
massa di berbagai belahan dunia semisal: demonstrasi para aktivis di Bangkok dalam
rangka menolak pertemuan UNCTAD (United
Nations Conference on Trade and Development); penolakan massa atas konferensi
tahunan IMF di Washington D.C, pun
demikian halnya di Genoa-Italia; sedang baru-baru ini adalah terselenggaranya konferensi
Mumbay di India (Pulungan dan Abimayu, 2005: V-XIII). Namun demikian,
dibandingkan serangkaian aksi massa tersebut, agaknya OWS membawa dampak yang
jauh lebih besar mengingat peristiwa terkait segera bertransformasi menjadi
gerakan massa skala masif di berbagai penjuru dunia dalam waktu singkat—berbeda
halnya dengan FSD yang tak menghasilkan efek berantai.
Menilik
bentuknya sebagai gerakan massa terbesar pasca-FSD, berikut dampaknya yang
signifikan terhadap konstelasi sosial-politik di berbagai negara belahan dunia
lainnya dalam waktu singkat, kiranya serangkaian hal tersebutlah yang
menyebabkan penulis tertarik lebih jauh untuk membahasnya dalam sebentuk pengkajian
terkait, yakni penelaahan seksama atas berbagai latar belakang berikut
implikasi dari peristiwa OWS dalam perspektif dan analisis sosiologis.
Sekilas
“Gerakan Sosial Baru”
Dalam
A Dictionary of Sociology (Marshall,
1998: 615), istilah “gerakan sosial baru” digunakan untuk mengidentifikasi
berbagai bentuk gerakan sosial yang hadir pada penghujung dekade abad ke-20. Lebih
jauh, Barker (2009: 132) menjelaskan bahwa gerakan sosial baru muncul dalam
masyarakat Barat modern pada era 1960-an dengan karakternya yang spesifik,
yakni berupa gerakan perdamaian, hak-hak sipil, kesetaraan gender, lingkungan,
hingga identitas kultural. Menurutnya, gerakan sosial baru berbeda dengan politik
kelas berikut gerakan tradisional kaum buruh, senada dengan ungkap Giddens (2009:
212-213) bahwa gerakan sosial baru dapat dipisahkan dari gerakan buruh mengingat
berasal dari arena tindakan yang berbeda, yakni pengawasan negara modern, “Gerakan buruh ala marxis telah usang”,
tegasnya kurang-lebih.
Berpijak
melalui penjabaran singkat di atas, agaknya OWS dapat terklasifikasi dalam bentuk
gerakan sosial baru berdimensi pemenuhan hak-hak sipil mengingat beragam elemen
masyarakat yang turut berpartisipasi di dalamnya. Namun demikian, terlepas dari
kesemua hal tersebut, OWS merupakan peristiwa “mengejutkan” yang perlu
diapresiasi mengingat pada dekade 1980-an tren gerakan sosial di seluruh dunia cenderung
mengalami penurunan. Setidaknya, fenomena terkait disebabkan oleh dua alasan;
berkembangnya wacana posmodernisme yang kental dengan aroma skeptisime berikut
nihilisme, serta kebrangkutan rezim Komunisme-Soviet. Momentum pertama
penguatan kembali gerakan sosial baru pasca periode-periode kelesuannya terjadi
pada dekade 1990-an yakni ketika ekspansi neoliberalisme telah dinilai begitu
meresahkan. Satu peristiwa penting yang tak patut dilewatkan adalah publikasi
koran Le Monde Diplomatique mengenai
bocoran proposal hutang yang dibuat oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development)[1]
guna ditawarkan (baca: dipaksakan) pada negara-negara berkembang. Tak pelak,
publikasi tersebut segera memicu kemarahan massa, pemerintah Perancis pun
terpaksa mundur dari proses negosiasi dan urung menandatanganinya (Pulungan dan
Abimayu, 2005: 5).
Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, momentum lain penguatan gerakan sosial baru terjadi
kala dibentuknya Forum Sosial Dunia pada tahun 2000 di Porto Alegre, Brazil. Pada
dasarnya, forum tersebut didirikan guna menandingi Forum Ekonomi Dunia milik negara-negara
G-7 yang menggelar pertemuan tahunan di Davos, Swiss. Apabila FED berpijak pada
pernyataan Thatcher yang terkenal, TINA: “There
Is No Alternative!”, maka FSD berupaya menjawabnya dengan berkata, TAMA: “There Are Many Alternatives!” (Pulungan
dan Abimayu, 2005: IX). Pasca FSD terbentuk dan melahirkan berbagai gerakan
massa sekala internasional, agaknya OWS menjadi momentum penguatan kembali gerakan
sosial baru mengingat keduanya memiliki semangat yang sama—anti-Neoliberalisme—hanya
saja spesifikasi dari gerakan OWS adalah pendudukan Wall Street dengan skala dan cakupan pergerakan yang lebih besar.
Occupy Wall Street: Latar Belakang, Proses dan
Implikasi
Pendudukan Wall Street
di Amerika Serikat pada tanggal 17 September 2011 bermula dari kesadaran para warga
bahwa segenap kegagalan berikut penderitaan hidup yang mereka alami faktual
bukanlah disebabkan oleh diri mereka, melainkan oleh struktur berikut sistem
ekonomi yang membingkai kehidupan mereka. Tercatat, lebih dari 25 juta rakyat
Amerika adalah pengangguran, sedang 50 juta lainnya bekerja tanpa jaminan
kesehatan. Secara estimasi, terdapat sekitar 100 juta rakyat Amerika yang hidup
dalam kemiskinan. Di sisi lain, aksi pendudukan Wall Street turut diinspirasi pula oleh pergolakan yang sebelumnya terjadi
di Spanyol, Yunani dan Mesir. Para peserta aksi berkeyakinan bahwa persatuan bakal
menghancurkan proses politik yang korup berikut mewujudkan tatanan masyarakat yang
didasarkan pada pemenuhan kebutuhan bersama, bukannya pemenuhan keuntungan pribadi
(Gupta, 2011: 1).
Adapun slogan terkenal OWS, yakni “We are the 99%!”, berupaya menunjukkan bahwa selama ini 99% orang sekedar
bekerja bagi kemakmuran 1%—segelintir—orang saja. Beberapa dari mereka yang dianggap
terklasifikasi dalam 1% seperti bank-bank yang tergabung dalam Wall Street serta berbagai korporasi
besar dunia semisal; Exxon, McDonald’s, Visa, Walmart, CNN, Fox, Dow Jones, Microsoft,
dll. (Occupy Journal, 2011: 3). Tak jelas siapa yang untuk pertama kalinya
mencetuskan slogan di atas, namun besar kemungkinan slogan tersebut berasal
dari berbagai organisasi pemrakarsa OWS yakni Anti-Banks (Global Action Against Banks and Banksters), US Day of Rage, Anonymous,
dan Take The Square. Sebelumnya, berbagai organisasi tersebut juga telah
menyebarkan pamflet akan rencana aksi pendudukannya. Mereka pun menuliskan secara
detail berbagai perlengkapan yang syarat dibawa dalam aksi OWS seperti sleeping bag, bantal, air minum, snack, tulisan atau poster protes, alat
musik serta payung atau terpal. Tak hanya sampai di situ, mereka pun turut menuliskan
berbagai tahapan yang harus dikatakan atau dilakukan partisipan aksi apabila
pihak berwajib menghalau kedatangan mereka. Pamflet dengan berbagai keterangannya
yang lengkap tersebut disebar di jalanan, website
berikut berbagai media jejaring sosial dunia maya layaknya facebook dan twitter.
Tak pelak, pada hari direncanakannya aksi (Sabtu, 17
September 2011), tak kurang dari dua ribu orang turut berpartisipasi di
dalamnya. Massa yang melakukan aksi perdana OWS tersebut terkonsentrasi di Taman
Zuccotti, tepat berada di sebelah utara atau muka gedung New York Stock Exchange. Menurut Sarah van Gelder (2011: 2), eksekutif
editor dari Yes! Megazine, aksi OWS berhasil
menghimpun dan menampakkan diri mereka yang selama ini “malu dan bersembunyi”,
yakni mereka para sarjana yang hingga kini belum memperoleh pekerjaan, serta para
karyawan perusahaan dengan upah bulanan yang begitu minim berikut tanpa
disertai berbagai jaminan atau asuransi kerja yang layak. Lebih jauh, Gelder (2011:
6) mengindentifikasi mereka yang tercakup dalam 99% sebagai lulusan perguruan
tinggi dan veteran yang tak memperoleh pekerjaan, lanjut usia yang khawatir
kehilangan dana pensiunnya, pengangguran lama, tunawisma, aktivis perdamaian, karyawan
korporasi dengan jam kerja tinggi dan gaji rendah, anggota militer, serta para pensiunan
polisi.
Menurut salah satu elemen dari mereka, yakni para lulusan
perguruan tinggi, ketidaksanggupan mereka memperoleh pekerjaan bukan
dikarenakan kemalasan mereka, ketidakdisiplinan, kurang intelek maupun minusnya motivasi mereka, melainkan karena sebagian
kecil orang terus memupuk kekayaan bagi dirinya sendiri dengan mengorbankan
sebagian besar yang lain. Berikut petikan pernyataan tersebut,
“We are seeing our ways of life, our aspirations, and
our security slip away—not because we have been lazy or undisciplined, or lack
intelligence and motivation, but because the wealthiest among us have rigged the
system to enhance their own power and wealth at the expense of everyone else.”
(dalam Gelder, 2011: 3)
Mereka
mengecam tindakan pemerintah yang lebih memilih memberikan bailout pada berbagai bank besar berikut korporasi ketimbang mengalokasikannya
bagi kesejahteraan rakyat, sedang berbagai korporasi tersebut terus melakukan
pengrusakan lingkungan dan lagi-lagi rakyat yang syarat menanggung resikonya. Menurut
para partisipan OWS, hal tersebut ditengarai terjadi akibat penetrasi para
korporat dalam proses pengambilan keputusan pemerintah—proses politik. Di sisi
lain, para pialang saham pun tak luput dari kecaman, mereka dinilai lebih
mementingkan pasar saham yang bersifat abstrak dan penuh spekulasi ketimbang
mengalokasikannya bagi sektor rill—penciptaan lapangan kerja. Berbagai hal
tersebutlah yang menyebabkan para partisipan OWS menyimpulkan bahwa kehidupan
kelas menengah bagi mereka semakin jauh dari kenyataan (Gelder, 2011: 3-4).
Dalam
aksi terkait, setiap partisipan membuat semacam manifestasi dalam selembar
kertas yang menceritakan kehidupannya secara singkat. Tulisan tersebut ditutup
dengan pernyataan, “I am the 99%”
atau “We are the 99%”. Lebih jauh,
menilik antusiasme massa yang besar dalam aksi—terus berdatangannya massa di
Taman Zuccotti—dibuatlah berbagai stan guna memenuhi kebutuhan para partisipan
seperti tempat makanan, sanitasi, akses media atau informasi, fasilitas
pertemuan, tempat penerimaan bantuan dari para pendukung, bahkan tempat khusus untuk
beribadah atau meditasi. Di sisi lain, kesibukan yang tampak di dalamnya seperti
diskusi atau debat antarpara partisipan mengenai isu yang mereka perjuangkan,
serta penciptaan karya seni yang berkaitan dengan aksi—lukisan, syair, hingga nyanyian
protes. Perlu diketahui pula kiranya bahwa ciri unik dari gerakan OWS adalah
ketiadaan pemimpin tunggal di dalamnya. Agaknya, hal tersebut menghindarkan
dari berbagai “diskusi politis” maupun “kompromi lunak” antara korporat atau
pemerintah dengan pemimpin gerakan yang nantinya justru dapat mengaburkan
orientasi berikut keberlanjutan dari aksi yang dilakukan (Gelder, 2011: 2 &
7).
Namun
demikian, aksi OWS bukannya tanpa permasalahan sama sekali, setidaknya terdapat
dua hal yang patut menjadi perhatian lebih di dalamnya. Pertama, beragamnya tuntutan para peserta aksi membuat “samarnya”
aspirasi (tuntuan) yang sesungguhnya mereka suarakan. Memang, hal tersebut
dapat dimaklumi mengingat beragamnya elemen masyarakat yang tergabung dalam
gerakan OWS. Sebagaimana ungkap Gelder (2011: 7), “A list of specific demands would make it easier to manage, criticize,
co-opt, and devide the movement” [“Sebuah daftar spesifik mengenai beragam
tuntutan yang ada akan mempermudah dalam mengatur, mengkritik, menduduki, dan membagi
gerakan”]. Kedua, hadirnya beberapa
orang yang menghasut para partisipan OWS untuk melakukan tindak kekerasan dan pengrusakan.
Beruntung, para partisipan tak termakan oleh hasutan tersebut, menurut Gelder
(2011: 9), hal tersebut sengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu guna
menciptakan stigma negatif terhadap aksi, pun
agar pihak berwajib dapat melancarkan kekerasan berikut penangkapan pada para
peserta OWS.
Harus
diakui memang, hingga kini belum ditemui implikasi atau capaian konkret dari
gerakan OWS terkait perubahan struktur maupun kebijakan pemerintah dan berbagai
korporasi yang menjadi sasaran protes di dalamnya. Namun demikian, sosiolog
asal Baruch College misalnya, Hector R.C Guzman (2011: 2) melihat kesuksesan
OWS melalui keberhasilan aksi itu sendiri dalam mengumpulkan massa guna
menggalakkan aksi protes skala besar. Begitu pula dengan para partisipan,
sebagian dari mereka menganggap bahwa terwujudnya aksi tersebut dengan
sendirinya telah menjadi sebuah kesukesan, sedang sebagian yang lain
menganggapnya sebagai permulaan (Scheineder, 2011). Melalui berbagai pernyataan
tersebut, dapatlah ditilik bahwa capaian atau keberhasilan dari aksi OWS
bersifat relatif.
Namun
demikian, satu implikasi konkret dari aksi OWS yang dapat kita saksikan bersama
adalah keberhasilannya dalam bertransformasi menjadi sebuah gerakan massa
internasional. Sebagaimana kita ketahui, pasca aksi perdananya di New York, OWS
menghasilkan efek domino pada berbagai negara di belahan dunia lainnya. Tercatat,
hingga kini aksi serupa turut digelar di lebih dari 1.500 kota dunia: dari
Madrid hingga Cape Town, dan dari Buenos Aires hingga Hong Kong (Gelder, 2011:
2). Tak pelak, hal tersebutlah yang kiranya menyebabkan OWS dapat didaulat
sebagai momentum penguatan kembali gerakan sosial baru—dengan ranah yang lebih
luas dan partisipan gerakan yang jauh lebih besar.
Berbagai
Dimensi Occupy Wall Street dalam
Perspektif dan Analisis Sosiologis
Sosiologi Imajinasi tentang Kesadaran Masyarakat
Perihal utama pemicu aksi OWS yakni kesadaran
masyarakat luas bahwa segenap kegagalan dan penderitaan hidup yang mereka alami
faktual bukanlah disebabkan oleh diri mereka, melainkan struktur yang
melingkupi kehidupan mereka, kiranya dapat dijelaskan melalui konsep Sosiologi Imajinasi-C.
Wright Mills. Sebagaimana diutarakan Mills (dalam Susilo, 2008: 258), sosiologi imajinasi merupakan suatu kemampuan
untuk melihat realitas secara mendalam atas kehidupan
individu maupun kolektif
dalam konteks struktur sosial secara umum. Lebih
jauh, Mills mengungkapkan bahwa kemiskinan, kebodohan atau frustasi yang kita
alami tidaklah serta-merta (murni) disebabkan oleh diri kita sendiri, melainkan
terkait erat dengan sistem pemerintahan, sosial dan ekonomi yang mengatur
kehidupan kita.
Dalam
kasus OWS, para partisipan aksi menyadari sepenuhnya bahwa maraknya privatisasi
berikut penjualan saham skala besar pada swasta mengakibatkan berbagai
perusahaan yang ada melakukan “perampingan karyawan”, baik berupa pemecatan
maupun pembatasan rekruitmen karyawan baru. Begitu pula, hal di atas
menyebabkan diberlakukannya tenaga kerja kontrak—outsourcing—yang sangat merugikan karyawan mengingat ketiadaan
berbagai bentuk jaminan kerja di dalamnya. Lebih jauh, konsep sosiologi imajinasi
ala Mills mampu menunjukkan bahwa beragam persoalan hidup yang dialami para
partisipan aksi disebabkan oleh faktor struktural—bukannya kultural atau
natural.
Proses
Framing dalam Occupy Wall Street
Terdapat
beberapa pendekatan yang dapat menjelaskan lahirnya gerakan sosial, antara lain
pendekatan POS (Political Opportunity
Structure), struktur mobilisasi, proses framing,
dan repertoire. Menilik berbagai
karakteristik yang dimiliki OWS, agaknya proses framing merupakan pendekatan yang paling tepat dalam menjelaskan
fenomena OWS. Sebagaimana diutarakan Snow dan Benford (dalam Situmorang, 2007:
10-13), proses framing memiliki dua komponen utama, yakni diagnosis terhadap
permasalahan yang dihadapi serta identifikasi yang tepat guna memperjuangkan
permasalahan tersebut. Di sisi lain, Zald mengemukakan bahwa kerap kali kesempatan
melakukan mobilisasi terjadi akibat ketegangan budaya atau kontradiksi yang berlangsung
terlampau lama sehingga dapat menjadi bahan bagi proses framing, layaknya keluhan dan ketidakadilan. Oleh karenanya, media
pun menjadi salah satu elemen penting dalam proses framing—penyebaran isu—guna melahirkan gerakan sosial.
Layaknya
yang terjadi dalam aksi OWS, para partisipan telah mampu mengidentifikasi permasalahan
yang tengah dihadapinya, yakni ketiadaan lapangan kerja maupun jaminan kerja
akibat privatisasi skala besar yang dilakukan. Hal tersebut pun—kontradiksi—telah
berlangsung demikian lama, semisal lulusan perguruan tinggi yang telah beberapa
tahun tak memperoleh pekerjaan, atau rumah tangga yang telah lama terjebak hutang
bank guna menyekolahkan putera-putrinya maupun mengakses fasilitas kesehatan. Kemudian,
serangkaian permasalahan tersebut digunakan berbagai organisasi pemrakarsa OWS seperti
Anti-Banks, US Day of Rage, Anonymous, dan Take The Square untuk melancarkan
aksi massa skala masif. Mereka pun menggunakan pamflet jalanan, website berikut media jejaring sosial
dunia maya guna menyebarkan isu tersebut, terwujudlah gerakan perdana OWS pada 17
September 2011 di New York.
Efek Berantai OWS sebagai Bukti Eksistensi Masyarakat
Jaringan
Mannuel
Castells (dalam Barker, 2009: 332-333) menegaskan bahwa saat ini kita hidup
dalam kultur masyarakat jaringan, yakni konstelasi masyarakat yang ditandai
dengan cepatnya perputaran arus informasi di dalamnya. Menurut Castells, hal
tersebut beberapa di antaranya terjadi akibat revolusi teknologi komputer dan transfer
informasi; kapabilitas sosial, ekonomi, kultural dan militer yang berbasis pada
informasi; serta munculnya ekonomi global yang beroperasi tanpa henti dalam
skala global. Sebagaimana diutarakan Castells lebih jauh, ruang publik tak lagi
menjadi pusat informasi bagi masyarakat, melainkan rumah—tempat tinggal. Hal
tersebut tak lain disebabkan oleh eksistensi televisi di hampir setiap rumah
tangga yang menyajikan beragam informasi dari seluruh penjuru dunia.
Hal
di atas sebagaimana berlaku pula pada efek berantai yang dibawa aksi OWS,
sebuah gerakan massa yang bermula dari kota New York, kemudian berubah menjadi gerakan
massa di lebih dari 1.500 kota dunia. Tentunya, faktor utama yang memicu perihal
tersebut adalah media, sebagaimana strategi yang digunakan para pemrakarsa
gerakan OWS, yakni penyebaran isu melalui website
maupun media jejaring sosial dunia maya. Terlebih, pasca peristiwa tersebut
diliput media massa elektronik—televisi terutama—ratusan juta orang di dunia dapat
menyaksikannya cukup dengan “duduk manis” di hadapan televisi, bahkan turut
terinspirasi atasnya. Serangkaian hal tersebutlah yang kemudian menjadikan OWS sebagai
gerakan massa yang mendunia, sekaligus menjadi tolak ukur dari keberhasilan gerakan
terkait bagi berbagai pihak.
Satu
Pertanyaan Krusial:
“Mengapa
Occupy Wall Street Skala Masif Tak
Terjadi di Indonesia?”
Kiranya,
satu pertanyaan yang cukup mengusik keingintahuan kita adalah, “Mengapa aksi OWS skala masif tak terjadi di
tanah air?”. Dalam arti, aksi tersebut tak sebesar berbagai aksi
demonstrasi yang umumnya (sebelumnya) terjadi di tanah air. Secara ringkas,
setidaknya terdapat dua argumen yang dapat diajukan guna menjawab pertanyaan di
atas; Pertama, ketidakpahaman publik
tanah air akan persoalan yang sesungguhnya tengah terjadi. Kedua, keengganan publik untuk turun ke jalan dan melancarkan aksi
serupa. Pembahasan terkait agaknya akan difokuskan pada argumen terakhir, yakni
keengganan publik untuk melakukan aksi serupa.
Sebagaimana kita ketahui, esensi utama dari aksi OWS—di
samping kesadaran kolektif—adalah keberanian dari mereka yang mengaku tergabung
dalam golongan 99% untuk muncul ke permukaan, terutama para lulusan perguruan
tinggi yang tak kunjung memperoleh pekerjaan berikut para karyawan outsourcing dengan ketiadaan jaminan
kerja yang memadai. Bagi masyarakat tanah air, kiranya muncul di hadapan publik
dan secara terang-terangan mengakui diri sebagai seorang pengangguran berikut pekerja—buruh
“kerah putih” terutama—dengan upah minimum masih menjadi perihal yang “tabu”.
Apa yang lebih tampak dalam keseharian adalah, upaya keras dari berbagai pihak untuk
menutupi berbagai status berikut kondisi yang dinilai “buruk” tersebut, salah satunya
ditempuh dengan cara berpenampilan layaknya kelas borjuis—dalam istilah Jawa: prejengan.[2]
Hal tersebutlah yang agaknya menyebabkan aksi OWS tak terjadi dalam skala masif
di tanah air.
Kesimpulan
dan Penutup
Melalui
berbagai uraian dan penjabaran singkat di atas, kiranya OWS dapat ditempatkan
sebagai momentum penguatan kembali gerakan sosial baru, terlebih dengan skala
dan cakupannya yang lebih luas. Di satu sisi, berbagai dimensi yang terkandung
di dalamnya, yakni latar belakang, proses dan implikasi dari gerakan terkait
dapat ditelaah secara sosiologis melalui konsep sosiologi imajinasi, proses framing, serta konsep masyarakat
jaringan. Adapun konsep sosiologi imajinasi digunakan dalam menjabarkan timbulnya
kesadaran masyarakat akan konstelasi “struktur” yang menindasnya, proses framing digunakan dalam menjelaskan
strategi yang digunakan dalam gerakan, sedang konsep masyarakat jaringan
berkualifikasi dalam menjabarkan efek berantai yang dibawa aksi OWS.
*****
Referensi;
Buku:
- § Barker, Chris, 2009, Cultural Studies, Kreasi Wacana.
- § Giddens, Anthony, 2009, Konsekuensi-konsekuensi Modernitas, Kreasi Wacana.
- § Marshall, Gordon, 1998, A Dictionary of Sociology, Oxford University Press.
- § Pulungan, A, dan R. Abimayu, 2005, Bukan Sekedar Anti-Globalisasi, The Institute for Global Justice & WALHI.
- § Situmorang, Abdul Wahib, 2007, Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan, Pustaka Pelajar.
- § Susilo, Rachmad K. Dwi, 2008, 20 Tokoh Sosiologi Modern, Ar-ruz Media.
Internet:
- § Gelder, Sarah van, 2011, Introduction: How Occupy Wall Street Changes Everything, diakses dari http://www.bkpextranet.com/tceintroduction.pdf (26 November 2011).
- § Gupta, Arun, 2011, The Revolution Begins at Home, Occupy Journal, 30 September 2011, pp. 1. Diakses dari https://s3.amazonaws.com/daryllang/occupy_wsj.pdf (26 November 2011).
- § Guzman, Hector R.C, 2011, Main Stream Support for a Mainstream Movement, diakses dari http://occupywallst.org/media/pdf/OWS-profile1-10-18-11-sent-v2-HRCG.pdf (26 November 2011).
- § Schneider, Nathan, 2011, Occupation for Dummies, diakses dari https://s3.amazonaws.com/daryllang/occupy_wsj.pdf (26 November 2011).
[1] Nama lain persekutuan ekonomi
berbagai negara maju.
[2] Dalam istilah Baudrillard,
“konsumsi simbol”.
0 komentar:
Posting Komentar