Tradisi
Analisis Sosiologi; Latar Belakang,
Karakteristik, Kelebihan & Kekurangan
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Di
samping dikenal sebagai disiplin yang memiliki “multiparadigma” layaknya fakta
sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial, faktual sosiologi memiliki pula
beragam tradisi analisis di dalamnya. Setidaknya, terdapat tiga ragam tradisi
analisis yang dikenal dalam disiplin sosiologi, antara lain; positivis, humanis
dan kritis. Berikut penjelasannya lebih lanjut.
1.
Positivis(me)
1.
a. Latar Belakang
Istilah
postivis(me) berasal dari buah karya Auguste Comte, Cours
de Philosophie Positive (1842). Terminus “positif” yang membentuk kata “positivisme”
tidaklah disama-artikan dengan istilah “baik” sebagaimana umumnya, melainkan teori
yang berupaya menyusun berbagai fakta teramati. Dengan kata lain, istilah
positif dapat diartikan dengan “faktual”, atau segala sesuatu yang didasarkan
pada fakta-fakta. Apa yang dimaksudkan Comte adalah, hendaknya pengetahuan disusun
berdasarkan berbagai fakta yang ada—tidak melampaui fakta-fakta yang ada (Hardiman,
2004: 204).
Di sisi lain, lahirnya positivisme tak
lepas dari peristiwa renaissance ‘pencerahan Eropa’ yang terjadi pada
abad 15-18. Dalam peristiwa tersebut, muncul dua mahzab besar pemikiran Eropa
yang saling bertentangan satu sama lain: rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme
yang digawangi Rene Descartes beranggapan bahwa pengetahuan berasal dari akal—rasio—atau
mendahului pengalaman manusia (apriori), sedang empirisme besutan John
Locke berkeyakinan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman manusia (aposteriori).
Di samping Descartes dan Locke, positivisme-Comte turut dipengaruhi oleh Thomas
Hobbes. Dalam De Homine, Hobbes berkata bahwa obyek studi filsafat haruslah
segala sesuatu yang terindera. Ia mengatakan pula bahwa beragam perasaan yang
terdapat dalam diri manusia faktual merupakan hasil masukan dari luar yang
diperoleh melalui pancaindera (Hardiman, 2004: 70).
Di tangan Comte, perbedaan yang
jelas antara kedua mahzab pemikiran di atas mampu teramu sedemikian rupa ke
dalam positivisme (Hardiman, 1993: 23). Ia sepakat dengan Descartes bahwa ilmu
pasti syarat dijadikan landas-dasar bagi segala fisafat mengingat berbagai
dalil umum, sederhana, serta abstrak yang dimiliki ilmu pasti. Di sisi lain, ia
mengamini empirisme disebabkan kemampuannya memperoleh ide dalam
kehidupan nyata, kemudian turut mengujinya pula dalam kehidupan nyata. Dengan
demikian, dapatlah ditegaskan bahwa filsafat positif merupakan elaborasi antara
riset empiris berikut pertimbangan akal dengan model fisika-Newton terutama
(Hardiman, 2004: 201-202). Pada tahapan terkait, dimulailah penerapan metode
ilmiah guna mencari solusi atas beragam masalah sosial yang ada, penerapan tersebut
diikuti pula dengan keyakinan dan asumsi bahwa alam fisik didominasi oleh hukum-hukum
alam, maka demikian halnya dengan dunia sosial (Ritzer, 2006: 12-13).
1. b. Karakteristik & Metodologi
Melalui uraian singkat di atas,
kiranya dapat ditelisik bahwa positivisme memiliki karakteristik sebagai
berikut: berpijak pada segala sesuatu yang diketahui atau faktual berupa
penampakkan/gejala; mengesampingkan segala uraian atau persoalan di luar fakta;
berupaya mengatur fakta melalui serangkaian hukum tertentu, setelah hal
tersebut dilakukan maka berpijak melaluinya usaha melihat masa depan pun
dilakukan; serta beragam hal yang tampak sebagai gejala akan menyesuaikan diri
dengan berbagai hukum tersebut (Hadiwijono, 1995: 109-110).
Lebih
jauh, Agger (2006: 49) menegaskan bahwa tradisi positivis berupaya menjelaskan
hubungan kausal (sebab-akibat) yang mengatur dunia sosial. Tradisi terkait
dibangun berdasarkan sejumlah penelitian, kemudian mengelompokkannya ke dalam
berbagai pola umum serta berusaha mengakomodasinya ke dalam satu variabel tergantung.
Namun demikian, satu karakteristik dari positivisme yang demikian mencolok hingga
menimbulkan perdebatan sengit dengan kubu kritis nantinya—methodensterit—adalah
keyakinannya bahwa ilmu pengetahuan yang syarat bebas nilai. Hal tersebut
berarti, berbagai ilmu pengetahuan yang ada hendaknya sekedar diabdikan guna
menjelaskan berbagai gejala yang muncul di permukaan, tanpa kewajiban untuk
merubahnya (Hardiman, 1993: 23).
Secara
ringkas, berbagai karakteristik positivisme di atas dapat dirangkum dalam tiga
poin, antara lain; rasional, bebas nilai, menekankan kausalitas, serta
perumusan terhadap hukum sosial. Adapun metodologi yang digunakan untuk
mewujudkan berbagai orientasi positivisme di atas adalah; kuantitatif, manipulasi/rekayasa
sosial, hubungan kausal dan asosiasional, serta pengadopsian berbagai ilmu alam
terkait fenomena sosial yang dapat diukur.
Dengan
demikian, dapatlah ditelisik bahwa positivisme menegaskan arti penting ilmu
pengetahuan sebagai instrumen untuk menjelaskan, melihat atau mengetahui masa
depan. Dalam hal ini, tak seberapa penting mengetahui hakikat atau berbagai
sebab dari gejala tersebut, namun perihal yang lebih penting adalah menentukan
berbagai syarat di mana beragam fakta tertentu tampil berikut menghubungkannya sesuai
persamaan dan urutannya (Hadiwijono, 1995: 109-110).
1. c. Perkembangan & Teori-teori Rujukan
Pada
perkembangannya kemudian, positivisme-Comte diadopsi pula oleh Durkheim,
Spencer, Marx (tua), Tonnies, Parsons, Rostow, Friedman, dan banyak tokoh
lainnya, sedang perkembangan termutakhirnya hadir melalui Eleanora B. Masini lewat
“studi futuristik” yang dicetuskannya (Masini, 2004). Adapun berbagai teori yang
dapat menjadi rujukan—mencirikan—positivisme
antara lain; Durkheim mengenai evolusi sosial, Spencer tentang survival of
the fittest, Marx mengenai pertumbuhan sejarah dan masyarakat dalam Matrealisme
Historis, teori pilihan rasional bersutan James Coleman, konsep modernisasi
ala Rostow, Friedmann tentang pembangunan ekonomi neoklasik, Masini mengenai
studi futuristik, dan berbagai teori sejenis lainnya.
2.
Humanis/Konstruktivis
2.
a. Latar Belakang
Tradisi
humanis, konstruktivis atau “interpretatif” hadir sebagai respon atas hilangnya
posisi subyek (aktor) dalam positivisme. Tradisi ini turut menolak ilmu-ilmu
alam yang dinilainya demikian berjarak dengan realitas, menurutnya pengetahuan
justru muncul melalui pengalaman hidup aktor (life experience). Dalam pandangan ini, nilai dianggap sebagai
sesuatu yang netral. Adapun mereka yang kerap ditempatkan sebagai pelopor
tradisi terkait antara lain Weber, Bergson dan Dilthey (Hardiman, 1993: 42). Secara
tegas, Weber menyatakan bahwa perihal yang konkret adalah motivasi aktor, oleh
karenanya obyek studi sosiologi selayaknya berfokus pada aktor-aktor dalam
masyarakat, bukannya masyarakat itu sendiri. Hal tersebut ditunjukkan Weber dengan
kajiannya atas pemahaman tindakan aktor pada level makna melalui metode verstehen (Agger, 2006: 62).
Di
sisi lain, Bergson mengembalikan otoritas pengetahuan pada individu dengan
menekankan arti penting intuisi yang dimiliki setiap aktor. Menurutnya, intuisi
jauh berbeda dengan akal, intuisi merupakan pengejawantah kehendak individu
yang tak terbatas, sedang akal bersifat terbatas karena ber-esensi-kan
penyesuaian manusia terhadap semesta—akal
sekedar menjadi instrumen yang menguraikan penjelasan mengenai semesta, oleh
karenanya ia bersifat tergantung. Lebih jauh, Bergson mengatakan bahwa intuisi
telah memiliki kesadaran dengan sendirinya, ia mampu mengetahui esensi “aku”
secara murni untuk kemudian menelaah berbagai hal yang terdapat di sekitarnya. Hal
tersebutlah yang menyebabkan Bergson menarik kesimpulan bahwa intuisi lebih
dinamis ketimbang akal (Hadiwijono, 1995: 137). Secara sederhana, sesungguhnya
Bergson hendak mengajak kita untuk terlebih dahulu mengenal diri sendiri
sebelum mengenal dunia luar.
Di samping Weber dan Bergson,
Dilthey menjelaskan bahwa ilmu-ilmu budaya berupa sejarah, ekonomi, hukum,
politik, sastra, seni, filsafat, dan lain sebagainya syarat menggunakan metode verstehen
(pemahaman) dalam mengkaji setiap obyek studinya. Hal tersebut mengingat
beberapa dari ilmu alam semisal fisiologi yang turut melakukan studi terhadap
manusia telah menggunakan erklaren (sebab-akibat) sebagai metodenya.
Bilamana ilmu-ilmu budaya turut menggunakan metode erklaren, maka tak ditemui
perbedaan yang tegas dan jelas antara keduanya. Bagi Dilthey, verstehen menyediakan
instrumen yang ampuh guna memahami pengetahuan dan tindakan aktor hingga
tataran makna, dalam arti tak ditemuinya jarak antara aktor dengan realitas yang
melingkupinya. Hal tersebut berbeda halnya dengan erklaren yang lebih berfokus
pada hubungan kausal suatu peristiwa berikut demikian berjarak dengan realitas
(Hardiman, 1993: 147-148).
2. b. Karakteristik & Metodologi
Berpijak melalui penjabaran singkat
di atas, kiranya dapat ditelisik bahwa tradisi humanis memiliki beberapa
karakter sebagai berikut; menekankan otoritas pengetahuan pada subyek, pengalaman
kehidupan sehari-hari sebagai pengetahuan yang nyata dan konkret (nalar awam), ketiadaan
jarak dengan realitas, nilai sebagai sesuatu yang netral (relativitas
individu/sosial) [Agger, 2006: 66], berikut menolak generalisasi. Adapun
metodologi yang digunakan tradisi terkait adalah: verstehen, yakni sebentuk
empati atas bagaimana aktor memandang dunianya; fenomenologi—tak jauh berbeda
dengan verstehen; interpretatif atau pemaknaan terhadap nalar awam yang
dimiliki aktor; serta reflektif, yakni penghayatan atas pengalaman hidup
sehari-hari (Hardiman, 1993: 163).
2. c. Perkembangan & Teori-teori Rujukan
Pada tahapan selanjutnya, tradisi
humanis mengalami perkembangan pesat di tangan Peter Berger, Clifford Geertz, Levi
Strauss, Mannheim dan lain sebagainya. Lebih jauh, berbagai teori yang
mencirikan tradisi humanis antara lain; Weber mengenai tindakan sosial
(rasionalitas), Berger tentang sosial-konstruktivisme, Clifford Geertz mengenai
konstruktivisme, antropologi budaya-Strauss, serta sosiologi
pengetahuan-Mannheim.
3. Tradisi Kritis
3. a. Latar Belakang
Tradisi terkait lahir sebagai respon
atas penolakannya terhadap ilmu sosial-positivis yang bebas nilai berikut
mengklaim mampu “meramal” masa depan. Di sisi lain, ia berupaya pula mendobrak
berbagai kemapanan yang telah sedemikian rupa diciptakan positivisme—terkait hukum-hukum
sosial. Agger (2006: 52-68) mengidentifikasi beberapa teori sosial Eropa yang terklasifikasi
di dalamnya, antara lain marxisme, teori konflik, mahzab frankfurt, feminisme,
cultural studies dan posmodernisme. Tradisi terkait kian berkembang pesat pada
periode-periode terjadinya Perang Vietnam dekade 1960-an yang didaulat banyak
pihak sebagai bentuk degradasi modernitas.
Tak pelak, gesekan yang terjadi
antara tradisi terkait dengan positivisme demikian kentara—tak demikian halnya
dengan tradisi humanis. Hal tersebut tampak jelas dengan terjadinya methodenstreit
di Jerman pada tahun 1961-1965 antara mahzab frankfurt yang diwakili oleh
Adorno dan Habermas berhadapan dengan kaum positivis yang diwakili oleh Albert
dan Popper. Dalam perdebatan tersebut, mahzab frankfurt secara tegas menekankan
pentingnya ilmu pengetahuan yang “tak bebas nilai”, yakni sebentuk science
yang mampu menjadi instrumen guna membebaskan mereka-kaum tertindas—“emansipatoris”.
Di sisi lain, Albert dan Popper meyakini keharusan ilmu pengetahuan yang bebas
nilai, mereka menganggap bahwa teori sama halnya dengan logika, dengan demikian
terpisah dari dimensi parktik (Hardiman 1993: 29).
Pada ranah yang berlainan, baik teori
feminis, cultural studies maupun posmodernisme “aktif” melancarkan serangan
terhadap selubung kekuasaan yang berada di balik kemapanan modernisme. Mereka secara
serentak menggugat mapannya dikotomi istilah baik-buruk, normal-abnormal,
berikut maju-terbelakang yang diciptakan oleh ilmu-ilmu berhalauan positivistik.
Foucault misalnya, dalam Kegilaan dan Peradaban ia menegaskan bahwa
istilah normal dan abnormal faktual tidaklah dapat didefinisikan, hal tersebut
mengingat eksistensi episteme, yakni total set-relasi pengetahuan yang
ada di setiap peradaban dan bersifat diskursif.
3. b. Karakteristik & Metodologi
Karakteristik yang dimiliki tradisi kritis
antara lain: menolak keberdaan hukum-hukum sosial yang ditengarai mampu meramal
masa depan; menekankan arti penting ilmu pengetahuan sebagai perihal yang tak
bebas nilai, dengan kata lain mensyaratkan ilmu pengetahuan sebagai instrumen
emansipatoris masyarakat; berupaya membongkar selubung kekuasaan di balik berbagai
penetapan maupun klaim; serta menyoroti relasi antara pihak dominan dengan dormant.
Lebih jauh, metodologi yang digunakan dalam tradisi terkait adalah; partisipatoris
(terlibat langsung), sosiologi interpretatif-mahzab frankfurt, sosiologi
imajinasi, representatif, dekonstruksi, serta genealogi sejarah.
3. c. Perkembangan & Teori-teori Rujukan
Pada perkembangannya, tradisi kritis
dikembangkan oleh tokoh-tokoh semisal Habermas (yang hingga kini masih hidup), C
Wright Mills, Alvin Gouldner, Denzin, Andre Gunder Frank dan kawan-kawan, Stuart
Hall, Foucault, Derrida, dan lain sebagainya. Adapun berbagai teori yang dapat
menjadi rujukan tradisi terkait antara lain; marxisme, one dimensional
society-Marcuse, teori kerja dan komunikasi-Habermas, Mills mengenai
sosiologi imajinasi dan teori konflik, teori ketergantungan (ekonomi-politik), politik
identitas/representasi-Hall, poskolonialisme-Gayatri Spivak,
orientalisme-Edward Said, episteme-Foucault, serta dekonstruksi-Derrida.
4. Perbedaan dan Persamaan antara Tradisi
Positivis, Humanis dan Kritis
4. a. Perbedaan antara Tradisi Positivis, Humanis
dan Kritis
4. a. 1. Perbedaan antara Tradisi Positivis dengan
Humanis
Apabila positivis menempatkan masyarakat
sebagai obyek studinya, maka humanis menekankan unit analisisnya pada level
individu (subyek atau aktor); positivis berjarak dengan realitas, sebaliknya
humanis tak memiliki jarak dengan realitas; positivis menekankan pada aspek
kausalitas atau sebab-akibat, sedang humanis lebih pada aspek pemahaman; positivis
membuat dikotomi yang jelas antara rasional dan irasional, sementara humanis berasumsi
bahwa seluruh individu/masyarakat adalah rasional; positivis berupaya meramal
masa depan, sedang humanis berupaya meresapi pengalaman hidup sehari-hari;
tradisi positivis berada pada level teknis (penjelasan), sementara humanis praksis
(pemahaman)—klasifikasi menurut Habermas; dalam tradisi positivis otoritas
pengetahuan dan data terletak pada ilmuwan, sedang humanis meletakkannya pada
aktor.
4. a. 2. Perbedaan antara Tradisi Positivis dengan
Kritis
Tradisi
positivis bersifat bebas nilai, sedang kritis tak bebas nilai; positivis
berupaya menetapkan hukum-hukum sosial berikut meramal masa depan, sebaliknya
kritis menolak hal tersebut; positivis berada pada tataran teknis, sementara
kritis emansipatoris (pembebasan); positivis mengklaim diri bersifat ahistoris,
dalam arti berbagai teorinya berlaku hingga “akhir zaman”, sedang kritis menempatkan
teori sebagai sebuah proses yang diskursif (anti-Ideologi); tradisi positivis
bersifat universal, yakni mengklaim dapat menjelaskan fenomena sosial di belahan
dunia manapun, sementara tradisi kritis bersikap hati-hati atasnya (menilik
konsep paradigma kerja dan komunikasi-Habermas); unit analisis positivis adalah
sosial, sedang kritis baik sosial maupun individu (kajian Erich Fromm); positivis
membuat dikotomi antara baik-buruk, normal-abnormal, dan maju-terbelakang,
sementara kritis berupaya membongkar semua hal tersebut; tradisi positivis
meletakkan otoritas pengetahuan pada ilmuwan; sedang kritis menempatkannya pada
aktor maupun ilmuwan.
4. a. 3. Perbedaan antara Tradisi Humanis dengan
Kritis
Tradisi humanis memiliki unit
analisis pada level individu, sedang kritis baik individu maupun sosial; humanis
bersifat bebas nilai (netralitas nilai), sebaliknya kritis tak bebas nilai; humanis
berada pada tataran praksis, sementara kritis emansipatoris; bagi humanis
otoritas pengetahuan terletak pada subyek, sedang kritis tidak, adakalanya
mereka perlu mengintervensi subyek untuk membebaskan dirinya dari
ketertindasan; humanis tak mengambil jarak dengan realitas, sebaliknya kritis
demikian berhati-hati terhadap realitas—dalam hal penafsirannya; humanis meresapi
pengalaman hidup sehari-hari, sedang kritis berdimensi sejarah dan sekarang; humanis
bersifat universal dan ahistoris, artinya berbagai teori cetusannya berlaku
dalam fenomena masyarakat manapun dan kapanpun, sementara kritis menolak hal
tersebut; humanis tak mempermasalahkan dimensi rasionalitas maupun
irasionalitas, sedang kritis melancarkan kritik terhadap rasionalitas; tradisi
humanis menempatkan otoritas pengetahuan pada aktor, sementara kritis baik pada
aktor maupun imuwan.
4. b. Persamaan antara Tradisi Positivis, Humanis
dan Kritis
4. b. 1. Persamaan antara Tradisi Positivis dengan
Humanis
Baik
keduanya bersifat universal dan ahistoris, dalam arti berbagai teori yang ditelurkannya
berlaku dimanapun dan kapanpun; positivis dan humanis tidak berorientasi pada emansipatoris
individu/masyarakat; baik positivis dan humanis tak mempermasalahkan eksistensi
ideologi; keduanya nyaris menempatkan segala sesuatu dalam kacamata taken
for granted ‘apa adanya’; terkadang tradisi humanis dapat men-generalisir
layaknya positivis, semisal konstruktivisme-Geertz yang kerap menyimpulkan local-genious
masyarakat tertentu, faktual hal tersebut sekedar didasarkan pada pandangan
beberapa aktor dalam masyarakat terkait.
4. b. 2. Persamaan antara Tradisi Positivis dengan
Kritis
Memiliki unit analisis pada level
sosial (masyarakat); baik keduanya berjarak dengan realitas—mahzab frankfurt
demikian berhati-hati dalam menafsirkan realitas; positivis dan kritis tak
menganggap nilai sebagai sesuatu yang netral; positivis menekankan pada
kausalitas, demikian halnya dengan kritis (kajian Marcuse mengenai one
dimensional man); baik keduanya melihat dimensi sejarah sebagai bahan
analisis di masa kini.
4. b. 3. Persamaan antara Tradisi Kritis dengan
Humanis
Tradisi
humanis meletakkan perhatiannya pada aspek individu, terkadang kritis turut
melakukannya; humanis melakukan interpretasi terhadap kehidupan sehari-hari,
kritis memiliki pula dimensi terkait; baik humanis maupun kritis tak berupaya
meramalkan masa depan (menetapkan hukum sosial); tradisi humanis bersikap
hati-hati terhadap dikotomi baik-buruk, normal-abnormal, serta maju-terbelakang,
hal tersebut sama halnya dengan tradisi kritis; baik humanis maupun kritis
menekankan pentingnya aspek otentitas individu; keduanya mampu menelisik makna
di balik tindakan aktor; terkadang humanis dapat tak bebas nilai layaknya
kritis akibat berbagai kepentingan pihak luar, sebagai misal penelitian
mengenai local-genious masyarakat tertentu dengan tujuan untuk menguasainya—kasus
Snouck Hurgronje.
5. Kelemahan dan Keunggulan Tradisi Positivis, Humanis
serta Kritis
5. a. Kelemahan dan Keunggulan Tradisi Positivis
Tradisi positivis memiliki serangkaian
kelemahan sebagai berikut: tak memiliki jaminan akan benar-tidaknya prediksi
atas masa depan; tak dapat menjadi instrumen bagi emansipatoris
individu/masyarakat karena sifatnya yang bebas nilai; kerap kali pentahapan
sejarah yang dicetuskannya menyebabkan terjadinya pertumpahan darah
(historisisme); terlampau men-generalisir (kerap melakukan simplifikasi); tak
mampu menelisik makna di balik tindakan aktor; berbagai teori cetusannya besar
kemungkinan mengalami kebekuan (stagnasi) dan menjadi doktrin semata.
Di sisi lain, keunggulan yang
dimiliki positivis antara lain; memiliki metode yang sistematis untuk memprediksi
masa depan; penggunaan ilmu eksakta memungkinkan-nya melakukan simplifikasi dan
memiliki unit analisis yang luas (survey); mampu menjelaskan fenomena sosial secara
rasional berikut berdasarkan hukum sebab-akibat; bersifat obyektif.
5. b. Kelemahan dan Keunggulan Tradisi Humanis
Beberapa kelemahan yang terdapat
dalam tradisi humanis semisal: tak memiliki kualifikasi dalam meramal masa
depan; tak dapat menjadi instrumen bagi emansipatoris individu/masyarakat, tak
mampu menjelaskan gejala sosial secara kausal, tak memiliki unit analisis yang
luas; hanya terpaku pada masa kini (keseharian aktor); apabila tak hati-hati
terkadang terlampau men-generalisir; bersifat subyektif (tak dapat/sulit
diikuti berikut dibuktikan ilmuwan sosial lainnya).
Di sisi lain, keunggulan dari
tradisi humanis antara lain: mampu menelisik makna di balik tindakan aktor;
memiliki cakupan studi yang jelas (individu); begitu kecil kemungkinan
terjadinya generalisir; mampu berfokus pada masa sekarang.
5. c. Kelemahan dan Keunggulan Tradisi Kritis
Sebagaimana tradisi positivis dan humanis,
tradisi kritis turut memiliki kelemahan dan keunggulan, adapun kelemahan dari
tradisi kritis antara lain: tak memiliki kualifikasi guna memprediksi masa
depan; terkadang terjebak pada berbagai klaim yang dibuatnya sendiri, sebagai
misal dikotomi Marcuse terhadap mereka yang memiliki daya kritis tajam atau
tumpul, berikut Erich Fromm mengenai modus “memiliki” dan “menjadi”; terkadang
tampak terlampau melakukan intervensi dengan “topeng” emansipatoris; adakalanya
terlampau men-generalisir, hal terkait menilik pada istilah cetusan Marcuse, one
dimensional man; kerap kali terjebak pada argumen-argumen abstrak dan
metafisik, hal terkait dimisalkan dengan tokoh-tokoh Frankfurt yang melakukan kajian
terhadap degradasi seni semisal Adorno dan Walter Benyamin; baik teori feminis,
cultural studies dan teori sosial posmodern kerap didaulat sebagai narasi tanpa
arti, yakni sekedar terjebak pada penjelasan atas beragam fenomena sosial tanpa
dimensi politis di dalamnya.
Pada ranah yang berlainan, tradisi
kritis memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut: mampu menjadi instrumen
emansipatoris individu/masyarakat mengingat sifatnya yang tak bebas nilai; memiliki
baik dimensi teknis (penjelasan), praksis (pemahaman) maupun emansipatoris
(pembebasan) di dalamnya; mampu membongkar selubung kekuasaan yang mengakibatkan
kemapanan-kaku dan stagnasi; berbagai produk keilmuannya terus berkembang dan
kontekstual mengingat dimensi “proses” berikut diskursif yang terdapat di
dalamnya.
6. Aplikasi Metodologi dan Metode Penelitian Tradisi
Positivis, Humanis dan Kritis
6. a. Aplikasi Metodologi dan Metode Penelitian
Tradisi Positivis
Aplikasi metodologi berikut metode
penelitian tradisi positivis antara lain sebagai berikut: dalam segi pilihan
masalah, hal tersebut dilakukan oleh peneliti berikut didasarkan pada kepentingan
serta minat/disiplin dari peneliti; ditinjau melalui sudut pilihan metode
penelitian, secara otonom metode dipilih oleh peneliti, sedang metode
penelitian yang umumnya digunakan adalah survey, analisis statistik, sosiometri,
serta komparasi dan elaborasi sejarah dengan bantuan tradisi pemikiran
apriori berikut aposteriori; ditilik dari segi pilihan hasil
penelitian, hal tersebut akan dipublikasikan dalam seminar ilmiah oleh peneliti
terkait, dengan demikian otoritas pengetahuan berikut data dipegang penuh oleh peneliti
(Fernandes & Tandon [ed.], 1993: 10; Hardiman, 1993: 23).
Contoh hasil penelitian:
1. Rumusan
Rostow mengenai lima tahap perkembangan masyarakat, sedari tradisional,
pralepas landas, lepas landas, pematangan, hingga masyarakat dengan konsumsi
berlebih.
2. Pandangan
ekonom neoklasik layaknya Milton Friedmann, Robert Solow dan Hicks yang
menyatakan bahwa industrialisasi skala masif akan menghasilkan trickle down
effect berikut kesejahteraan masyarakat.
6. b. Aplikasi Metodologi dan Metode Penelitian
Tradisi Humanis
Aplikasi metodologi dan metode
penelitian tradisi terkait antara lain: keharusan menggunakan epoche,
yakni semacam “tanda kurung” untuk menetralkan pikiran dari berbagai
justifikasi terhadap aktor sebelum penelitian dimulai (menghilangkan
asumsi/prasangka); empati, yakni kemampuan peneliti untuk memposisikan diri
sebagaimana aktor memandang diri dan dunianya; hasil penelitian tak ber-ekses
pada justifikasi baik-buruk, benar-salah, berikut rasional-irasional, namun
sebagaimana yang diungkapkan aktor (Hadiwijono, 1995: 141-144). Dengan
demikian, otoritas pengetahuan dan data tetap terletak pada aktor, namun umumnya
publikasi penelitian dilakukan seorang diri oleh peneliti.
Contoh hasil penelitian:
1. Penelitian
sosial-konstruktivisme Berger di Meksiko dan berbagai negara Amerika Latin
lainnya.
2. Penelitian
Geertz di Jawa berikut rumusannya akan Islam-Jawa ke dalam klasifikasi santri,
abangan dan priyayi.
3. Penelitian
Levi Strauss terhadap suku Indian-Navaho.
6. c. Aplikasi
Metodologi dan Metode Penelitian Tradisi Kritis
Aplikasi metodologi berikut metode
penelitian tradisi di atas adalah sebagai berikut: dalam segi pilihan masalah, ditentukan
oleh permasalahan mendesak yang dirasakan bersama baik oleh aktor maupun
peneliti; ditinjau melalui sudut pilihan metode penelitian, hal terkait
ditentukan baik oleh aktor maupun peneliti, adapun metode penelitian yang
digunakan adalah riset partisipatoris/pembebasan dengan desain riset berdasarkan
konsensus, pemanfaatan instrumen empati, berikut analisis kompleks; ditilik
dari segi pilihan hasil penelitian, tradisi kritis akan menghasilkan perubahan
situasi, peningkatan pengetahuan dan kemampuan para aktor untuk melihat berikut
merubah situasi mereka, sedang publikasi penelitian dilakukan baik oleh aktor
maupun peneliti, hal tersebut turut menyiratkan otoritas pengetahuan dan data
yang digenggam baik oleh keduanya (Fernandes & Tandon [ed.], 1993: 10).
Contoh hasil penelitian:
1. Gerakan
kiri-baru di Amerika Serikat pada dekade 1960-an yang berkoalisi dengan mahzab
frankfurt guna menentang sistem pendidikan yang dinilai terlampau konservatif.
2. Gerakan
politik identitas warga kulit hitam (Black Atlantic) di Birmingham,
Inggris.
3. Forum
wanita pekerja di Madras-India yang berhasil meningkatkan kualitas hidup dan
keluarganya.
4. Program
Gabungan bagi Wanita dan Anak-anak Prasekolah di Kerala, India.
∞
Referensi;
§
Agger, Ben, 2006, Teori
Sosial Kritis, Kreasi Wacana.
§
Berger, Peter L, 1994, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial,
LP3ES.
§
Fernandes, Walter &
Rajesh Tandon, 1993, Riset
Partisipatoris: Riset Pembebasan, Gramedia.
§
Hadiwijono, Harun, 1995,
Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius.
§
Hardiman, F. Budi, 2004,
Filsafat Modern, Gramedia.
§
Hardiman, F. Budi, 1990,
Kritik Ideologi, Kanisius.
§
Masini, Eleanora B,
2004, Studi Futuristik, Kreasi
Wacana.
§
Ritzer, George &
Douglas J. Goodman, 2006, Teori Sosiologi Modern, Kencana.
0 komentar:
Posting Komentar