KAPITALISME GLOBAL, LABELISASI HALAL DAN FENOMENA
GLOKALISASI
MENILIK LABELISASI HALAL SEBAGAI PRAKTEK
KONKRET
GLOKALISASI KOMODITAS PANGAN DI ERA KAPITALISME
GLOBAL
Wahyu Budi Nugroho
“Impor dari Jepang, suatu rahmat bagi Marhaen?”
(Bung Karno)
Pendahuluan
Era
globalisasi ditandai dengan tiga momen penting sejarah dunia berupa naiknya
Thatcher dan Reaganomics ke
permukaan, runtuhnya rezim komunisme-Soviet, serta diterima luasnya asosiasi
ide-ide globalisasi layaknya demokrasi liberal, hak asasi manusia, kesetaraan
gender dan lain sebagainya. Faktual, serangkaian hal tersebut dapat dikaji
lebih jauh melalui tiga pendekatan, antara lain; sistem dunia, masyarakat
global, serta budaya global (Sardar & Loon, 2001: 162-163; Adi, 2005: 11-14).
Dalam hal ini, pendekatan sistem dunia menekankan pada ketimpangan hubungan
dagang antara negara-negara maju dengan negara berkembang di mana negara berkembang
cenderung ditempatkan secara pasif sebagai pasar dari membanjirnya
produk-produk negara maju. Tak hanya itu saja, mereka pun—negara berkembang—menjadi
korban dari penghisapan nilai lebih akibat pertukaran yang tak seimbang dalam
pasar internasional.[1]
Pendekatan kedua, masyarakat
global, menunjuk pada desentralisasi peran negara dalam masyarakat. Memang, ide
tersebut dapat dilacak kembali dalam Kovenan Internasional yang digelar pada
dekade 1960-an, namun tampaknya ide terkait baru mulai menggema dalam beberapa
dasawarsa terakhir ini (Baswir, 2003: 247). Pendekatan terakhir, yakni budaya
global, menyoroti muatan “3-F” dalam globalisasi—fun, food and fashion. Fun
setidaknya terepresentasi melalui kehadiran film-film produksi Hollywood serta berbagai program yang
terdapat dalam MTV (Music Television),
food dapat ditilik melalui masifnya
ekspansi varian makanan cepat saji di negara-negara berkembang, sedang fashion pada awalnya merupakan implikasi
“ikutan” dari penayangan berbagai tren pakaian yang termuat dalam film-film Hollywood
maupun MTV sebelum memiliki kelembagaannya yang mantap.[2]
Tak pelak, baik ketiga pendekatan
di atas demikian kental dengan muatan ekonomis. Hal ini seolah kembali
mengingatkan kita pada perdebatan seputar globalisasi sebagai fenomena yang
disengaja ataukah tidak. Bagi mereka yang berdiri di belakang barisan saintisme layaknya Alan D. Sokal,
mengamini globalisasi sebagai perihal yang tak disengaja mengingat pesatnya
perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi sehingga meleburkan
batas-batas dunia. Sebaliknya, beberapa pemikir layaknya James Petras dan Veltmeyer
(dalam Adi, 2005: 5) meyakini globalisasi sebagai “proyek sekelompok orang”
yang dengan demikian sengaja dibuat guna mengabdi pada kepentingan segelintir
orang tersebut. Menilik penelitian seksama yang dilakukan John Pilger pada beberapa
korporasi asing[3]
yang terdapat di Jakarta dan Jawa Barat—Indonesia, kiranya argumen terakhir di
atas dapatlah dibenarkan.
Namun demikian, dalam upayanya mengakumulasi
modal di berbagai belahan dunia, kapitalisme global kerap kali syarat berkompromi
dengan beragam budaya lokal yang terdapat di negara-negara (baca: masyarakat) tujuan
pasarnya. Hal tersebut mengingat, sering kali budaya asli yang dibawanya tak
sesuai dengan budaya lokal masyarakat setempat. Kasus restoran cepat saji
McDonalds-Indonesia yang menambahkan menu “nasi” misalnya, faktual di negara
asalnya, Amerika Serikat, menu nasi takkan dapat kita temui di sana.[4]
Ini membuktikan betapa McDonalds-Amerika Serikat telah berkompromi dengan
budaya masyarakat Indonesia yang menempatkan nasi sebagai makanan pokok.
Pada ranah yang lebih luas,
labelisasi “halal” dalam setiap produk makanan Barat yang dipasarkan pada
negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim turut menjadi contoh konkret betapa
kapitalisme global melakukan kompromi terhadap masyarakat tujuan pasarnya. Fenomena
terkait menjadi unik dan layak ditelisik lebih jauh mengingat kapitalisme
global (Barat) yang sebelumnya sama sekali tak bersentuhan dengan persoalan (tradisi)
“halal-haram” makanan tiba-tiba seolah melek
dan menjadikannya sebagai salah satu perihal urgen dalam laju pemasaran
produk-produknya. Dalam lapangan ilmu sosial dan humaniora, bentuk-bentuk kompromi
kapitalisme global di atas diistilahkan para pakar dengan sebutan “glokalisasi”
sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam pengkajian terkait.
Sekilas
Menyoal Definisi Glokalisasi
Pada
mulanya, istilah glokalisasi (glocalization)
digunakan oleh Andrews dan Grainger di permulaan abad ke-20 untuk menunjukkan
fenomena terangkatnya bentuk-bentuk olah raga lokal oleh komite olimpiade
internasional yang memiliki jumlah keanggotaan negara lebih banyak ketimbang PBB—istilah
ini kemudian digunakan oleh sosiolog kenamaan Inggris, Roland Robertson.
Menurut Andrews dan Grainger, glokalisasi olah raga adalah (dalam Ritzer, 2006:
141-142),
…the
process whereby either globalized or internationalized sport practices (depending
on their spatial reach) become incorporated into local (communal, regional, but
primarily national) sporting cultures and experienced as authentic or natural (hence
organic) signs of cultural collectivity. In a general sense, organic
glocalization is associated with local responses to the sporting flows that
accompanied broader forces of social transformation (colonization,
modernization, urban industrialization, etc.)
Pada
perkembangannya, Ritzer sendiri mendefinisikan glokalisasi sebagai, “…glocalization is seen as a paradigm, then
work on hybridization, creolization, and much else, especially the work of a
number of anthropologists, can be included within it”. Lebih jauh, ia
memisalkannya dengan bentuk-bentuk McDonalds di berbagai negara Asia dan Eropa
Timur yang memiliki kekhasan-nya tersendiri. Kasus McDonalds di Taipei sebagai
berikut misalnya (Ritzer, 2006: 153),
In
Taipei, McDonald’s is also a hangout, and regular customers come to know one
another quite well. “[M]any consumers treat McDonald’s as a home away from
home. . . . This establishment has become ‘localized’ in that it plays a key
role in the routines of everyday life for many people who live in the
neighborhood.”
Pada
ranah yang lebih spesifik, yakni dalam dunia bisnis, istilah glokalisasi
menemui bentuknya yang konkret. Global
Media-Global Culture (2010: 3) mendefinisikannya dengan, “Glocalization from a marketing point of
view is said to be about adapting your product to meet the needs and wants of
consumers in foreign market”. Menilik serangkaian definisi mengenai
glokalisasi di atas, kiranya istilah terkait dapat sekali lagi ditegaskan
sebagai bentuk kompromi budaya kapitalisme global dalam rangka memasarkan beragam
komoditasnya pada masyarakat lokal (pasar tujuan).
Praktek
Konkret Glokalisasi melalui Labelisasi Halal Komoditas Pangan
Faktual, persoalan konsumsi makanan
bagi umat muslim tidaklah sekedar ditempatkan sebagai aktivitas netral atau
bersifat jasmaniah semata, melainkan mengandung nilai-nilai ritual atau ibadah
sebagaimana diyakini para pemeluknya, dan salah satu bentuk ibadah tersebut
terejawantahkan melalui pilihan pada makanan-makanan yang bersifat halal untuk
dikonsumsi. Namun demikian, sebelum lebih jauh melangkah pada muatan
glokalisasi dalam labelisasi halal komoditas pangan, ada baiknya bagi kita
untuk terlebih dahulu memahami pengertian atau batasan-batasan dari makanan
yang dapat dikatakan halal. Secara apik, Riaz dan Chaudry (2004: 14-15)
mendefinisikan istilah halal sebagaimana berikut,
…halal
foods are those that are free from any component that muslims are prohibited
from consuming. According to the Quran, all good and clean foods are halal.
Consequently, almost all foods of plant and animal origin are considered halal
except those that have been specifically prohibited by Quran and the Sunnah.
Dengan
demikian bagi Riaz dan Chaudry, sesungguhnya kebutuhan muslim akan bahan
makanan yang bersifat halal tak jauh berbeda halnya dengan kalangan nonmuslim.
Sejauh komoditas pangan tersebut diolah secara higienis, maka ia telah memenuhi
persyaratan sebagai makanan yang halal untuk dikonsumsi, terkecuali memang pada
beberapa makanan/minuman yang secara tegas dinyatakan haram dalam Islam,
semisal; daging babi, daging hewan-hewan yang bertaring, daging hewan yang
menjijikkan (bekicot, cacing, dll.), bangkai, serta alkohol (minuman yang
memabukkan). Namun kenyataannya, persoalan halal-haram tak hanya berhenti
sampai sini. Di sisi lain, definisi halal yang dikemukakan oleh Islambase Publications (2005: 9) turut
menyertakan doktrin mengenai haramnya makanan—daging binatang—bilamana tak
disembelih dengan menyebut nama Allah (bismillah).
Memang, persoalan tersebut sempat memicu pro dan kontra di kalangan para pakar
hukum Islam, namun belakangan, istilah makruh
digunakan untuk mengatasi saling silang pendapat di antara mereka—tak menjadi
soal mengkonsumsinya, namun alangkah lebih baik bila meninggalkannya (Riaz
& Chaudry, 2004: 24).
Di
samping perdebatan di atas, problem pelik halal-haram makanan dalam Islam turut
merambah aspek varian metode yang digunakan untuk menyembelih binatang. Islam
secara tegas mengharamkan daging binatang yang disembelih secara kejam. Pengertian
“kejam” di sini adalah penghilangan nyawa binatang yang “tak seketika”
(membutuhkan proses yang cukup lama) sehingga binatang terkait pun merasakan
sakit yang teramat sangat sebelum mati. Beberapa di antara misal metode
tersebut adalah membunuh binatang dengan menenggelamkan ke air (gelonggong), dicekik, dijatuhkan dari
ketinggian, dibenturkan dengan batu, serta dibunuh dengan mata panah (Islambase
Publications, 2005: 9). Kiranya, persoalan di atas belum ditemui pemecahannya
mengingat begitu sulit bagi seorang muslim untuk mengidentifikasi apakah daging
binatang yang dikonsumsinya dihilangkan nyawanya dengan cara-cara Islami
ataukah tidak.
Lebih
jauh, Istilah “halal” sendiri menjadi kata yang cukup populer di dunia Barat
dalam dua dekade terakhir, kepopuleran istilah tersebut dibarengi dengan kian
meningkatnya volum ekspor komoditas pangan negara-negara Barat pada berbagai
negara Timur Tengah dan Asia Selatan. Sebagaimana diutarakan lebih lanjut oleh Mian
N. Riaz dan M. Chaudry dalam Halal Food
Production (2004: 14), saat ini kita tak dapat menutup mata bahwa terdapat
kurang-lebih 1,3 milyar muslim di seluruh dunia (2002), dan dalam konstelasi
global di mana hubungan antarmasyarakat dunia lebih intens terjadi, sudah
seyogyanya masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya memahami kebutuhan
satu sama lain, dan sebagaimana telah disinggung sebelumnya, persoalan konsumsi
bagi umat Islam tidaklah sekedar ditempatkan sebagai aktivitas yang bersifat
jasmaniah semata, melainkan mengandung serangkaian nilai-nilai ritual (ibadah).
Namun
demikian, terlepas dari bentuknya sebagai doktrin yang syarat dipatuhi oleh umat
Islam, penyematan label halal dalam komoditas pangan justru menjadi semacam
ajang kompetisi tersendiri bagi berbagai korporasi multinasional yang berupaya
memasarkan beragam produk makanannya pada negeri-negeri muslim. Hal inilah yang
kemudian menyebabkan meningkat drastisnya permintaan sertifikasi halal dari
banyak produsen besar makanan Barat seperti Nestle, Tesco, Carrefour, serta Doux
and Friesland Coberco Dairy Foods Holding, bahkan labelisasi halal sesungguhnya
tak sekedar berada dalam domain pangan, melainkan pula pada produk-produk
kosmetik berikut obat-obatan medis (Waarden & Dalen, 2010: 16).
Berdasarkan
penelitian termutakhir, pangsa pasar untuk produk halal di seluruh dunia pada
tahun 2010 mencakup sekitar 1,3 milyar hingga 1,8 milyar konsumen—dikonsumsi
oleh muslim maupun nonmuslim—dengan nilai pasar atau perdagangan sebesar 634
juta dolar per tahun. Tak heran, Joe Regenstein (dalam Waarden & Dalen,
2010: 13), seorang pakar asal Cornell University, mengatakan bahwa produk halal
merupakan “tambang emas yang belum tersingkap”. Hal tersebut ditambah dengan
kenyataan bahwa Islam merupakan agama dengan laju perkembangan terpesat berdasarkan
segi jumlah pemeluknya dari tahun ke tahun dibanding berbagai agama lainnya di
dunia. Ini berarti, pangsa pasar bagi produk-produk halal pun bakal kian meningkat
di tahun-tahun mendatang.
Labelisasi
Halal: Bentuk Perlindungan Konsumen ataukah Upaya Mencari Profit Semata?
Terlepas
dari maraknya fenomena labelisasi halal komoditas pangan di atas, faktual kita
dapat mempertanyakannya kembali secara kritis: Apakah labelisasi halal tersebut
benar-benar ditujukan untuk melindungi konsumen muslim, ataukah sekedar upaya
guna mencari profit (keuntungan) semata. Persoalan terkait sebagaimana telah
disinggung sebelumnya, kiranya nyaris tak mungkin bagi setiap konsumen muslim
untuk meneliti ke-halal-an berbagai produk makanan asing yang dikonsumsinya,
kecuali bagi mereka yang memiliki akses pada instumen penelitian makanan.
Tak hanya itu saja, bisa jadi
sampel makanan yang diajukan guna memperoleh sertifikat halal memang benar layak
adanya, namun tak ada jaminan bagi sejumlah produk yang sama setelahnya.[5]
Hal tersebut dapat dimisalkan dengan kasus haramnya produk pelezat makanan dari
Jepang, Ajinomoto yang telah lama
beredar di tengah masyarakat. Pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ihwal
haramnya produk terkait beberapa tahun lalu karena terbukti memiliki kandungan
ekstrak babi seolah membuat umat Islam tanah air kecolongan (Wicaksono, 2001). Pasalnya, tak diragukan lagi bahwa
produk tersebut memiliki label halal dan telah lama digunakan masyarakat tanah
air. Persoalan ini belum lagi ditambah dengan banyaknya produk yang mencatumkan
label halal namun kenyataannya tak memiliki sertifikat terkait (ROL, 2009).
Di
satu sisi, sertifikat halal yang dikeluarkan MUI pun turut diragukan oleh
negara-negara lain, terutama Malaysia. Padahal, sertifikat tersebut seyogyanya
berlaku secara internasional, sedang biaya yang syarat dikeluarkan guna
memperolehnya pun sebesar 2,5 juta rupiah (Rudi, 2012; Kurniawan, 2012). Menilik
beragam persoalan di atas, yakni sedari musykilnya konsumen muslim membuktikan
kehalalan suatu produk yang ia konsumsi, banyaknya produk yang mencatumkan
label halal namun tak memiliki sertifikat, berikut masih diragukannya
sertifikasi halal keluaran MUI. Secara skeptis, dapatlah kita katakan bahwa
ada-tidaknya label halal saat ini sama sekali tak berpengaruh pada halal-tidaknya
produk makanan yang kita konsumsi. Apabila terbukti benar demikian, maka
dapatlah disimpulkan bahwa labelisasi halal utamanya tak ditujukan untuk
melindungi konsumen muslim, melainkan sebagai upaya pencarian profit semata.
Kesimpulan
dan Penutup
Berpijak
melalui serangkaian penjabaran di atas, kiranya dapat ditegaskan bahwa labelisasi
halal dalam beragam komoditas pangan buatan berbagai korporasi global bagi
negara-negara mayoritas berpenduduk muslim merupakan salah satu bentuk konkret
dari praktek glokalisasi komoditas pangan di era kapitalisme global. Hal
tersebut mengingat, ditemuinya kompromi yang dilakukan para produsen makanan Asing
sehingga berbagai produknya dapat diterima oleh konsumen muslim seluruh dunia,
terutama Indonesia. Namun demikian, beberapa persoalan pelik yang masih tersisa
darinya seperti; tak mungkinnya konsumen untuk membuktikan sendiri kehalalan
produk yang ia konsumsi, banyaknya produk makanan yang berlabel halal namun tak
memiliki sertifikat, serta masih diragukannya sertifikasi halal keluaran MUI, kiranya
membuat kita patut menggugat kembali labelisasi halal yang tersemat pada beragam
produk makanan.
*****
Referensi:
Buku;
§ Adi, M. Ramdhan, 2005, Globalisasi: Skenario Mutakhir Kapitalisme, Al-Azhar Press.
§ Baswir, Revrisond, 2003, Pembangunan tanpa Perasaan, Elsam.
§ Riaz, Mian N & M. Chaudry, 2004, Halal Food Production, CRC Press.
§ Ritzer, George, 2006, The Globalization of Nothing, Sage Publications.
§ Sardar, Ziauddin & Borin V. Loon, 2001, Cultural Studies for Beginners, Mizan.
Internet;
§
Global
Media-Global Culture, 2010, Glocalization,
http://drop.theunluckydip.com/stuff/global2.pdf (09/05/2012).
§
Islambase
Publications, 2005, The Issue of Halal
Meat, www.islambase.tk (09/05/2012).
§
Kurniawan,
Hariyanto, 2012, Pengusaha Katering Depok
Keluhkan Sertifikasi Halal, http://www.sindonews.com/read/2012/05/14/450/629505/pengusaha-katering-depok-keluhkan-sertifikasi-halal (27/06/2012).
§
ROL (Republika
Online), 2009, Awas, Label Halal tak
Bersertifikat, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/info-halal/09/01/07/24712-awas-label-halal-tak-bersertifikat (27/06/2012).
§
Rudi,
2012, Waduh! Sertifikasi Halal MUI kok
Diragukan Malaysia, http://www.lensaindonesia.com/2012/06/03/waduh-sertifikasi-halal-mui-kok-diragukan-malaysia.html (27/06/2012).
§
Waarden,
Frans van & Robin van Dalen, 2010, Hallmarking
Halal, The Market for Halal Certificates: Competitive Private Regulation, http://regulation.upf.edu/dublin-10-papers/5F3.pdf (09/05/2012).
§
Wicaksono,
2001, Ajinomoto, Haram Hukumnya, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/01/22/MON/mbm.20010122.MON98866.id.html (27/06/2012).
[1] Sebagai misal, 1 unit mobil Volvo
seharga 300 juta yang dapat diproduksi dalam waktu sehari sebanding dengan harga
3 ton beras yang dihasilkan dalam waktu 3 bulan. Hal tersebut berarti, apabila
terjadi pertukaran antarkomoditas terkait, maka terdapat nilai lebih sebesar 2
bulan 29 hari yang terhisap cuma-cuma dari negara penghasil komoditas pangan terhadap
negara produsen teknologi.
[2] Ini dapat dimisalkan dengan
hadirnya kantor-kantor redaksi berbagai majalah fashion asing di negara
berkembang beserta butik-butiknya (Sophie Martin, Polo, Gucci, Buccheri, Dolce
& Gabbana, dll.).
[3] Pabrik sepatu Nike, Reebok dan
Adidas.
[4] Dapat ditilik dengan mengakses http://www.mcdonalds.com/us/en/full_menu_explorer.html (09/05/2012).
[5] Tak menutup kemungkinan bila ke-halal-an
suatu produk hanya berlaku pada satu waktu, sedang setelahnya tidak. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh perubahan dalam teknik pengolahan makanan atau
komposisi bahan makanan yang digunakan namun tak mencantumkan daftar komposisi
yang sebenarnya.
0 komentar:
Posting Komentar