"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Rabu, 18 Juli 2012

OCCUPY WALL STREET SEBAGAI MOMENTUM PENGUATAN KEMBALI “GERAKAN SOSIAL BARU”

OCCUPY WALL STREET SEBAGAI MOMENTUM
PENGUATAN KEMBALI “GERAKAN SOSIAL BARU”
MENILIK LATAR BELAKANG, PROSES SERTA IMPLIKASI
“OCCUPY WALL STREET” DALAM PERSPEKTIF DAN ANALISIS SOSIOLOGIS

Oleh: Wahyu Budi Nugroho


“We’re sick and tired of one injustice after another.
We want human dignity back again.”
(Spanish Indignados, #How to Camp)

Pendahuluan
            Beberapa bulan lalu, tepatnya pada tanggal 17 September 2011 di Amerika Serikat, terjadi peristiwa yang tak pernah diduga sebelumnya oleh khalayak luas—bahkan akademisi, politisi dan ekonom sekalipun—yakni pendudukan Wall Street oleh massa (Occupy Wall Street/OWS). Setidaknya, dua ribu orang bergabung dalam gerakan tersebut, secara umum, mereka menyuarakan penolakan keras atas campur tangan para korporat dalam proses (kehidupan) politik pemerintahan Amerika Serikat. Aksi massa tersebut terkonsentrasi di Taman Zuccotti, tepat berada di sebelah utara (depan) gedung New York Stock Exchange. Seseorang yang diketahui bernama Lupe Fiasco menyumbangkan lima puluh tenda guna mendukung aksi pendudukan tersebut (Occupy Journal, 2011: 3). Segera setelahnya, aksi massa dengan slogannya yang terkenal, “We are the 99%!” [“Kami adalah 99%!”] tersebut pun berubah menjadi gerakan massa yang mendunia.
            Kiranya, peristiwa di atas dapat didaulat sebagai momentum penguatan kembali “gerakan sosial baru” (GSB) pasca hadirnya World Social Forum ‘Forum Sosial Dunia’ (FSD) di Porto Alegre, Brazil pada tahun 2000. Memang, FSD sebagai “tandingan” World Economic Forum ‘Forum Ekonomi Dunia’ (FED) telah banyak melahirkan aksi massa di berbagai belahan dunia semisal: demonstrasi para aktivis di Bangkok dalam rangka menolak pertemuan UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development); penolakan massa atas konferensi tahunan IMF di Washington D.C, pun demikian halnya di Genoa-Italia; sedang baru-baru ini adalah terselenggaranya konferensi Mumbay di India (Pulungan dan Abimayu, 2005: V-XIII). Namun demikian, dibandingkan serangkaian aksi massa tersebut, agaknya OWS membawa dampak yang jauh lebih besar mengingat peristiwa terkait segera bertransformasi menjadi gerakan massa skala masif di berbagai penjuru dunia dalam waktu singkat—berbeda halnya dengan FSD yang tak menghasilkan efek berantai.
            Menilik bentuknya sebagai gerakan massa terbesar pasca-FSD, berikut dampaknya yang signifikan terhadap konstelasi sosial-politik di berbagai negara belahan dunia lainnya dalam waktu singkat, kiranya serangkaian hal tersebutlah yang menyebabkan penulis tertarik lebih jauh untuk membahasnya dalam sebentuk pengkajian terkait, yakni penelaahan seksama atas berbagai latar belakang berikut implikasi dari peristiwa OWS dalam perspektif dan analisis sosiologis.

Sekilas “Gerakan Sosial Baru”
            Dalam A Dictionary of Sociology (Marshall, 1998: 615), istilah “gerakan sosial baru” digunakan untuk mengidentifikasi berbagai bentuk gerakan sosial yang hadir pada penghujung dekade abad ke-20. Lebih jauh, Barker (2009: 132) menjelaskan bahwa gerakan sosial baru muncul dalam masyarakat Barat modern pada era 1960-an dengan karakternya yang spesifik, yakni berupa gerakan perdamaian, hak-hak sipil, kesetaraan gender, lingkungan, hingga identitas kultural. Menurutnya, gerakan sosial baru berbeda dengan politik kelas berikut gerakan tradisional kaum buruh, senada dengan ungkap Giddens (2009: 212-213) bahwa gerakan sosial baru dapat dipisahkan dari gerakan buruh mengingat berasal dari arena tindakan yang berbeda, yakni pengawasan negara modern, “Gerakan buruh ala marxis telah usang”, tegasnya kurang-lebih.
            Berpijak melalui penjabaran singkat di atas, agaknya OWS dapat terklasifikasi dalam bentuk gerakan sosial baru berdimensi pemenuhan hak-hak sipil mengingat beragam elemen masyarakat yang turut berpartisipasi di dalamnya. Namun demikian, terlepas dari kesemua hal tersebut, OWS merupakan peristiwa “mengejutkan” yang perlu diapresiasi mengingat pada dekade 1980-an tren gerakan sosial di seluruh dunia cenderung mengalami penurunan. Setidaknya, fenomena terkait disebabkan oleh dua alasan; berkembangnya wacana posmodernisme yang kental dengan aroma skeptisime berikut nihilisme, serta kebrangkutan rezim Komunisme-Soviet. Momentum pertama penguatan kembali gerakan sosial baru pasca periode-periode kelesuannya terjadi pada dekade 1990-an yakni ketika ekspansi neoliberalisme telah dinilai begitu meresahkan. Satu peristiwa penting yang tak patut dilewatkan adalah publikasi koran Le Monde Diplomatique mengenai bocoran proposal hutang yang dibuat oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development)[1] guna ditawarkan (baca: dipaksakan) pada negara-negara berkembang. Tak pelak, publikasi tersebut segera memicu kemarahan massa, pemerintah Perancis pun terpaksa mundur dari proses negosiasi dan urung menandatanganinya (Pulungan dan Abimayu, 2005: 5).
            Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, momentum lain penguatan gerakan sosial baru terjadi kala dibentuknya Forum Sosial Dunia pada tahun 2000 di Porto Alegre, Brazil. Pada dasarnya, forum tersebut didirikan guna menandingi Forum Ekonomi Dunia milik negara-negara G-7 yang menggelar pertemuan tahunan di Davos, Swiss. Apabila FED berpijak pada pernyataan Thatcher yang terkenal, TINA: “There Is No Alternative!”, maka FSD berupaya menjawabnya dengan berkata, TAMA: “There Are Many Alternatives!” (Pulungan dan Abimayu, 2005: IX). Pasca FSD terbentuk dan melahirkan berbagai gerakan massa sekala internasional, agaknya OWS menjadi momentum penguatan kembali gerakan sosial baru mengingat keduanya memiliki semangat yang sama—anti-Neoliberalisme—hanya saja spesifikasi dari gerakan OWS adalah pendudukan Wall Street dengan skala dan cakupan pergerakan yang lebih besar.

Occupy Wall Street: Latar Belakang, Proses dan Implikasi
Pendudukan Wall Street di Amerika Serikat pada tanggal 17 September 2011 bermula dari kesadaran para warga bahwa segenap kegagalan berikut penderitaan hidup yang mereka alami faktual bukanlah disebabkan oleh diri mereka, melainkan oleh struktur berikut sistem ekonomi yang membingkai kehidupan mereka. Tercatat, lebih dari 25 juta rakyat Amerika adalah pengangguran, sedang 50 juta lainnya bekerja tanpa jaminan kesehatan. Secara estimasi, terdapat sekitar 100 juta rakyat Amerika yang hidup dalam kemiskinan. Di sisi lain, aksi pendudukan Wall Street turut diinspirasi pula oleh pergolakan yang sebelumnya terjadi di Spanyol, Yunani dan Mesir. Para peserta aksi berkeyakinan bahwa persatuan bakal menghancurkan proses politik yang korup berikut mewujudkan tatanan masyarakat yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan bersama, bukannya pemenuhan keuntungan pribadi (Gupta, 2011: 1).
Adapun slogan terkenal OWS, yakni “We are the 99%!”, berupaya menunjukkan bahwa selama ini 99% orang sekedar bekerja bagi kemakmuran 1%—segelintir—orang saja. Beberapa dari mereka yang dianggap terklasifikasi dalam 1% seperti bank-bank yang tergabung dalam Wall Street serta berbagai korporasi besar dunia semisal; Exxon, McDonald’s, Visa, Walmart, CNN, Fox, Dow Jones, Microsoft, dll. (Occupy Journal, 2011: 3). Tak jelas siapa yang untuk pertama kalinya mencetuskan slogan di atas, namun besar kemungkinan slogan tersebut berasal dari berbagai organisasi pemrakarsa OWS yakni Anti-Banks (Global Action Against Banks and Banksters), US Day of Rage, Anonymous, dan Take The Square. Sebelumnya, berbagai organisasi tersebut juga telah menyebarkan pamflet akan rencana aksi pendudukannya. Mereka pun menuliskan secara detail berbagai perlengkapan yang syarat dibawa dalam aksi OWS seperti sleeping bag, bantal, air minum, snack, tulisan atau poster protes, alat musik serta payung atau terpal. Tak hanya sampai di situ, mereka pun turut menuliskan berbagai tahapan yang harus dikatakan atau dilakukan partisipan aksi apabila pihak berwajib menghalau kedatangan mereka. Pamflet dengan berbagai keterangannya yang lengkap tersebut disebar di jalanan, website berikut berbagai media jejaring sosial dunia maya layaknya facebook dan twitter.
Tak pelak, pada hari direncanakannya aksi (Sabtu, 17 September 2011), tak kurang dari dua ribu orang turut berpartisipasi di dalamnya. Massa yang melakukan aksi perdana OWS tersebut terkonsentrasi di Taman Zuccotti, tepat berada di sebelah utara atau muka gedung New York Stock Exchange. Menurut Sarah van Gelder (2011: 2), eksekutif editor dari Yes! Megazine, aksi OWS berhasil menghimpun dan menampakkan diri mereka yang selama ini “malu dan bersembunyi”, yakni mereka para sarjana yang hingga kini belum memperoleh pekerjaan, serta para karyawan perusahaan dengan upah bulanan yang begitu minim berikut tanpa disertai berbagai jaminan atau asuransi kerja yang layak. Lebih jauh, Gelder (2011: 6) mengindentifikasi mereka yang tercakup dalam 99% sebagai lulusan perguruan tinggi dan veteran yang tak memperoleh pekerjaan, lanjut usia yang khawatir kehilangan dana pensiunnya, pengangguran lama, tunawisma, aktivis perdamaian, karyawan korporasi dengan jam kerja tinggi dan gaji rendah, anggota militer, serta para pensiunan polisi.
Menurut salah satu elemen dari mereka, yakni para lulusan perguruan tinggi, ketidaksanggupan mereka memperoleh pekerjaan bukan dikarenakan kemalasan mereka, ketidakdisiplinan, kurang intelek maupun minusnya motivasi mereka, melainkan karena sebagian kecil orang terus memupuk kekayaan bagi dirinya sendiri dengan mengorbankan sebagian besar yang lain. Berikut petikan pernyataan tersebut,

“We are seeing our ways of life, our aspirations, and our security slip away—not because we have been lazy or undisciplined, or lack intelligence and motivation, but because the wealthiest among us have rigged the system to enhance their own power and wealth at the expense of everyone else.” (dalam Gelder, 2011: 3)

            Mereka mengecam tindakan pemerintah yang lebih memilih memberikan bailout pada berbagai bank besar berikut korporasi ketimbang mengalokasikannya bagi kesejahteraan rakyat, sedang berbagai korporasi tersebut terus melakukan pengrusakan lingkungan dan lagi-lagi rakyat yang syarat menanggung resikonya. Menurut para partisipan OWS, hal tersebut ditengarai terjadi akibat penetrasi para korporat dalam proses pengambilan keputusan pemerintah—proses politik. Di sisi lain, para pialang saham pun tak luput dari kecaman, mereka dinilai lebih mementingkan pasar saham yang bersifat abstrak dan penuh spekulasi ketimbang mengalokasikannya bagi sektor rill—penciptaan lapangan kerja. Berbagai hal tersebutlah yang menyebabkan para partisipan OWS menyimpulkan bahwa kehidupan kelas menengah bagi mereka semakin jauh dari kenyataan (Gelder, 2011: 3-4).  
            Dalam aksi terkait, setiap partisipan membuat semacam manifestasi dalam selembar kertas yang menceritakan kehidupannya secara singkat. Tulisan tersebut ditutup dengan pernyataan, “I am the 99%” atau “We are the 99%”. Lebih jauh, menilik antusiasme massa yang besar dalam aksi—terus berdatangannya massa di Taman Zuccotti—dibuatlah berbagai stan guna memenuhi kebutuhan para partisipan seperti tempat makanan, sanitasi, akses media atau informasi, fasilitas pertemuan, tempat penerimaan bantuan dari para pendukung, bahkan tempat khusus untuk beribadah atau meditasi. Di sisi lain, kesibukan yang tampak di dalamnya seperti diskusi atau debat antarpara partisipan mengenai isu yang mereka perjuangkan, serta penciptaan karya seni yang berkaitan dengan aksi—lukisan, syair, hingga nyanyian protes. Perlu diketahui pula kiranya bahwa ciri unik dari gerakan OWS adalah ketiadaan pemimpin tunggal di dalamnya. Agaknya, hal tersebut menghindarkan dari berbagai “diskusi politis” maupun “kompromi lunak” antara korporat atau pemerintah dengan pemimpin gerakan yang nantinya justru dapat mengaburkan orientasi berikut keberlanjutan dari aksi yang dilakukan (Gelder, 2011: 2 & 7).    
            Namun demikian, aksi OWS bukannya tanpa permasalahan sama sekali, setidaknya terdapat dua hal yang patut menjadi perhatian lebih di dalamnya. Pertama, beragamnya tuntutan para peserta aksi membuat “samarnya” aspirasi (tuntuan) yang sesungguhnya mereka suarakan. Memang, hal tersebut dapat dimaklumi mengingat beragamnya elemen masyarakat yang tergabung dalam gerakan OWS. Sebagaimana ungkap Gelder (2011: 7), “A list of specific demands would make it easier to manage, criticize, co-opt, and devide the movement” [“Sebuah daftar spesifik mengenai beragam tuntutan yang ada akan mempermudah dalam mengatur, mengkritik, menduduki, dan membagi gerakan”]. Kedua, hadirnya beberapa orang yang menghasut para partisipan OWS untuk melakukan tindak kekerasan dan pengrusakan. Beruntung, para partisipan tak termakan oleh hasutan tersebut, menurut Gelder (2011: 9), hal tersebut sengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu guna menciptakan stigma negatif terhadap aksi, pun agar pihak berwajib dapat melancarkan kekerasan berikut penangkapan pada para peserta OWS.
            Harus diakui memang, hingga kini belum ditemui implikasi atau capaian konkret dari gerakan OWS terkait perubahan struktur maupun kebijakan pemerintah dan berbagai korporasi yang menjadi sasaran protes di dalamnya. Namun demikian, sosiolog asal Baruch College misalnya, Hector R.C Guzman (2011: 2) melihat kesuksesan OWS melalui keberhasilan aksi itu sendiri dalam mengumpulkan massa guna menggalakkan aksi protes skala besar. Begitu pula dengan para partisipan, sebagian dari mereka menganggap bahwa terwujudnya aksi tersebut dengan sendirinya telah menjadi sebuah kesukesan, sedang sebagian yang lain menganggapnya sebagai permulaan (Scheineder, 2011). Melalui berbagai pernyataan tersebut, dapatlah ditilik bahwa capaian atau keberhasilan dari aksi OWS bersifat relatif.     
            Namun demikian, satu implikasi konkret dari aksi OWS yang dapat kita saksikan bersama adalah keberhasilannya dalam bertransformasi menjadi sebuah gerakan massa internasional. Sebagaimana kita ketahui, pasca aksi perdananya di New York, OWS menghasilkan efek domino pada berbagai negara di belahan dunia lainnya. Tercatat, hingga kini aksi serupa turut digelar di lebih dari 1.500 kota dunia: dari Madrid hingga Cape Town, dan dari Buenos Aires hingga Hong Kong (Gelder, 2011: 2). Tak pelak, hal tersebutlah yang kiranya menyebabkan OWS dapat didaulat sebagai momentum penguatan kembali gerakan sosial baru—dengan ranah yang lebih luas dan partisipan gerakan yang jauh lebih besar.

Berbagai Dimensi Occupy Wall Street dalam Perspektif dan Analisis Sosiologis
Sosiologi Imajinasi tentang Kesadaran Masyarakat
Perihal utama pemicu aksi OWS yakni kesadaran masyarakat luas bahwa segenap kegagalan dan penderitaan hidup yang mereka alami faktual bukanlah disebabkan oleh diri mereka, melainkan struktur yang melingkupi kehidupan mereka, kiranya dapat dijelaskan melalui konsep Sosiologi Imajinasi-C. Wright Mills. Sebagaimana diutarakan Mills (dalam Susilo, 2008: 258), sosiologi imajinasi merupakan suatu kemampuan untuk melihat realitas secara mendalam atas kehidupan individu maupun kolektif dalam konteks struktur sosial secara umum. Lebih jauh, Mills mengungkapkan bahwa kemiskinan, kebodohan atau frustasi yang kita alami tidaklah serta-merta (murni) disebabkan oleh diri kita sendiri, melainkan terkait erat dengan sistem pemerintahan, sosial dan ekonomi yang mengatur kehidupan kita.
            Dalam kasus OWS, para partisipan aksi menyadari sepenuhnya bahwa maraknya privatisasi berikut penjualan saham skala besar pada swasta mengakibatkan berbagai perusahaan yang ada melakukan “perampingan karyawan”, baik berupa pemecatan maupun pembatasan rekruitmen karyawan baru. Begitu pula, hal di atas menyebabkan diberlakukannya tenaga kerja kontrak—outsourcing—yang sangat merugikan karyawan mengingat ketiadaan berbagai bentuk jaminan kerja di dalamnya. Lebih jauh, konsep sosiologi imajinasi ala Mills mampu menunjukkan bahwa beragam persoalan hidup yang dialami para partisipan aksi disebabkan oleh faktor struktural—bukannya kultural atau natural.
Proses Framing dalam Occupy Wall Street
            Terdapat beberapa pendekatan yang dapat menjelaskan lahirnya gerakan sosial, antara lain pendekatan POS (Political Opportunity Structure), struktur mobilisasi, proses framing, dan repertoire. Menilik berbagai karakteristik yang dimiliki OWS, agaknya proses framing merupakan pendekatan yang paling tepat dalam menjelaskan fenomena OWS. Sebagaimana diutarakan Snow dan Benford (dalam Situmorang, 2007: 10-13), proses framing memiliki dua komponen utama, yakni diagnosis terhadap permasalahan yang dihadapi serta identifikasi yang tepat guna memperjuangkan permasalahan tersebut. Di sisi lain, Zald mengemukakan bahwa kerap kali kesempatan melakukan mobilisasi terjadi akibat ketegangan budaya atau kontradiksi yang berlangsung terlampau lama sehingga dapat menjadi bahan bagi proses framing, layaknya keluhan dan ketidakadilan. Oleh karenanya, media pun menjadi salah satu elemen penting dalam proses framing—penyebaran isu—guna melahirkan gerakan sosial.
            Layaknya yang terjadi dalam aksi OWS, para partisipan telah mampu mengidentifikasi permasalahan yang tengah dihadapinya, yakni ketiadaan lapangan kerja maupun jaminan kerja akibat privatisasi skala besar yang dilakukan. Hal tersebut pun—kontradiksi—telah berlangsung demikian lama, semisal lulusan perguruan tinggi yang telah beberapa tahun tak memperoleh pekerjaan, atau rumah tangga yang telah lama terjebak hutang bank guna menyekolahkan putera-putrinya maupun mengakses fasilitas kesehatan. Kemudian, serangkaian permasalahan tersebut digunakan berbagai organisasi pemrakarsa OWS seperti Anti-Banks, US Day of Rage, Anonymous, dan Take The Square untuk melancarkan aksi massa skala masif. Mereka pun menggunakan pamflet jalanan, website berikut media jejaring sosial dunia maya guna menyebarkan isu tersebut, terwujudlah gerakan perdana OWS pada 17 September 2011 di New York.
Efek Berantai OWS sebagai Bukti Eksistensi Masyarakat Jaringan
            Mannuel Castells (dalam Barker, 2009: 332-333) menegaskan bahwa saat ini kita hidup dalam kultur masyarakat jaringan, yakni konstelasi masyarakat yang ditandai dengan cepatnya perputaran arus informasi di dalamnya. Menurut Castells, hal tersebut beberapa di antaranya terjadi akibat revolusi teknologi komputer dan transfer informasi; kapabilitas sosial, ekonomi, kultural dan militer yang berbasis pada informasi; serta munculnya ekonomi global yang beroperasi tanpa henti dalam skala global. Sebagaimana diutarakan Castells lebih jauh, ruang publik tak lagi menjadi pusat informasi bagi masyarakat, melainkan rumah—tempat tinggal. Hal tersebut tak lain disebabkan oleh eksistensi televisi di hampir setiap rumah tangga yang menyajikan beragam informasi dari seluruh penjuru dunia.   
            Hal di atas sebagaimana berlaku pula pada efek berantai yang dibawa aksi OWS, sebuah gerakan massa yang bermula dari kota New York, kemudian berubah menjadi gerakan massa di lebih dari 1.500 kota dunia. Tentunya, faktor utama yang memicu perihal tersebut adalah media, sebagaimana strategi yang digunakan para pemrakarsa gerakan OWS, yakni penyebaran isu melalui website maupun media jejaring sosial dunia maya. Terlebih, pasca peristiwa tersebut diliput media massa elektronik—televisi terutama—ratusan juta orang di dunia dapat menyaksikannya cukup dengan “duduk manis” di hadapan televisi, bahkan turut terinspirasi atasnya. Serangkaian hal tersebutlah yang kemudian menjadikan OWS sebagai gerakan massa yang mendunia, sekaligus menjadi tolak ukur dari keberhasilan gerakan terkait bagi berbagai pihak.         

Satu Pertanyaan Krusial:
“Mengapa Occupy Wall Street Skala Masif Tak Terjadi di Indonesia?”
            Kiranya, satu pertanyaan yang cukup mengusik keingintahuan kita adalah, “Mengapa aksi OWS skala masif tak terjadi di tanah air?”. Dalam arti, aksi tersebut tak sebesar berbagai aksi demonstrasi yang umumnya (sebelumnya) terjadi di tanah air. Secara ringkas, setidaknya terdapat dua argumen yang dapat diajukan guna menjawab pertanyaan di atas; Pertama, ketidakpahaman publik tanah air akan persoalan yang sesungguhnya tengah terjadi. Kedua, keengganan publik untuk turun ke jalan dan melancarkan aksi serupa. Pembahasan terkait agaknya akan difokuskan pada argumen terakhir, yakni keengganan publik untuk melakukan aksi serupa.
Sebagaimana kita ketahui, esensi utama dari aksi OWS—di samping kesadaran kolektif—adalah keberanian dari mereka yang mengaku tergabung dalam golongan 99% untuk muncul ke permukaan, terutama para lulusan perguruan tinggi yang tak kunjung memperoleh pekerjaan berikut para karyawan outsourcing dengan ketiadaan jaminan kerja yang memadai. Bagi masyarakat tanah air, kiranya muncul di hadapan publik dan secara terang-terangan mengakui diri sebagai seorang pengangguran berikut pekerja—buruh “kerah putih” terutama—dengan upah minimum masih menjadi perihal yang “tabu”. Apa yang lebih tampak dalam keseharian adalah, upaya keras dari berbagai pihak untuk menutupi berbagai status berikut kondisi yang dinilai “buruk” tersebut, salah satunya ditempuh dengan cara berpenampilan layaknya kelas borjuis—dalam istilah Jawa: prejengan.[2] Hal tersebutlah yang agaknya menyebabkan aksi OWS tak terjadi dalam skala masif di tanah air.    

Kesimpulan dan Penutup
            Melalui berbagai uraian dan penjabaran singkat di atas, kiranya OWS dapat ditempatkan sebagai momentum penguatan kembali gerakan sosial baru, terlebih dengan skala dan cakupannya yang lebih luas. Di satu sisi, berbagai dimensi yang terkandung di dalamnya, yakni latar belakang, proses dan implikasi dari gerakan terkait dapat ditelaah secara sosiologis melalui konsep sosiologi imajinasi, proses framing, serta konsep masyarakat jaringan. Adapun konsep sosiologi imajinasi digunakan dalam menjabarkan timbulnya kesadaran masyarakat akan konstelasi “struktur” yang menindasnya, proses framing digunakan dalam menjelaskan strategi yang digunakan dalam gerakan, sedang konsep masyarakat jaringan berkualifikasi dalam menjabarkan efek berantai yang dibawa aksi OWS.     


*****

Referensi;
Buku:
  • §  Barker, Chris, 2009, Cultural Studies, Kreasi Wacana.
  • §  Giddens, Anthony, 2009, Konsekuensi-konsekuensi Modernitas, Kreasi Wacana.
  • §  Marshall, Gordon, 1998, A Dictionary of Sociology, Oxford University Press.
  • §  Pulungan, A, dan R. Abimayu, 2005, Bukan Sekedar Anti-Globalisasi, The Institute for Global Justice & WALHI.
  • §  Situmorang, Abdul Wahib, 2007, Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan, Pustaka Pelajar.
  • §  Susilo, Rachmad K. Dwi, 2008, 20 Tokoh Sosiologi Modern, Ar-ruz Media.

Internet:




[1] Nama lain persekutuan ekonomi berbagai negara maju.
[2] Dalam istilah Baudrillard, “konsumsi simbol”. 

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger