"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Rabu, 18 Juli 2012

Tradisi Analisis Sosiologi; Latar Belakang, Karakteristik, Kelebihan & Kekurangan

Tradisi Analisis Sosiologi; Latar Belakang, Karakteristik, Kelebihan & Kekurangan

Oleh: Wahyu Budi Nugroho


            Di samping dikenal sebagai disiplin yang memiliki “multiparadigma” layaknya fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial, faktual sosiologi memiliki pula beragam tradisi analisis di dalamnya. Setidaknya, terdapat tiga ragam tradisi analisis yang dikenal dalam disiplin sosiologi, antara lain; positivis, humanis dan kritis. Berikut penjelasannya lebih lanjut.

1. Positivis(me)
1. a. Latar Belakang
            Istilah postivis(me) berasal dari buah karya Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive (1842). Terminus “positif” yang membentuk kata “positivisme” tidaklah disama-artikan dengan istilah “baik” sebagaimana umumnya, melainkan teori yang berupaya menyusun berbagai fakta teramati. Dengan kata lain, istilah positif dapat diartikan dengan “faktual”, atau segala sesuatu yang didasarkan pada fakta-fakta. Apa yang dimaksudkan Comte adalah, hendaknya pengetahuan disusun berdasarkan berbagai fakta yang ada—tidak melampaui fakta-fakta yang ada (Hardiman, 2004: 204).  
            Di sisi lain, lahirnya positivisme tak lepas dari peristiwa renaissance ‘pencerahan Eropa’ yang terjadi pada abad 15-18. Dalam peristiwa tersebut, muncul dua mahzab besar pemikiran Eropa yang saling bertentangan satu sama lain: rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme yang digawangi Rene Descartes beranggapan bahwa pengetahuan berasal dari akal—rasio—atau mendahului pengalaman manusia (apriori), sedang empirisme besutan John Locke berkeyakinan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman manusia (aposteriori). Di samping Descartes dan Locke, positivisme-Comte turut dipengaruhi oleh Thomas Hobbes. Dalam De Homine, Hobbes berkata bahwa obyek studi filsafat haruslah segala sesuatu yang terindera. Ia mengatakan pula bahwa beragam perasaan yang terdapat dalam diri manusia faktual merupakan hasil masukan dari luar yang diperoleh melalui pancaindera (Hardiman, 2004: 70).
            Di tangan Comte, perbedaan yang jelas antara kedua mahzab pemikiran di atas mampu teramu sedemikian rupa ke dalam positivisme (Hardiman, 1993: 23). Ia sepakat dengan Descartes bahwa ilmu pasti syarat dijadikan landas-dasar bagi segala fisafat mengingat berbagai dalil umum, sederhana, serta abstrak yang dimiliki ilmu pasti. Di sisi lain, ia mengamini empirisme disebabkan kemampuannya memperoleh ide dalam kehidupan nyata, kemudian turut mengujinya pula dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, dapatlah ditegaskan bahwa filsafat positif merupakan elaborasi antara riset empiris berikut pertimbangan akal dengan model fisika-Newton terutama (Hardiman, 2004: 201-202). Pada tahapan terkait, dimulailah penerapan metode ilmiah guna mencari solusi atas beragam masalah sosial yang ada, penerapan tersebut diikuti pula dengan keyakinan dan asumsi bahwa alam fisik didominasi oleh hukum-hukum alam, maka demikian halnya dengan dunia sosial (Ritzer, 2006: 12-13).            

1. b. Karakteristik & Metodologi
            Melalui uraian singkat di atas, kiranya dapat ditelisik bahwa positivisme memiliki karakteristik sebagai berikut: berpijak pada segala sesuatu yang diketahui atau faktual berupa penampakkan/gejala; mengesampingkan segala uraian atau persoalan di luar fakta; berupaya mengatur fakta melalui serangkaian hukum tertentu, setelah hal tersebut dilakukan maka berpijak melaluinya usaha melihat masa depan pun dilakukan; serta beragam hal yang tampak sebagai gejala akan menyesuaikan diri dengan berbagai hukum tersebut (Hadiwijono, 1995: 109-110).
Lebih jauh, Agger (2006: 49) menegaskan bahwa tradisi positivis berupaya menjelaskan hubungan kausal (sebab-akibat) yang mengatur dunia sosial. Tradisi terkait dibangun berdasarkan sejumlah penelitian, kemudian mengelompokkannya ke dalam berbagai pola umum serta berusaha mengakomodasinya ke dalam satu variabel tergantung. Namun demikian, satu karakteristik dari positivisme yang demikian mencolok hingga menimbulkan perdebatan sengit dengan kubu kritis nantinya—methodensterit—adalah keyakinannya bahwa ilmu pengetahuan yang syarat bebas nilai. Hal tersebut berarti, berbagai ilmu pengetahuan yang ada hendaknya sekedar diabdikan guna menjelaskan berbagai gejala yang muncul di permukaan, tanpa kewajiban untuk merubahnya (Hardiman, 1993: 23).
Secara ringkas, berbagai karakteristik positivisme di atas dapat dirangkum dalam tiga poin, antara lain; rasional, bebas nilai, menekankan kausalitas, serta perumusan terhadap hukum sosial. Adapun metodologi yang digunakan untuk mewujudkan berbagai orientasi positivisme di atas adalah; kuantitatif, manipulasi/rekayasa sosial, hubungan kausal dan asosiasional, serta pengadopsian berbagai ilmu alam terkait fenomena sosial yang dapat diukur.  
Dengan demikian, dapatlah ditelisik bahwa positivisme menegaskan arti penting ilmu pengetahuan sebagai instrumen untuk menjelaskan, melihat atau mengetahui masa depan. Dalam hal ini, tak seberapa penting mengetahui hakikat atau berbagai sebab dari gejala tersebut, namun perihal yang lebih penting adalah menentukan berbagai syarat di mana beragam fakta tertentu tampil berikut menghubungkannya sesuai persamaan dan urutannya (Hadiwijono, 1995: 109-110).

1. c. Perkembangan & Teori-teori Rujukan
            Pada perkembangannya kemudian, positivisme-Comte diadopsi pula oleh Durkheim, Spencer, Marx (tua), Tonnies, Parsons, Rostow, Friedman, dan banyak tokoh lainnya, sedang perkembangan termutakhirnya hadir melalui Eleanora B. Masini lewat “studi futuristik” yang dicetuskannya (Masini, 2004). Adapun berbagai teori yang dapat menjadi rujukan—mencirikan—positivisme antara lain; Durkheim mengenai evolusi sosial, Spencer tentang survival of the fittest, Marx mengenai pertumbuhan sejarah dan masyarakat dalam Matrealisme Historis, teori pilihan rasional bersutan James Coleman, konsep modernisasi ala Rostow, Friedmann tentang pembangunan ekonomi neoklasik, Masini mengenai studi futuristik, dan berbagai teori sejenis lainnya.     

2. Humanis/Konstruktivis
2. a. Latar Belakang
            Tradisi humanis, konstruktivis atau “interpretatif” hadir sebagai respon atas hilangnya posisi subyek (aktor) dalam positivisme. Tradisi ini turut menolak ilmu-ilmu alam yang dinilainya demikian berjarak dengan realitas, menurutnya pengetahuan justru muncul melalui pengalaman hidup aktor (life experience). Dalam pandangan ini, nilai dianggap sebagai sesuatu yang netral. Adapun mereka yang kerap ditempatkan sebagai pelopor tradisi terkait antara lain Weber, Bergson dan Dilthey (Hardiman, 1993: 42). Secara tegas, Weber menyatakan bahwa perihal yang konkret adalah motivasi aktor, oleh karenanya obyek studi sosiologi selayaknya berfokus pada aktor-aktor dalam masyarakat, bukannya masyarakat itu sendiri. Hal tersebut ditunjukkan Weber dengan kajiannya atas pemahaman tindakan aktor pada level makna melalui metode verstehen (Agger, 2006: 62).
            Di sisi lain, Bergson mengembalikan otoritas pengetahuan pada individu dengan menekankan arti penting intuisi yang dimiliki setiap aktor. Menurutnya, intuisi jauh berbeda dengan akal, intuisi merupakan pengejawantah kehendak individu yang tak terbatas, sedang akal bersifat terbatas karena ber-esensi-kan penyesuaian manusia terhadap semesta—akal sekedar menjadi instrumen yang menguraikan penjelasan mengenai semesta, oleh karenanya ia bersifat tergantung. Lebih jauh, Bergson mengatakan bahwa intuisi telah memiliki kesadaran dengan sendirinya, ia mampu mengetahui esensi “aku” secara murni untuk kemudian menelaah berbagai hal yang terdapat di sekitarnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan Bergson menarik kesimpulan bahwa intuisi lebih dinamis ketimbang akal (Hadiwijono, 1995: 137). Secara sederhana, sesungguhnya Bergson hendak mengajak kita untuk terlebih dahulu mengenal diri sendiri sebelum mengenal dunia luar.
            Di samping Weber dan Bergson, Dilthey menjelaskan bahwa ilmu-ilmu budaya berupa sejarah, ekonomi, hukum, politik, sastra, seni, filsafat, dan lain sebagainya syarat menggunakan metode verstehen (pemahaman) dalam mengkaji setiap obyek studinya. Hal tersebut mengingat beberapa dari ilmu alam semisal fisiologi yang turut melakukan studi terhadap manusia telah menggunakan erklaren (sebab-akibat) sebagai metodenya. Bilamana ilmu-ilmu budaya turut menggunakan metode erklaren, maka tak ditemui perbedaan yang tegas dan jelas antara keduanya. Bagi Dilthey, verstehen menyediakan instrumen yang ampuh guna memahami pengetahuan dan tindakan aktor hingga tataran makna, dalam arti tak ditemuinya jarak antara aktor dengan realitas yang melingkupinya. Hal tersebut berbeda halnya dengan erklaren yang lebih berfokus pada hubungan kausal suatu peristiwa berikut demikian berjarak dengan realitas (Hardiman, 1993: 147-148).

2. b. Karakteristik & Metodologi
            Berpijak melalui penjabaran singkat di atas, kiranya dapat ditelisik bahwa tradisi humanis memiliki beberapa karakter sebagai berikut; menekankan otoritas pengetahuan pada subyek, pengalaman kehidupan sehari-hari sebagai pengetahuan yang nyata dan konkret (nalar awam), ketiadaan jarak dengan realitas, nilai sebagai sesuatu yang netral (relativitas individu/sosial) [Agger, 2006: 66], berikut menolak generalisasi. Adapun metodologi yang digunakan tradisi terkait adalah: verstehen, yakni sebentuk empati atas bagaimana aktor memandang dunianya; fenomenologi—tak jauh berbeda dengan verstehen; interpretatif atau pemaknaan terhadap nalar awam yang dimiliki aktor; serta reflektif, yakni penghayatan atas pengalaman hidup sehari-hari (Hardiman, 1993: 163).

2. c. Perkembangan & Teori-teori Rujukan
            Pada tahapan selanjutnya, tradisi humanis mengalami perkembangan pesat di tangan Peter Berger, Clifford Geertz, Levi Strauss, Mannheim dan lain sebagainya. Lebih jauh, berbagai teori yang mencirikan tradisi humanis antara lain; Weber mengenai tindakan sosial (rasionalitas), Berger tentang sosial-konstruktivisme, Clifford Geertz mengenai konstruktivisme, antropologi budaya-Strauss, serta sosiologi pengetahuan-Mannheim.

3. Tradisi Kritis
3. a. Latar Belakang
            Tradisi terkait lahir sebagai respon atas penolakannya terhadap ilmu sosial-positivis yang bebas nilai berikut mengklaim mampu “meramal” masa depan. Di sisi lain, ia berupaya pula mendobrak berbagai kemapanan yang telah sedemikian rupa diciptakan positivisme—terkait hukum-hukum sosial. Agger (2006: 52-68) mengidentifikasi beberapa teori sosial Eropa yang terklasifikasi di dalamnya, antara lain marxisme, teori konflik, mahzab frankfurt, feminisme, cultural studies dan posmodernisme. Tradisi terkait kian berkembang pesat pada periode-periode terjadinya Perang Vietnam dekade 1960-an yang didaulat banyak pihak sebagai bentuk degradasi modernitas.        
            Tak pelak, gesekan yang terjadi antara tradisi terkait dengan positivisme demikian kentara—tak demikian halnya dengan tradisi humanis. Hal tersebut tampak jelas dengan terjadinya methodenstreit di Jerman pada tahun 1961-1965 antara mahzab frankfurt yang diwakili oleh Adorno dan Habermas berhadapan dengan kaum positivis yang diwakili oleh Albert dan Popper. Dalam perdebatan tersebut, mahzab frankfurt secara tegas menekankan pentingnya ilmu pengetahuan yang “tak bebas nilai”, yakni sebentuk science yang mampu menjadi instrumen guna membebaskan mereka-kaum tertindas—“emansipatoris”. Di sisi lain, Albert dan Popper meyakini keharusan ilmu pengetahuan yang bebas nilai, mereka menganggap bahwa teori sama halnya dengan logika, dengan demikian terpisah dari dimensi parktik (Hardiman 1993: 29).      
            Pada ranah yang berlainan, baik teori feminis, cultural studies maupun posmodernisme “aktif” melancarkan serangan terhadap selubung kekuasaan yang berada di balik kemapanan modernisme. Mereka secara serentak menggugat mapannya dikotomi istilah baik-buruk, normal-abnormal, berikut maju-terbelakang yang diciptakan oleh ilmu-ilmu berhalauan positivistik. Foucault misalnya, dalam Kegilaan dan Peradaban ia menegaskan bahwa istilah normal dan abnormal faktual tidaklah dapat didefinisikan, hal tersebut mengingat eksistensi episteme, yakni total set-relasi pengetahuan yang ada di setiap peradaban dan bersifat diskursif.  

3. b. Karakteristik & Metodologi
             Karakteristik yang dimiliki tradisi kritis antara lain: menolak keberdaan hukum-hukum sosial yang ditengarai mampu meramal masa depan; menekankan arti penting ilmu pengetahuan sebagai perihal yang tak bebas nilai, dengan kata lain mensyaratkan ilmu pengetahuan sebagai instrumen emansipatoris masyarakat; berupaya membongkar selubung kekuasaan di balik berbagai penetapan maupun klaim; serta menyoroti relasi antara pihak dominan dengan dormant. Lebih jauh, metodologi yang digunakan dalam tradisi terkait adalah; partisipatoris (terlibat langsung), sosiologi interpretatif-mahzab frankfurt, sosiologi imajinasi, representatif, dekonstruksi, serta genealogi sejarah.

3. c. Perkembangan & Teori-teori Rujukan
            Pada perkembangannya, tradisi kritis dikembangkan oleh tokoh-tokoh semisal Habermas (yang hingga kini masih hidup), C Wright Mills, Alvin Gouldner, Denzin, Andre Gunder Frank dan kawan-kawan, Stuart Hall, Foucault, Derrida, dan lain sebagainya. Adapun berbagai teori yang dapat menjadi rujukan tradisi terkait antara lain; marxisme, one dimensional society-Marcuse, teori kerja dan komunikasi-Habermas, Mills mengenai sosiologi imajinasi dan teori konflik, teori ketergantungan (ekonomi-politik), politik identitas/representasi-Hall, poskolonialisme-Gayatri Spivak, orientalisme-Edward Said, episteme-Foucault, serta dekonstruksi-Derrida.  

4. Perbedaan dan Persamaan antara Tradisi Positivis, Humanis dan Kritis
4. a. Perbedaan antara Tradisi Positivis, Humanis dan Kritis
4. a. 1. Perbedaan antara Tradisi Positivis dengan Humanis
            Apabila positivis menempatkan masyarakat sebagai obyek studinya, maka humanis menekankan unit analisisnya pada level individu (subyek atau aktor); positivis berjarak dengan realitas, sebaliknya humanis tak memiliki jarak dengan realitas; positivis menekankan pada aspek kausalitas atau sebab-akibat, sedang humanis lebih pada aspek pemahaman; positivis membuat dikotomi yang jelas antara rasional dan irasional, sementara humanis berasumsi bahwa seluruh individu/masyarakat adalah rasional; positivis berupaya meramal masa depan, sedang humanis berupaya meresapi pengalaman hidup sehari-hari; tradisi positivis berada pada level teknis (penjelasan), sementara humanis praksis (pemahaman)—klasifikasi menurut Habermas; dalam tradisi positivis otoritas pengetahuan dan data terletak pada ilmuwan, sedang humanis meletakkannya pada aktor.   

4. a. 2. Perbedaan antara Tradisi Positivis dengan Kritis
              Tradisi positivis bersifat bebas nilai, sedang kritis tak bebas nilai; positivis berupaya menetapkan hukum-hukum sosial berikut meramal masa depan, sebaliknya kritis menolak hal tersebut; positivis berada pada tataran teknis, sementara kritis emansipatoris (pembebasan); positivis mengklaim diri bersifat ahistoris, dalam arti berbagai teorinya berlaku hingga “akhir zaman”, sedang kritis menempatkan teori sebagai sebuah proses yang diskursif (anti-Ideologi); tradisi positivis bersifat universal, yakni mengklaim dapat menjelaskan fenomena sosial di belahan dunia manapun, sementara tradisi kritis bersikap hati-hati atasnya (menilik konsep paradigma kerja dan komunikasi-Habermas); unit analisis positivis adalah sosial, sedang kritis baik sosial maupun individu (kajian Erich Fromm); positivis membuat dikotomi antara baik-buruk, normal-abnormal, dan maju-terbelakang, sementara kritis berupaya membongkar semua hal tersebut; tradisi positivis meletakkan otoritas pengetahuan pada ilmuwan; sedang kritis menempatkannya pada aktor maupun ilmuwan.

4. a. 3. Perbedaan antara Tradisi Humanis dengan Kritis
            Tradisi humanis memiliki unit analisis pada level individu, sedang kritis baik individu maupun sosial; humanis bersifat bebas nilai (netralitas nilai), sebaliknya kritis tak bebas nilai; humanis berada pada tataran praksis, sementara kritis emansipatoris; bagi humanis otoritas pengetahuan terletak pada subyek, sedang kritis tidak, adakalanya mereka perlu mengintervensi subyek untuk membebaskan dirinya dari ketertindasan; humanis tak mengambil jarak dengan realitas, sebaliknya kritis demikian berhati-hati terhadap realitas—dalam hal penafsirannya; humanis meresapi pengalaman hidup sehari-hari, sedang kritis berdimensi sejarah dan sekarang; humanis bersifat universal dan ahistoris, artinya berbagai teori cetusannya berlaku dalam fenomena masyarakat manapun dan kapanpun, sementara kritis menolak hal tersebut; humanis tak mempermasalahkan dimensi rasionalitas maupun irasionalitas, sedang kritis melancarkan kritik terhadap rasionalitas; tradisi humanis menempatkan otoritas pengetahuan pada aktor, sementara kritis baik pada aktor maupun imuwan.

4. b. Persamaan antara Tradisi Positivis, Humanis dan Kritis
4. b. 1. Persamaan antara Tradisi Positivis dengan Humanis
              Baik keduanya bersifat universal dan ahistoris, dalam arti berbagai teori yang ditelurkannya berlaku dimanapun dan kapanpun; positivis dan humanis tidak berorientasi pada emansipatoris individu/masyarakat; baik positivis dan humanis tak mempermasalahkan eksistensi ideologi; keduanya nyaris menempatkan segala sesuatu dalam kacamata taken for granted ‘apa adanya’; terkadang tradisi humanis dapat men-generalisir layaknya positivis, semisal konstruktivisme-Geertz yang kerap menyimpulkan local-genious masyarakat tertentu, faktual hal tersebut sekedar didasarkan pada pandangan beberapa aktor dalam masyarakat terkait.

4. b. 2. Persamaan antara Tradisi Positivis dengan Kritis
            Memiliki unit analisis pada level sosial (masyarakat); baik keduanya berjarak dengan realitas—mahzab frankfurt demikian berhati-hati dalam menafsirkan realitas; positivis dan kritis tak menganggap nilai sebagai sesuatu yang netral; positivis menekankan pada kausalitas, demikian halnya dengan kritis (kajian Marcuse mengenai one dimensional man); baik keduanya melihat dimensi sejarah sebagai bahan analisis di masa kini.  

4. b. 3. Persamaan antara Tradisi Kritis dengan Humanis
              Tradisi humanis meletakkan perhatiannya pada aspek individu, terkadang kritis turut melakukannya; humanis melakukan interpretasi terhadap kehidupan sehari-hari, kritis memiliki pula dimensi terkait; baik humanis maupun kritis tak berupaya meramalkan masa depan (menetapkan hukum sosial); tradisi humanis bersikap hati-hati terhadap dikotomi baik-buruk, normal-abnormal, serta maju-terbelakang, hal tersebut sama halnya dengan tradisi kritis; baik humanis maupun kritis menekankan pentingnya aspek otentitas individu; keduanya mampu menelisik makna di balik tindakan aktor; terkadang humanis dapat tak bebas nilai layaknya kritis akibat berbagai kepentingan pihak luar, sebagai misal penelitian mengenai local-genious masyarakat tertentu dengan tujuan untuk menguasainya—kasus Snouck Hurgronje.  

5. Kelemahan dan Keunggulan Tradisi Positivis, Humanis serta Kritis
5. a. Kelemahan dan Keunggulan Tradisi Positivis
             Tradisi positivis memiliki serangkaian kelemahan sebagai berikut: tak memiliki jaminan akan benar-tidaknya prediksi atas masa depan; tak dapat menjadi instrumen bagi emansipatoris individu/masyarakat karena sifatnya yang bebas nilai; kerap kali pentahapan sejarah yang dicetuskannya menyebabkan terjadinya pertumpahan darah (historisisme); terlampau men-generalisir (kerap melakukan simplifikasi); tak mampu menelisik makna di balik tindakan aktor; berbagai teori cetusannya besar kemungkinan mengalami kebekuan (stagnasi) dan menjadi doktrin semata.
            Di sisi lain, keunggulan yang dimiliki positivis antara lain; memiliki metode yang sistematis untuk memprediksi masa depan; penggunaan ilmu eksakta memungkinkan-nya melakukan simplifikasi dan memiliki unit analisis yang luas (survey); mampu menjelaskan fenomena sosial secara rasional berikut berdasarkan hukum sebab-akibat; bersifat obyektif.

5. b. Kelemahan dan Keunggulan Tradisi Humanis
            Beberapa kelemahan yang terdapat dalam tradisi humanis semisal: tak memiliki kualifikasi dalam meramal masa depan; tak dapat menjadi instrumen bagi emansipatoris individu/masyarakat, tak mampu menjelaskan gejala sosial secara kausal, tak memiliki unit analisis yang luas; hanya terpaku pada masa kini (keseharian aktor); apabila tak hati-hati terkadang terlampau men-generalisir; bersifat subyektif (tak dapat/sulit diikuti berikut dibuktikan ilmuwan sosial lainnya).
            Di sisi lain, keunggulan dari tradisi humanis antara lain: mampu menelisik makna di balik tindakan aktor; memiliki cakupan studi yang jelas (individu); begitu kecil kemungkinan terjadinya generalisir; mampu berfokus pada masa sekarang.

5. c. Kelemahan dan Keunggulan Tradisi Kritis
             Sebagaimana tradisi positivis dan humanis, tradisi kritis turut memiliki kelemahan dan keunggulan, adapun kelemahan dari tradisi kritis antara lain: tak memiliki kualifikasi guna memprediksi masa depan; terkadang terjebak pada berbagai klaim yang dibuatnya sendiri, sebagai misal dikotomi Marcuse terhadap mereka yang memiliki daya kritis tajam atau tumpul, berikut Erich Fromm mengenai modus “memiliki” dan “menjadi”; terkadang tampak terlampau melakukan intervensi dengan “topeng” emansipatoris; adakalanya terlampau men-generalisir, hal terkait menilik pada istilah cetusan Marcuse, one dimensional man; kerap kali terjebak pada argumen-argumen abstrak dan metafisik, hal terkait dimisalkan dengan tokoh-tokoh Frankfurt yang melakukan kajian terhadap degradasi seni semisal Adorno dan Walter Benyamin; baik teori feminis, cultural studies dan teori sosial posmodern kerap didaulat sebagai narasi tanpa arti, yakni sekedar terjebak pada penjelasan atas beragam fenomena sosial tanpa dimensi politis di dalamnya.  
            Pada ranah yang berlainan, tradisi kritis memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut: mampu menjadi instrumen emansipatoris individu/masyarakat mengingat sifatnya yang tak bebas nilai; memiliki baik dimensi teknis (penjelasan), praksis (pemahaman) maupun emansipatoris (pembebasan) di dalamnya; mampu membongkar selubung kekuasaan yang mengakibatkan kemapanan-kaku dan stagnasi; berbagai produk keilmuannya terus berkembang dan kontekstual mengingat dimensi “proses” berikut diskursif yang terdapat di dalamnya.   

6. Aplikasi Metodologi dan Metode Penelitian Tradisi Positivis, Humanis dan Kritis
6. a. Aplikasi Metodologi dan Metode Penelitian Tradisi Positivis
            Aplikasi metodologi berikut metode penelitian tradisi positivis antara lain sebagai berikut: dalam segi pilihan masalah, hal tersebut dilakukan oleh peneliti berikut didasarkan pada kepentingan serta minat/disiplin dari peneliti; ditinjau melalui sudut pilihan metode penelitian, secara otonom metode dipilih oleh peneliti, sedang metode penelitian yang umumnya digunakan adalah survey, analisis statistik, sosiometri, serta komparasi dan elaborasi sejarah dengan bantuan tradisi pemikiran apriori berikut aposteriori; ditilik dari segi pilihan hasil penelitian, hal tersebut akan dipublikasikan dalam seminar ilmiah oleh peneliti terkait, dengan demikian otoritas pengetahuan berikut data dipegang penuh oleh peneliti (Fernandes & Tandon [ed.], 1993: 10; Hardiman, 1993: 23).

            Contoh hasil penelitian:
1.      Rumusan Rostow mengenai lima tahap perkembangan masyarakat, sedari tradisional, pralepas landas, lepas landas, pematangan, hingga masyarakat dengan konsumsi berlebih.
2.      Pandangan ekonom neoklasik layaknya Milton Friedmann, Robert Solow dan Hicks yang menyatakan bahwa industrialisasi skala masif akan menghasilkan trickle down effect berikut kesejahteraan masyarakat.

6. b. Aplikasi Metodologi dan Metode Penelitian Tradisi Humanis
            Aplikasi metodologi dan metode penelitian tradisi terkait antara lain: keharusan menggunakan epoche, yakni semacam “tanda kurung” untuk menetralkan pikiran dari berbagai justifikasi terhadap aktor sebelum penelitian dimulai (menghilangkan asumsi/prasangka); empati, yakni kemampuan peneliti untuk memposisikan diri sebagaimana aktor memandang diri dan dunianya; hasil penelitian tak ber-ekses pada justifikasi baik-buruk, benar-salah, berikut rasional-irasional, namun sebagaimana yang diungkapkan aktor (Hadiwijono, 1995: 141-144). Dengan demikian, otoritas pengetahuan dan data tetap terletak pada aktor, namun umumnya publikasi penelitian dilakukan seorang diri oleh peneliti.       

            Contoh hasil penelitian:
1.      Penelitian sosial-konstruktivisme Berger di Meksiko dan berbagai negara Amerika Latin lainnya.
2.      Penelitian Geertz di Jawa berikut rumusannya akan Islam-Jawa ke dalam klasifikasi santri, abangan dan priyayi.
3.      Penelitian Levi Strauss terhadap suku Indian-Navaho.

 6. c. Aplikasi Metodologi dan Metode Penelitian Tradisi Kritis
            Aplikasi metodologi berikut metode penelitian tradisi di atas adalah sebagai berikut: dalam segi pilihan masalah, ditentukan oleh permasalahan mendesak yang dirasakan bersama baik oleh aktor maupun peneliti; ditinjau melalui sudut pilihan metode penelitian, hal terkait ditentukan baik oleh aktor maupun peneliti, adapun metode penelitian yang digunakan adalah riset partisipatoris/pembebasan dengan desain riset berdasarkan konsensus, pemanfaatan instrumen empati, berikut analisis kompleks; ditilik dari segi pilihan hasil penelitian, tradisi kritis akan menghasilkan perubahan situasi, peningkatan pengetahuan dan kemampuan para aktor untuk melihat berikut merubah situasi mereka, sedang publikasi penelitian dilakukan baik oleh aktor maupun peneliti, hal tersebut turut menyiratkan otoritas pengetahuan dan data yang digenggam baik oleh keduanya (Fernandes & Tandon [ed.], 1993: 10).       

            Contoh hasil penelitian:
1.      Gerakan kiri-baru di Amerika Serikat pada dekade 1960-an yang berkoalisi dengan mahzab frankfurt guna menentang sistem pendidikan yang dinilai terlampau konservatif.
2.      Gerakan politik identitas warga kulit hitam (Black Atlantic) di Birmingham, Inggris.
3.      Forum wanita pekerja di Madras-India yang berhasil meningkatkan kualitas hidup dan keluarganya.
4.      Program Gabungan bagi Wanita dan Anak-anak Prasekolah di Kerala, India.


Referensi;
§  Agger, Ben, 2006, Teori Sosial Kritis, Kreasi Wacana.
§  Berger, Peter L, 1994, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, LP3ES.
§  Fernandes, Walter & Rajesh Tandon, 1993, Riset Partisipatoris: Riset Pembebasan, Gramedia.
§  Hadiwijono, Harun, 1995, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius.
§  Hardiman, F. Budi, 2004, Filsafat Modern, Gramedia.
§  Hardiman, F. Budi, 1990, Kritik Ideologi, Kanisius.
§  Masini, Eleanora B, 2004, Studi Futuristik, Kreasi Wacana.
§  Ritzer, George & Douglas J. Goodman, 2006, Teori Sosiologi Modern, Kencana.

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger